“Iya, Mbak.”
“Iya yang mana?” tanyaku cepat.
“Iya sudah dicari, tapi gak ketemu. Dia sudah tau sebelumnya kalau aku hamil.”
“Kenapa nekat pergi?”
“Dia kembali ke istri tuanya.”
“Kamu istri muda, istri siri atau jangan-jangan selingkuhan?”
“Uhukkk!”
Tidak hanya menjeda, bahkan Hesti sampai tersedak mendengar tebakanku.
Came on, baby. Ini baru awal.
“Kenapa? Gak makan kok keselek?” Aku menggeser tubuh agar bisa melihat ekspresinya.
“Gak apa-apa, Mbak.” Hesti kembali menggerakkan koin. Segera bergerak mungkin menghindari tatapanku.
“Jadi, kamu istri siri?” tanyaku merendahkan suara. Sengajaagar tampak lebih natural. Kalau aku langsung meninggikan suara, bisa-bisa Hesti naik darah menghadapiku. Walaupun sebentar lebih bagus begitu, tapi aku tidak sampai hati melihatnya yang sedang hamil tua.
“Iya, Mbak.”
“Kenapa mau jadi istri siri? Apa gak takut ketauan istrituanya?”
Hesti masih aktif menggerakkan koin di punggung, sepertinya dia mulai mengenali karakterku.
“Karena dia cinta pertama saya, Mbak.”
Sekarang, aku yang seperti tersengat aliran listrik. Mendadak kepalaku berputar hebat.
“Sebentar-sebentar, kepalaku sakit.”
Aku menyuruhnya berhenti sejenak. Entah karena tubuhku yangmemang lemah atau karena mendengar ucapan Hesti. Tapi kepalaku memang terasasakit.
“Aku buatkan teh ya, Mbak,” tawarnya.
“Nggak usah.” Aku langsung menolak, karena tentu sajacuriga. Jangan-jangan, Hesti memberiku racun nanti. Otakku sudah berisipikiran-pikiran buruk saat ini.
“Lanjutkan saja,” perintahku.
“Baik, Mbak.” Hesti menggerakkan lagi koinnya.
“Jadi, mantan suamimu itu cinta pertamamu?” tanyaku makin penasaran. Benarkah begitu? Jangan-jangan, begitu juga dengan mas Mirza.
“Iya, Mbak. Sama juga dengannya.”
Benar tebakanku. Dasar, mas Mirza!
Ingin merutuk, tapi terpaksa aku tahan.
“Istrinya tau?” tanyaku serius.
“Nggak, Mbak.”
“Kamu gak takut?” tanyaku mengetes
“Gak akan tau, Mbak,” jawabnya santai.
Gak tau, katanya. Dasar, benar-benar buta matanya.
“Syukur deh. Mudah-mudahan istrinya gak akan tau.Ngomong-ngomong, tolong di sebelah sini, dong.”
Aku meninggikan rambut, agar Hesti memindah koinnya ketengkukku.
“Ini sudah merah-merah, Mbak,” ucapnya.
“Itu bekas cupangnya mas Mirza. Dia memang hobi sepertiitu.”
Hesti terdiam, terdengar menghela nafas. Mungkin dia kesal.Aku jadi ingin tertawa. Sedikit hiburan sebelum aksi sebenarnya dimulai.
“O ya, kamu lulusan apa? Berapa umurmu?” tanyaku beruntun.
“SMA, Mbak. Umurku dua puluh dua tahun,” jawannya.
“Masih muda untuk menjadi pelakor kamu, Hes,” ucapku dalam hati,untung gak keceplosan.
“Pernah kerja?” tanyaku lagi.
“Iya, Mbak. Jadi SPG.”
“Oh.”
Entah kenapa, aku semakin penasaran dengan wanita ini. Aku rasa, tak ada hal istimewa dari Hesti. Kenapa mas Mirza menyukainya? Apakah alasan satu-satunya hanya karena cinta pertama?”
“Mbak,” panggilnya. Aku sedikit menoleh.
“Kenapa? Mau tanya-tanya juga? Silahkan kalau mau nanya,” pancingku. Mudah-mudahan dia bertanya banyak tentang aku.
“Gak, Mbak. Gak berani,” jawabnya terdengar lugu.
“Kenapa gak berani? Tanyakan saja kalau penasaran.”
“Em ... Mbak Mala kerja?” tanyanya takut-takut.
“Iya. Kenapa? Sudah cukup kerokannya.” tanyaku balik.
“Enak ya, Mbak? Bisa pegang uang sendiri.”
Aku mengernyit mendengar jawabannya.
“Menurutmu begitu?” Tanyaku sambil beranjak, berdiri lalu mengenakan tunikku.
“Menurutmu nggak begitu. Malah enakan duduk manis, tanpa kerja terus ngitung duit suami. Begitu kan?”
“Iya, eh gak tau Mbak.”
“Memangnya kamu gak dikirim duit.”
Hesti menggelengkan. Aku menatapnya intens.
“Terus?”
“Dikasih sebelum pergi. Lumayan buat biaya lahiran.”
“Kamu salah langkah. Mestinya kamu minta rumah pribadi, mobil pribadi, dan uang tabungan juga. Supaya kamu dan anak kamu punya jaminan hidup yang layak. Suamimu kaya gak?”
“Lumayan kaya, sih.”
“Kamu sudah dikasih apa saja?”
“Belum. Cuma dijanjikan doang.”
“Kasihan bener hidupmu. Makanya jangan mau dijadikan istrisiri.”
Hesti mendelik. Dia terlihat tersinggung. Rasain.
Baru saja ingin menyuruhnya keluar, tiba-tiba pintu didorong dari luar. Zaki dan mas Mirza masuk berbarengan.
“Mama ...,” sapa Zaki langsung berlari ke pembaringan.
“Iya, Sayang,” balasku.
Kedatangan mas Mirza membuat Hesti kikuk. Dia yang semula duduk di sofa langsung berdiri.
Aku mendekati mas Mirza sambil mencuri pandang kedua insan yang saling lirik ini. Lalu, tanganku terulur ke wajah tampan suamiku. Mengusap peluh di dahinya.
“Mas kelihatan seksi kalau keringatan seperti ini,” ucapku sambil merapat ke tubuhnya, lalu memberikan kecupan singkat ke bibirnya.
“Mbak Mala sudah selesai kan? Aku boleh keluar?” Mendadak Hesti berucap.
“Oh, iya, silahkan,” balasku.
“Hesti di sini ngapain?” tanya mas Mirza sambil berbisik.Aku menoleh ke samping, mengikuti gerak Hesti keluar. Sengaja memanas-manasinya. Dia melirikku sejenak sebelum menutup pintu.
“Tadi aku masuk angin. Minta kerokan sama dia.” Aku menjauhimas Mirza, lalu beranjak mendekati Zaki. Sebenarnya muak menjalankan peranseperti ini.
“Mandilah sama Papa, Sayang. Nanti kita makan setelah ini,”ucapku pada Zaki.
Mas Mirza mengajak Zaki mandi. Aku bergegas ke luar kamar, menyiapkan makan malam.
**
Makan malam kali ini ibu tidak berada di rumah. Ibu menemani Melati keluar untuk berbelanja keperluan gadis itu.
Bersyukur ibu tidak ada, sehingga aku bisa mendominasi mejamakan. Seperti sebelumny, aku sengaja memanas-manasi Hesti. Dia terlihat mulai menguasaikeadaan, tidak terkejut seperti sore tadi.
Mas Mirza juga terlihat sangat tenang, bahkan mampu menyantap makanannya hingga habis. Pintar sekali aktingnya.
Malam beranjak, aku sengaja bermesra-mesraan di depan televisi. Menemani mas Mirza menonton acara bola sebenarnya bukan termasuk hobiku. Tapi tak mengapa. Memberikan hiburan gratis untuk Hesti.
Aku tau, dia sedang mengintip dari balik pintu kamarnya. Mungkin dia cemburu, atau bahkan menangis. Kelihatannya, Hesti bukan wanita yang kuat. Dia masih labil. Mudah-mudahan rencanaku selanjutnya bisa berjalan lancar. Sebab, untuk membuat mas Mirza terjatuh, aku butuh sosok manja dariHesti.
Mas Mirza sudah bermain api di belakangku. Tanpa mempertimbangkan seberapa besar pengorbananku untuk keluarganya. Lihat saja,akan aku lepas dirinya menjadi gembel, lalu menyerahkan pada wanita manja itu. Rasakan,kalian akan tau sakitnya dibuang percuma.
“Aku mengantuk, Mas. Aku menyusul Zaki, ya?” Aku bangkitdari pangkuannya. Mas Mirza tak memberi jawaban, dia hanya menganggukkankepala.
Aku siap mengikuti alur permainan mereka. Sekarang, akubersiap pura-pura tidur. Setelah ini, aku ingin tau hal sebenarnya.
Benar saja, sepuluh menit berselang, mas Mirza masuk kekamarku. Menaikkan selimut, sepertinya dia memastikan aku dan Zaki sudahterlelap.
Dia keluar dengan menutup pintu. Aku langsung menyibak selimut, menuruni ranjang dan bergerak mengikuti mas Mirza. Caranya itu sangat mencurigakan. Sebab, berjalan mengendap-endap.
Aku membuka kenop pintu dengan perlahan, mengantisipasi bunyi yang tak terduga. Langkah kupercepat, ingin melihat langsung kelakuan mereka di belakangku.
Kamar Hesti berada di bagian depan. Dia menempati kamartamu. Aku berjalan dengan memperhatikan sekitar. Keadaan ruangan yang temaram memudahkan aku menyelinap tanpa bersusah payah sembunyi-sembunyi.
Mas Mirza sudah sampai di depan kamar Hesti. Dia mengetukperlahan. Tak lama kemudian, wanita itu membukakan pintu. Mas Mirza masuk, lalulangsung menutupnya.
Dasar binatang! Aku di sini, satu atap dengan mereka,bisa-bisanya merasa aman berbuat seperti itu.
Aku berjalan mendekati pintu itu. Debaran di dada semakinkuat. Kali ini, sakit hati sudah tidak lagi kurasakan. Mungkin sudah mati rasa,yang ada dalam otakku hanyalah membalas perbuatan mereka.
Aku berdiri tepat di depan pintu, mendengarkan suara tawaan keduanya, lalu hening. Beberapa menit kemudian terdengar desahan laknat. Aku menutup telinga. Bisa-bisanya mereka berbuat seperti itu.
Langkahku goyah menjauhi kamar meninggalkan suara-suara menjijikkan itu. Aku menabrak pintu kamarku dan bersandar di baliknya.
Menatap sosok bocah yang masih terlelap di ranjang sana, semakinmenambah kobaran api dendam ini.
Aku berjalan ke meja rias, menyambar ponsel, lalu melakukan panggilan.
“Halo, Lian. Surat-surat yang pernah aku titipkan padamu, tolong periksa kembali. Dan ... aku ingin rumah beserta isinya di uangkan. Mobil atas nama mas Mirza juga, Li. Aku mau secepatnya, ya?”
Aku menutup panggilan dengan menelan saliva. Cukup, semuanya akan segera selesai, mas. Kita lihat, seberapa hebat kamu tanpa aku.
Next
Setelahmelakukan panggilan, aku merebahkan tubuh di samping Zaki, memeluknya eratseperti takut kehilangan. Apa pun alasan perpisahan nanti, aku ingin Zakibersamaku.Tekadkusudah bulat, bahwa perpisahan adalah solusi satu-satunya.*Matakupedih karena hingga lewat tengah malam tak juga mau terpejam. Meskipun sudahmelakukan aktivitas ringan, tetapi aku tetap saja tidak tenang. Aku baru sajaselesai menempatkan alat penyadap di dua tempat. Dengan begitu, aku bisamengetahui rencana mereka.Akumerasa, mas Mirza akan bergerak lebih dulu. Tiga hari sebelumnya, dia kepergokmembuka lemari tempat penyimpanan surat-surat penting. Beruntung, surat rumahsudah aku pindahkan.Sebenarnya,tidak sengaja aku bawa ke kantor saat ingin memberikan surat rumah sebagaijaminan pengajuan utang ke bank. Entah kenapa, perasaanku seperti ada yang mengarahkanagar memperlihatkan surat itu pada Lian, sepupuku yang bekerja satu kantordenganku. Entah kenapa juga, aku memintanya menyimpan surat itu. Mungk
Sayangnya, tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Pintar juga si Hesti mengendalikan perasaannya. Yah, setidaknya, aku sudah mendapatdua pembelaan yang membuatku merasa menang, paling tidak di hadapan Hesti.“Makanyang banyak, Hes. Kamu butuh banyak tenaga ...” ucapanku menggantung.“Buat?”Melati menyambung. Kurasa cuma dia yang paham bahasa seperti ini.“Buatmenerima kenyataan,” balasku sambil menepuk lengan iparku. Melati tertawalebar. Aku pun sama.“Hush!Di meja makan gak boleh tertawa.” Ibu memperingatkan. Akumasih menyemburkan sisa-sisa tawa bersama Melati.KulirikHesti yang tampak tenang tanpa pengaruh, begitu pun dengan mas Mirza. Dasar,nurani kedua manusia ini memang sudah mati. Hesti menyendok makanannya dengansegan, terlihat kikuk dan serba salah. Ternyata, segitu saja nyalinya. Lihat,wajahnya saja yang tampak polos, merasa tak bersalah. Beraninya cuma mainbelakang.“Sampaikapan Hesti tinggal di sini?” Pertanyaanku membuat mas Mirza mengangkat wajah,memanda
Aku mengoles bibir dengan lipstik warna natural, membubuhkan bedak tipis-tipis, lalu membereskan serakan make up di meja rias. Langkahku terhenti saat melihat bayangan di cermin. Aku memandang bayang itu tanpa berkedip.Tubuhku tinggi, tidak ada lebihan lemak yang bergelambir seperti kebanyakan wanita yang sudah melahirkan. Aku juga pandai merawat diri,rajin ke salon. Untuk urusan ranjang, bahkan tak pernah sekalipun menolak ajakan mas Mirza ketika ingin bercumbu.Apa kurangnya aku? Sampai saat ini masih bertanya-tanya.Kalau memang ada sesuatu yang tidak disukai, kenapa tak pernah memprotes?Kenapa malah mencari wanita lain sebagai pemuas nafsunya?Apa namanya jika bukan nafsu? Bahkan Hesti dan mas Mirza tak bisa menahan hingga esok hari misalnya. Saat aku dan Zaki pulang.Tak ada kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan keb**ohan keduanya. Mereka tidak sadar jika akan kehilangan sumber pundi-pundi rupiah mereka. Ibu pun tidak merasa bersalah, malahan cenderung membela Hesti.Pipiku h
“Biasa. Lagi datang tamu bulanannya.” Syukurlah terpikir jawaban yang pas.“Oh, pantesan,” ucapnya singkat.Tak ada basa-basi lagi antara aku dengannya. Kesakitan ini membuatku di berubah sedemikian cepat, sehingga menimbun cinta yang ada.Pandanganku hanya terpampang sesuatu yang negatif saja. Terlebihsetelah mendengarkan obrolan mas Mirza dengan Hesti.Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diri. Sangatnyaman di kamar sendiri. Namun, sepertinya aku takkan lama menempati rumah inilagi.Tiba-tiba mataku memanas, lalu basah oleh air mata. MasMirza masuk dengan menenteng tas. Aku langsung menelungkup untuk menghindaritatapannya.Mas Mirza berpamitan ke luar. Katanya mau melihat ruko yangakan dia beli. Biarkan saja. Mungkin dia bakal marah setelah ini karena Lian aku perintahkan membatalkan pembelian.Aku meraih ponsel, lalu melakukan panggilan dengan Lian.“Halo, jadi bertemu? Sekarang saja, mumpung aku lagi di luar.]Suara bising, mungkin Lian berada di pusat keramaian.“Berisik
Aku membuka pintu mobil. Berdiri dengan anggun sambil menenteng satu tas branded di tangan. Beruntung semua yang aku kenakan barang-barang mahal, sehingga mereka bisa melihat nantinya, siapa aku dan Hesti sebenarnya? Tak layak jika aku bersaing untuk memperebutkan mas Mirza dengan maduku itu. Mungkin kedengarannya sombong. Entahlah, aku tak punya kata-kata yang tepat untuk mewakili kekesalan ini. Aku berjalan dengan santai, berniat tidak akan menetaskan air mataku di sini. Pintu kuketuk dengan anggun. Tanpa menunggu penghuninya, aku memutar kenop hingga pintu terbuka. Di depanku sudah ada Hesti yang mungkin tadinya mau membuka pintu. Dia gemetaran memandangku.“Kenapa? Kaget? Mana suamimu? Mana mertuamu?” tanyaku beruntun. Kasihan sekali melihatnya seperti ini. Dia sampai tak bisa berkata-kata.“Bisu kamu?”“A-anu. Ada di dalam,” jawabnya tergagap.Aku berjalan melewatinya begitu saja. Menampakkan diri di hadapan ibu, mas Mirza dan Melati.Ibu langsung berdiri, menyambutku dengan
“Mirza, istrimu itu benar-benar tidak waras.” Ibu menghardikku.“Aku Memang sudah tidak waras. Mas jatuhkan talak sekarang juga. Biar Hesti puas, dan merasa senang sudah memiliki kamu seutuhnya.”“Mala, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Maafkan aku. Kita pulang yuk! Bicara baik-baik di rumah.”“Rumah? Rumah yang mana? Rumah itu sudah aku jual.”“Jangan begitu, dong. Itu kan rumah idaman kita.”“Idaman katamu? Setelah ada dia di antara kita, tidak ada lagi rumah idaman. Sekarang aku tantang kamu, Mas, talak aku sekarang juga!”Mas Mirza menatapku dengan pandangan sendu. Ia berbalik membelakangiku. Berkacak pinggang, lalu mengusap wajahnya. Dia tampak tertekan.“Ayo, Mas. Kamu takut?” tantangku.“Istri durhaka. Biarkan dia memilih keinginannya, Mirza.” Ibu menjatuhkan diri di sofa.Emosinya sedikit mereda. Apakah karena mendengar tantangan kata talak dari putranya, sehingga ibu sedikit menurunkan egonya? Entahlah, mungkin saja benar. Sedangkan Melati tergugu di karpet bulu depan televi
Mungkin memang benar, nuraniku sudah mati oleh kesakitan ini, sehingga tak ada sedikitpun belas kasihan.Apa aku kejam?Mendadak langkahku terhenti di teras. Aku menoleh ke belakang. Tampak dari tempatku berdiri, Melati meraung keras, ibu mengomel tak jelas dan mas Mirza hanya mengusap kasar rambutnya.Kenapa aku sekejam ini?Hendak berbalik ke dalam, tiba-tiba dua orang datang memasuki halaman. Bukan tetangga atau saudara ibu. Siapa mereka?“Selamat siang, Mbak,” sapa salah satunya.“Siang. Ada perlu apa, Mas?” tanyaku.“Mbak tuan rumah di sini? Kami datang mau menjemput motor yang dijual.”Motor milik Melati.“Surat jual belinya, Bu. Silahkan.” Salah seorang dari mereka menyodorkan amlop. Aku tak perlu membukanya, langsung saja menunjukkan sebuah motor yang terparkir di teras.Aku meletakkan amlop itu di meja luar, lalu pergi meninggalkan rumah ibu.Saat aku keluar dari halaman, ibu dan mas Mirza terdengar berdebat dengan kedua orang tadi. Terdengar juga suara jeritan keras Melati s
“Dek,” panggilan tetap membuatku bergeming. Dia duduk ditepi ranjang, di dekatku.Beberapa saat mas Mirza hanya terdiam. Aku sakit melihatnyaseperti ini. Sejujurnya, cinta ini masih memenuhi isi hati, tapi membayangkan Hesti,ibu juga suara-suara menjijikkan di kamar semalam itu membuatku ingin menghindar secepatnya.“Mas minta maaf atas semua yang terjadi di rumah ibu tadi.Kamu tau, ibu memang seperti itu dari dulu.”Aku tetap membuang muka ketika dia menjelaskan. Tak berniatsedikit pun untuk membalas ucapannya.“Apapun permintaanmu akan mas kabulkan. Tapi tidak bercerai.Mas mencintaimu, Dek dan gak bisa hidup berpisah denganmu.”Bullshit! Cinta itu bisa menahan nafsu. Dia malah enak-enakan bergumul dengan Hesti hingga tak tau waktu. Itu yang di bilangcinta?“Dek, Adek boleh menguasai semuanya. Rumah, kartu kredit, ATM mas, biarlah Adek yang pegang.”Ya ampun, dipegang kalau gak ada isinya ya percuma. Toh, selama ini, aku yang mengisi ATM sama kartu kreditnya.“Aku juga sudah bicara s
Zaki membawa paper bag berisi mainan. Ia hanya berdiri mematung, menunggu seseorang yang sedang mengeluarkan mobilnya dari area parkir. Kendaraan yang berjejalan membuatnya harus sabar menunggu."Zaki,buruan!" Panggilan itu membuatnya memasukkan ponsel dalam saku kemeja.Ia berjalan sambil menyambar paper bag yang sempat ia letakkan pada lantai.Remaja itumemasuki mobil dengan santai, duduk di sebelah si pengemudi."Besaramat beli mobil-mobilannya. Jadi repot bawanya," keluh Zaki seraya meletakkan paper bag di jok belakang."Itu 'kan pesanan adikmu.""Tantekenapa enggak ngajak om Gus buat beli hadiah, sih," keluh Zaki."Kayak gaktau om kamu. Dia kan paling malas diajak belanja. Palingan ntar kalau sudah punya anak sendiri, baru mau direpotin."Zaki menatap tantenya dengan perasaannya sayang. Sebab, tantenya lah satu-satunya keluargadari pihak sang papa yang menganggapnya ada.Melati mengacak rambut Zaki ketika keponakannya itu kepergok menatapnya lama.Waktu yang memisahkannya dengan
~°°~Kakinya yang kokoh berjalan melewati trotoar. Langkah tegap melewatibeberapa kerumunan orang yang sengaja menghabiskan malam dengan berkumpul di pinggirjalan.Lian baru saja ke luar dari ATM yang terletak di seberang jalansebuah kafe modern. Semula, ia sedang meeting di kafe itu. Setelahnya, ia menuju ATM untuk mentransfer sejumlahuang. Sengaja menggunakan ATM, karena ia juga butuh menarik uang tunai sebagai cadangandi dompetnya.Sebuah pesan ia kirimkan ke Armala, sekaligus foto sebuah strukbukti tranfer.[Sudah aku kirimkan, Sayang. Mungkin dia lagi sibuk menguruswisuda. Jadi, dari pihak yang menyalurkan beasiswa itu belum bisa menghubungi Melati.]Pesannya terkirim. Lian tidak menunggu balasan dari istrinya.Ia sedang memesan taksi online, sehingga harus menunggu di tempat yang mudah dijangkau.Lian berdiri pada bahu jalan. Tak berapa lama kemudian, sebuahtaksi online datang menjemput.Ia menatap layar pipih di tangannya. Pesan yang Ia kirimkan tidakjuga mendapat balasan.“
“Iya. Aku pun serius. Dia datang ke sini karena nasib yang membawanya harus menebus kesalahan itu. Gak ada sesuatu yang berjalan kebetulan, Sayang. Semua yang terjadi berdasarkan hukum sebab akibat. Percayalah, kamu ratu yang berhati baik, maka jangan habiskan waktumu untuk berpikir negatif. Lebih baik, pikirkan suamimu ini.” “Kamu kenapa minta dipikirin?” “Ck, sudah dua hari loh, Sayang.” Lian mengedipkan mata sebagai isyarat yang ia tunjukkan jika menginginkan sesuatu. Armala tertawa, dan langsung tanggap dengan kode itu. “Ya sudahlah, Hesti bukan sesuatu yang penting buat di bicarakan.” Armala merebahkan kepala di dada Lian, lalu memberikan sinyal untuk memulai pergulatannya. ** Lian membawa sebuah map ke ruang kerja Armala. Di tangan kanan ia menenteng paper bag berisi makan siang. “Makan dulu. Laporannya tolong nanti diselesaikan. Soalnya, aku mau meeting siang ini.” Ia meletakkan map itu ke atas meja, lalu mengajak Armala menikmati makan siang yang ia bawa. “Kamu pulan
“Kalian istirahat dulu. Nanti malam harus pergi lagi kan?” Widya mengingatkan.“Apa mama tadi menelepon, Tan? Tanya Lian. “Soalnys ponsel aku matikan,” ucap Lian lagi.“Menelepon hanya untuk mengingatkan saja, kalau kalian harus datang lebih awal.”Armala beristirahat begitu memasuki kamar. Rasa lelah selama perjalanan membuatnya cepat terlelap. Lian membiarkan istrinya larut dalam mimpi. Sebab, sebentar lagi impiannya untuk menghadiahkan sebuah salon kecantikan segera menjadi kenyataan.Liza memberikan kejutan sebuah salon kepada Armala. Berawal dari rencana Lian memberikan hadiah anniversary pertama pernikahan mereka. Lalu, jadilah sebuah salon yang dibangun sejak tiga bulan yang lalu.Armala mengetahui adanya salon itu. Namun, hanya sebatas hasil pengembangan bisnis mertuanya. Tak mengetahui jika akan menjadi milik pribadinya.*Peresmian salon berjalan malam hari. Bertepatan acara syukuran anniversary pertama Lian dan Armala. Keduanya tampak hadir di tengah-tengah karyawan kantor
Suatu keadaan akan membentuk seseorang untuk berubah lebih cepat menjadi pribadi yang lapang, dan tidak mudah terbawa arus. Walaupun diikuti dengan kesakitan karena bekas masa lalu yang pahit, tetapi pada saatnya akan menerima keadaan dengan ikhlas.Seperti itu juga keadaan yang dialami Mirza. Mencintai bunga dalam taman, melepasnya demi bunga jalanan, lalu ia pun ikut terlempar ke luar istana.Mereguk manisnya madu bunga liar, terhempas dari sisi kehidupan yang ternyata fatamorgana, lalu harus ikhlas karena di dunia tempat ia berpijak saat ini ternyata dipenuhi duri dan kerikil tajam.Mencoba bertahan dengan satu keyakinan, bahwa akan datang hari baik suatu saat nanti. Rupanya harapan itu pupus bersama dengan usia yang tak lagi mendukung.Kini, ia harus bersyukur dengan keadaan yang ia sebut baik dari pada terus menerus berharap sesuatu yang mustahil.Mirza kini memikul beban yang cukup ringan di bawah pernikahan ketiganya dengan seorang janda dua anak. Ia sudah dikaruniai seorang an
“Kita bergerak ke satu arah yang sama. Kalau aku berjalan, tak mungkin kamu aku tinggalkan. Apapun yang menjadi bebanmu, maka aku pun ikut memikulnya.”Lian merangkul bahu Armala dari sisi kanan, mencium pipi putih istrinya hingga terlihat salah tingkah.“Makasih, Sayang. Tau gak, aku sangat beruntung pernah jatuh, lalu bangkit dan ketemu sama kamu,” lirih Armala mesra.Armala mengelus pipi Lian dengan perasaan sayang yang memenuhi rongga dadanya.“Mulai berani ngegombal sekarang, ya? Buruan mandi sana. Aku siapkan makan malam. Sepertinya, kamu akan butuh banyak tenaga untuk melewati malam ini.”“Ih, bahasamu itu bikin aku ngeri.”Keduanya tertawa terbahak-bahak. Selanjutnya mereka terlibat dalam perbincangan intim. Padahal sebelumnya, ia akan sungkan menegur Armala jika bersifat pribadi. Keadaan itu berubah seketika, tatkala Armala sah menjadi miliknya.**Pagi harinya, Armala sudah menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan melati. Ia ingin menemui gadis itu untuk mengucapkan bel
Bunga yang bertaburan di atas pusara menjadikan saksi tangisan dua anak manusia yang menyayat hati. Tak menyangka jika ibu yang selama ini menjadi tempat bersandar telah pergi untuk menghadap Rabbnya.Melati lebih histeris lagi. Sebab, karena ulahnya menyebabkan Anggi meregang nyawa. Rasa sesal memenuhi kepala. Menangisi ibu yang sudah menjadi mendiang seperti mengorek hatinya akan kesalahan kecil yang berakibat fatal.Siang itu sebelum peristiwa nahas, terjadi pertengkaran antara Melati dengan Anggi. Pemicunya tak lain karena Anggi mengulur waktu ketika Melati meminta uang untuk tambahan uang jajan.Selama berhari-hari, Melati harus menahan diri untuk tidak berbelanja kebutuhannya dan harus hidup berhemat demi bisa melangsungkan kuliahnya.Anggi menjanjikan uang bulanan sore hari, setelah berhasil menagih uang kontrakan pada dua orang yang menempati kontrakannya.Namun, malang tidak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih. Sebelum sampai di kontrakan, Anggi menjadi korban penjamb
“Kita belum makan.”Ucapan Armala tak diindahkan. Sepertinya, Lian lebihbersemangat menikmati santapan yang lain.Armala merelakan ketika satu persatu pakaian terlepas dari tubuhnya.Hasrat itu seperti dahaga, yang akan terlampiaskan dengan seteguk air pertama dan akan terpuaskan dengan tegukan kedua.Malam panjang menjadi saksi akan runtuhnya pertahanan egomasing-masing. Menapaki setiap menit yang berlalu dengan iringan nafas yang mengalun memburu.Setiap rasa nyaris tanpa kata. Hanya rasa tentram yang bersarang,setelah dua insan yang bergelut dengan damai mencapai batasnya.**Lian tak melepaskan pelukan meskipun berulang kali Armala meminta agar diturunkan. Lelah dengan permintaannya, Armala merebahkan kepalake dada bidang Lian.Sofa depan televisi menjadi tempat bersantai pagi itu. Lianduduk dengan memangku Armala. Sudah beberapa saat mereka bersantai di sanatanpa percakapan. Lian menelisik Armala yang tampak malu membalas tatapannya.Armala membenahi piyama mandinya ketika netra
“Zaki ‘kan gak bisa menyetir mobil? Ayah juga bakal jadi sopirnya Zaki sama mama selain jadi bodyguard,” terang Lian.“Sayang, ayah itu sekarang yang akan menjaga kita. Jadi, boleh ya kalau tinggal di sini sama kita.” Armala menambahkan.Zaki mengangguk sambil menguap. Mala membawanya ke pembaringan. Ia ikut berbaring, lalu mengelus punggung putranya.Hingga beberapa menit, Zaki masih terjaga. Lian menunggu di pinggir ranjang sambil memainkan ponselnya. Lelah menunggui Zaki tak juga tertidur, Mala memejamkan mata lebih dulu.. Entah sudah berapa lama Mala terpejam. Ia baru tersadar ketika tubuhnya sudah tertutupi selimut dan merasakan seseorang sedang memeluknya dari belakang.“Li,” panggilnya.Armala menoleh, mendapati Lian sudah tertidur pulas. Ia mengubah arah tidurnya dengan menghadap Lian. Pipi mulus sang suami menjadi incarannya. Sebuah kecupan mendarat di sana.“Kenapa?” gumam Lian dalam terpejamnya.“Maaf, ya Sayang, harus ditunda dulu,” ucap Armala menyesal.“Gak pa-pa. Masi