[Danu, kenapa istrimu jahat sekali? Mempermalukanku di depan semua pasien di sini!][Tidak bisakah kamu mendidik istrimu dengan baik? Aku tahu aku salah, tapi tidak seharusnya istrimu begitu.]Baru saja sampai rumah sudah ada pesan WA dari Maya yang membuat dadaku kembali bergemuruh. Untuk apa dia mengadu pada suamiku? Kurang kerjaan sekali. Untung saja HP Mas Danu ada padaku kalau tidak pasti Mas Danu akan membalasnya dengan kata ‘Ya’ atau ‘Tidak’.“Ada apa, Ta. Kok, berhenti di pintu begitu?” tegur ibu.“Oh, tidak ada apa-apa, Bu. Ini ada pesan undian berhadiah nyasar kayaknya penipuan, deh!” jawabku.“Septi, kamu dan Makmu istirahatlah dulu, ini aku pesankan travel maaf ya, tidak bisa mengantar sampai rumah.”Septi dan ibunya hanya mengangguk saja. Aku tahu pasti mereka berdua saat ini sedang dalam keadaan bingung. Sayangnya aku tidak bisa membantu lebih. Hanya ini yang bisa kubantu.“Sep, sudah jangan bengong terus nanti kamu malah sakit, kan, kasihan Makmu. Ayo, kita makan dulu,
“Evi, jangan main HP aja! Kerjakan semuanya yang benar! Kalau sampai pecah itu piring aku tidak jadi memberimu duit.” Ancamku.Galak banget sih, dan terkesan aku sangat kejam, tapi kalau tidak ditegasin begitu bisa seenak sendiri Evinya.Kujemput Kia di rumah ibu. Saat aku salam tidak ada sahutan. Ternyata Kia sedang asyik bermain masak-masakan dengan Mbak Asih. Syukurlah Mbak Asih sampai hari terlihat baik-baik saja padahal aku takut dia akan kumat lagi seperti dulu.Ibu mertuaku sedang mengawasi mereka, tapi tidak sepenuhnya jiwanya seperti tidak ada di sana. Beliau bengong.“Bu ....” Kusentuh lembut pundak beliau.“Ta, kapan datang? Kok, enggak salam?”Nah, kan, benar ibu mertuaku bengong sejak tadi.“Barusan. Aku salam kuat banget loh, tapi enggak dijawab. Ibu bengong lagi, ya? Ngalamunin apa sih, Bu? Enggak baik loh, begong gitu.”“Ibu ini bingung, Ta. Asih ini beneran nikah atau enggak, ya? Kok, Ibu merasa sangat berdosa kalau membiarkan dia begitu saja,” jawab ibu.“Nanti kita
“Mbak kami permisi, terima kasih banyak atas bantuannya selama ini,” ucap Septi memelukku. Mobil travel sudah menunggu di depan. Septi dan ibunya siap pulang.“Nak, doakan Mak, kuat dan bisa menjalani ini semua. Maaf, Mak enggak bisa balas kebaikanmu semoga Allah SWT yang membalasnya dengan berlipat-lipat kebaikan. Salam juga untuk suamimu,” sahut ibu Septi. Kami pun berpelukan. Tak lupa kuselipkan amplop di saku bajunya tanpa sepengetahuannya.Kemudian Septi dan ibunya berpamitan pada ibuku, bapakku, dan Mamah Atik. Juga berkali-kali minta maaf karena sudah banyak merepotkan.Baru mengenal mereka dua hari rasanya seperti sudah mengenal lama. Mereka punya attitude yang baik.“Septi, jangan lupa kasih kabar kalau sudah sampai,” kataku mengingatkan.“Baik, Mbak. Kami pamit ... assalamualaikum.”Mobil travel melaju perlahan meninggalkan rumahku. Semoga mereka selamat sampai tujuan.“Aaah ... leganya akhirnya dua benalu di rumah ini pergi juga,” ucap paman dari ruang tamu. Cukup kencang h
"Ya, sudah, kalau gitu Pak lek mau lihat itu yang ditulis kamu apa? Kok, sepertinya bagus sekali?”Mbak Asih langsung menatap buku yang dipegangnya.“Apa tulisanku bagus Pak lek?” tanyanya.“Mungkin bagus karena Pak lek belum jelas lihatnya. Coba mana lihat,” rayu bapak.“Ini!” Mbak Asih memberikan buku tulis itu pada bapak.“Coba lihat, Ta, tulisan Mbakmu ini bagus atau tidak, mata Bapak ini sudah blereng kalau enggak pakai kacamata,” ucap bapak seraya memberikan buku itu padaku.“Astaghfirullah ....”Aku reflek membuang buku itu dan mengenai Mbak Asih karena posisiku berdiri sedang Mbak Asih duduk di lantai.“Kok, dibuang, Ta? Apa tulisanku jelek?” tanyanya.Mata itu, tatapan matanya kosong.“Coba sini biar Pak lek saja yang lihat.”Bapak hendak meraih buku itu, tapi naas Mbak asih menusukkan pena ke lengan bapak. Teriakan bapak membuat kami semua panik.Mamah Atik reflek menendang bahu Mbak Asih sampai Mbak Asih tersungkur. Aku meraih bapak dan membantunya berdiri.Memang tidak terl
POV DANU🌸🌸“Perasaan dari tadi aku lihat kamu bengong terus ada apa, Dan?” tanya Joko, sahabat karibku.“Masa sih? Aku enggak bengong kok, biasa aja,” jawabku berbohong. Aku tidak mau membuat sahabatku itu ikut kepikiran. Sedari tadi memang aku sedikit melamun beberapa kali kepikiran masalah yang terus saja menimpa rumah tanggaku.Seperti semalam saat aku selesai tahajud dan mengambil air minum ke dapur aku di datangi Evi. Dia mengenakan pakaian yang sangat mini. Aku sendiri sampai malu melihatnya.Bukannya dia malu justru dengan sengaja memamerkan auratnya padaku. Aku tidak berani menceritakannya pada Ita takut malah menjadi boomerang. Evi mencoba menggodaku.Yang benar-benar mengganggu pikiranku adalah teror dari seorang perempuan entah siapa yang terus saja menelepon dan bilang kejayaan yang aku nikmati ini tidak akan bertahan lama karena sudah zholim padanya. Setiap aku tanya siapa tidak jawab. Aku sampai-sampai berspekulasi bahwa apa yang aku dapatkan selama hidupku ini tid
Toko hari ini tutup lebih awal aku ada janji, sedang ke dua pekerjaku ada undangan pernikahan di kampung mereka.“Dan, besok anakku mau sunat. Boleh aku pinjam motor maticmu untuk bawa ke dokter di kota?” Izin Joko.“Boleh, ambil aja di rumah. Nanti sekalian aku bilang pada Ita. Kenapa sunatnya jauh sekali?”“Katanya di sana bagus meski agak mahal tidak apa-apa sekalian jalan-jalan. Mau pakai motorku bodong. Terima kasih banyak ya, Dan.”“Iya, Jok.”“Hati-hati dijalan!” teriakku pada Joko dan yang lainnya.Segera kupacu kendaraanku agar segera sampai ke Masjid itu. Entah kenapa perasaanku juga tidak enak.Sampai di Masjid ternyata aku sudah ditunggu jadi memudahkanku untuk tidak berlama-lama. Pikiranku saat ini ingin segera sampai rumah.Cerobohnya aku tidak membawa ponsel jadi tidak bisa tahu keadaan di rumah. Semoga saja di rumah tidak terjadi apa-apa. Tadi siang Ita mengabari lewat HP Karim kalau semuanya sudah beres dan sore tadi mertua Maya pulang.Kukira karena sudah ada Takmir
Panik. Itulah yang kurasakan saat ini. Meski aku terus membaca doa-doa yang aku bisa tetap saja tak bisa kupungkiri aku sangat panik dan ketakutan.Kutepikan mobil. Kulepaskan jam tanganku ternyata memang jamku hidup kukira tadi mati karena sejak tadi masih saja menunjukkan pukul 18.45 WIB.Kuperhatikan lagi, mata kukerjap-kerjapkan takutnya mataku yang salah lihat, tapi ternyata tidak.Astaghfirullah ... Engkaulah sebaik-baik penolong ya, Rabb.Kuambil nafas. Membuang jauh-jauh pikiran-pikiran negatif. Mencari jalan keluar dari sini.Kulihat lurus ke depan. Tampak lampu kelap-kelip itu memang rumah penduduk. Jaraknya hanya 5 KM jika aku berkendara pelan saja harusnya sudah sampai.Bismillah ... kuinjak pedal gas. Sial! Kenapa enggak bisa jalan!“Danu!”Aku terkejut panggilan dari arah belakang. Aku mulai keringat dingin. Bugh!Belum habis rasa terkejutku sudah dibuat jantungan lagi pintu sebelah kanan dilempar entah apa. Kuat sekali. Pasti besok aku akan mengeluarkan uang ratusan ri
Dugh! Dugh! Dugh!“Mas! Mas!”“Woi, Mas! Mas!”Aku mendengar suara orang-orang memanggilku. Kubuka mata perlahan.Terang ada cahaya. Lalu aku tersentak kaget mobilku sudah dikelilingi banyak orang. Ada yang memanggil-manggilku. Ada juga beberapa yang berusaha memecahkan kacanya.“Mas!”“Woi, Mas!”“Bangun! Itu orangnya bangun!”“Alhamdulillah!”“Buka, Mas! Buka!”Teriak mereka saling bersahutan.Kulepaskan sabuk pengaman lalu membuka pintu dan keluar.Aku langsung duduk ke tanah. Menangis sejadi-jadinya.“Minum dulu, Mas.”“Tenang, Mas ....”Perlahan kupandangi orang-orang yang mengelilingiku.“Mas, eling, nyebut!” ujar salah satu dari mereka.“Astaghfirullah ... Ya Allah. Alhamdulillah aku selamat,” ucapku lirih.“Masnya dari mana?”“Dari pasar kecamatan mau pulang ke rumah,” jawabku jujur.“Sepertinya aku kenal Mas ini. Mas yang punya toko grosiran sembako bukan, ya?” tanya salah satu dari mereka.“I—iya, namaku Danu.”“Iya, Mas Danu. Ya, Allah, Mas Danu kok, bisa di sini?”“Entah,
Wak Tono melotot begitu juga dengan istrinya. Pasti mereka benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan nekat seperti ini mempolisikan mereka berdua.“Sabar Ita, sabar dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Wak Tono. Barangkali itu memang bukan barang milik Wak Tono atau mungkin memang punya dia, tapi tidak untuk dipakai mencelakai kamu ataupun Danu,” bela Mbak Ning.“Kalau tidak tahu apa-apa enggak usah banyak komentar Mbak. Lama-lama mulut Mbak Ning, aku sumpel pakai paku ini. Aku tidak butuh saran dari Mbak Ning dan Mbak Ning tidak usah mencampur urusan rumah tanggaku. Aku sudah benar-benar kesal dan batas ambang sabarku sudah habis, Mbak! Pokoknya aku mau kita selesaikan ini secara hukum. Wak Tono dan istrinya harus benar-benar dihukum dengan setimpal karena ini membahayakan nyawa orang lain,” tegasku. Mbak Ning diam saja mungkin dia takut akan aku masukkan ke penjara juga jika membantah ucapanku.“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ita. Baik Wak Tono maupun istrinya harus kita pro
"Hentikan! Tolong hentikan dan jangan kamu pukuli suamiku!” sela istri Wak Tono seraya memukul-mukul punggung Mas Danu. Aku yang geram pun langsung mendorong tubuh tua istri Wak Tono hingga dia tersungkur tepat di bawah kaki suaminya.“Jahat! Kalian jahat!” teriak istri Wak Tono lagi dan berusaha bangun untuk menyerangku. Badannya yang gemuk membuatnya susah untuk leluasa bergerak sedangkan wajah Wak Tono sudah babak belur. Wak Tono diseret oleh Pak RT dan beberapa warga ke rumah kami.Istri Wak Tono terus saja meraung-raung menangisi suaminya. Semua saudara-saudara yang sudah terlelap tidur pun terpaksa bangun untuk melihat apa yang terjadi di sini, bahkan ibu mertuaku dan Mbak Lili yang berada di rumahnya pun tergopoh-gopoh menghampiri kami.“Ada apa ini, Ita? Kenapa istrinya Wak Tono menangis begitu?” tanya ibuku.“Mereka itu penjahat, Bu! Ternyata yang meneror keluarga kita selama ini adalah Wak Tono dan juga istrinya. Itu sebabnya istrinya Wak Tono menangis karena Wak Tono sudah
Aku bergegas keluar. Tak pedulikan panggilan Mamah Atik dan juga Ibuku. Rupanya mereka juga belum tidur. Mungkin sedang menyusun rencana untuk acara besok. Sedangkan Dina tadi tidak aku memperbolehkan ikut karena dia harus tetap tinggal di kamar untuk menjaga anak-anak.Teras depan langsung sepi sepertinya bapak-bapak yang ikut mengobrol tadi langsung menuju ke samping kamarku. Ya, Allah aku deg-degan sekali. Takut sesuatu terjadi pada Mas Danu karena dia jalannya saja susah agak pincang kalau dia berduel dengan orang yang mengetuk jendelaku tentu saja dia kalah.Aku yakin sekali bahwa itu adalah manusia, kalau hantu tentu saja tidak akan seperti itu. Mana bisa hantu melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh manusia. Walaupun ada itu hanya dalam cerita saja.“Wak, kenapa di luar begini? Apa Wak dengar keributan juga?” tanyaku pada istri Wak Tono, tapi istri Wak Tono diam saja justru jalannya terburu-buru menghampiri kerumunan. Rupanya dia pun penasaran sama sepertiku.Memang sih,
“Iya, Din, Betul kata kamu. Makanya tadi pas Mbak ke sana, ya, hanya ngasih saran sekedarnya saja. Sepertinya juga Mas Roni tadi ketakutan karena aku ancam akan kupolisikan kalau masih memaksa Mbak Asih dengan kekerasan.”“Ya, Allah ngeri banget, sih! Mas Roni benar-benar nekat!” ujar Dina.“Ya, begitulah kalau orang sudah nekat pasti segala cara akan dilakukan. Sebentar, ya, Din, aku mau WA Mas Danu dulu. Tadi mau manggil dia enggak enak karena sedang ngobrol sama Pak RT dan juga bapakku.”[Mas, ada yang ketuk-ketuk jendela kamar kita. Sewaktu Dina berniat untuk melihatnya, tapi tidak ada siapa-siapa. Tolong Mas Danu awasi barangkali setelah ini akan ada ketukan selanjutnya.] terkirim dan langsung dibaca oleh Mas Danu.[Iya, Sayang! Ini Mas juga sambil ngawasin saudara-saudara kita. Karena tadi Mas seperti melihat bayangan hitam menyelinap. Mas pikir hanya halusinasi saja.][Iya, Mas. Sepertinya yang meneror keluarga kita mulai beraksi lagi, setelah tiga hari kemarin dia tidak mela
"Mbak, Mbak, itu apa seperti bayangan hitam?” tanyaku pada Mbak Mala. Dia justru memegang lenganku dengan erat. Mbak Mala ketakutan.“Duh, apa, ya, aku pun tidak tahu Ita? Aku takut. Ayo, ah, kita masuk rumah saja!” ajak Mbak Mala seraya menyeret lenganku untuk segera masuk ke dalam rumah.“Itu manusia loh, bukan hantu. Kakinya saja tadi napak tanah, tapi dia tidak melihat kita. Mungkin dia terburu-buru. Ayo, Mbak, kita, intip!” ajakku pada Mbak Mala.“Enggak maulah, Ta, aku takut!” tolak Mbak Mala kemudian dia buru-buru menutup pintu aku pun mengekorinya.“Tuh, kan, Ta, semuanya sudah tidur hanya para bapak-bapak saja itu di depan yang sedang main gaple. Ayolah, kita tidur juga biar besok bisa bangun pagi! Mungkin tadi itu beneran hantu tahu, Ta. Kita sih, malam-malam kelayapan,” ucap Mbak Mala. Lucu sekali ekspresinya dia. Mbak Mala menunjukkan bahwa dia benar-benar ketakutan.“Iya, Mbak Mala tidur sana. Terima kasih infonya nanti kalau misalnya beneran ada apa-apa kita selidiki b
“Mbak Asih, kamu tidak apa-apa, Mbak? Bagaimana perutmu apa sakit? tanyaku khawatir pada Mbak Asih. Mbak Asih hanya menggeleng saja mulutnya terus saja beristighfar. Kasihan sekali. Aku tidak tega melihat dia begini.“Ayo, Ibu, Mbak Lili, Mbak Mala sudah jangan hiraukan Mas Roni dulu. Kita tolong Mbak Asih. Kasihan dia sedang hamil pasti perutnya sakit karena tersungkur begini. Ini pasti Mas Roni kan, yang sudah mendorong Mbak Asih,” kataku lagi. Mereka bertiga bergegas menghampiri untuk membantu Mbak Asih berdiri dan pindah duduk ke sofa.“Iya, benar sekali ini ulah si Roni laknat itu! Padahal Asih sudah menolaknya berkali-kali ini tetap saja si Roni memaksanya untuk kembali. Asih tidak mau lalu si Roni mendorong Asih. Dia itu tidak punya otak dan pikiran padahal Asih sedang hamil besar. Ibu benar-benar benci pada dia. Kalau bisa jebloskan saja Roni ke penjara!” ucap ibu.“Mana bisa begitu, Bu, kalian tidak berhak mengatur hidupku dan juga Asih. Aku ini masih suami sahnya Asih, ja
Aku mengikuti Mbak Mala ke luar rumah dan terpaksa meninggalkan piring makan malamku. Untungnya tinggal sedikit lagi. Gampanglah nanti bisa aku habiskan.Malam ini rembulan memang bersinar terang sekali sepertinya memang hari ini tanggal 15, jadi bulan purnama bertengger cantik di langit malam.Sejujurnya memang dari awal Wak Tono datang ke rumah aku sudah sedikit tidak sreg dengan segala tingkah lakunya. Seperti ucapannya yang terkesan selalu ketus, selalu menyudutkanku dan Mas Danu dan juga seperti mengawasi keadaan rumahku.“Mbak Mala apa beneran tadi Wak Tono ke sini?” tanyaku pada Mbak Mala, dia hanya mengangguk dan terus menggandeng tanganku.“Iya, Ita. Tadi aku lihat Wak Tono tlewat sini terus ke arah sana, ke pohon jeruk kamu dan membakar sesuatu seperti yang aku jelaskan tadi,” jawab Mbak Mala.“Baiklah kalau gitu, ayo kita cek ke sana!” Kami berdua gegas mengecek pohon jeruk yang dimaksud oleh Mbak Mala. Aku menggunakan senter HP untuk lebih menerangi jalanan kami karena me
"Ya, Allah ... sungguh mulia hatimu, Dina. Bapak jadi malu karena tidak bisa mengontrol emosi. Bapak begitu mendengar kabar dari Danu bahwa Wira besok akan menikah sungguh Bapak benar-benar malu. Maafkan kekhilafan Bapak Dina,” ucap bapak dengan tulus.“Iya, Pak. Aku memaafkan semua orang-orang yang menyakitiku karena aku merasa lebih tenang dan damai jika aku berbuat demikian. Sudahlah lebih baik kita jangan bahas Mas Wira lagi nanti selera makanku jadi turun kasihan kan, cucu Bapak dan Ibu, jadi asinya nanti enggak berkualitas kalau aku makannya tidak banyak.”“Iya, iya, betul. Benar apa yang kamu bilang, ya, sudah Bapak kembali ke depan untuk menemui Danu. Kamu tetap di sini dengan ibu dan juga kakak-kakakmu. Terima kasih sudah menjadi menantu Bapak yang baik hati. Terima kasih Dina,” ucap bapak lagi sebelum pergi meninggalkan kamar ini. Matanya berkaca-kaca, tangannya mengelus pundak Dina.Aku tahu Dina pun menahan gejolak yang ada di hatinya itu terbukti dari tatapan Dina yang s
"Ya, Allah, Dina! Kamu yang sabar, ya, sayang? Di sini ada Bulek yang akan selalu membelamu. Apa pun yang terjadi Bulek akan menjadi garda terdepan untuk kamu. Apalagi hanya laki-laki pecundang macam Wira. Bulek akan polisikan dia, sampai bertekuk lutut padamu. Memang Tuhan itu menunjukkan siapa sebenarnya suamimu itu, Dina. Di saat kamu berhijrah ke jalan Allah menjalani hidup menjadi lebih baik justru suamimu perbuatannya makin tidak terkendali. Makin bobrok sehingga melupakan anak istrinya. Tenanglah Dina. Jangan kamu tangisi laki-laki seperti itu. Jangan pernah kamu bersedih karena ulahnya. Allah sudah merencanakan masa depanmu yang jauh lebih indah dari pada ini. Bulek yakin suatu hari nanti kamu akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Wira. Kamu masih muda, cantik, saleha pasti banyak laki-laki yang jauh di atas Wira yang mau dengan kamu. Percayalah pada Bulekmu ini Dina, kesedihan kamu kesedihan Bulek juga. Sakitmu sakitnya Bulek juga," ucap Mamah Atik seraya memeluk Din