"Apalagi, Rik?" tanya Bu Sastra. Diana pun mengerutkan keningnya. Perempuan itu penasaran dengan permintaan selanjutnya. Namun, dia ikut menunggu jawaban dari suaminya."Buatkan aku toko. Aku ingin punya usaha sendiri dan berhenti bekerja." Lelaki itu berjalan dengan kemlinthi. Matanya melirik ke "Modal dari mana, A?" Diana terperangah mendengar jawaban suaminya."Mana aku tahu?" Arik mengangkat bahu ringan. Sangat menganggap gampang dan remeh. Menyepelekan. "Tapi Diana tidak punya tabungan yang cukup, A. Kan uang simpanan sudah habis buat beli mobil," sanggah wanita itu dengan suara bergetar. Kesal dengan sikap suami yang seakan sedang memorotinya."Warisan yang kamu terima berupa sawah itu masih, bukan? Kenapa tidak dijual saja? Jual itu!" perintah Arik tegas. Dari sorot matanya tidak ingin dibantah. Pria itu duduk tepat di depan isyrinya. Matanya menatap lekat indra penglihat Diana yang sudah mulai berkabut. Tertekan dengan permintaan Arik."Benar itu kata Arik. Mending jual saj
Arini sedang ada janji sama teman-temannya untuk makan di sebuah cafe. Ada salah satu temannya yang sedang ulang tahun. Mereka sengaja mau merayakan hari kelahiran temannya di tempat nongkrong tersebut.Baru saja Arini memarkirkan motornya. Tak sengaja pandangannya menyapu halaman cafe yang bergaya semi klasik itu. Mata Arini membulat sempurna ketika menatap sepasang kekasih yang sedang berjalan beriringan ke luar dari cafe. Pasangan itu terlihat mesra dengan bergandengan tangan. Sesekali diselingi cubitan manja dari sang wanita. Mereka berjalan ke arah parkiran mobil yang ada di seberang parkiran motor. Sejoli itu tak menyadari tatapan dari Arini karena mereka tak memandang ke arah parkiran motor.Dada Arini bergemuruh hebat saat melihat pemandangan di depannya. Berulang kali mencoba beristighfar. Namun, denyut nyeri di dadanya semakin menjadi.Bagaimana tidak? Cowok itu adalah suaminya. Dia sangat hafal bagaimana cara jalan suaminya. Katam cara memeluk pinggang perempuan itu. Sama
"Sanjaya terjatuh dan pingsan. Sekarang sedang dibawa ke rumah sakit. Kamu di mana?" "Aku lagi menenangkan diri," jujur Arini."Pulang lah dulu. Tengok suami kamu barang sebentar," bujuk Tasya dengan lembut. Dia paham bagaimana perasaan sahabatnya itu. "Biarkan saja. Banyak orang yang bisa mengurus dia. Sudah, ya. Aku matikan dulu telponnya." Arini segera memutuskan sambungan teleponnya. Hatinya tak tersentuh sama sekali mendengar suaminya dibawa ke rumah sakit. Sepertinya hati Arini sudah mati rasa terhadap Sanjaya. Perempuan berparas cantik itu sudah selesai mengemasi barang yang ada di kontrakan. Saat ini sedang memesan taksi online yang akan membawanya ke tempat pemberhentian bus yang akan membawanya menuju pelabuhan Merak. Tujuannya satu. Ingin menenangkan diri di rumah neneknya yang ada di kampung halamannya — Lampung. Kebetulan tiga hari yang lalu kontrak kerja telah habis. Sehingga tidak terikat jam kerja.Ratusan kali teleponnya berdering. Namun, tak satu pun yang digubri
"Waalaikummussallam, Neng. Kamu di mana sekarang?" tanya Mama Rita ramah. "Rini di Lampung. Mama bagaimana kabarnya?" Arini tahu ibu mertua pasti akan menelponnya suatu saat. Untung saat ini hatinya sudah mulai tertata kembali. Sedikit banyak sudah bisa mengobati lukanya sendiri meskipun belum sembuh total."Mama baik, Sayang. Namun, suamimu sedang sakit parah! Dia butuh kamu saat ini! Tolong pulang rawatlah Sanjaya!" Tanpa rasa malu Mama Rita meminta."Memang Abang sakit apa, Ma?" "Sanjaya kena stroke. Kasihan dia. Pulanglah. Maafkan kesalahannya." Isak tangis mulai terdengar dari Mama Rita. Perempuan itu terdengar sangat sedih. Arini pun hanya bisa diam beberapa saat. Membiarkan mertuanya menangis meski mereka terpisah jarak. Mama Rita menangis karena benar-benar sedih atau sekedar mendramatisir keadaan? Entahlah hanya dia yang tahu."Maaf, Ma. Rini sudah tidak bisa pulang ke sana lagi. Rini ingin menetap di sini," tukas perempuan yang baru selesai menanam bunga di depan teras
Perempuan yang dipanggil mendekat ke arah Baskoro. Merek berjalan bersisian menuju tempat duduk Hayana dan Arini. Mereka menatap pasangan itu dengan pikiran masing-masing.Haya menyambut mereka dengan senyum yang dipaksakan. Hatinya terasa sakit menyaksikan mereka yang terlihat serasi. Hayana pun mengulurkan tangan pada perempuan di samping Baskoro. Mereka bersalaman dengan senyum yang mengembang dari bibir masing-masing. "Kenalkan ini —" "Ayah," panggil seorang bocah laki-laki umur lima tahunan. Anak itu yang telah memotong ucapan Baskoro tadi. Bocah lelaki tersebut segera minta turun dari gendongan pengasuhnya.Ayah? Haya sedikit kaget mendengar panggilan tersebut.Mereka semua melemparkan pandangan ke arah anak tersebut. "Katanya, Andika mau mainan di mobil saja. Kok, menyusul?" tanya perempuan di samping Baskoro."Nggak papa, Yang. Dia lagi kangen sama ayahnya. Sini ayah gendong." Baskoro segera menggendong anak itu dengan sayang.Haya kembali tercengang mendengar ucapan Basko
Haya kaget mendengar permintaan wanita muda itu. Untung keadaan tokonya saat ini sedang sepi dari pembeli, sehingga yang mendengar hanya orang-orangnya sendiri. Haya percaya karyawannya pun tidak bermulut ember. Sehingga tidak menyebarkan apa yang mereka dengar.Erfan keluar dari toko adiknya sambil menggendong Govind. Pria itu penasaran setelah mendengar ucapan perempuan asing itu."Anda siapa, datang-datang meminta adik saya membatalkan pernikahannya?" tanya Erfan, geram."Saya Andini. Sepupu dari almarhumah istrinya Mas Baskoro," jelas Wanita itu."Mas, biarkan aku sendiri yang menghadapinya. Silakan bawa Govind jalan-jalan," pinta Haya. Erfan pun menuruti perintah adiknya."Mbak. Kita bicara di rumah orang tua saya saja. Saya tidak mau obrolan kita menjadi konsumsi orang banyak. Ayo, ikut saya!" Andini pun mengikuti langkah Haya."Kenapa saya harus membatalkan pernikahan ini?" tanya Haya. Mereka kini duduk saling berhadapan di ruang tamu milik Bu Tuti."Karena ada wasiat yang haru
"Waalaikummussallam. Masuk, Yang!" Haya menyambut kedatangan calon adik iparnya tersebut.Andini tampak kaget melihat kedatangan Yayang. Mukanya berubah dari garang menjadi pias. Tangannya dengan tergesa memasukkan buku diary itu dalam tasnya."Dari mana, kok, kelihatannya letih sekali?" tanya Haya. Mereka bersalaman kemudian berpelukan ditambah saling mencium pipi kiri dan kanan."Capek, Mbak. Dua hari ini menjadi sopirnya Mas Bas."Diam-diam Andini mundur dari rumah Haya."Jangan dulu pergi!" Haya mencegahnya. Namun, percuma karena Andini sudah melangkah keluar. Langkahnya panjang seperti tergesa."Kok ada Andini di sini? Kalian saling kenal?" tanya Yayang, heran. Dia baru nggeh."Baru kenal," jawab Haya. "Memang dia ngapain ke sini?" Andini menjatuhkan bobot tubuhnya ke sofa."Apa benar dia sepupunya Mbak Nira?" tanya Haya. Alih-alih menjawab pertanyaan Yayang."Kok tahu nama Mbak Nira? Memangnya Mas Bas sudah cerita soal almarhumah istrinya?" "Belum, sih. Aku baru tahu tadi dari
Baskoro menatap lekat wajah manis di depannya. Kemudian pria itu meraih dan menggenggam tangan istrinya. Mereka saling berhadapan."Karena kamu telah mencuri hatiku," ucapnya lirih.Haya tersenyum simpul mendengar jawaban suaminya. Dia tidak yakin dengan ucapan suaminya."Aku tahu kamu bohong, Mas. Kapan aku mencuri hatimu? Sorot matamu tidak mengatakan itu," bantah Haya dalam hatinya.Hening beberapa saat. "Maafkan aku, Haya. Aku belum bisa mencintai kamu saat ini. Akan tetapi, aku yakin tidak butuh waktu lama untuk jatuh cinta sama kamu. Aku akan memperlakukanmu layaknya seorang istri. Kamu adalah wanita baik yang bisa menemani sisa hidupku. Aku yakin bayangan tentang istriku akan sirna. Kamu pasti akan menggantikannya dengan sempurna. Biarkan waktu yang mengikis semua itu." Baskoro berbicara di dalam hatinya.Haya membuang pandangannya. Menatap box bayi yang terletak tak jauh dari ranjangnya. Melepaskan tangannya dari genggaman suami.Hayana memaklumi mungkin saat ini belum ada ci
"Diana. Tolong cari ke dalam atau belakang!" Hai ... lancang sekali manusia satu itu. "Anda siapa? Berani menggeledah rumah orang? Mau saya laporkan polisi?" Diana tidak mengindahkan ancaman suamiku. Begitu pun dengan Bu Sastra yang terlihat meremehkan Mas Bas.Aku tersenyum kecil saat melihat Diana hendak berjalan ke arah dalam. Kamu jual aku borong! Lihat apa yang akan aku lakukan"Diana. Bukankah kamu itu seorang guru?" tanyaku sinis. Sengaja untuk memancingnya. Setidaknya aku berusaha menggagalkan rencananya untuk masuk kedalam belakang.Diana menghentikan langkahnya. Menatap aku dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada."Iya, aku seorang pendidik. Makanya percayakan anakmu padaku. Jangankan mendidik anak tiri, mendidik anak orang saja aku tidak keberatan," jawabnya dengan pongah. Jelas sanggup karena waktumu bersama mereka tidak banyak, belum lagi kamu itu dibayar. Kerja!Aku tersenyum kecil mendengarnya. Begitu pun dengan mas Bas."Benar itu, Haya. Govind lebih pantas di
"Bukankah itu Arik, Sayang? Dia tahu rumah kita dari mana?" tanya suamiku sambil menunggu gerbang dibuka oleh mbok Tum. "Aku juga tidak tahu, Mas." "Sejak kapan berdiri di situ?" gumam mas Bas. Aku mengangkat bahu. Siapa orang yang telah membocorkan alamat kami pada Arik? "Haya. Apa kabar?" sapa Arik setelah kami turun dari mobil. "Seperti yang kamu lihat. Tidak hanya baik, sekarang aku sangat-sangat bahagia." Sengaja aku tekankan kata bahagia. Memang, kenyataan sekarang aku bahagia setelah melewati masa-masa sulit dalam pernikahan kedua ini. Limpahan kasih sayang dan cinta dari suami membuatku hari-hari lebih indah. "Ternyata anak kita sudah besar, ya. Boleh aku menggendongnya?" Arik sudah mengulurkan tangannya hendak menggendong. Namun, aku mengabaikannya. Memangnya dia siapa?"Percaya diri sekali kamu! Memangnya kamu punya anak? Ini anakku dengan Mas Baskoro. Bukankah kamu tidak mempunyai anak denganku?" tukasku, lantang. Seandainya saja waktu itu mulutnya tidak mengeluarka
Mas Baskoro tak melepaskan pandangannya ke Arini. Apa yang ada dalam pikiran suamiku?"Aduh. Tolong aku, Pak. Mbak Haya tiba-tiba melemparkan gelas ke arahku?" Arini memasang muka sedih. "Kenapa kamu tega melakukan semua ini, Mbak?"Rabb. Tolong lindungi hamba dari fitnah Arini. "Kamu kenapa, Rin?" tanya Mas Bas dengan wajah datar. Tidak terpancing sama sekali dengan kelakuan Arini."Pak, tolong. Aku takut. Mbak Haya pasti ingin mencelakai anak kita." "Anak kita?" tanyaku dan suami secara bersamaan.Arini mengangguk wajahnya terlihat puas."Aku lupa belum memberitahumu, Mbak, Pak." Arini segera membuka tas dan mengambil tes pack."Lihat! Inilah alasan aku ingin menjadi madumu, Mbak. Suamimu telah menodai aku ketika menginap di konveksi waktu itu!" Dadaku bergemuruh hebat. Bukan karena aku percaya dengan alat itu, tapi marah dengan kelakuan Arini. Dia tega melakukan apa pun demi mendapatkan incarannya. Aku percaya itu bukan benih suamiku. Namun, tidak mungkin Arini nekat mengatak
POV HayanaAku mematung beberapa saat di ambang pintu. Aku kaget saat melihat siapa yang datang. Ada keperluan apa dia datang ke rumah ini? Kenapa Mbok Tum bilang tidak tahu siapa yang datang? Bukankah wanita ini pernah datang kemari saat diminta untuk menolong Mas Bas waktu itu? Aku semakin dibuat kaget saat menatap wajah Arini. Mengapa dandanannya kini seperti ondel-ondel? Sangat berlebihan. Pipinya dipoles blush on hingga memerah seperti habis ditonjok istri sah. Bibirnya pun diberi warna teramat mencolok seperti habis makan darah. Bulu matanya dipasang anti topan. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah drastis begini. Aku seperti tak mengenali pribadi Arini lagi. Tidak bertemu beberapa hari mengapa dia menjadi seperti ini? Biasanya dia selalu tampil dengan polesan sederhana sehingga cantiknya alami. Apa yang membuatnya berubah? Aku sengaja menjaga jarak dengannya setelah kejadian itu. Hati ini semakin tidak ingin mengenalnya kembali.Ini pertama kalinya Arini datang ke ru
"Ini untuk yang —""Bu, Pak, maaf saya mengganggu. Nak Govind sudah bangun dan menangis." Baskoro tersenyum saat melihat Mbok Tum menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Sebelah tangan perempuan berumur itu membopong balita yang sedang mencari ibunya."Nggak papa, Mbok. Kami sudah selesai, kok." Baskoro menjawab dengan santainya. Lelaki itu merasa terselamatkan dari pertanyaan istri yang menurutnya adalah sebuah jebakan."Aku masuk dulu, ya, Mas." Haya menarik kursi kemudian bangkit meninggalkan suaminya. Lelaki yang mengenakan tuxedo hitam itu mengangguk. Dia merasa lega saat ini."Mas juga mau ke ruang kerja, ya?" Kini Basko meminta izin pada istrinya. Haya pun membalas dengan anggukan."Gantengnya bunda sudah bangun rupanya. Maaf, ya, tadi ditinggal sama bunda." Istrinya Baskoro menciumi anak yang sudah berada dalam gendongannya.Haya telah mengambil Govind dari tangan Mbok Tum. Anak lelaki itu dibawanya ke kamar."Mbok, tolong bereskan ini, ya." Baskoro pun segera menyusul
Istriku menatap kotak kado itu dengan raut penuh keheranan. "Aku kan sedang tidak ulang tahun. Kenapa dikasih hadiah segala?" tanyanya polos. Namun, sorot matanya berbinar."Memberikan hadiah tidak harus menunggu ulang tahun, Sayang." "Mbok, tolong Govind bawa sini!" Perempuan yang telah bekerja di keluarga Eyang itu segera memberikan bayi yang umurnya kurang dari satu tahun ini.Aku mencium pipinya sembari menjatuhkan bobot tubuh di samping perempuanku. Aku tidak tahu bagaimana pernikahan Haya yang terdahulu. Toh, aku memang tidak ingin tahu masa lalunya. Akan tetapi, mudah untuk ditebak bahwa, suaminya jarang memberikan hadiah. Istriku memang aneh malah memasang wajah bingung, setelah menerima hadiah. Tangannya seolah sedang menimbang berat kotak tersebut. Aku mengulas senyum melihat tingkahnya. Kenapa tidak langsung dibuka? "Nak, Bunda aneh, ya, mendapatkan hadiah malah seperti orang yang bengong." Aku mengajak ngobrol Govind yang ada dalam pangkuan.Haya hanya mencebik."
"Hentikan. Aku akan mengabulkan permintaanmu, Andini!" Aku sengaja mengucapkan itu. Aku tak mau orang suruhan Andini memberikan minuman beracun itu pada istriku."Serius kamu, Mas?" Aku mengangguk walaupun hati menolaknya. Maafkan aku harus berbohong padamu, Andini. Hanya ini jalan yang ada di kepalaku. Aku pun melemparkan pandangan pada istriku yang membuang muka. Pasti dia menyangka ini sungguhan. Aku yakin dia merasa sangat sakit hati. 'Ini hanya strategi saja, Sayang. Jangan marah. Aku hanya tak mau kehilanganmu.' Seandainya dia bisa bahasa telepati pasti Haya mengerti apa yang aku ucapkan dalam hati. Benarkah aku menuruti kemauan Andini untuk menceraikan Haya? Tentu tidak. Aku tidak akan melakukan hal sebodoh itu, yang dapat merusak kebahagiaan kami. Ini hanya salah satu caraku dalam mengulur waktu.Aku memang turun dari mobil seorang diri, sesuai permintaan Andini. Agar datang tanpa membawa teman. Aku tidak sekonyol itu yang benar-benar menuruti kemauannya.Aku harus terli
"Sayang kok kamu seperti sedang tidak tenang. Ada apa, Sayang?" Aku mulai khawatir dengan istri dan anakku. Sepertinya dia sedang tertekan."Po — pokoknya harus pulang sekarang!" Haya bersuara sangat ketakutan.Aku segera memutar arah. Kembali pulang ke rumah. Takziah bisa aku lakukan besok-besok. Aku harus segera pulang. Memastikan keselamatan istriku.Di saat aku ingin buru-buru sampai rumah, jalan menjadi macet. Padahal tadi berangkat masih lengang. Di depanku, kendaraan sudah mengular.Aku segera melakukan panggilan untuk istri. Aktif, tapi tidak diangkat. Angkat dong Sayang, batinku.Pikiranku sudah mulai nggak karuan. Aku pun sebentar-sebentar melirik arloji yang melingkari tangan. Sudah sepuluh menit berlalu. Namun, belum ada tanda-tanda mobil di depanku mau jalan. Bakal lama ini.Ya Allah, lindungilah istri dan anak hamba. Saat ini aku hanya bisa berdoa untuk keselamatan mereka. Dering ponsel kembali menggema semoga panggilan dari Haya. Aku segera mengambil benda tersebut
Aku mengambil bungkusan kado yang dihiasi pita. Jiwa kepoku sudah mendominasi sehingga ingin membukanya. Aku segera duduk di kursi kayu yang berada di teras. Tangan ini mulai membuka bungkus tersebut. Ternyata buat Govind. Ada sepasang sepatu, kemeja, topi serta celana yang semua bermerek. Ini adalah barang untuk ekspor. Dulu saya biasa mengirimnya ke beberapa negara — waktu masih menjadi manejer.Bagi sebagian masyarakat akan sayang membeli barang ini. Harganya tidak murah. Kualitas pakaian pun memang tidak diragukan lagi. Hanya orang-orang berkantong tebal yang sanggup membeli ini. Namun, siapa?Aku segera masuk menemui istri yang sedang sibuk di dapur. Barangkali dia tahu siapa pengirimnya? "Sayang. Ini ada yang mengirim kado buat Govind, tapi nggak tahu dari siapa?"Haya menghentikan aktivitasnya. Menatapku penuh keheranan."Kado? Sepagi ini sudah ada yang mengirimkan kado? Mas, nggak tanya dari siapa?"Haya menatap jam yang ditempelkan pada dinding dapur. Masih pukul enam pagi.