Razka menemui Ayahnya di ruang kerja di rumah mereka. Pria itu menghubunginya siang tadi. Dia berkata ada sesuatu yang ingin ia bicarakan. Razka tidak tahu apa yang hendak Danial bicarakan, Razka tidak akan mendesak, ia akan menunggu sampai Ayahnya itu sendiri yang menjelaskan.“Jadi, ada apa?” Razka yang baru duduk di kursinya segera bertanya pada Danial tentang alasan mengapa ia dipanggil ke sini. Tidak mungkin hanya untuk menceramahi Razka.“Sesuatu telah terjadi pada adikmu.” Danial mengalihkan sejenak perhatiannya dari pekerjaannya. Saat ini ia harus bicara dengan serius bersama putranya. Danial membuka kacamatanya dan meletakkannya di kotak penyimpanan. Dia menatap Razka dengan serius. “Dia hampir dicelakai seseorang.”“Apa maksud Ayah?” Razka menegakkan tubuhnya.“Seseorang sepertinya sedang mengincar nyawa putriku, Kamu harus bisa lebih menjaganya.”“Bajingan mana yang berani mengusik adikku?” Razka memukul meja, meluapkan emosi. Saat ia mendengar ada seseorang yang hendak men
Razka mendorong Farel saat temannya itu hendak masuk ke dalam rumahnya. Razka tidak tahu jika Farel akan datang, dia tidak mengabarinya sama sekali.“Apa tujuanmu datang kemari?” tanya Razka geram.“Tentu saja menemui adikmu,” jawab Farel ringan. Dia berkata seolah itu bukan masalah sama sekali.“Untuk apa?”Semakin ke sini, tingkah Farel semakin berani. Padahal Razka sudah memperingati dia sebelumnya supaya tidak terus mencoba mendekati adiknya. Karena bagaimana pun saat ini Jovanka masih berstatus sebagai istri orang.Tingkah Farel ini hanya akan membuat buruk nama adiknya. Tapi, seperti apapun Razka mengingatkan, Farel seperti tidak peduli. Dia berkata jika dia serius menyukai Jovanka.Razka tidak akan melarang, seandainya saja Jovanka belum menikah dengan siapa pun. Tapi sekarang keadaannya berbeda, Jovanka sudah milik Revan, meski hubungan keduanya tidak nampak baik.“Ayolah. Kenapa kamu selalu menghalangi ku untuk mendekati adikmu?” Farel berusaha membujuk Razka. Ekspresi yang d
“Apa-apaan ini?!”Revan tersentak saat atasannya menghempaskan berkas ke atas mejanya dengan kasar. Ekspresi pria di depannya itu terlihat sangat marah. Kali ini, Revan pasti sudah membuat kesalahan besar.“Kenapa bukannya membaik, pekerjaanmu justru semakin kacau?” Napas pria itu terlihat berat karena emosi. Rasanya dia ingin menendang karyawan di depannya ini karena tidak pernah becus dalam bekerja. Dia heran, kenapa orang sepertinya bisa diterima bekerja di perusahaan ini? “Apa kamu tidak berniat bekerja?”“Tentu saja aku serius, Pak,” sahut Revan. Dia tidak pernah main-main. Saat ia bisa bekerja di perusahaan ini, ia bekerja dengan sungguh-sungguh karena sadar Revan memang membutuhkan pekerjaan ini. Dari sini lah semua kebutuhan hidupnya terpenuhi. Jika dia gagal, maka dia harus kembali mencari pekerjaan dan itu bukanlah hal mudah untuk dilakukan.“Jika kamu memang serius, maka bekerjalah dengan baik. Jangan hanya mengacau!” tegur atasan Revan dengan suara keras. “Perusahaan bisa
Jovanka tidak berhenti menggerutu karena bodyguard barunya yang begitu patuh mengikutinya seperti anak ayam. Bahkan meski Jovanka berlari dan bersembunyi, bodyguard-nya itu selalu mampu menemukannya.“Kenapa kamu selalu bisa menemukan ku?” tanya Jovanka frustasi. Padahal dia berhasil meloloskan diri dari kejaran bodyguardnya itu, tapi dia masih saja berhasil menemukan keberadaan Jovanka.“Bau parfume-mu tercium jelas, nona,” jawab Luis dengan ekspresi datar. Dalam hati dia menghina majikannya itu yang terlihat bodoh. Bagaimana dia bisa bersembunyi jika dari bau parfume-nya saja tercium begitu menyengat. Bahkan dari jarak tiga meter, Luis masih bisa mencium aromanya.“Benarkah?” Jovaka baru sadar, dia menciumi pakaian yang ia kenakan. Dia menyesal sekarang, kenapa ia malah menggunakan parfume di saat ia seharusnya bisa meloloskan diri dari kejaran Luis dengan mudah. Jika saja dia ingat, dia tidak akan mengenakan parfume apapun hari ini. Apakah sekarang Jovanka harus mandi lagi untuk me
Luis tersentak saat ia tiba-tiba teringat tentang Nonanya. Dia dengan cepat merapikan pakaiannya kembali dan bergegas keluar. Tapi tangan Gilda menahannya, perempuan itu masih tidak ingin membiarkan Luis pergi.“Kamu mau kemana?” tanya Gilda terdengar kesal.“Nona mungkin dalam kesulitan,” jawab Luis tanpa menoleh.“Jovanka baik-baik saja. Kamu tidak perlu memikirkannya.” Gilsa menyentak lengan Luis hingga pria itu kembali berbalik dan menghadap ke arahnya. “Meski pun kamu bodyguardnya, bukan berarti kamu harus 24 jam bersamanya.”“Tapi itu sudah menjadi tugasku,” ucap Luis. Gilda sepertinya tidak mengerti jika Luis memang bertugas menjaga Jovanka selama 24 jam. Dia seharusnya tidak tergoda untuk bermain sebentar dengan Gilda meski tidak memakan waktu lama. Tapi tetap saja, sebagai seorang bodyguard yang terlatih, Luis seharusnya tidak boleh lengah meski hanya sesaat.“Tidak akan ada yang terjadi pada Jovanka, percayalah padaku.” Gilda berusaha membujuk Luis supaya mau bertahan lebih
Jovanka membuka kedua matanya. Sesaat dia menyesuaikan cahaya yang ditangkap kornea matanya. Sampai ia bisa melihat dengan jelas. Jovanka mengedarkan pandangan melihat sekitar. Terakhir ia ingat ia berada di toilet restoran saat tengah berkumpul bersama teman-temannya. Tapi, sekarang saat ia sadar, Jovanka berada di sebuah gubuk yang terlihat sudah lama tidak ditempati. Entah siapa yang membawanya ke mari, tapi Jovanka rasa nasibnya tidak akan berakhir baik kali ini.Suara pintu terbuka membuat Jovanka menoleh. Ia melihat seseorang masuk. Jovanka tidak mengenal siapa orang itu.Seorang pria dengan rokok di tangannya itu melangkah mendekati Jovanka.“Sudah bangun?”Jovanka mendelik. Apa pria itu buta? Kenapa dia masih bertanya sedangkan ia sendiri melihat Jovanka di depannya dengan kedua mata yang terbuka lebar.Pria itu menarik satu sudut bibirnya. Dia mengusap wajah Jovanka dengn tangannya. “Cantik.”Jovanka memalingkan wajah. Dia tidak suka saat wajahnya disentuh, terlebih oleh pria
Luis mendapat pukulan dari atasannya yang juga bekerja untuk tuan Danial. Bukan hanya satu, tapi banyaknya bahkan tidak terhitung. Karena ia yang lalai dalam menjalankan tugas, Luis harus mau menerima hukumannya.“Kamu mempermalukan ku, Sialan!”Punggung Luis ditendang ketika dia baru bangkit, hingga ia kembali terlempar ke lantai. Luis merasakan kepalanya diinjak kuat. Dia tidak bisa bergerak.“Kerjamu sangat payah. Kamu telah mengecewakan tuan Razka dan tuan Danial!” Atasannya itu memaki Luis dengan keras.Sedikit pun, Luis tidak melakukan perlawanan karena ia sadar ia memang salah. Luis merasa pantas mendapatkannya.“Kurung pecundang ini di ruang bawah tanah!” titah atasan Luis pada para bawahannya yang sejak tadi menonton. “Biarkan dia merenungi kesalahannya.”“Baik!” Dua anah buahnya maju dan bergerak membopong tubuh Luis untuk diseret ke ruang bawah tanah.“Nasibmu kurang beruntung kali ini, bung.” Rekan kerja Luis itu menggelengkan kepalanya sambil berdecak miris. Dia sebenarny
Savira duduk di sebuah sofa seraya menyilangkan kakinya.“Apa yang sudah kamu lakukan padanya?” Dia bertanya antusias.Aron mendengus kasar. “Aku belum sempat melakukan apapun karena kamu menghubungiku, dan meminta untuk bertemu cepat-cepat.”Jika mengingat kembali tentang itu, rasanya Aron sangat kesal dengan Savira saat ini.“Tenanglah, sayang. Setelah ini kamu akan puas bermain-main dengannya.” Savira menanggapi dengan santai. Ia cukup tenang setelah mengetahui Aron berhasil membawa Jovanka dan menyekapnya. “Jangan lupa biarkan teman-temanmu ikut merasakannya,” ucap Savira menyeringai. Dia tidak sabar melihat Jovanka hancur setelah ini. Perempuan itu mungkin akan gila.“Aku akan memberikannya setelah aku puas, tentu saja.”Aron sudah berjanji pada anak buahnya jika ia akan membiarkan mereka menikmati Jovanka, hanya saja mereka tidak boleh menyentuhnya sebelum Aron.“Sekarang, bagaimana jika kita bersenang-senang?” Savira mendekat dan duduk di pangkuan Aron. “Ini hadiah karena kamu
Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h
Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang
“Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n
“Awalnya memang sangat mengecewakan. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak akan berhasil. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai berubah. Dia mulai mengerti dan mau berusaha. Pekerjaannya menjadi semakin baik.”Danial mendengarkan laporan dari anak buahnya yang ia kirimkan untuk berada di sisi Revan. Dari orang itulah ia bisa mengetahui tentang perkembangan Revan.Bukan hanya membantu dan mengawasi, pria itu juga bertugas mengajari Revan tentang semua hal yang tidak ia ketahui. Dia dituntut untuk membuat Revan berkembang.“Berapa lama waktu yang ia butuhkan?” tanya Danial memastikan. Meski ia terlihat santai, bukan berarti dia tidak memikirkan putrinya. Danial pun mengawasi secara ketat tentang perkembangan Revan di sana. Ia juga ingin pria itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini untuk menemani putrinya.“Sejauh ini, semua sudah ditangani dengan baik, Tuan. Perusahaan sudah berjalan dengan normal seperti semula.”Senyum di wajah Danial terlukis. Ia benar-benar lega mende
Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be
Jovanka terjaga. Dia melihat tempat ia berada saat ini. Ia berada di rumah sakit. Rasanya tidak mengherankan, karena sejak ia mengandung, tempat ini menjadi lebih sering ia kunjungi.“Bagaimana keadaanmu, nak?”Suara Ayahnya mengejutkannya. Dia melihat pria itu mendekat.“Aku baik-baik saja, Ayah,” jawab Jovanka seadanya.“Ibumu sudah ku beri peringatan.” Danial sedikit menyesal membiarkan Jovanka pergi bersama Mona. Seharusnya ia saja yang menemani putrinya berbelanja. Meski antusias menyambut cucu pertamanya, Danial tidak mungkin sampai melupakan kondisi putrinya sendiri.“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan marah pada Ibu,” ucap Jovanka menenangkan. Dia tidak ingin hubungan Ayah dan Ibunya memburuk hanya karena dirinya. Jovanka ingin saat anak pertamanya lahir, semua orang bisa menyambutnya dengan gembira. Dia tidak ingin ada masalah yang terjadi sebelum itu semua.Lagi pula ia mengerti, Ibunya hanya terlalu bersemangat menyambut cucu pertamanya.“Dia sudah keterlaluan, Jovanka. Jangan
Saat ini Jovanka sedang berada di Mall. Ia bersama Ibunya tengah berbelanja kebutuhan bayi. Dimulai dari pakaian juga perlengkapan lainnya. Banyak barang yang dibeli olehnya. Tentu bukan Jovanka yang meminta, tapi Ibunya yang membeli semua itu, semua barang yang sebenarnya hanya bisa dipakai selama beberapa bulan. Apakah dia lupa jika seorang bayi akan mudah tumbuh besar? Jovanka sampai sakit kepala melihat Ibunya yang begitu antusias membeli semuanya.“Ibu, sudah cukup. Ini saja sudah banyak.” Jovanka mencoba menghentikan Ibunya. Saat ini barang di tangan pengawal yang ikut bersama mereka sudah terlihat begitu menumpuk. Padahal mereka hanya membeli kebutuhan untuk seorang makhluk kecil, kenapa belanjaan mereka bisa sebanyak ini? Jovanka sendiri tidak habis pikir.“Tapi kita masih belum membeli semuanya. Lihat! Kita bahkan belum membeli ranjang untuk cucuku,” seru Mona. Dengan semangat ia pergi ke bagian furniture dan mencari ranjang bayi di sana.Jovanka menghela napas. Ibunya bahkan
Jovanka sudah melalui beberapa bulan kehamilannnya. Awalnya memang terasa merepotkan. Terlebih, ia mengalami morning sickness di bulan kedua kehamilannya. Dia tidak bisa mencium bau yang menyengat. Bahkan tidak banyak makanan yang bisa ia konsumsi. Rasanya segala macam makanan yang biasa ia makan sebelum hamil tidak bisa lagi diterima perutnya. Jovanka paling-paling hanya mengkonsumsi buah dan biskuit. Untuk memastikan ia tidak kekurangan nutrisi, Jovanka juga rutin mengkonsumsi vitamin yang diresepkan dokter, juga tidak lupa meminum susu ibu hamil.Setiap bulan ia akan melakukan pemeriksaan kandungan, di mana saat itu keluarganya selalu berebut untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alhasil, Jovanka berangkat bersama mereka semua.Saat ini usia kandungannya sudah menginjak trimester kedua. Banyak makanan yang ia inginkan, dan kakaknya selalu berjuang untuk mendapatkannya, sekali pun itu sulit. Hingga ia harus mengerahkan banyak anak buahnya untuk berpencar.Baru kali ini fenomena ibu ham
Saat ini Jovanka mendapat kunjungan dari teman-temannya. Dia merasa sedikit terhibur dengan adanya mereka. Terkadang, jika hanya bersama keluarganya, tidak banyak topik yang bisa ia bicarakan. Keluarganya hanya memberi terlalu banyak perhatian. Tapi tidak begitu bisa diajak melakukan obrolan yang menyenangkan.“Aku tidak percaya kamu benar-benar hamil.” Gilda sangat terkejut mendengar kabar ini pertama kali. Ia bahkan sempat mengira Jovanka berbohong padanya. Tapi saat ia melihat sendiri bagaimana kondisi temannya itu, ia mulai percaya dengan apa yang ia katakan. “Kapan kalian melakukannya?”“Itu juga yang ingin aku tanyakan,” timpal Kate.Hal yang paling mengherankan dari semua itu memang alasan mengapa Jovanka bisa sampai mengandung anak Revan, sedangkan Jovanka sendiri sebelumnya sangat enggan berhubungan dengan pria itu.Mereka jadi curiga, apa Revan memperkosa Jovanka?“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Jovanka sepertinya bisa menebak apa yang teman-temannya pikirkan, karena ia