Cairan dari bawah tubuhnya terus merembes tanpa bisa ditahan. Flo tidak tahu itu cairan apa. Tapi sepertinya bukan urin, karena setahunya kalau urin masih bisa ditahan agar tidak keluar. Flo yang tadinya sudah pasrah seperti ditampar kesadaran. Dia tidak mungkin melahirkan anaknya sendiri di sini. Dia tidak boleh egois dengan hanya memikirkan dirinya sendiri.Bangkit dari berbaring dengan kondisi tubuh yang teramat lemah, Flo mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dia merangkak ke luar dan berusaha mencari pertolongan. Mungkin ada orang di luar sana yang bisa membantunya.Namun belum sempat sampai di pintu, Flo menyerah dan kembali berbaring di lantai. Satu-satunya yang kini dia harapkan adalah akan datang keajaiban padanya. Sambil memejamkan mata, Flo mengusap perut dan terus berdoa di dalam hati.Mukjizat itu akhirnya pun tiba. Anne yang sejak tadi merasa perasaannya tidak enak dan seperti mendapatkan firasat buruk memutuskan untuk pulang ke rumah. Anne langsung menerobos masuk ke dalam
PLAAAK!!! PLAAAK!!!Dua kali tamparan bolak-balik mendarat mulus di pipi Darren. Darren yang sedang memeluk Kiara yang tengah menangis sontak melepaskan dekapannya dari perempuan itu saat Tatiana—sang kekasih sekaligus calon istrinya muncul tiba-tiba entah dari mana.“Tia! Apa-apaan kamu?” tanya Darren kaget sambil memegang pipinya yang perih akibat stempel jari-jari yang dilayangkan Tatiana ke mukanya."Apanya yang apa-apaan?" balas Tatiana seraya memandang tajam pada Darren dengan sepasang mata bulatnya. "Tega kamu ya, Ren! Kita udah mau nikah dan tinggal selangkah lagi, tapi kamu berani-beraninya main di belakangku."“Tia, kamu dengar aku dulu, aku nggak main belakang, aku—““Sudahlah, Ren! Aku paham sekarang. Jadi ini alasannya nama aku sudah diganti dengan nama orang lain di buku WO itu?”“Tia, ini nggak seperti yang kamu bayangkan, aku bisa jelasin semuanya.” Darren berusaha menggapai tangan Tatiana dan menepis tangan Kiara yang sejak tadi bergelayut manja di lengannya.“Lepask
What a awkward wedding!Pikiran itu yang melintas di benak Tatiana saat berada di pernikahannya sendiri. Di ballroom hotel yang luas dan sudah didekor sedemikian lupa, nuansa adanya pesta begitu terasa. Ballroom itu didominasi oleh warna putih. Mulai dari dekorasi hingga properti, sampai pada hal-hal yang paling detail seperti taplak meja. Para undangan juga terlihat sangat menikmati aneka hidangan lezat yang disajikan. Namun, bukan itu masalahnya. Ada yang terasa janggal. Tidak seorang pun keluarga Bian ada di sana. Termasuk orang tuanya. Bian bilang mereka sedang berada di luar negeri. Tapi kenapa mereka melewatkan begitu saja momen penting dan sesakral seperti pernikahan? Apalagi yang menikah adalah anak mereka sendiri.Sudah sejak tadi kilatan lampu kamera menerpa dan menyambar-nyambar wajah Bian dan Tatiana. Sudah sejak tadi pula keduanya tak berhenti tersenyum. Tatiana merasakan mulutnya mulai pegal, dan giginya juga sudah kering. Dia melirik tangan Bian yang mengait lengannya.
“Tatiana, bisa kita bicara sebentar?” Suara Bian mengagetkan Tatiana yang sedang duduk melamun di pinggir kolam renang dengan kaki terulur ke dalam air.Tatiana menoleh. Didapatinya Bian sedang berdiri di sisi pintu. Sebuah kacamata hitam membingkai wajahnya.Tatiana bangkit dari duduk, lalu mengikuti Bian yang kembali masuk ke kamar.“Ada apa, Bi?” “Orang tuaku akan datang dari Madrid, nanti malam mereka sudah sampai. Kamu siap-siap ya!”“Madrid?”“Iya, Spanyol. Kamu tahu kan?”Tatiana mengangguk pelan. Bagaimana mungkin dia tidak tahu. Setidaknya secara geografis Tatiana paham letak negara tersebut, walaupun dia belum pernah ke sana. Jujur saja, Tatiana mengagumi salah satu pemain bola dari klub Real Madrid. Bahkan, Tatiana pernah mempunyai impian untuk mengunjungi negara tersebut. Tapi, bagi Tatiana impian itu akan selamanya tetap menjadi mimpi. Darren juga pernah bercerita bahwa Bian adalah pria berdarah campuran Spanyol dan Indonesia.Bian pergi meninggalkan Tatiana sebelum dia
Bian masuk ke kamar setelah orang tua dan adiknya pulang. Lelaki itu melihat Tatiana sedang duduk bercermin di depan kaca. Istrinya itu sedang menyisir rambut, lalu mengoleskan sesuatu ke mukanya. Mungkin semacam krim malam atau sejenis kosmetika lainnya. Bian tidak tahu apa dan tidak mau tahu. Hanya sekedar itu. Bian tidak memedulikannya. Dia lalu merebahkan diri ke tempat tidur dan menarik selimut. Tak lama dia pun tertidur.Tatiana mendesah lelah. Banyak yang ingin ditanyakannya. Nyatanya dia menelan sendiri rasa itu kala melihat Bian yang sepertinya teramat lelah. Buktinya dia memilih mendekam di bawah selimut ketimbang mengajaknya bicara.Tatiana ikut berbaring di sebelah Bian yang tidur membelakanginya. Dia harus segera memejamkan mata karena besok sudah harus kembali bekerja. Tapi yang ada, meskipun matanya terpejam, pikirannya jalan-jalan. Semua percakapan Bian dan orang tuanya tadi begitu mengganggu hati dan pikirannya. Membuatnya resah, galau, juga terhina.***Keesokan har
“Yang benar saja, Bi? Aku nggak percaya kalau dia istri kamu!” kata Gladys tidak terima. Saat ini mereka sedang berbicara di salah satu sudut lounge.“Terserah kamu percaya atau nggak. Nyatanya dia adalah istriku!” “Istri sewaan? Iya? Cuma buat manas-manasin aku kan? Nggak akan mempan, Bi! Apalagi cewek kayak gitu yang kamu sodorin ke aku,” oceh Gladys dengan ekspresi jijik.“Kayak gitu gimana, hah? Buktinya dia jauh lebih baik dari kamu.”“Cuih! Perempuan kayak gitu kamu bilang baik? Dilihat dari puncak Monas juga nggak ada bagus-bagusnya!” Gladys mengambil jeda, lantas menoleh sekilas pada Tatiana yang berdiri terpaku kebingungan sendiri.Bian ikut melirik istrinya itu. Tatiana terlihat seperti orang bingung dalam diamnya. Tatiana pasti terheran-heran dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bian pun tidak ingin ambil peduli. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan perempuan berbibir seksi yang kini bersamanya.“Aku nggak ngerti deh, Bi, apa bagusnya dia? Wajah biasa, pen
Tatiana mondar-mandir sendiri di kamarnya yang luas dan besar. Sudah lewat jam dua malam, tapi hingga detik ini Bian masih belum pulang. Tidak ada kabar apa pun dari lelaki itu, semisal sebaris pesan singkat. Tapi bukankah Bian tidak pernah berkabar? Apa pun yang terjadi Bian tidak akan peduli. Tatiana kembali mengingatkan diri bahwa mereka adalah dua orang asing yang dikumpulkan dalam sebuah ruangan.‘Kenapa aku harus khawatir? Dia saja tidak pernah memedulikanku. Bahkan dia meninggalkanku untuk wanita lain.'Atas pemikirannya barusan, maka Tatiana pun mencoba untuk tidur setelah merebahkan diri di tempat tidur. Diusapnya permukaan kasur yang kosong dan dingin. Sama dinginnya dengan hatinya saat ini. Semestinya Tatiana tidak perlu cemas, nyatanya dia sangat mengkhawatirkan Bian. Di mana Bian menginap sekarang? Apa di tempat perempuan itu? Pernikahan macam apa ini? Sampai kapan akan seperti ini? Tatiana larut dalam pikirannya sendiri. Entah berapa lama, sampai akhirnya dia tertidur
Pagi ini sama seperti pagi-pagi yang lain. Hampir setiap ruas jalan yang Tatiana lewati dipenuhi oleh kendaraan. Mulai dari roda empat hingga roda dua seperti Tatiana sekarang. Sebagian dari mereka Tatiana yakin adalah karyawan seperti dirinya yang sedang mengejar waktu.Tatiana hampir saja lolos dari antrian panjang di traffic light, nyatanya dia harus terjebak perangkap lampu merah lagi karena terlambat bergerak. Terpaksa Tatiana mengumpulkan lagi kesabarannya.Dari balik kaca helm yang gelap Tatiana menoleh pada Land Cruiser hitam yang ikut antri di sebelahnya. Tatiana rasa dia mengenal mobil itu. Tatiana lalu membuka kaca helm agar bisa melihat dengan lebih jelas. Mirip mobil Bian, pikirnya. Tapi bukankah di kota ini banyak yang memiliki mobil serupa? Mungkin saja itu bukan Bian. “Pak Bian, itu bukannya Ibu Tatiana?” tanya Mario saat melihat Tatiana yang juga ikut antri menunggu lampu merah bersamanya.Bian mengarahkan mata pada pandangan Mario. Iya, itu memang Tatiana. Bian mena
Cairan dari bawah tubuhnya terus merembes tanpa bisa ditahan. Flo tidak tahu itu cairan apa. Tapi sepertinya bukan urin, karena setahunya kalau urin masih bisa ditahan agar tidak keluar. Flo yang tadinya sudah pasrah seperti ditampar kesadaran. Dia tidak mungkin melahirkan anaknya sendiri di sini. Dia tidak boleh egois dengan hanya memikirkan dirinya sendiri.Bangkit dari berbaring dengan kondisi tubuh yang teramat lemah, Flo mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dia merangkak ke luar dan berusaha mencari pertolongan. Mungkin ada orang di luar sana yang bisa membantunya.Namun belum sempat sampai di pintu, Flo menyerah dan kembali berbaring di lantai. Satu-satunya yang kini dia harapkan adalah akan datang keajaiban padanya. Sambil memejamkan mata, Flo mengusap perut dan terus berdoa di dalam hati.Mukjizat itu akhirnya pun tiba. Anne yang sejak tadi merasa perasaannya tidak enak dan seperti mendapatkan firasat buruk memutuskan untuk pulang ke rumah. Anne langsung menerobos masuk ke dalam
“Pa, ini ada surat dari sekolah.” Lala mengeluarkan amplop dari dalam tasnya dan memberikan pada Rei.Setelah membacanya, Rei kemudian mengangkat kepala, menghadap pada sang putri. Rei menghela napas. Surat itu adalah surat pemberitahuan atapun undangan untuk wali murid agar menghadiri pertemuan di sekolah. Masalahnya, besok Rei tidak bisa menghadirinya karena sudah ada acara di tempat lain dan tidak bisa dibatalkan.“La, sepertinya Papa tidak bisa datang. Papa sudah ada acara di tempat lain. Tidak apa-apa kan kalau Papa tidak hadir di sekolahmu?” ucap Rei penuh rasa bersalah.Lala tampak kecewa mendengar jawaban Rei. “Tapi sebelumnya Papa juga tidak datang, aku malu, Pa…” Suara Lala terdengar setengah merengek.Rei menggaruk-garuk leher belakangnya kebingungan. Sebenarnya dia juga tidak tega melihat Lala kecewa seperti ini. Tapi dia tidak punya cara lain. “Oke, Papa akan datang, nanti Papa akan telepon dulu untuk membatalkan acaranya,” putus Rei kemudian. Bagaimanapun kebahagiaan La
“Bagaimana bisa kamu ngidam makanan Asia?” tanya Anne setelah mereka berada di mobil. Gadis itu keheranan sendiri. Yang dia tahu Flo tidak suka makanan sejenis itu.Flo tersenyum getir di balik maskernya. Dia mengingat kembali masa-masa yang telah berlalu. Sebut saja masa-masa indah yang pernah ada dalam hidupnya. “Dulu aku memang tidak suka makanan Asia, tapi ternyata tidak kalah enak dari makanan kita. Rei yang mengenalkannya padaku,” beritahunya kemudian.“Benarkah?” tanya Anne lagi kurang yakin.“Tentu saja.” Flo mengangguk mantap. “kalau kamu tidak percaya nanti coba saja. Aku jamin pasti ketagihan.”“Boleh.” Anne tersenyum lebar dan tidak sabar ingin mencicipinya.Keduanya mengedarkan mata ke sisi kiri kanan jalan. Mencari-cari di mana letak restoran Asia berada. Saat menemukannya Anne langsung membelokkan mobil ke sana dan mengajak Flo turun. Tapi alangkah kecewanya mereka karena tidak mendapat apa yang mereka inginkan. Tidak ada sate di sana. Mereka hanya menjual makanan Asia
Flo terpaku dengan handphone yang berada dalam genggamannya. Sudah sejak beberapa detik atau bahkan menit yang lalu dia mengamati foto yang dikirim Kyle. Semua kian menjadi nyata. Tidak ada alasan lagi baginya untuk tetap memertahankan hubungannya dengan Rei.“Aku ikut prihatin, Flo.” Tiba-tiba saja Anne sudah berada di belakang Flo. Entah sejak kapan, tapi pasti dia melihat dengan jelas ke arah layar gawai Flo sehingga dia bisa berkata begitu.Flo menoleh ke arah Anne dan bersikap seolah baginya hal itu bukanlah masalah yang besar. Anne mungkin masih muda tapi pikirannya jauh lebih dewasa dari usia yang sesungguhnya.“Flo, aku mungkin belum menikah, tapi aku mengerti perasaanmu. Aku ikut sedih,” ucap Anne menunjukkan simpati sambil mengambil tempat duduk di kasur di hadapan kakak tirinya itu.Flo tersenyum singkat. “Tidak apa-apa, An, bukan masalah kok. Tapi aku bosan di rumah, boleh aku ikut denganmu?” “Tapi kamu kan sedang hamil,” ujar Anne sembari menjatuhkan mata pada perut Flo
PS: Halo Kak, bab sebelumnya udah diedit ya. Jika di tampilan Kakak masih bab yang salah mungkin butuh waktu sedikit lagi untuk penyesuaian. Maaf atas ketidaknyamanan ini.***“Kami sudah berusaha dengan mengerahkan tim terbaik kami. Usaha yang kami lakukan pun sudah lebih dari maksimal. Namun dengan berat hati kami sampaikan bahwa istri anda dinyatakan sudah meninggal.”“Apa?” ulang Rei nyaris tidak bisa memercayai apa yang baru saja didengarnya.“Chris, kamu yakin kalau Flo benar-benar hilang?” Clara yang siang itu ikut mendampingi Rei tak ketinggalan bertanya.Chris menganggukkan kepala dengan berat hati. “Kami menemukan jenazah seorang wanita tanpa identitas yang ciri-cirinya mirip dengan istrimu. Dia ditemukan meninggal di pinggir kota di dekat San Sebastian. Walau buktinya terdengar kurang meyakinkan, namun bisa jadi dia adalah istrimu,” ucap Chris menatap Rei dengan tatapan prihatin.Rei menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Impossible!” bantahnya. “Flo tidak mungkin me
Rei menghempaskan dirinya di sofa. Dia dan Clara baru saja pulang dari kantor polisi untuk melaporkan segala masalahnya. Rei menceritakan semua kronologinya mulai dari awal hingga akhir tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Meski mereka sempat menyesali sikap Rei yang baru sekarang melapor dan hanya mencari Flo dengan menggunakan orang-orangnya juga, tapi akhirnya mereka berjanji akan menuntaskan kasus itu sesegera mungkin. Masalah ini benar-benar membuat Rei sangat lelah. “Pa, apa mommy Flo masih lama pulangnya?” Lala terus bertanya. “Sabar ya, kita tunggu saja kabarnya, tapi Papa yakin kalau mommymu pasti akan segera kembali.” “Andai saja ada mommy pasti semua tidak akan begini. Pasti rumah kita tidak akan sepi. Mommy bisa menemaniku dan memberitahuku tentang apa saja,” ujar Lala mneyesali keadaan mereka sekarang. Ungkapan hati Lala tersebut justru membuat Rei semakin tersiksa. Andai saja… Ya, begitu banyak pengandaian yang ingin dia ungkapkan. “Aduh, Pa…” Kamu kenapa?”
Clara keluar dari kamar Lala dan bertemu dengan Rei di ruang tengah.“Sudah mau pulang?” tanya Rei pada Clara melihat tas yang tersampir di pundak kanan perempuan itu.“Iya, aku pikir tugasku sudah selesai di sini. Boleh kan aku pulang sekarang?”“Boleh, aku juga akan pergi ke kantor polisi,” kata Rei memberitahu.“Kantor polisi? Untuk apa? Apa yang akan kamu lakukan di sana?” Kerutan dalam tercipta di dahi Clara.“Aku pikir mungkin sebaiknya melaporkan tentang masalah Flo. Aku sudah mencoba mencarinya dengan menggunakan caraku sendiri, namun tidak berhasil. Siapa tahu akan berhasil jika diserahkan pada ahlinya.”Clara terdiam selama beberapa detik seakan sedang memikirkan sesuatu. Begitu merasa yakin, gadis itu kemudian mengungkapkan pikirannya yang tersimpan pada Rei.“Rei, aku punya kerabat yang kebetulan kerja di sana. Mungkin dia bisa membantumu dan prosesnya pun akan lebih cepat. Kalau kamu setuju aku bersedia mengenalkannya padamu. Gimana?”“Tentu saja aku mau. Berapa bayarann
Rei membuka pintu rumah dan menemukan Clara ada di rumah bersama anak perempuannya.“Rei, kamu akhirnya pulang juga.” Clara yang sedang membantu Lala mengerjakan PR sontak berdiri menyambut kedatangan Rei.“Astaga, Clara, ternyata kamu yang membawa Lala pulang, Aku sudah khawatir karena tidak menemukannya di sekolah,” ucap Rei memberitahu. Tadi dia sudah menjemput Lala ke sekolah tapi gurunya mengatakan kalau Lala sudah dijemput oleh tantenya. “Sorry, Rei, aku lupa memberitahumu, tapi aku hanya ingin membantumu,” jawab Clara sedikit merasa bersalah saat melihat raut khawatir lelaki itu.“Lain kali tolong beritahu aku dulu kalau ingin menjemput Lala atau ingin membawanya ke mana pun,” kesal Rei.“Iya, Rei, baik.”Rei mengembuskan napas lantas duduk di sofa. Dia ingin beristirahat sejenak. Diambilnya remot lantas menyalakan televisi dan memilih-milih saluran. Tapi ternyata tidak ada satu pun yang berhasil menarik minatnya. Pada akhirnya Rei mematikan kembali televisinya. Matanya lantas
“Jenis kelaminnya laki-laki. Kondisinya sehat dan normal.”Flo melebarkan bibirnya mendengar keterangan dari dokter. Matanya ikut memindai monitor USG yang menampilkan hasil gerakan serta kondisi janin di dalam rahimnya. Tanpa terasa ini adalah bulan kelima Flo mengandung buah cintanya bersama Rei. Dan selama itu dia benar-benar putus komunikasi dengan sang suami. Flo tidak ingin berharap lagi untuk kembali. Apalagi dari kabar yang dia dengar hubungan Rei dan Clara semakin menjadi.Flo keluar dari ruangan dokter setelah dibekali nasehat-nasehat mengenai kesehatan dia dan calon bayinya. Selanjutnya langkah Flo tertuju ke arah apotik. Dia harus menebus obat-obatan ataupun vitamin yang diresepkan untuknya. Kali ini Flo datang sendiri karena ibu dan adik tirinya tidak bisa menemani.Sambil menunggu namanya dipanggil, Flo duduk di kursi tunggu apotik sembari mengelus-elus perutnya. Di dalam sana sedang tumbuh buah cintanya dengan lelaki yang dia sayangi. Andai saja Rei tahu pasti dia akan