Meski aku mengabaikan ucapan paman, tapi tetap saja hatiku gelisah. Istri mana yang tidak khawatir suaminya belum pulang hingga malam? Kurasa semua wanita di dunia ini yang bergelar seorang istri akan merasakan itu semua.“Apa kamu bilang tadi? Ini otak pikirannya jangan kotor terus! Danu anakku bukan lelaki seperti yang kamu bilang. Dia berbeda dengan lelaki kebanyakan.” Mamah Atik emosi. Disumpelnya mulut Paman pakai tisu. Ya Allah itu kan, tisu bekas ngelap ingus Kia!“Kamu ya, dibiarin makin ngelunjak kalau kamu laki-laki sudah kuajak duel!” sungut paman.“Kalau aku laki-laki lawan duelku bukan kamu, lemah! Menyek-menyek begitu!” sindir Mamah Atik.“Kamu itu enggak tahu aja, laki-laki meski terlihat kalem dan baik, tapi jauh di dasar hatinya tersimpan banyak keinginan. Apa lagi di luar sana Danu sering lihat wanita cantik, seksi, dan gemulai. Belum lagi dia punya segalanya. Wanita mana yang tidak klepek-klepek padanya,” ujar paman santai.“Oh, kamu itu ya, sudah kubilang itu tidak
"Kami juga dari tadi sudah telepon kalian, tapi tidak diangkat,” ucap bapak lagi.Joko kaget. Dia langsung beranjak mengambil HP-nya di atas TV.“Jam berapa telepon, Pak? Ini kok, enggak ada panggilan masuk sama sekali, ya?” tanya Joko seraya menunjukkan ponselnya pada bapak.“Habis Maghrib tadi, Mas. Ini aku telepon sampai 10 kali,” jawabku. HP-ku pun kuberikan pada Joko.Dia kaget dan melihat ke arah kami semua.“Tersambung , tapi tidak kamu jawab,” imbuh Mamah Atik.“Ini aneh, sekali. Bu, HP Bapak, kan, dari tadi diam saja, ya? Tidak ada yang telepon?” tanya Joko pada istrinya yang keluar membawa teh hangat.“Iya, benar. Kami tidak dengar HP bunyi padahal HP Bapak kalau ada yang telepon tetangga sebelah rumah juga sampai dengar saking kuatnya volume suaranya,” jawab istri Joko.Mendengar penjelasan ke duanya aku semakin histeris. Aku tidak bisa lagi membendung kesedihan juga kegelisahanku.“Sabar, Ta. Jangan, nangis gitu Mamah jadi ikut sedih.” Mamah Atik mengelap air mataku.“Mbak
Sesampainya kamar, Kia sudah berada di bawah dalam posisi tidur terlentang, tapi menangis.Kuambil Kia lalu kupeluk. Panik makin merajai hati. Bagaimana tidak Kia dalam posisi tidur lelap, tapi mulutnya terus saja meracau memanggil-manggil namaku dan itu kuat sekali.Ibuku sibuk membacakan doa ke segelas air minum. “Bangun, Nak, bangun Sayangnya Ibu.” Kuelus-elus punggung Kia seperti biasanya saat aku membangunkannya.“Cucu Nenek yang cantik bangun Sayang.” Mamah Atik mengusap wajah Kia beberapa kali dengan air minum yang sudah ibu bacakan doa agar segera bangun.“Sayangnya Ibu, bangun, Nak. Ini Ibu sudah peluk Kia,” kataku.Aku benar-benar kacau pikiranku terbagi antara Mas Danu, suamiku dan juga Kia. Ada apa ini semua kenapa kejadiannya benar-benar di luar nalar kami.“Mbak, aku takut ....” Evi merengek seperti anak kecil. Dia terus saja bersembunyi di balik punggungku.“Evi, bisa tolong pergi dulu sana, aku sedang panik bangunin Kia. Kamu jangan terus saja di belakangku begitu. Ak
Pikiranku kini melalang buana ke mana-mana. Ketar-ketir memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.“Ke mana kamu, Mas. Ini sudah larut malam,” gumamku.“Sabar, tidak ada yang bisa kita lakukan selain berdoa,” sahut Joko.Untuk beberapa saat kami saling terdiam. Hanya terdengar suara seruputan kopi.“Besok aku akan datangi orang pintar untuk menanyakan keberadaan Danu. Pasti dia tahu,” celetuk paman. Aku hanya ternganga saja mendengar ide paman yang tidak masuk akal.“Enggak usah bikin masalah kamu itu. Orang pintar apaan. Kamu kira kita semua yang di sini orang bodoh?” sahut Mamah Atik.“Em, bukan itu. Maksudnya paranormal. Mereka akan melihat dengan mata batin mereka di mana keberadaan Danu,” jawab paman.Joko terkekeh seraya memainkan ponselnya.“Terserah Paman saja. Aku tidak mau mengeluarkan syaratnya. Paman modal sendiri,” kataku kesal. Paman diam saja.Aku sudah tahu arah pembicaraan paman pasti ujung-ujungnya duit. Dia itu kan, mata duitan. Selalu mencari kesempatan dalam kese
“Benarkah itu, Ta? Pantas semalam Ibu mimpiin Danu,” sahut ibu lirih.“Mimpinya gimana, Bu?” tanyaku penasaran.“Danu minta air minum, kita Ibu orang di rumahmu banyak air kok, minta ke sini. Pas Ibu mau kasih eh, Danu ngacir pulang.”“Aneh, sekali. Ini pasti terjadi sesuatu pada Mas Danu. Gimana Mbak Asih, Bu?”“Ibu yakin juga begitu. Asih setelah subuh tadi tidur pulas pintu kamarnya juga bisa dibuka gitu aja. Padahal kan, semalam susah sekali dibuka,” jawabnya.Kami diam untuk sesaat. Aku yakin baik ibu, Mamah Atik, dan yang lainnya memikirkan bagaimana caranya untuk menemukan Mas Danu. Ini benar-benar diluar nalar kami semua.HP-ku berdering. Telepon dari Joko.“Assalamu’alaikum ... Ta, kami sedang nyari keberadaan Danu. Menurut jamaah yang salat di dekat lokasi kecelakaan puso pengangkut minyak goreng itu, Danu Maghrib masih di sini. Ini kami mau tanya dengan warga sekitar siapa tahu mereka lihat Danu. Bantu doa, ya?”“Iya, Mas. Insya Allah. Kami di rumah tidak putus doa.”“Saran
Aku menceritakan semuanya pada ibu apa yang sebenarnya terjadi kemarin sore saat kami ke rumah Mbak Asih.“Apa suaminya Asih yang sudah buat Danu begini, Ta? Dia kan, enggak suka sama Danu,” duga ibu.“Aku malah enggak kepikiran sampai sana, Bu. Aku pun benar-benar lupa kalau Mbak Asih menulis namaku dan Mas Danu.”“Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Ta.” Aku mengangguk setuju. Hari gini tidak ada yang tidak mungkin meski sudah zaman serba teknologi masih banyak orang yang berbuat di luar nalar manusia.“Ta, lihat ini!” Mamah Atik dan ibu mertuaku kembali dengan tergesa-gesa seraya membawa buku tulis.“Danu, Ita. B. J. B. J.” Aku membaca semua tulisan Mbak Asih. Satu buku penuh hanya itu saja tulisannya dan tidak beraturan.Buku ini awalnya aku berikan pada Kia untuk dicoret-coretnya kemudian Mbak Asih pakai untuk gambar bunga, ikan, gunung, dll lalu mewarnai bersama Kia. Tapi, setelah kejadian aneh kemarin sore buku ini ditulis namaku dan Mas Danu saja sampai habis.“Nanti kita be
Belum habis keterkejutan kami karena Kia bisa membuka buntelan kain batik ini ditambah teror gambar mengerikan. Aku benar-benar syok.Ibu memapahku ke sofa lalu memberiku air minum. Sebenarnya aku tidak haus, tapi aku berhasil menghabiskan satu gelas air minum hingga tandas tak tersisa.Herannya setelah berhasil membuka buntelan itu Kia kembali main boneka seperti tidak terjadi apa-apa. Apa karena Kia masih balita jadi tidak paham?“Ya Allah ... kok aneh, isinya segini banyak perasaannya kantongnya kecil?” ujar Mamah Atik heran.Benar juga kantong buntelan dari kain batik itu kecil hanya berukuran kira-kira 5x10 cm, tapi kok isinya banyak pasir saja ada dua genggaman orang dewasa.“Isinya apa aja coba dilihat mabes, aku takut mau lihatnya rasanya trauma seperti yang sudah-sudah,” ucap ibu mertuaku.“Ada benang sama jarum jahit, gigi entah gigi apa ini? Tulang sepertinya ini tulang ayam, rambut yang digulung-gulungkan ke sepotong kayu, paku sudah karatan, sama peniti berwarna kuning e
Evi ketakutan dan langsung menggelengkan kepalanya.“Suwear, Bulek! Aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya menemukan buntelan itu saja tadi sewaktu selfi-selfi padahal pas aku sapu di sekitar bunga-bunga itu aku tidak lihat.”“Awas ya, kalau terjadi apa-apa pada Danu dan ternyata kamu atau pamanmu yang ada di balik ini semua maka aku akan buat perhitungan sama kamu!” Ancam ibu mertuaku.“Sabar, Bu. Sepertinya memang bukan Evi ataupun Paman, deh! Karena kalau itu ulah mereka tidak mungkin Evi berani membawa buntelan itu ke sini. Itu bisa membahayakan dirinya. Lagi pula kain ini seperti sudah terpendam lama di tanah. Lihat saja corak-corak warnanya sudah mulai pudar dan kainnya sudah agak lapuk,” kataku seraya membolak-balik buntelan kain batik itu.“Iya, benar! Tapi, kenapa tadi kita susah sekali ya, mau bukanya sampai digunting dan dibakar tidak bisa padahal ini kainnya ditarik saja rapuh,” sahut Mamah Atik.“Kia sekali tarik bisa. Mungkin karena Kia masih anak kecil,” timpal ibuku.Kami s
“Wak, aku, bukan tipe orang yang suka melupakan jasa orang lain. Ya, terserah awak saja mau percaya atau tidak. Yng jelas aku tidak ada uutang dengan Novi," jawabku kesal lalu ikut mengantri untuk belanja.“Nih, Wak, dimakan! Biar itu mulut nggak pedes kayak cabe setan!" sahut Ibuku lalu memasukkan segenggam cabe caplak jawa yang kata orang cabe setan ke mulut Wak Jum yang sedang menganga karena menertawakanku.“Apa-apaan sih, kamu, Wak, jelek-jelekin menantuku! Bibirmu itu lama-lama nanti double dan dosamu menumpuk. Ingat, dosa woi! Jangan sampai kamu menyesal nantinya. Menantuku itu orang baik tidak mungkin dia berhutang kepada orang lain," bela ibu mertuaku.“Iya, betul tuh masih aja ada yang percaya sama mulutnya Novi. Dia itu kan, ember dan juga mulut comberan. PAgi-pagi sudah bikin orang ribut saja!" sahut Mbak Fitri yang ternyata dia ada di sini belanja sayuran juga.“Sudah jangan ribut perkara uutang orang lain nggak baik. Dasar itu aja mulutnya comberan mau ikut campur aja u
“Assalamualaikum permisi! Assalamualaikum permisi! berkali-kali kuulangi panggilan dan menggedor pintu Novi, tetapi tetap juga tidak dibukakan olehnya. Benar-benar memang dia sudah keterlaluan! Oke baiklah Novi aku akan pakai caramu!Dia benar-benar sudah tidak menghormati aku sebagai tetangga dan tidak menganggapku teman lagi. Padahal tadi pagi subuh-subuh dia memohon-mohon padaku untuk meminjamkan uang padanya. Lalu dia menyindirku lewat status WA. Aku datangi dia tidak berani nongol! Maunya apa? Kenapa dia bersikap seperti itu padaku? Padahal aku merasa tidak pernah punya salah pada dia.Bukankah seharusnya jika sudah mengenalku dari kecil, menganggapku teman, dan sekarang kami bertetanggaan, sikapnya harusnya lebih baik padaku bahkan menganggapku lebih dari saudara. Seperti aku menganggapnya begitu. Dasar saja Novi ternyata sifatnya sejak dulu tidak pernah berubah.Aku telusuri jalanan di depan rumahku dengan perasaan dongkol dan kesal. Astagfirullah pagi-pagi aku tidak boleh beg
Astaghfirullahaladzim ... kubaca status WA-nya Novi.“Pagi-pagi buta sudah ada orang datang ke rumah pinjam uang. Kelihatannya sih, kaya raya, rumahnya gede, bagus, ke mana-mana naiknya mobil ternyata pagi-pagi sudah pinjam uang. Yaa, elah, berarti dia lebih miskin dari aku, dong!”Aku geram sekali membaca status WA-nya Novi. Kenapa dia memutarbalikkan fakta seperti itu? Ini orang pagi-pagi sudah membuat kepalaku mendidih.Apa iya, aku harus mengikuti saran Mbak Fitri untuk melabrak dia, tapi meskipun Novi nulis status WA begitu itu, tapi tidak ada orang yang percaya dengan status dia buktinya Mbak Fitri malah marah-marah pada dia. Kalau meladeni Novi tidak akan pernah habisnya dan itu sangat buang-buang waktuku.Hidupku bukan hanya untuk mengurusi urusan orang lain. Lebih dari itu, tapi kalau dia tidak dikasih pelajaran dia bakalan selamanya menginjak-nginjak harga diriku. Salah apa aku ini pada Novi? Perasaan aku sudah selalu berbuat baik padanya, tapi masih saja dia menjelek-jelek
“Mas, sepertinya dia ini manusia benar-benar tidak punya pekerjaan. Bayangkan saja dia meneror kita setiap hari, setiap waktu dengan kata-kata serupa, tapi dia tidak berani menunjukkan actionnya selain mengirimi kita makhluk-makhluk halus begitu ya, enggak sih, Mas?” ucapku kepada Mas Danu.“Iya, betul, Dik, itulah kenapa Mas, selalu berpesan padamu dan juga yang lainnya agar selalu hati-hati karena lawan kita tidak kasat mata. Jika manusia di depan kita hendak mencelakai, kita, bisa melawannya, tapi kalau makhluk halus begitu kita tidak melihat bagaimana kita akan melawan mereka selain dengan doa dan kehati-hatian kita. Kamu paham kan, maksudku?” ujar Mas Danu.“Iya, Mas, aku paham, maka dari itu aku pun selalu mewanti-wanti Ibu, Mama, Ibumu, untuk selalu waspada. Apalagi Mbak Asih kan, sekarang dia sudah bertaubat memperbaiki diri, menutup, aurat, banyak-banyak mendekatkan diri pada Allah. Intinya yang pasti sudah tidak ada lagi media yang bisa digunakan untuk menteror kita dengan m
"Ada, Nov. Alhamdulillah ini aku kasih jangka waktu sampai suamimu gajian, ya? Oh, ya suamimu gajiannya tanggal berapa, Nov?” tanyaku seraya memberikan uang yang aku pegang kepada Novi.“Gajiannya akhir bulan, Ita, ini kan masih tanggal 5 masih lama. Ya, makanya aku harus hemat uang satu juta ini sampai tanggal 25 nanti, ya, sudah terima kasih ya, Ta, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti akan aku bayar,” ucap Novi senang.“Iya, Nov, santai aja pakai aja dulu pokoknya begitu suamimu gajian, kamu langsung aja datang ke rumah. Aku tidak mau menagih padamu, Nov, selain tidak enak aku juga menjaga privasimu takutnya pas aku lagi nagih, eh, ada tetangga kita atau yang lain atau ada teman kamu, jadi kan, mereka tahu kalau kamu punya utang. Jadi, aku minta tolong kamu cukup tahu diri aja ya, Nov. Kalau sudah gajian langsung ke rumah,” kataku to the point. Orang seperti Novi memang harus ditegasin. Kalau tidak dia akan menganggap remeh.“Oh, jelaslah itu. Kamu enggak usah khawatir. Ya, kalau
Paginya saat aku baru saja membuka pintu rumah tepatnya setelah salat subuh tiba-tiba Novi datang ke tergopoh-gopoh menghampiriku.Tumben sekali dia datang sepagi ini.“Ita! Boleh aku minta tolong padamu sekali ini saja,” tanya Novi. Aku mengangguk meskipun sedikit ragu.“Ada apa, ya, Nov? Tumben sekali kamu subuh-subuh datang ke sini,” jawabku balik bertanya.“Itu, Suamiku belum ngambil uang di ATM dan kebetulan uangku juga habis. Hari ini susu anakku habis ini dia lagi nangis karena minta susu enggak aku buatin ditambah lagi listriku tokennya sudah bunyi. Kasih aku pinjam uang satu juta saja Ita, nanti kalau suamiku sudah gajian pasti langsung aku ganti,” jawab Novi.“Oh, mau pinjam uang Nov? Pagi-pagi begini memang ada minimarket buka,” tanyaku lagi.“Ya, enggak, ada sih, Ta, tapi kan, setelah ini aku mau langsung ke minimarket mau beli susu sekalian mau beli token listrik. Kamu tahu kan, Ta, rumahku itu besar pemakainya banyak jadi boros sekali listriknya,” jawab Novi.“Kalau gitu
“Barusan ada kok. Cepat sekali mereka pergi. Kenapa kalau pulang tidak pamitan? Dasar manusia hutan tidak punya etika!” gerutu Mbak Wulan.“Sebentar, ya, aku lihat ke depan, barangkali dia ngobrol dengan Mas Danu dan yang lainnya," kataku seraya menghampiri suamiku yang sedang duduk di depan.Loh, kok tidak ada juga, ke mana, ya? Di sana hanya ada suaminya yang ikut ngobrol dengan Mas Danu. Apa Novi pulang mengantarkan anak-anak, ya?“Ti—dak kok, Nyah, semuanya aman terkendali, Nyonya di sana baik-baik, ya, pokoknya nanti pas pulang ke sini semuanya sudah beres dan nyonya pasti terkejut sama rumah barunya.” Aku mendengar suara Novi di teras, aku tengok rupanya dia sedang menerima telepon. Pantas saja aku cari ke mana-mana tidak ada. “Oh, yang taman depan rumah tenang saja, Nyah, itu juga sedang dikerjain sama suamiku. Pokoknya beres terkendali. Nyonya di sana jaga kesehatan, baik-baik pokoknya. Aku di sini akan menjaga amanah Nyonya,” ucap Novi lagi.Aku sedikit terkejut dengar ob
Kata Rasulullah saudara yang terdekat dengan kita adalah tetangga kita. Itu artinya kita harus bersikap baik kepada tetangga kita agar berikatan simbiosis mutualisme, saling membutuhkan satu sama lain, saling tolong menolong satu sama lain, tidak mungkin kan kita mati dikubur sendiri? Tidak mungkin juga kita dalam keadaan sakit pergi ke rumah sakit sendiri itu sebabnya kita diwajibkan selalu berbuat baik kepada orang lain terutama tetangga kita.Kalau kasusnya seperti Novi ini aku bisa apa? Dibaikin seenaknya sendiri, tidak dibaikin juga seenaknya sendiri, jadi serba salah.Jadi satu-satunya jalan yang bisa aku lakukan adalah jika dia tanya aku jawab, jika tidak, ya, sudah diam saja yang penting jika, Novi memiliki kesusahan aku harus pasang badan untuk menolong walaupun dia sangat menyebalkan, tapi Novi tetangga dekatku dan juga temanku dari kecil.Aku mengamati Novi sejak tadi terus saja berbicara mengeluarkan unek-uneknya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.Salahku
“Nov, langit itu tidak perlu memberitahukan bahwa dirinya tinggi karena tanpa diberitahu semua orang pun sudah tahu. Begitu juga dengan kehidupan kita, tak perlu lagi kita memberitahu kebahagiaan kita, harta-harta kita, kalau memang itu ada pasti nampak, kalau memang itu benar semua orang akan tahu dengan sendirinya, Nov.” Nasihatku kepadanya.“Alah kamu itu, Ta, sok, bijak! Padahal aslinya kamu juga kepo kan, sama kehidupanku? Kamu, kan, dari kecil dulu memang sudah terbiasa di bawahku, jadi ketika kamu hidup kaya, kamu terus mengepoin aku karena merasa tersaingi, ya, kan? Jujur aja, Ta. Enggak apa-apa kok, kita kan memang sudah teman sejak kecil jadi aku tahu betul loh, gimana sifat kamu," jawab Novi lagi.“Ita, ngepoin hidup kamu? Noh, kalau menurutku sih, kebalikannya. Kamu yang selalu mengepoin hidupnya Ita, kalau Ita mah udah mode kalem, mode tidak pernah memamerkan hartanya, dan juga mode dermawan sedangkan kamu kebalikannya," sahut Wulan kesal.“Iya, deh iya, Nov, memang aku