Jika ada hal yang paling membahagiakan dalam hidup Lala adalah saat Rei memberikan restu untuk hubungannya dengan Diego. Segala doa dan harapannya akhirnya dikabulkan tuhan. Satu-satunya orang yang paling berjasa dalam hal ini adalah Flo. Berkat ibu tirinya itu papanya akhirnya luluh. Lala berutang banyak pada Flo. Entah bagaimana dan dengan apa dia akan membalasnya.Progress persiapan pernikahan Lala sudah mencapai 99%. Hanya tinggal menunggu hari H untuk eksekusi. Menjadi istri orang terkenal berarti Lala harus siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk saat kehidupan pribadinya turut diekspos. Mau tidak mau, suka tidak suka.“Aku tidak tahu bagaimana kehidupanku nanti, Mom. Apa mungkin aku sanggup menjalaninya?” tanya Lala sambil melihatkan ponsel di genggamannya pada Flo. Flo memerhatikan layar gawai. Sebuah media online yang sedang memuat berita mengenai persiapan pernikahan Diego dan Lala tersaji di depan matanya kini. Flo tersenyum tipis. Menikah dengan public figure tidaklah
PS: Cerita season 3 Rei dan Flo sudah selesai ya. Sekarang kembali lagi ke masa lalu. Bab ini menceritakan tentang kehidupan Bian dalam pelarian selama lima tahun di Madrid. Semoga cerita alur maju mundur ini bisa dimengerti dan dipahami dengan baik. Terima kasih.***Pada malam kebakaran itu, Bian sedang melamun merenungi nasibnya. Entah akan sampai kapan dia akan berada di hotel prodeo ini. Kenapa nasibnya begitu buruk? Apakah semesta ingin menghukumnya karena kesalahan serta dosa besarnya pada Tatiana? Tapi kenapa baru sekarang? Kenapa di saat hidupnya dan Tatiana sedang bahagia-bahagianya dan mereka saling sayang satu sama lain?Ah, Bian sangat sedih memikirkan Tatiana yang sedang mengandung anak mereka sendirian. Seharusnya saat ini dia mendampingi Tatiana. Memeluknya setiap malam, mengecupnya sampai puas hingga mereka sama-sama tertidur hingga pagi.Suara teriakan orang-orang tiba-tiba terdengar di telinga Bian. Bersamaan dengan itu bau asap tercium oleh hidungnya, terhirup oleh
Bian sungguh tidak bisa tidur malam ini. Pikirannya menerawang ke mana-mana. Semua ini masih berat untuk diterimanya. Memangnya berapa lama waktu yang dibutuhkan Camila untuk menyelesaikan kasus itu dan membuktikan kalau dirinya tidak bersalah? Lagi pula kenapa harus dengan menggunakan cara seperti ini?Ahh… Bian sungguh tidak suka caranya.Nyaris sepanjang malam itu Bian tidak bisa tidur. Yang ada di pikirannya hanya Tatiana, Tatiana, dan Tatiana. Bian tidak sanggup membayangkan bagaimana kekhawatiran Tatiana saat ini beserta orang-orang terdekatnya. Atau jangan-jangan Camila sudah memberitahu yang lain mengenai keberadaan dirinya?Bian mencoba melepaskan beban pikirannya mengenai Tatiana, calon anak mereka dan keluarganya di Indonesia. Mungkin tidak ada salahnya kalau dia melaksanakan saran Sergio untuk melupakan sejenak tentang apapun yang ada di Indonesia walaupun Bian tahu dia tidak akan mampu melakukan sepenuhnya.***Pagi-pagi sekali Sergio sudah membangunkannya dan mengajak Bi
Satu bulan berlalu. Di sela-sela kegelisahannya Bian mencoba menikmati pekerjaan yang dia lakoni sehari-hari. Bertemu dengan berbagai wanita cantik dan seksi berbagai rupa bukanlah hal yang baru baginya. Namun sejauh ini Bian tidak goyah dan tergoda sedikit pun. Mungkin jarak dan waktu bisa memisahkan mereka saat ini. Namun hati, perasaan dan cintanya hanya untuk Tatiana seorang.Hingga pada suatu siang yang terik di musim panas Bian menerima berita yang membuatnya nyaris tidak bisa bernafas. Seperti mimpi buruk yang menjadi nyata dan merongrong kehidupannya hingga bertahun-tahun ke depan.“Zayn, aku ingin bicara denganmu sebentar,” kata Sergio memanggil Bian yang sedang berada di ruang linen.“Ada apa?” tanya Bian tak bersemangat.“Ke sini sebentar.” Sergio mengajak Bian ke ruangannya.Di dalam hati Bian bertanya-tanya sendiri apa gerangan yang akan disampaikan pria yang banyak berjasa itu padanya.“Silakan duduk dulu!” Sergio menunjuk kursi. Lelaki itu lantas menghela nafas sembari
Memiliki empat orang anak yang masih kecil-kecil dengan jarak yang berdekatan tidaklah mudah. Apalagi di antaranya adalah kembar tiga. Sering kali Davin dan Angel berselisih paham mengenai cara mengasuh dan mendidik anak. Tapi Davin dengan kesabarannya yang tanpa batas selalu tahu caranya menjinakkan Angel yang keras dan buas.Rumah mereka sekarang sudah sepi setelah acara syukuran baby El. Para tamu sudah pulang sejak berjam-jam yang lalu. Tinggallah Angel dengan Davin beserta keempat orang anak mereka dan lima orang lainnya di rumah itu yang empat orang di antaranya adalah baby sitter si kembar dan El Nino, sedangkan seorang lagi adalah asisten rumah tangga mereka.Setelah lelah bermain dan disibukkan dengan acara syukuran El Nino, akhirnya si kembar tiga tertidur. Jika pada siang hari mereka tidur di kamar mereka yang terpisah dengan Davin dan Angel, maka pada malam hari mereka tidur di ruangan yang sama dengan keduanya. Davin dan Angel tidak tega pisah tidur dengan anak-anak merek
Pagi ini Davin sudah bersiap-siap akan berangkat kerja. Sebenarnya Davin masih ingin di rumah menemani Angel menjaga, mengurus, serta merawat anak-anak mereka. Tapi Angel dengan penuh pengertian memberi izin pada Davin untuk menjalani rutinitas seperti biasa. Angel merasa masih sanggup mengurus anak-anaknya apalagi dibantu dengan empat orang baby sitter yang tiap orang menghandle masing-masing satu orang anak.“Pokoknya kalo ada apa-apa kamu telfon aku ya, Dek,” pesan Davin sebelum berangkat kerja. Saat itu Angel sedang membantunya memasangkan dasi.“Tenang aja, Dave, nggak akan ada apa-apa kok,” jawab Angel sambil mengusap dada Davin dari atas hingga bawah mengikuti garis dasi. Angel tidak mau merepotkan Davin, apalagi dengan hal-hal sepele yang masih bisa ditanganinya sendiri. Dia sudah terlalu sering merepotkan Davin. Bahkan menyita banyak waktu istirahat suaminya itu. Hampir setiap malam Davin tidur larut. Kalau bukan untuk menemaninya begadang, ya untuk pumping.“Maksud aku kan k
Davin mulai kewalahan ketika anak-anaknya mulai merambat ke depan dan ingin duduk di pangkuannya.“Jiwa, Papa kan lagi nyetir, nanti kita bisa nabrak lho, nak,” ujar Davin saat Jiwa akhirnya berhasil duduk di pangkuannya dan memaksa untuk mengusai setir. Di antara ketiganya Jiwa adalah putrinya yang paling aktif.“Pa, aku awu awa obilnya.”“Iya, Sayang, nanti ya, sekarang lagi ramai.”“Aku uga, Pa, aku uga!” Terdengar seruan dari Sukma dan Raga dari jok belakang yang berebutan ingin duduk di pangkuan Davin yang membuat para pengasuh mereka kerepotan mengendalikannya.Raga yang paling cengeng di antara mereka menangis karena tidak diizinkan mendekati Davin. Sukma serta Jiwa ikut berteriak-teriak yang membuat kepala Davin pusing.“Sama mbak dulu ya, nak, nanti baru sama Papa. Nanti Papa beliin mainan deh.”“Oleee…,” sorak ketiganya dengan lidah cadel mereka setelah dijanjikan Davin. Tidak terhitung lagi entah berapa karung mainan si kecil di rumahnya. Namun bagi Davin tidak masalah. Apa
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa