“Pa, ini ada surat dari sekolah.” Lala mengeluarkan amplop dari dalam tasnya dan memberikan pada Rei.Setelah membacanya, Rei kemudian mengangkat kepala, menghadap pada sang putri. Rei menghela napas. Surat itu adalah surat pemberitahuan atapun undangan untuk wali murid agar menghadiri pertemuan di sekolah. Masalahnya, besok Rei tidak bisa menghadirinya karena sudah ada acara di tempat lain dan tidak bisa dibatalkan.“La, sepertinya Papa tidak bisa datang. Papa sudah ada acara di tempat lain. Tidak apa-apa kan kalau Papa tidak hadir di sekolahmu?” ucap Rei penuh rasa bersalah.Lala tampak kecewa mendengar jawaban Rei. “Tapi sebelumnya Papa juga tidak datang, aku malu, Pa…” Suara Lala terdengar setengah merengek.Rei menggaruk-garuk leher belakangnya kebingungan. Sebenarnya dia juga tidak tega melihat Lala kecewa seperti ini. Tapi dia tidak punya cara lain. “Oke, Papa akan datang, nanti Papa akan telepon dulu untuk membatalkan acaranya,” putus Rei kemudian. Bagaimanapun kebahagiaan La
Cairan dari bawah tubuhnya terus merembes tanpa bisa ditahan. Flo tidak tahu itu cairan apa. Tapi sepertinya bukan urin, karena setahunya kalau urin masih bisa ditahan agar tidak keluar. Flo yang tadinya sudah pasrah seperti ditampar kesadaran. Dia tidak mungkin melahirkan anaknya sendiri di sini. Dia tidak boleh egois dengan hanya memikirkan dirinya sendiri.Bangkit dari berbaring dengan kondisi tubuh yang teramat lemah, Flo mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dia merangkak ke luar dan berusaha mencari pertolongan. Mungkin ada orang di luar sana yang bisa membantunya.Namun belum sempat sampai di pintu, Flo menyerah dan kembali berbaring di lantai. Satu-satunya yang kini dia harapkan adalah akan datang keajaiban padanya. Sambil memejamkan mata, Flo mengusap perut dan terus berdoa di dalam hati.Mukjizat itu akhirnya pun tiba. Anne yang sejak tadi merasa perasaannya tidak enak dan seperti mendapatkan firasat buruk memutuskan untuk pulang ke rumah. Anne langsung menerobos masuk ke dalam
Annabelle sudah berada di rumah sakit setelah Anne meneleponnya. Dan sekarang mereka menunggu dengan hati harap-harap cemas. Mereka hanya bisa berdoa agar proses operasi itu berjalan lancar. Tidak ada apapun yang mereka inginkan sekarang selain keselamatan Flo dan bayinya.Annebelle sedang melayani kliennya saat Anne menelepon tadi dan memberitahu bahwa Flo akan melahirkan. Selama ini Annabelle memang terkenal sebagai pribadi yang profesional dengan pekerjaannya. Tapi melihat keadaan Flo, dia rela meninggalkan segalanya.“Tenanglah, Ma,” ujar Anne saat melihat Annabelle yag gelisah sejak tadi.“Mama tidak akan bisa tenang kalau operasinya belum selesai,” ucap Annabelle membalas ucapan anaknya.“Semuanya akan baik-baik saja, Ma, kita serahkan semuanya pada tenaga medis. Aku yakin mereka sudah sangat profesional.”Annebelle menghela napas dalam-dalam lantas mengeluarkan pelan-pelan. Mencoba menenangkan perasaannya sendiri. Flo mungkin memang bukan anak kandungnya. Dan darah yang mengal
Ya Tuhan, ada apa ini? Rei merasa tidak sanggup mendengar tangis bayi itu. Dia merasa bayi itu bukanlah sosok yang asing baginya. Dia merasa dekat seolah ada yang menghubungkan mereka. Tapi apa? Dan siapa dia? Siapa anak itu sebenarnya? Mengapa perasaannya jadi aneh begini?Mengapa dia menangis tengah malam begini? Apa tidak ada orang di rumah itu? Apa ibunya tidak menyusuinya? Apa anak itu sakit? Atau jangan-jangan ibunya yang sakit?Entah atas dasar apa yang mendorong Rei untuk turun dari mobil. Dia juga tidak mengerti. Lihatlah sekarang. Rei kebingungan sendiri di depan pintu pagar yang terkunci tanpa tahu apa yang harus dilakukannya.‘Apa yang kulakukan di sini? Memangnya ini rumah siapa? Kenapa aku seperti orang bingung begini?’Tertegun cukup lama Rei akhirnya dikejutkan oleh deringan ponselnya. Di malam hening begini apapun akan terdengar nyaring. Merogoh sakunya, Rei melihat nama Clara di layar gawai. Mau apa Clara menelepon malam-malam begini?Rei tahu dia tidak akan tahu j
Beberapa hari ini Lala terlihat murung dan selalu menghindari Rei. Anak itu selalu berkelit tiap kali Rei bertanya padanya sampai-sampai Rei menjadi bingung sendiri. Rei berpikir di dalam hati apakah ini gara-gara kejadian seminggu yang lalu saat Rei menyatakan tidak mampu memenuhi keinginannya untuk menikahi Clara?Rei sudah memikirkannya berhari-hari, dan keputusannya tetap sama. Dia tidak akan menikahi Clara. Untuk apa menikah dengan orang yang tidak kita cintai? Cukup sekali Rei melakukan hal konyol itu saat dia memutuskan untuk menikahi Flo. Memutuskan untuk hidup bersama dengan perempuan itu adalah hal paling gila dalam hidupnya walaupun akhirnya Rei jatuh cinta sungguhan padanya. Tapi menikah dengan Clara? Tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Rei harap tidak akan ada yang mampu menggoyahkannya. Walau apapun jua.Pagi ini keduanya sarapan dalam diam. Sesekali Rei mencuri pandang pada Lala yang lebih banyak menunduk dan tidak bicara padanya. Rei mengerti perasaan Lala. Anaknya
Rei dan Clara sedang berada di Spain TV ketika mendapat telepon yang mengabari bahwa Lala mengalami kecelakaan.Rei merasa jantungnya hampir terlepas dari rongganya saat mendengar berita itu. Berbagai pikiran buruk kini menghuni kepalanya. Tidak ada lagi yang membuatnya ketakutan selain kekhawatiran akan kehilangan anak tunggalnya. Lala adalah satu-satunya harta paling berharga yang dimilikinya di antara sekian banyak hartanya.“Aku ikut, Rei!” seru Clara saat melihat Rei melangkah cepat menuju mobilnya.Rei tidak menghiraukan Clara namun juga tidak melarangnya. Mungkin dia akan membutuhkan perempuan itu nanti. Entah untuk apa. “Tenanglah, Rei, jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Aku yakin Lala akan baik-baik saja,” kata Clara mencoba membuat agar Rei tidak panik.“Bagaimana aku bisa tenang sedangkan aku tidak tahu keadaan anakku!” Suara Rei meninggi dan terdengar seperti sedang membentak Clara hingga membuat gadis itu terkesiap dan memundurkan duduknya yang sedikit miring mengarah
Rei dan Clara bergegas masuk ke ruangan untuk menemui Lala setelah suster mengatakan bahwa anak itu ingin bertemu dengan mereka. Apa yang dirasakan Rei dan Clara kurang lebih sama. Sama-sama cemas, sama-sama khawatir dan ketakutan.Lala sontak ingin duduk saat melihat Rei dan Clara masuk ke ruangan, tapi terhalang karena badannya langsung kesakitan saat mencoba bergerak.“Papa… sakit sekali, Pa…” Anak itu menangis mengadukan apa yang dialaminya.Rei memeluk Lala tanpa suara. Batinnya menangis, menyesali apa yang telah terjadi.Clara ikut memeluk Lala setelah Rei melepaskannya. “Sabar ya, sayang… Aunty mengerti perasaanmu. Sekarang mana yang sakit?”“Kepalaku, Nty, semua badanku juga. Aku takut, aku tidak akan mau naik motor lagi…”“Iya, kamu tidak akan pernah naik motor lagi. Aunty akan mengantarmu ke mana saja kamu mau. Ke sekolah, ke rumah temanmu, ke mall, pokoknya ke mana saja.”Clara terus menghibur Lala yang merengek sambil menangis. Sementara itu Rei memandang mereka berdua den
Sudah sejak tadi baby Noah menangis. Anak itu meronta-ronta tidak jelas dalam dekapan Flo. Itu semua akibat badannya panas. Meskipun Flo sudah memberinya obat penurun panas, tapi sepertinya obat yang Flo berikan tidak memberikan efek apa-apa. Suhu badannya tetap tinggi.“Flo, apa badannya masih panas?” tanya Anne yang mendengar tangis baby Noah sejak tadi dan tidak kunjung diam. Flo mengangguk cemas. “Aku sudah memberinya obat tapi belum ada hasil apa-apa, suhu badannya tetap tinggi,” ucap Flo dengan raut khawatir yang begitu kentara di wajahnya.“Kalau begitu kita bawa ke rumah sakit saja sekarang,” putus Anne cepat. Gadis itu tidak ingin mengulur waktu, dia pernah mendengar mengenai anak yang meregang nyawa karena suhu badannya terlalu tinggi dan terlambat diberi penanganan.Flo langsung mengiakan dan memberi perintah pada adik tirinya itu untuk membawa barang-barang yang dibutuhkan seperti diaper dan baju ganti kalau saja diperlukan nanti. Sedangkan dirinya sendiri sibuk menenangk
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa