Malam itu semuanya menginap di rumah Camila. Awalnya Bian dan Tatiana menolak untuk tidur di sana, tapi Jamie yang terkesan memaksa membuat mereka menerima pilihan itu.“Jarang-jarang kita kumpul keluarga kan? Jadi apa salahnya kalo sekali-kali nginap di sini?” Jamie beralasan untuk menahan Bian dan Tatiana. “Angel pasti juga kangen sama Lala, jadi menginaplah di sini dulu. Rei bilang dia nggak akan lama di sini, paling hanya beberapa hari, iya kan, Rei?"“Iya, Pi,” jawab Rei pada Jamie yang bertanya padanya.“Kenapa buru-buru? Nggak mau bawa anak jalan-jalan?” tanya Tatiana. “aku rasa Flo pasti mau keliling Indonesia.”“Iya, tapi mungkin untuk sekarang hanya keliling Jakarta. Kapan-kapan kami akan ke sini lagi soalnya waktu Rei terbatas, sudah terlanjur tanda tangan kontrak pekerjaan,” jelas Flo menerangkan.“Sayang sekali ya,” kata Tatiana menyesalkan.“Bagaimana lagi, sudah keadaannya begitu,” balas Flo menimpali.“Nggak bisa ya, Rei, pekerjaannya dibatalkan atau ditunda?” Kali in
Pagi-pagi sekali Flo sudah bangun. Meskipun bukan berasal dari Indonesia, tapi dia sangat paham dan mengerti adat ketimuran. Rei yang memberitahu dan mengajarkannya. Keluar dari kamar, Flo menuju dapur. Di sana dia melihat Tatiana yang sedang memasak. Sedang asisten rumah tangga Camila sibuk membersihkan rumah.“Selamat pagi, ada yang bisa aku bantu?” Tatiana yang sedang mengiris bawang sontak menoleh mendengar suara serak khas bangun tidur milik Flo.“Pagi, Flo, bagaimana tidurmu tadi malam?”“Tidurku nyenyak. Ternyata di sini sangat menyenangkan.”“Syukurlah kalau begitu.” Tatiana tersenyum tipis, sementara Flo berjalan mendekatinya. “Sedang memasak apa?” tanya Flo saat melihat nasi putih di dalam wadah.“Nasi goreng, i mean fried rice.”“Ooo, kadang Rei juga memasaknya untukku dan anak-anak,” ujar Flo menjelaskan. “Kenapa kamu tidak memasaknya sendiri?” tanya Tatiana ingin tahu.“Rei pernah mengajarkannya padaku tapi rasanya tidak seenak buatan dia.” Tatiana tertawa. “Kenapa bi
Pagi itu semua berkumpul di ruang makan. Mereka mengelilingi meja persegi yang di atasnya sudah tersaji menu untuk sarapan pagi. Layaknya sebuah keluarga yang utuh, harmonis dan bahagia, Bian dan Tatiana duduk dengan Angel di sebelah Bian. Sedangkan Rei dan Flo duduk berdampingan. Si bungsu Noah duduk di sebelah Flo dan Lala di paling ujung.Masing-masing berada di dekat pasangannya. Sementara itu jamie dan Camila yang kesehatannya sudah berangsur pulih ikut bergabung dengan mereka di meja makan.“Tadinya aku mau antar makanan untuk mami ke kamar, tapi syukurlah Mami sudah bisa duduk.” Tatiana membuka obrolan pagi itu.“Jadi kamu suka kalo Mami sakit-sakitan?” sergah Camila. Walaupun dia tetap di tempat duduknya tapi matanya seperti akan berlari mengejar Tatiana.“Mi, nggak bisa ya kalo Mami ngomongnya baik-baik? Tia kan nggak tuli, Mi, nggak perlu ngomong keras-keras kayak gitu,” sela Bian menengahi, membela Tatiana. Bian adalah orang pertama yang berada di garda terdepan saat istrin
Time flies…Tiga bulan berlalu sejak kunjungan ke Indonesia. Walaupun terbilang singkat tapi begitu berkesan dan sangat membekas di ingatan, terutama bagi Flo. Selain makanannya yang enak-enak, yang tidak bisa dilupakan Flo adalah keluarga Rei dengan berbagai pola absurdnya. Mulai dari Camila, mertuanya yang bawel, Bian, kakak iparnya yang suka mengumpat namun sangat sayang pada istrinya, hingga Angel si kecil pemberani dan percaya dirinya yang tinggi. Semuanya mempunyai kesan masing-masing di hati Flo.“Nanti mungkin aku pulang agak malam,” ucap Rei pagi itu.“Tidak apa-apa,” sahut Flo. Dia sudah terbiasa tinggal dengan Noah seharian serta asisten rumah tangga mereka.Iya. Flo memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik. Mengurus suami serta anak-anak. Sedangkan untuk pekerjaan rumah Rei tidak mengizinkan Flo melakukannya. Mereka menggunakan jasa asisten rumah tangga sepenuhnya.Selesai sarapan, Rei masuk ke kamar melihat jagoan kecilnya
“Happy anniversary, mi amor…” Rei mengecup kening Flo lembut dan penuh cinta. Sementara Flo memejamkan mata, menikmati sentuhan Rei di kulit eksotisnya.Kecupan Rei pindah ke bibir sensual milik Flo, lalu merambat turun dan berakhir di perutnya yang buncit. Lama Rei membungkuk di sana dan mengelus-elusnya. Sedangkan Flo mengulas senyum sambil mengusap rambut Rei.“Hello, baby, ini Papa. Masih betah berada di sana? Papa sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu. Kapan kamu akan ke luar, sayang?” Rei menempelkan telinganya di perut Flo dan mengajak calon anak mereka berkomunikasi. Rei langsung disambut oleh tendangan-tendangan keras dari dalam sana yang membuat Flo mengaduh karena kesakitan, namun Rei tersenyum karena si baby meresponnya.Puas mengajak anaknya berkomunikasi, Rei berdiri, kembali mengecup kening Flo yang tersenyum padanya.“Kuat berdansa denganku?” tanya Rei, kalau saja istrinya tidak sanggup berdiri lama-lama. Saat itu usia kandungan Flo sudah memasuki bulan kesembilan.
Time flies. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Dan sejauh ini rumah tangga Rei dan Flo kian harmonis. Anak-anak pun beranjak dewasa dengan cepat.Rei mondar-mandir sejak tadi. Lebih tepatnya sejak tiga puluh menit yang lalu. Rasa resah kian menguasainya saat matahari sudah tenggelam dan hari beranjak kelam.“Rei sudahlah, duduk dulu dan tenangkan dirimu,” kata Flo yang baru saja muncul. Sejak tadi dia melihat Rei yang berjalan gelisah di dalam rumah seperti orang kebingungan.“Bagaimana aku bisa tenang kalau dia masih belum pulang juga?”Flo mendekati Rei yang berdiri di sisi pintu dengan mata mengawasi ke luar dan menyentuh pundaknya. Flo mencoba menenangkan dan memberi pengertian. “Dia kan sudah dewasa, sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang salah dan yang benar. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Tapi dia tetap saja tanggung jawab kita.”Flo menghela nafas mencoba memaklumi. Sejak pergi dari tadi pagi hingga saat ini Lala yang sedang dikhawatir
“Om, Tante, mungkin hal ini terkesan mendadak, tapi saya serius dengan keinginan saya ingin menikahi Lala.” Diego kembali bersuara mencoba meyakinkan Rei yang seratus persen meragukannya.Flo menyikut lengan Rei, menyadarkan dari ketermanguan.Rei berdehem kecil. Entah berapa lama dia termenung. Dirinya saat ini menjadi satu-satunya fokus perhatian. Oleh istri, anak, serta calon menantunya.“Diego, maaf, saya tidak bisa memutuskannya sekarang. Saya harus memikirkannya dulu dan tidak bisa menjawab dengan terburu-buru seperti ini. Bukan saya tidak memercayai kamu, tapi saya sudah sering mendengar janji semacam itu.” Rei akhirnya angkat suara memberi jawaban.Diego tersenyum canggung. Ucapan Rei barusan terasa menyindirnya. Dia semakin paham bahwa Rei benar-benar meragukannya, atau mungkin lebih tepatnya tidak memercayainya.“Baik, Om, saya mengerti. Saya akan bersabar menunggu jawabannya. Saya permisi dulu, Om, Tante.” Diego berpamitan. Flo dan Rei sama-sama menganggukkan kepala. Semen
Jika ada hal yang paling membahagiakan dalam hidup Lala adalah saat Rei memberikan restu untuk hubungannya dengan Diego. Segala doa dan harapannya akhirnya dikabulkan tuhan. Satu-satunya orang yang paling berjasa dalam hal ini adalah Flo. Berkat ibu tirinya itu papanya akhirnya luluh. Lala berutang banyak pada Flo. Entah bagaimana dan dengan apa dia akan membalasnya.Progress persiapan pernikahan Lala sudah mencapai 99%. Hanya tinggal menunggu hari H untuk eksekusi. Menjadi istri orang terkenal berarti Lala harus siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk saat kehidupan pribadinya turut diekspos. Mau tidak mau, suka tidak suka.“Aku tidak tahu bagaimana kehidupanku nanti, Mom. Apa mungkin aku sanggup menjalaninya?” tanya Lala sambil melihatkan ponsel di genggamannya pada Flo. Flo memerhatikan layar gawai. Sebuah media online yang sedang memuat berita mengenai persiapan pernikahan Diego dan Lala tersaji di depan matanya kini. Flo tersenyum tipis. Menikah dengan public figure tidaklah
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa