PLAAAK!!! PLAAAK!!!Dua kali tamparan bolak-balik mendarat mulus di pipi Darren. Darren yang sedang memeluk Kiara yang tengah menangis sontak melepaskan dekapannya dari perempuan itu saat Tatiana—sang kekasih sekaligus calon istrinya muncul tiba-tiba entah dari mana.“Tia! Apa-apaan kamu?” tanya Darren kaget sambil memegang pipinya yang perih akibat stempel jari-jari yang dilayangkan Tatiana ke mukanya."Apanya yang apa-apaan?" balas Tatiana seraya memandang tajam pada Darren dengan sepasang mata bulatnya. "Tega kamu ya, Ren! Kita udah mau nikah dan tinggal selangkah lagi, tapi kamu berani-beraninya main di belakangku."“Tia, kamu dengar aku dulu, aku nggak main belakang, aku—““Sudahlah, Ren! Aku paham sekarang. Jadi ini alasannya nama aku sudah diganti dengan nama orang lain di buku WO itu?”“Tia, ini nggak seperti yang kamu bayangkan, aku bisa jelasin semuanya.” Darren berusaha menggapai tangan Tatiana dan menepis tangan Kiara yang sejak tadi bergelayut manja di lengannya.“Lepask
What a awkward wedding!Pikiran itu yang melintas di benak Tatiana saat berada di pernikahannya sendiri. Di ballroom hotel yang luas dan sudah didekor sedemikian lupa, nuansa adanya pesta begitu terasa. Ballroom itu didominasi oleh warna putih. Mulai dari dekorasi hingga properti, sampai pada hal-hal yang paling detail seperti taplak meja. Para undangan juga terlihat sangat menikmati aneka hidangan lezat yang disajikan. Namun, bukan itu masalahnya. Ada yang terasa janggal. Tidak seorang pun keluarga Bian ada di sana. Termasuk orang tuanya. Bian bilang mereka sedang berada di luar negeri. Tapi kenapa mereka melewatkan begitu saja momen penting dan sesakral seperti pernikahan? Apalagi yang menikah adalah anak mereka sendiri.Sudah sejak tadi kilatan lampu kamera menerpa dan menyambar-nyambar wajah Bian dan Tatiana. Sudah sejak tadi pula keduanya tak berhenti tersenyum. Tatiana merasakan mulutnya mulai pegal, dan giginya juga sudah kering. Dia melirik tangan Bian yang mengait lengannya.
“Tatiana, bisa kita bicara sebentar?” Suara Bian mengagetkan Tatiana yang sedang duduk melamun di pinggir kolam renang dengan kaki terulur ke dalam air.Tatiana menoleh. Didapatinya Bian sedang berdiri di sisi pintu. Sebuah kacamata hitam membingkai wajahnya.Tatiana bangkit dari duduk, lalu mengikuti Bian yang kembali masuk ke kamar.“Ada apa, Bi?” “Orang tuaku akan datang dari Madrid, nanti malam mereka sudah sampai. Kamu siap-siap ya!”“Madrid?”“Iya, Spanyol. Kamu tahu kan?”Tatiana mengangguk pelan. Bagaimana mungkin dia tidak tahu. Setidaknya secara geografis Tatiana paham letak negara tersebut, walaupun dia belum pernah ke sana. Jujur saja, Tatiana mengagumi salah satu pemain bola dari klub Real Madrid. Bahkan, Tatiana pernah mempunyai impian untuk mengunjungi negara tersebut. Tapi, bagi Tatiana impian itu akan selamanya tetap menjadi mimpi. Darren juga pernah bercerita bahwa Bian adalah pria berdarah campuran Spanyol dan Indonesia.Bian pergi meninggalkan Tatiana sebelum dia
Bian masuk ke kamar setelah orang tua dan adiknya pulang. Lelaki itu melihat Tatiana sedang duduk bercermin di depan kaca. Istrinya itu sedang menyisir rambut, lalu mengoleskan sesuatu ke mukanya. Mungkin semacam krim malam atau sejenis kosmetika lainnya. Bian tidak tahu apa dan tidak mau tahu. Hanya sekedar itu. Bian tidak memedulikannya. Dia lalu merebahkan diri ke tempat tidur dan menarik selimut. Tak lama dia pun tertidur.Tatiana mendesah lelah. Banyak yang ingin ditanyakannya. Nyatanya dia menelan sendiri rasa itu kala melihat Bian yang sepertinya teramat lelah. Buktinya dia memilih mendekam di bawah selimut ketimbang mengajaknya bicara.Tatiana ikut berbaring di sebelah Bian yang tidur membelakanginya. Dia harus segera memejamkan mata karena besok sudah harus kembali bekerja. Tapi yang ada, meskipun matanya terpejam, pikirannya jalan-jalan. Semua percakapan Bian dan orang tuanya tadi begitu mengganggu hati dan pikirannya. Membuatnya resah, galau, juga terhina.***Keesokan har
“Yang benar saja, Bi? Aku nggak percaya kalau dia istri kamu!” kata Gladys tidak terima. Saat ini mereka sedang berbicara di salah satu sudut lounge.“Terserah kamu percaya atau nggak. Nyatanya dia adalah istriku!” “Istri sewaan? Iya? Cuma buat manas-manasin aku kan? Nggak akan mempan, Bi! Apalagi cewek kayak gitu yang kamu sodorin ke aku,” oceh Gladys dengan ekspresi jijik.“Kayak gitu gimana, hah? Buktinya dia jauh lebih baik dari kamu.”“Cuih! Perempuan kayak gitu kamu bilang baik? Dilihat dari puncak Monas juga nggak ada bagus-bagusnya!” Gladys mengambil jeda, lantas menoleh sekilas pada Tatiana yang berdiri terpaku kebingungan sendiri.Bian ikut melirik istrinya itu. Tatiana terlihat seperti orang bingung dalam diamnya. Tatiana pasti terheran-heran dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bian pun tidak ingin ambil peduli. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan perempuan berbibir seksi yang kini bersamanya.“Aku nggak ngerti deh, Bi, apa bagusnya dia? Wajah biasa, pen
Tatiana mondar-mandir sendiri di kamarnya yang luas dan besar. Sudah lewat jam dua malam, tapi hingga detik ini Bian masih belum pulang. Tidak ada kabar apa pun dari lelaki itu, semisal sebaris pesan singkat. Tapi bukankah Bian tidak pernah berkabar? Apa pun yang terjadi Bian tidak akan peduli. Tatiana kembali mengingatkan diri bahwa mereka adalah dua orang asing yang dikumpulkan dalam sebuah ruangan.‘Kenapa aku harus khawatir? Dia saja tidak pernah memedulikanku. Bahkan dia meninggalkanku untuk wanita lain.'Atas pemikirannya barusan, maka Tatiana pun mencoba untuk tidur setelah merebahkan diri di tempat tidur. Diusapnya permukaan kasur yang kosong dan dingin. Sama dinginnya dengan hatinya saat ini. Semestinya Tatiana tidak perlu cemas, nyatanya dia sangat mengkhawatirkan Bian. Di mana Bian menginap sekarang? Apa di tempat perempuan itu? Pernikahan macam apa ini? Sampai kapan akan seperti ini? Tatiana larut dalam pikirannya sendiri. Entah berapa lama, sampai akhirnya dia tertidur
Pagi ini sama seperti pagi-pagi yang lain. Hampir setiap ruas jalan yang Tatiana lewati dipenuhi oleh kendaraan. Mulai dari roda empat hingga roda dua seperti Tatiana sekarang. Sebagian dari mereka Tatiana yakin adalah karyawan seperti dirinya yang sedang mengejar waktu.Tatiana hampir saja lolos dari antrian panjang di traffic light, nyatanya dia harus terjebak perangkap lampu merah lagi karena terlambat bergerak. Terpaksa Tatiana mengumpulkan lagi kesabarannya.Dari balik kaca helm yang gelap Tatiana menoleh pada Land Cruiser hitam yang ikut antri di sebelahnya. Tatiana rasa dia mengenal mobil itu. Tatiana lalu membuka kaca helm agar bisa melihat dengan lebih jelas. Mirip mobil Bian, pikirnya. Tapi bukankah di kota ini banyak yang memiliki mobil serupa? Mungkin saja itu bukan Bian. “Pak Bian, itu bukannya Ibu Tatiana?” tanya Mario saat melihat Tatiana yang juga ikut antri menunggu lampu merah bersamanya.Bian mengarahkan mata pada pandangan Mario. Iya, itu memang Tatiana. Bian mena
Fortune Corp. jam 12 siang.“Ada lagi yang harus saya lakukan, Pak?” tanya Kania, sekretaris Bian setelah menuangkan Martell XO Supreme Cognac ke dalam gelas kecil yang berisi es batu dan meletakkannya di atas meja sesuai dengan permintaan Bian. “Sedikit saja, Kania!” Itu kata Bian tadi. Dan Kania memenuhi permintaan sang atasan.“Nggak ada. Sekarang kamu boleh keluar,” suruh Bian. Dia sedang ingin sendiri tanpa direcoki siapa pun. Pikirannya saat ini betul-betul kacau sekacau-kacaunya. Dan yang Bian inginkan hanya sendiri tanpa gangguan apa pun.“Baik, Pak.” Kania lalu meninggalkan ruangan Bian.Bian memijit kecil pelipisnya dengan siku tertopang ke meja. Kepalanya yang berdenyut terasa bertambah berat. Bukan apa-apa, sejak pertemuannya dengan Gladys kemarin, Bian merasa hatinya yang sudah tenang kembali terusik. Bian tidak ingin lagi berhubungan dengan perempuan itu. Tapi semesta masih belum sepakat. Hal itu pun terbukti saat ini ketika tiba-tiba Gladys kembali muncul di hadapannya.
“Ayo Noah, kejar bolanya!” seru Rei pada Noah yang berlari kecil ke sana kemari mengejar bola berwarna pelangi yang ditendang Rei ke arahnya.Anak itu lantas berlari menuju arah bola yang terus mempermainkannya. Kadang dia terjatuh karena terlalu kencang atau tersandung akibat tidak hati-hati.Sebagai anak laki-laki bermain bola adalah salah satu permainan yang disukai Noah. Apalagi jika melakukannya bersama Rei. Noah sangat dekat dengan papanya itu dibandingkan dengan Flo. Selain itu Noah semakin menunjukkan kemiripannya dengan Rei yang tentu saja membuat Rei bangga. Like father like son adalah ungkapan yang tepat untuk mereka berdua.“Adek, ayo sini dek!” Lala yang ikut bermain meminta Noah untuk menendang bola ke arahnya.Noah mengayun kaki mungilnya mengikuti bola dan menendang dengan tenaga anak-anak ke arah Lala.“Yippiii, goool…! Adek hebat!” sorak Lala kegirangan.Rei yang sekarang sudah duduk bersama Flo di kursi beranda tersenyum bersama melihat keceriaan anak mereka. Keduan
“Morning, Love!” sapa Rei pagi itu sambil mengecup kening Flo.Flo tersenyum kecil. “Sarapannya sudah siap,” ujarnya sembari menghidangkan lasagna di atas meja.“Kelihatannya enak.” Rei mencomot dan memasukkan ke dalam mulutnya.“Rei, Noah sudah bangun?” tanya Flo. Tadi Flo bangun lebih awal saat semuanya masih meringkuk di bawah selimut. “Belum. Nanti kalau dia sudah bangun biar aku yang memandikannya.“Memangnya kamu bisa?”“Tentu saja bisa. Dulu waktu Lala masih bayi aku yang mengurus dengan tanganku sendiri walaupun saat itu ada pembantu.”“Okay, kalau begitu biar aku bangunkan Lala dulu. Hari ini dia ada jadwal fisioterapi kan?”“Flo, tunggu sebentar, ada yang ingin kubicarakan.” Rei menahan istrinya yang berniat beranjak.“Ya? Mau bicara apa? Bukankah dari tadi kita sudah bicara?”“Duduklah dulu!” Rei meminta Flo duduk di kursi ruang makan sama sepertinya. Mendudukkan diri, Flo menatap muka Rei lekat-lekat. Mencoba menerka-nerka apa yang akan disampaikan suaminya.“Flo, hari
Malam itu juga Rei membawa istri dan anak-anaknya pulang ke rumah. Pemilik penginapan terheran-heran karena mereka tidak jadi menginap di sana. Di dalam mobil mereka tidak terlalu banyak berbicara. Selain merasa lelah, juga merasa asing karena baru saja bertemu setelah sekian lama berpisah. Mungkin mereka harus beradaptasi lagi untuk saling mengenal diri masing-masing.“Welcome back, Love!” ujar Rei pada Flo sambil membuka pintu rumah dan menyuruhnya masuk.Flo tersenyum tipis. Matanya mengitari setiap sudut rumah yang selama berbulan-bulan ini dia tinggalkan. Tidak ada yang berubah. Semua sama. Furnitur dan interiornya masih yang dulu, seperti terakhir dia tinggalkan malam itu.Setelah mengantar Lala masuk ke kamarnya dan menyuruh beristirahat, Rei kemudian masuk ke kamarnya sendiri. “Tunggu sebentar, aku akan ganti bed covernya dulu.”Rei mengambil bed cover yang bersih dari dalam lemari dan mengganti lalu memasangnya ke kasur. “Letakkan dia, Flo, aku tidak sabar ingin tidur deng
Mereka masih di dalam perjalanan menuju penginapan ketika Flo teringat sesuatu yang mengganggu pikirannya hingga saat ini. Ditolehkannya kepala pada Rei yang sedang menyetir. “Rei, boleh aku bertanya sesuatu?” “Ya, ada apa, Flo? Tanya saja.”“Rei, kenapa kamu menikah dengan Clara dan kenapa membatalkannya?”Usapan tangan Rei di pundak Flo semakin terasa. Masih banyak yang belum dia ceritakan pada istrinya itu. Rei menyadari dia harus memberitahu semuanya pada Flo.“Flo, nanti kamu akan tahu sendiri alasannya.”“Tidak bisa katakan sekarang saja?”“Nanti saja ya, aku khawatir tidak akan konsentrasi menyetir.”“Oh, okay!”Flo terheran-heran saat melihat penginapan tempat Rei dan Lala menginap. Kecil, biasa dan jauh dari kesan mewah. Flo tidak mengerti kenapa Rei memilih tempat ini. Kenapa bukan hotel yang besar saja? Atau minimal tempat yang layak dan identik dengan image seorang Rei.Rei membuka pintu mobil untuk Flo dan mengajaknya turun. Tangannya kemudian melekat di pinggang Flo,
‘’Anak kita?” Kerutan dalam tercipta di dahi Rei. Dia tidak mengerti anak bagaimana yang dimaksudkan Flo. “Iya, Rei, Noah anak kita.” Flo mengulang kata-katanya dengan suara yang terdengar lebih tegas. Rei semakin kebingungan karena informasi yang didapatnya setengah-setengah. Matanya menatap Flo dan bayi laki-laki itu secara bergantian.“Flo, bagaimana maksudnya? Aku tidak mengerti. Tolong terangkan dengan jelas.”Wajah Flo berubah pucat. Tiba-tiba dia merasa takut kalau saja Rei akan mengingkari darah dagingnya sendiri. Bukan tidak mungkin. Mereka berpisah hampir setahun. Dalam rentang waktu segitu banyak hal bisa terjadi. Bisa jadi Rei akan menuduh Noah adalah anak hasil hubungan dengan lelaki lain.“Flo bisa jelaskan padaku mengenai ini semua?” Rei mengulang kata-katanya. Kesabaran yang dia milki sedikit lagi mencapai ambangnya. Bukan karena marah atau emosi, tapi karena rasa penasarannya akan jati diri bayi mungil itu. Tadi Flo mengatakan ‘anak kita.’ Itu artinya anaknya dan F
Turun dari mobil, Rei tidak sabar menunggu sebuah truk yang akan melintas. Selama beberapa detik pandangannya terhalang. Begitu truk tersebut berhasil melewatinya, Rei melangkah cepat menyeberangi jalan. Dia sudah tidak tahan ingin segera sampai ke rumah itu.Sesaat Rei berdiri di depan pagar yang tidak terkunci. Dia merasa ragu untuk masuk. Memangnya ini rumah siapa? Apa yang harus dilakukan dan dikatakannya nanti pada orang itu?‘Aku tidak akan pernah tahu jawabannya kalau tidak mencari tahu,’ bisik suara kecil di dalam hatinya. Hal itu yang mendorong Rei dan membulatkan tekad untuk menggerakkan kaki.Pagar berwarna hitam itu tidak menimbulkan suara atau decitan apapun saat Rei membukanya sehingga perempuan yang sedang duduk menunduk itu pun tidak menyadari kedatangannya.Langkah Rei yang terayun pelan dan tanpa suara kian menjadikan semua semakin sempurna. Perempuan itu masih belum mengetahui ketika Rei sudah berdiri tidak lebih dari semeter dengannya. Dia menunduk sambil memandang
Flo baru saja selesai mandi dan hanya memakai handuk ketika pintu kamarnya digedor dengan keras. Bahkan nyaris saja membangunkan baby Noah yang baru saja tertidur beberapa saat yang lalu. “Ada apa, An? Kamu hampir saja membangunkan Noah,” ujar Flo saat membuka pintu dan melihat Anne berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang sulit dia baca.Anne berdiri mematung dengan wajah pucat seperti baru saja melihat mayat. Tidak pernah Flo melihat ekspresi wajah Anne seperti itu sebelumnya.“An, ada apa?” tanya Flo penasaran sekaligus panik karena tidak biasanya Anne bertingkah seperti itu. “bukankah seharusnya kamu berada di lokasi pernikahan Rei? Bagaimana acaranya? Lancar? Mereka pasti bahagia. Iya kan? Aku sudah tahu, jadi kamu tidak perlu menceritakannya lagi,” cerocos Flo tanpa henti.Anne yang berdiri di depan pintu menerobos masuk melewati Flo. “Pakai bajumu dulu, Flo,” ujarnya melihat Flo yang masih menggunakan handuk.Flo berjalan mendekati lemari, membukanya dan mengambil sembara
Rei tahu, setelah kekacauan yang dia timbulkan dia tidak mungkin pulang ke rumah. Orang-orang pasti mencarinya ke sana. Tidak mungkin mereka akan diam saja. Rei tidak tahu ke mana akan pergi. Yang dilakukannya terus mengendara sejauh mungkin.“Pa, kita mau ke mana?” tanya Lala karena memasuki jalan yang belum pernah mereka lalui sebelumnya.Rei menoleh ke arah Lala. Dia menggaruk leher belakang, kebingungan. “Kita ke penginapan saja ya,” putusnya kemudian.“Kenapa ke penginapan, Pa? Kenapa tidak pulang ke rumah?” tanya Lala kebingungan. Begitu banyak hal yang ingin diketahui dan memenuhi kepalanya.Rei berdehem. Dia tidak mungkin menyembunyikan penyebab yang sebenarnya dari Lala yang kritis karena pasti akan terus bertanya. Anak itu tidak akan berhenti sebelum merasa puas.“Nanti kita bicara kalau sudah tiba di sana.” Rei menjawab sembari mengusap kepala Lala dengan sebelah tangan.Rei pikir tidak akan efektif jika membicarakan hal sekrusial ini setengah-setengah. Dia butuh waktu sert
Angin berembus membuat daun-daun cemara yang tumbuh di sepanjang North Park bergoyang-goyang. Dari sela dedaunan, seekor burung mencicit riang, seolah ikut merasakan kebahagiaan yang dialami sepasang anak manusia yang hari ini akan menyatukan hati dan diri dalam ikatan yang suci dan sakral.Rei bertahan di tempatnya berdiri, ditemani oleh Marthin—tangan kanan yang dia percayai mengelola restorannya. Butuh waktu bagi Rei untuk menenangkan diri pada menit-menit terakhir pernikahannya dengan Clara.Para tamu undangan dalam jumlah terbatas sudah hadir sejak tadi. Mereka sudah tidak sabar ingin menyaksikan prosesi pernikahan sang duda tampan serta gadis muda yang menjadi primadona.“Rei, sampai kapan akan berdiri di sini?” tanya Marthin karena Rei terus membatu seperti patung yang ditinggalkan pemahatnya. Tangan Marthin menepuk pundak Rei seperti seorang bapak pada anaknya.Rei mengembuskan napas keras lalu menatap Marthin dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi.“Jangan gugup, Rei, bukank