Share

Rumah Mertua

Penulis: Ina Shalsabila
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-25 15:04:56

Aku menyandarkan kepala pada punggung Ayu. Tak perduli meski punggungnya basah oleh air mata. Kepala terasa berat untuk bisa aku tegakkan. Ayu mengemudikan motor dengan santai. Aku pulang dengan hati yang seluruhnya telah hancur.

Rasanya, duniaku berhenti berputar beberapa saat lalu. Setelah kesadaran pulih, rasa sakit di dadaku malah kian parah.

Mas Mirza tega mengkhianati aku. Itu kesimpulannya.

Saat tahun pertama pernikahan kami, ibu juga tak juga memberikan restunya. Berusaha kupupuk cinta ini dengan menuruti semua kemauan mas Mirza. Bahkan, ketika ibu meminta agar kami pindah dari rumahnya, kemudian memutuskan mengontrak. Aku juga tak pernah protes meski gajinya lebih kecil, semuanya aku jalani dengan ikhlas.

Aku rela bekerja siang dan terkadang malam kulalui dengan lembur, agar apa yang dicita-citakan mas Mirza terpenuhi. Memiliki rumah sendiri dan mobil pribadi.

Dengan kesabaran penuh, tahun ketiga pernikahan, Allah memudahkan segala rejeki. Aku dan mas Mirza naik jabatan di saat yang hampir bersamaan. Di tambah lagi kelahiran putra pertama kami, Zaki sebagai pelengkap kebahagiaan.

Karier mas Mirza semakin menanjak. Ia dipercaya memegang bagian penting di tempatnya bekerja, sebagai kepala bagian personalia. Dari situ, kehidupan kami mulai membaik.

Aku pun tak lelah berjuang, hingga harus rela menyerahkan Zaki yang berumur empat bulan pada baby sitter. Semua itu demi bakti mas Mirza yang ingin menghadiahi mobil baru untuk ibu.

Di ulang tahunnya yang ke lima puluh tahun, aku dan mas Mirza berhasil menghadiahkan sebuah mobil baru. Semua aku lakukan untuk membuka pintu hatinya agar bisa menerimaku menjadi menantunya.

Namun kenyataannya, ibu tidak pernah berubah. Bahkan diam-diam, ibu lebih banyak meminta bantuan pada mas Mirza. Aku pun tidak mempermasalahkannya. Terpenting ibu senang.

Saat ini, semua itu seperti membawaku dalam ruang hampa udara. Kurasakan sesak, sakit dan merasa tak berarti dalam satu waktu.

Tidak pernah mendapatkan firasat buruk sebelumnya, membuat aku terjatuh sangat sakit. Sakit sekali. Ingin menjerit, tetapi tak cukup kuat melakukannya.

Aku dan Ayu sampai di rumah jam sepuluh malam. Ayu langsung memapahku masuk ke kamar. Seorang baby sitter yang tinggal di rumah terlihat keheranan. Tanpa berani bertanya, dia memberikan air putih kepadaku.

"Anya, jaga Zaki dulu sementara waktu. Mbak Mala lagi ada masalah." Ayu berucap setengah berbisik, tapi aku mendengarnya dengan jelas.

"Ayu, makasih sudah mau mengantarkan." Aku berbaring dengan posisi sembarang. Ayu mengangguk, lalu menarik selimut untukku.

"Aku tunggu Mbak Mala di sini," ucapnya.

"Nggak usah. Nanti suamimu nyariin," ucapku lemah.

"Aku sudah kirim pesan kok, Mbak."

"Gak apa-apa, pulang saja. Jangan khawatir, aku gak bakal bunuh diri kok," ucapku sambil tersenyum miring. Ingin tertawa lebar sebenarnya, menertawakan nasib buruk yang menimpaku.

"Mbak Mala, aku gak bilang begitu. Ya sudah, kalau ada apa-apa hubungi saja, ya?"

Aku mengangguk. Ayu dan Anya keluar kamar. Tinggallah aku seorang diri.

Air mata tak lagi menetes, mungkin sudah kering atau mungkin mata ini sudah terlalu lelah, sehingga enggan mengeluarkannya.

Aku bangun dari posisi tidur, lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan make up. Melepas jilbab instan yang bagian depannya masih basah. Dengan segera membasuh wajah.

Aku mengamati bayang di sana. Dari bibir, mata, alis dan pipi, semua yang terlihat tidak ada yang cacat. Tapi mengapa mas Mirza tega mengkhianati aku?

Dia tidak begitu terlihat cantik. Malah tubuhnya jauh lebih segar dari tubuhku, jauh lebih ramping, lebih tinggi, lebih ... ahhh!

Aku menjerit histeris. Cantik dan banyak uang tidak menjamin mas Mirza setia padaku.

Siapa wanita itu sebenarnya? Kenapa mesti ada dia di antara aku dan mas Mirza?

Aku merasa didudukkan dalam posisi yang tidak adil. Hanya dimanfaatkan secara materi oleh ibu, mungkin juga mas Mirza.

Lelah, tenggorokanku sakit. Menangis tanpa air mata dan terus terisak membuat perutku terasa kram.

Mama ....

Demi mertua yang aku agung-agungkan, aku sampai rela menomorsekiankan ibu kandungku sendiri. Selama ini, aku tak pernah memberikan materi padanya dengan jumlah yang layak. Semuanya demi mertua. Tetapi, apa yang aku dapatkan sekarang?

Aku merambat ke pembaringan. Perutku yang sakit membuatku ingin segera berbaring. Lelah. Aku tak sanggup berpikir apa-apa lagi.

***

Pagi menjelang, saat suara kicau burung membuatku terbangun. Samar-samar, terdengar suara guyuran di kamar mandi.

Aku melirik jam dinding, pukul tujuh pagi. Sesakit ini rasanya hingga membuatku seperti kehilangan kesadaran. Aku melirik ke sekitar, teronggok jaket mas Mirza pada punggung sofa. Sudah pulang rupanya.

Aku masih memegangi kepala, saat derit pintu terdengar.

"Kamu sakit, Dek?" Ucapan pertama yang kudengar pagi ini.

Biasanya, aku akan segera tersenyum, lalu segera berjalan mendekatinya. Memberikan kecupan di beberapa bagian wajahnya. Namun tidak untuk saat ini, bahkan mungkin seterusnya. Melihatnya saja, rasa-rasanya perutku sudah mual.

"Iya," jawabku singkat. "Kapan pulang?"

Dia menoleh, lalu tersenyum. Sumpah, ingin rasanya memaki saat ini juga.

"Barusan," jawabnya. Ia merambat menaiki ranjang. Menyambar satu bantal dan merebahkan diri di sampingku.

Seandainya mampu berbicara, aku ingin menolak setiap sentuhan darinya. Namun, terpaksa aku tahan demi satu alasan, balas dendam.

Tangannya yang kokoh meraih pinggangku, lalu menelusupkan tangannya yang dingin ke balik kemeja. Sentuhannya meninggalkan rasa dingin, tapi tetap saja tidak mampu memadamkan kobaran api yang sudah mas Mirza sulutkan.

"Tidur pakai kemeja, segitu capeknya kerjaan di kantor sampai malas mengganti baju?"

Pertanyaan yang lucu. Andai kamu tau, mas, aku sampai tidak sanggup menggerakkan setiap anggota tubuh setelah mengetahui penghianatanmu.

Andaipun aku bisa tertawa, aku akan menjawab pertanyaannya sambil tertawa.

Diam saat ini adalah peredam paling ampuh bagiku.

"Mas lapar, sarapan yuk. Zaki lagi di suapi sama Anya. Setelah ini, kita weekend ke rumah ibu."

Mataku menyipit. "Ke rumah ibu?" tanyaku mulai menyelidik.

"Oh, iya ... ibu bilang, ada saudara yang datang. Dia mau dikenalkan sama kamu."

"Saudara. Siapa?"

"Saudara jauh, sih. Namanya Hesti. Dia lagi hamil, Sayang."

Degh. Berarti wanita itu ....

Dada tiba-tiba berdebar. Tanpa sadar, aku meremas ujung selimut dengan kuat.

"Terus?" Aku menuntut jawaban sekaligus ingin mengetes, sejauh mana lelakiku ini bisa merasa aman bermain api. Sepertinya, mas Mirza dan ibu sedang merencanakan sesuatu.

"Suaminya pergi," jawabnya.

Fix, kalian memang berniat mengelabuhiku.

"Ke mana?" tanyaku pura-pura b**oh.

"Minggat katanya," jawabnya sambil berguling ke samping. "Mandilah, aku tunggu di meja makan." Mas Mirza bergerak menjauhiku.

"Oke," balaskuku.

Ok, mas. Aku sanggupi permainan petak umpet kalian.

**

Aku membawa serta Zaki karena harus menginap. Biasanya, Anya memang mendapatkan hari libur setiap hari Sabtu dan Minggu.

Sebenarnya, merawat Zaki tidaklah sulit. Jagoanku ini sudah berumur tiga tahun. Tak terlalu sulit mengajaknya berinteraksi.

Aku membawa beberapa pakaian sebagai ganti. Mas Mirza memintaku untuk menginap di sana barang semalam.

Lelakiku sedang menurunkan satu tas berisi pakaian saat kami sudah tiba di rumah ibu.

Aku menggenggam tangan Zaki. Mencari kekuatan di sana. Sebab, hanya jagoanku ini yang bisa membuatku bertahan dari rasa benci pada seluruh penghuni rumah ini.

"Ayo, ajak mas Mirza. Tangannya merengkuh pundakku.

Kami berjalan beriringan. Hanya hitungan detik untuk sampai di sana, barangkali langsung terpampang wajah-wajah munafik mereka. Debaran di dada semakin menguat. Tanganku berkeringat, juga gemetaran sambil genggaman bocah mungil ini.

Mas Mirza memutar kenop pintu, sambil mengucapkan salam. Dari dalam terdengar sahutan dua wanita.

Wajahku terasa panas seketika melihat ibu di pintu. Netraku langsung menangkap sosok wanita itu. Dia berdiri memaku, menatap tak berkedip. Akupun sama.

Gemuruh di dada serasa ingin meledak, seperti gunung api yang segera memuntahkan lahar.

Ya Allah, kuatkan. Kakiku terasa tak bertulang.

"Dek, kenapa?"

:

:

:

***

Bab terkait

  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Wanita itu Bernama Hesti

    Mas Mirza memutar kenop pintu, sambil mengucapkan salam.Dari dalam terdengar sahutan dua wanita secara bersamaan. Wajahku terasa panas seketika melihatibu membuka pintu.Netraku langsung menangkap sosok wanita itu berdiri memaku. Menatapku tak berkedip. Akupunsama.Gemuruh di dada serasa ingin meledak, seperti gunung apiyang segera memuntahkan lahar.Ya Allah, kuatkan. Kakiku terasa tak bertulang.“Dek, kenapa?”Usapan mas Mirza di bahu mengejutkan,sehingga membuatku berpindah pandang.“Hah, gak kenapa-kenapa,” jawabku sedikit gugup.“Itu ... Adek kenapa gak masuk-masuk. Zaki sudah kabur ke dalam tuh,” ucap masMirza sambil menunjuk bocah, entah sejak kapan lepas dari genggamanku. Zakisudah duduk bersama ibu di sofa.“Oya, Dek, kenalkan itu Hesti.”Mas Mirza merengkuh pundakku. Wanita yang diperkenalkanbernama Hesti itu berjalan maju, semakin mendekat padaku.Hawa panas mulaimengalir ke sekujur tubuh. Melihatnya berlagak ramah, mengulurkan tangan, laluberucap sangat lembut, “Hesti, Mba

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Hesti yang Lugu

    “Iya, Mbak.”“Iya yang mana?” tanyaku cepat.“Iya sudah dicari, tapi gak ketemu. Dia sudah tau sebelumnya kalau aku hamil.”“Kenapa nekat pergi?”“Dia kembali ke istri tuanya.”“Kamu istri muda, istri siri atau jangan-jangan selingkuhan?”“Uhukkk!”Tidak hanya menjeda, bahkan Hesti sampai tersedak mendengar tebakanku.Came on, baby. Ini baru awal.“Kenapa? Gak makan kok keselek?” Aku menggeser tubuh agar bisa melihat ekspresinya.“Gak apa-apa, Mbak.” Hesti kembali menggerakkan koin. Segera bergerak mungkin menghindari tatapanku.“Jadi, kamu istri siri?” tanyaku merendahkan suara. Sengajaagar tampak lebih natural. Kalau aku langsung meninggikan suara, bisa-bisa Hesti naik darah menghadapiku. Walaupun sebentar lebih bagus begitu, tapi aku tidak sampai hati melihatnya yang sedang hamil tua.“Iya, Mbak.”“Kenapa mau jadi istri siri? Apa gak takut ketauan istrituanya?”Hesti masih aktif menggerakkan koin di punggung, sepertinya dia mulai mengenali karakterku.“Karena dia cinta pertama saya

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Peringatan Pertama (1)

    Setelahmelakukan panggilan, aku merebahkan tubuh di samping Zaki, memeluknya eratseperti takut kehilangan. Apa pun alasan perpisahan nanti, aku ingin Zakibersamaku.Tekadkusudah bulat, bahwa perpisahan adalah solusi satu-satunya.*Matakupedih karena hingga lewat tengah malam tak juga mau terpejam. Meskipun sudahmelakukan aktivitas ringan, tetapi aku tetap saja tidak tenang. Aku baru sajaselesai menempatkan alat penyadap di dua tempat. Dengan begitu, aku bisamengetahui rencana mereka.Akumerasa, mas Mirza akan bergerak lebih dulu. Tiga hari sebelumnya, dia kepergokmembuka lemari tempat penyimpanan surat-surat penting. Beruntung, surat rumahsudah aku pindahkan.Sebenarnya,tidak sengaja aku bawa ke kantor saat ingin memberikan surat rumah sebagaijaminan pengajuan utang ke bank. Entah kenapa, perasaanku seperti ada yang mengarahkanagar memperlihatkan surat itu pada Lian, sepupuku yang bekerja satu kantordenganku. Entah kenapa juga, aku memintanya menyimpan surat itu. Mungk

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-25
  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Peringatan yang pertama (2)

    Sayangnya, tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Pintar juga si Hesti mengendalikan perasaannya. Yah, setidaknya, aku sudah mendapatdua pembelaan yang membuatku merasa menang, paling tidak di hadapan Hesti.“Makanyang banyak, Hes. Kamu butuh banyak tenaga ...” ucapanku menggantung.“Buat?”Melati menyambung. Kurasa cuma dia yang paham bahasa seperti ini.“Buatmenerima kenyataan,” balasku sambil menepuk lengan iparku. Melati tertawalebar. Aku pun sama.“Hush!Di meja makan gak boleh tertawa.” Ibu memperingatkan. Akumasih menyemburkan sisa-sisa tawa bersama Melati.KulirikHesti yang tampak tenang tanpa pengaruh, begitu pun dengan mas Mirza. Dasar,nurani kedua manusia ini memang sudah mati. Hesti menyendok makanannya dengansegan, terlihat kikuk dan serba salah. Ternyata, segitu saja nyalinya. Lihat,wajahnya saja yang tampak polos, merasa tak bersalah. Beraninya cuma mainbelakang.“Sampaikapan Hesti tinggal di sini?” Pertanyaanku membuat mas Mirza mengangkat wajah,memanda

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-04
  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Dicurangi Lagi

    Aku mengoles bibir dengan lipstik warna natural, membubuhkan bedak tipis-tipis, lalu membereskan serakan make up di meja rias. Langkahku terhenti saat melihat bayangan di cermin. Aku memandang bayang itu tanpa berkedip.Tubuhku tinggi, tidak ada lebihan lemak yang bergelambir seperti kebanyakan wanita yang sudah melahirkan. Aku juga pandai merawat diri,rajin ke salon. Untuk urusan ranjang, bahkan tak pernah sekalipun menolak ajakan mas Mirza ketika ingin bercumbu.Apa kurangnya aku? Sampai saat ini masih bertanya-tanya.Kalau memang ada sesuatu yang tidak disukai, kenapa tak pernah memprotes?Kenapa malah mencari wanita lain sebagai pemuas nafsunya?Apa namanya jika bukan nafsu? Bahkan Hesti dan mas Mirza tak bisa menahan hingga esok hari misalnya. Saat aku dan Zaki pulang.Tak ada kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan keb**ohan keduanya. Mereka tidak sadar jika akan kehilangan sumber pundi-pundi rupiah mereka. Ibu pun tidak merasa bersalah, malahan cenderung membela Hesti.Pipiku h

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-04
  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Menjual Aset

    “Biasa. Lagi datang tamu bulanannya.” Syukurlah terpikir jawaban yang pas.“Oh, pantesan,” ucapnya singkat.Tak ada basa-basi lagi antara aku dengannya. Kesakitan ini membuatku di berubah sedemikian cepat, sehingga menimbun cinta yang ada.Pandanganku hanya terpampang sesuatu yang negatif saja. Terlebihsetelah mendengarkan obrolan mas Mirza dengan Hesti.Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diri. Sangatnyaman di kamar sendiri. Namun, sepertinya aku takkan lama menempati rumah inilagi.Tiba-tiba mataku memanas, lalu basah oleh air mata. MasMirza masuk dengan menenteng tas. Aku langsung menelungkup untuk menghindaritatapannya.Mas Mirza berpamitan ke luar. Katanya mau melihat ruko yangakan dia beli. Biarkan saja. Mungkin dia bakal marah setelah ini karena Lian aku perintahkan membatalkan pembelian.Aku meraih ponsel, lalu melakukan panggilan dengan Lian.“Halo, jadi bertemu? Sekarang saja, mumpung aku lagi di luar.]Suara bising, mungkin Lian berada di pusat keramaian.“Berisik

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-04
  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Pertengkaran Hebat

    Aku membuka pintu mobil. Berdiri dengan anggun sambil menenteng satu tas branded di tangan. Beruntung semua yang aku kenakan barang-barang mahal, sehingga mereka bisa melihat nantinya, siapa aku dan Hesti sebenarnya? Tak layak jika aku bersaing untuk memperebutkan mas Mirza dengan maduku itu. Mungkin kedengarannya sombong. Entahlah, aku tak punya kata-kata yang tepat untuk mewakili kekesalan ini. Aku berjalan dengan santai, berniat tidak akan menetaskan air mataku di sini. Pintu kuketuk dengan anggun. Tanpa menunggu penghuninya, aku memutar kenop hingga pintu terbuka. Di depanku sudah ada Hesti yang mungkin tadinya mau membuka pintu. Dia gemetaran memandangku.“Kenapa? Kaget? Mana suamimu? Mana mertuamu?” tanyaku beruntun. Kasihan sekali melihatnya seperti ini. Dia sampai tak bisa berkata-kata.“Bisu kamu?”“A-anu. Ada di dalam,” jawabnya tergagap.Aku berjalan melewatinya begitu saja. Menampakkan diri di hadapan ibu, mas Mirza dan Melati.Ibu langsung berdiri, menyambutku dengan

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-04
  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Semua Hancur

    “Mirza, istrimu itu benar-benar tidak waras.” Ibu menghardikku.“Aku Memang sudah tidak waras. Mas jatuhkan talak sekarang juga. Biar Hesti puas, dan merasa senang sudah memiliki kamu seutuhnya.”“Mala, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Maafkan aku. Kita pulang yuk! Bicara baik-baik di rumah.”“Rumah? Rumah yang mana? Rumah itu sudah aku jual.”“Jangan begitu, dong. Itu kan rumah idaman kita.”“Idaman katamu? Setelah ada dia di antara kita, tidak ada lagi rumah idaman. Sekarang aku tantang kamu, Mas, talak aku sekarang juga!”Mas Mirza menatapku dengan pandangan sendu. Ia berbalik membelakangiku. Berkacak pinggang, lalu mengusap wajahnya. Dia tampak tertekan.“Ayo, Mas. Kamu takut?” tantangku.“Istri durhaka. Biarkan dia memilih keinginannya, Mirza.” Ibu menjatuhkan diri di sofa.Emosinya sedikit mereda. Apakah karena mendengar tantangan kata talak dari putranya, sehingga ibu sedikit menurunkan egonya? Entahlah, mungkin saja benar. Sedangkan Melati tergugu di karpet bulu depan televi

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-10

Bab terbaru

  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Akhir Sebuah Kisah

    Zaki membawa paper bag berisi mainan. Ia hanya berdiri mematung, menunggu seseorang yang sedang mengeluarkan mobilnya dari area parkir. Kendaraan yang berjejalan membuatnya harus sabar menunggu."Zaki,buruan!" Panggilan itu membuatnya memasukkan ponsel dalam saku kemeja.Ia berjalan sambil menyambar paper bag yang sempat ia letakkan pada lantai.Remaja itumemasuki mobil dengan santai, duduk di sebelah si pengemudi."Besaramat beli mobil-mobilannya. Jadi repot bawanya," keluh Zaki seraya meletakkan paper bag di jok belakang."Itu 'kan pesanan adikmu.""Tantekenapa enggak ngajak om Gus buat beli hadiah, sih," keluh Zaki."Kayak gaktau om kamu. Dia kan paling malas diajak belanja. Palingan ntar kalau sudah punya anak sendiri, baru mau direpotin."Zaki menatap tantenya dengan perasaannya sayang. Sebab, tantenya lah satu-satunya keluargadari pihak sang papa yang menganggapnya ada.Melati mengacak rambut Zaki ketika keponakannya itu kepergok menatapnya lama.Waktu yang memisahkannya dengan

  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Wanita di dalam mobil Itu

    ~°°~Kakinya yang kokoh berjalan melewati trotoar. Langkah tegap melewatibeberapa kerumunan orang yang sengaja menghabiskan malam dengan berkumpul di pinggirjalan.Lian baru saja ke luar dari ATM yang terletak di seberang jalansebuah kafe modern. Semula, ia sedang meeting di kafe itu. Setelahnya, ia menuju ATM untuk mentransfer sejumlahuang. Sengaja menggunakan ATM, karena ia juga butuh menarik uang tunai sebagai cadangandi dompetnya.Sebuah pesan ia kirimkan ke Armala, sekaligus foto sebuah strukbukti tranfer.[Sudah aku kirimkan, Sayang. Mungkin dia lagi sibuk menguruswisuda. Jadi, dari pihak yang menyalurkan beasiswa itu belum bisa menghubungi Melati.]Pesannya terkirim. Lian tidak menunggu balasan dari istrinya.Ia sedang memesan taksi online, sehingga harus menunggu di tempat yang mudah dijangkau.Lian berdiri pada bahu jalan. Tak berapa lama kemudian, sebuahtaksi online datang menjemput.Ia menatap layar pipih di tangannya. Pesan yang Ia kirimkan tidakjuga mendapat balasan.“

  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Kejadian yang Berulang

    “Iya. Aku pun serius. Dia datang ke sini karena nasib yang membawanya harus menebus kesalahan itu. Gak ada sesuatu yang berjalan kebetulan, Sayang. Semua yang terjadi berdasarkan hukum sebab akibat. Percayalah, kamu ratu yang berhati baik, maka jangan habiskan waktumu untuk berpikir negatif. Lebih baik, pikirkan suamimu ini.” “Kamu kenapa minta dipikirin?” “Ck, sudah dua hari loh, Sayang.” Lian mengedipkan mata sebagai isyarat yang ia tunjukkan jika menginginkan sesuatu. Armala tertawa, dan langsung tanggap dengan kode itu. “Ya sudahlah, Hesti bukan sesuatu yang penting buat di bicarakan.” Armala merebahkan kepala di dada Lian, lalu memberikan sinyal untuk memulai pergulatannya. ** Lian membawa sebuah map ke ruang kerja Armala. Di tangan kanan ia menenteng paper bag berisi makan siang. “Makan dulu. Laporannya tolong nanti diselesaikan. Soalnya, aku mau meeting siang ini.” Ia meletakkan map itu ke atas meja, lalu mengajak Armala menikmati makan siang yang ia bawa. “Kamu pulan

  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Kejutan Anniversary

    “Kalian istirahat dulu. Nanti malam harus pergi lagi kan?” Widya mengingatkan.“Apa mama tadi menelepon, Tan? Tanya Lian. “Soalnys ponsel aku matikan,” ucap Lian lagi.“Menelepon hanya untuk mengingatkan saja, kalau kalian harus datang lebih awal.”Armala beristirahat begitu memasuki kamar. Rasa lelah selama perjalanan membuatnya cepat terlelap. Lian membiarkan istrinya larut dalam mimpi. Sebab, sebentar lagi impiannya untuk menghadiahkan sebuah salon kecantikan segera menjadi kenyataan.Liza memberikan kejutan sebuah salon kepada Armala. Berawal dari rencana Lian memberikan hadiah anniversary pertama pernikahan mereka. Lalu, jadilah sebuah salon yang dibangun sejak tiga bulan yang lalu.Armala mengetahui adanya salon itu. Namun, hanya sebatas hasil pengembangan bisnis mertuanya. Tak mengetahui jika akan menjadi milik pribadinya.*Peresmian salon berjalan malam hari. Bertepatan acara syukuran anniversary pertama Lian dan Armala. Keduanya tampak hadir di tengah-tengah karyawan kantor

  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Selalu Diratukan

    Suatu keadaan akan membentuk seseorang untuk berubah lebih cepat menjadi pribadi yang lapang, dan tidak mudah terbawa arus. Walaupun diikuti dengan kesakitan karena bekas masa lalu yang pahit, tetapi pada saatnya akan menerima keadaan dengan ikhlas.Seperti itu juga keadaan yang dialami Mirza. Mencintai bunga dalam taman, melepasnya demi bunga jalanan, lalu ia pun ikut terlempar ke luar istana.Mereguk manisnya madu bunga liar, terhempas dari sisi kehidupan yang ternyata fatamorgana, lalu harus ikhlas karena di dunia tempat ia berpijak saat ini ternyata dipenuhi duri dan kerikil tajam.Mencoba bertahan dengan satu keyakinan, bahwa akan datang hari baik suatu saat nanti. Rupanya harapan itu pupus bersama dengan usia yang tak lagi mendukung.Kini, ia harus bersyukur dengan keadaan yang ia sebut baik dari pada terus menerus berharap sesuatu yang mustahil.Mirza kini memikul beban yang cukup ringan di bawah pernikahan ketiganya dengan seorang janda dua anak. Ia sudah dikaruniai seorang an

  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Bela sungkawa

    “Kita bergerak ke satu arah yang sama. Kalau aku berjalan, tak mungkin kamu aku tinggalkan. Apapun yang menjadi bebanmu, maka aku pun ikut memikulnya.”Lian merangkul bahu Armala dari sisi kanan, mencium pipi putih istrinya hingga terlihat salah tingkah.“Makasih, Sayang. Tau gak, aku sangat beruntung pernah jatuh, lalu bangkit dan ketemu sama kamu,” lirih Armala mesra.Armala mengelus pipi Lian dengan perasaan sayang yang memenuhi rongga dadanya.“Mulai berani ngegombal sekarang, ya? Buruan mandi sana. Aku siapkan makan malam. Sepertinya, kamu akan butuh banyak tenaga untuk melewati malam ini.”“Ih, bahasamu itu bikin aku ngeri.”Keduanya tertawa terbahak-bahak. Selanjutnya mereka terlibat dalam perbincangan intim. Padahal sebelumnya, ia akan sungkan menegur Armala jika bersifat pribadi. Keadaan itu berubah seketika, tatkala Armala sah menjadi miliknya.**Pagi harinya, Armala sudah menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan melati. Ia ingin menemui gadis itu untuk mengucapkan bel

  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Melati yang Terabaikan

    Bunga yang bertaburan di atas pusara menjadikan saksi tangisan dua anak manusia yang menyayat hati. Tak menyangka jika ibu yang selama ini menjadi tempat bersandar telah pergi untuk menghadap Rabbnya.Melati lebih histeris lagi. Sebab, karena ulahnya menyebabkan Anggi meregang nyawa. Rasa sesal memenuhi kepala. Menangisi ibu yang sudah menjadi mendiang seperti mengorek hatinya akan kesalahan kecil yang berakibat fatal.Siang itu sebelum peristiwa nahas, terjadi pertengkaran antara Melati dengan Anggi. Pemicunya tak lain karena Anggi mengulur waktu ketika Melati meminta uang untuk tambahan uang jajan.Selama berhari-hari, Melati harus menahan diri untuk tidak berbelanja kebutuhannya dan harus hidup berhemat demi bisa melangsungkan kuliahnya.Anggi menjanjikan uang bulanan sore hari, setelah berhasil menagih uang kontrakan pada dua orang yang menempati kontrakannya.Namun, malang tidak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih. Sebelum sampai di kontrakan, Anggi menjadi korban penjamb

  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Kabar Duka

    “Kita belum makan.”Ucapan Armala tak diindahkan. Sepertinya, Lian lebihbersemangat menikmati santapan yang lain.Armala merelakan ketika satu persatu pakaian terlepas dari tubuhnya.Hasrat itu seperti dahaga, yang akan terlampiaskan dengan seteguk air pertama dan akan terpuaskan dengan tegukan kedua.Malam panjang menjadi saksi akan runtuhnya pertahanan egomasing-masing. Menapaki setiap menit yang berlalu dengan iringan nafas yang mengalun memburu.Setiap rasa nyaris tanpa kata. Hanya rasa tentram yang bersarang,setelah dua insan yang bergelut dengan damai mencapai batasnya.**Lian tak melepaskan pelukan meskipun berulang kali Armala meminta agar diturunkan. Lelah dengan permintaannya, Armala merebahkan kepalake dada bidang Lian.Sofa depan televisi menjadi tempat bersantai pagi itu. Lianduduk dengan memangku Armala. Sudah beberapa saat mereka bersantai di sanatanpa percakapan. Lian menelisik Armala yang tampak malu membalas tatapannya.Armala membenahi piyama mandinya ketika netra

  • Wanita di Balik Kaca Mobil Suamiku   Makin Sayang

    “Zaki ‘kan gak bisa menyetir mobil? Ayah juga bakal jadi sopirnya Zaki sama mama selain jadi bodyguard,” terang Lian.“Sayang, ayah itu sekarang yang akan menjaga kita. Jadi, boleh ya kalau tinggal di sini sama kita.” Armala menambahkan.Zaki mengangguk sambil menguap. Mala membawanya ke pembaringan. Ia ikut berbaring, lalu mengelus punggung putranya.Hingga beberapa menit, Zaki masih terjaga. Lian menunggu di pinggir ranjang sambil memainkan ponselnya. Lelah menunggui Zaki tak juga tertidur, Mala memejamkan mata lebih dulu.. Entah sudah berapa lama Mala terpejam. Ia baru tersadar ketika tubuhnya sudah tertutupi selimut dan merasakan seseorang sedang memeluknya dari belakang.“Li,” panggilnya.Armala menoleh, mendapati Lian sudah tertidur pulas. Ia mengubah arah tidurnya dengan menghadap Lian. Pipi mulus sang suami menjadi incarannya. Sebuah kecupan mendarat di sana.“Kenapa?” gumam Lian dalam terpejamnya.“Maaf, ya Sayang, harus ditunda dulu,” ucap Armala menyesal.“Gak pa-pa. Masi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status