Bab 42. Aku Memilih Berhenti Dari Restoran Bu AjengHatiku tiba-tiba mencelos. Nyelekit perih. Serasa tak percaya apa yang aku dengar barusan dari bibir tipisnya itu. Ternyata aku salah sangka. Rupanya wajah cantik tak menjamin hatinya juga cantik. Suaranya merdu amat, berucap dengan nada begitu lemah lembut, tapi kata-katanya menghinaku, merendahkan pendidikanku. Astaga! Jadi dia pikir aku ini bodoh gitu?****“Kamu hebat, Ning! Kakak mendukungmu!” Kak Runi menyambutku di dapur. “Makasih, Kak!” sahutku langsung mengambil alih sendok goreng besar dari tangan Nani. “Biar saya teruskan, kamu bersihkan meja dan kursi saja, ya!” titahku padanya. Kuaduk masakan rendang yang hampir kering itu. Nani langsung bergerak mematuhi perintahku.“Kamu persis seperti aku dulu, Ning. Saat keluarga mantan suamiku berusaha merebut putriku, tak pertahankan mati-matian. Enak aja mau ambil. Apa mereka enggak ngerti ya, gimana perasaan kita selaku seorang ibu? Lebih baik ndak usah punya apa-apa, asal a
Bab 43. Aku Dituduh PencuriJangan nangis karena dihina! Jangan lemah karena difitnah! Jangan menyerah karena diinjak! Bangkit, kau kuat, kau sanggup! Kua memang miskin, Ning! tapi setidaknya kau masih punya harga dirimu. Kau bukan binatang yang sednag terjepit! Apalagi dituduh menggigit setelah ditolong***** “Jangan kenceng ngomognya, Ning! Malu didenger orang, pelan-pelan aja, yang lembut ngomongnya!” Mbak Kinanti terlihat resah. Rupanya dia tetap berusaha menjaga imag kalau dia adalah wanita lemah lembut. Aku tak peduli.“Enggak penting, Mbak! Buat apa ngomong lembut-lembut tapi nyelekit! Ngomong manis-manis tapi nusuk! Itu namanya munafik!” ketusku.“Baik, jadi kita to the point saja, intinya, anak-anakmu menghalangi recana keluarga besar kami untuk mengobati Mas Elang ke luar negeri. Kamu harus bertanggung jawab untuk itu!”“Tanggung jawab apa? Anakku enggak salah!”“Pokoknya kau harus tanggung jawab! Caranya adalah kamu harus ikutin saran Tante Ajeng dan Om Gondo. Kamu ha
Bab 44. Ditahan Karena Terjerat Hutang “Bening! Kowe …!” Kedua mata Bu Ajeng membulat sempurna, tentu saja sangat kaget dengan keputusanku.“Maaf, saya permisi mengambil barang-barang saya di belakang!” ucapku lalu meninggalkan mereka dengan langkah terburu.“Tunggu, Bening! Tadi kowe ngomong opo, ha?” Bu Ajeng bangkit dari duduknya lalu mengejarku. “Kowe ngomong apa tadi? Coba kowe ulangi! Aku ora mudeng!” teriaknya menyentak lenganku.Aku menghentikan langkah, “saya bilang, saya mau berhenti! Dan saya minta catatan utang-utang saya!” jawabku lalu melanjutkan langkah lagi menuju kamar gudang.“Kok, enak tenan kowe mau berhenti! Kamu itu punya hutang banyak karo aku! Gimana kowe bayarinya kalau kowe berhenti kerja, ha? Ueeenak aja mau berhenti! Enggak bisa!” Senggaknya sekali lagi menghentakkan tanganku.“Mengenai hutang-hutang saya, Ibu enggak usah takut! Bila perlu buat surat perjanjian di atas materai! Saya akan bayar hutang saya, tapi tetap secara cicil! Karena itu perjanjian
Bab 45. Mas Elang di Depan Kontrakanku“Sudah kamu pikirkan matang-matang apa yang kamu lakukan ini?” tanya pria enam puluh tahunan itu menatap wajah Kak Runi lekat. “Kamu sudah ikut dengan kami puluhan tahu, terus hanya karena masalah ini, kamu mau pergi?” sambungnya lagi.Kak Runi menunduk. Kenapa dia? Kok, begitu berhadapan dengan Pak Gondo dia langsung melempem. Aneh.“Kamu, Ning, sudah mantap keputusanmu mau pergi?” Kali ini pria itu menoleh ke arahku.“Bapak akui, Bu Ajeng salah karena langsung menuduhmu mencuri tanpa menyelidiki lebih dulu. Tapi, kamu kan tahu, kalau Bu Ajeng sedang sangat stress. Elang, anak kesayangannya masih terongok di kursi roda. Nirmala meninggalkannya karena kondisinya itu. Kinanti juga memberi persyaratan Elang harus bisa berjalan baru mau menikah. Kami sudah menemukan jalan, Elang akan sembuh bila ke luar negeri. Semua sudah di atur, tetapi tiba-tiba semua hancur. Bukan anak-anakmu yang salah, tidak! Tapi apapun penyebab Elang mangkir, jelas itu m
Bab 46. Wanita di Masa Laluku Adalah Kamu, Ning!POV. ElangBerulangkali sudah aku menelpon Bening. Tetapi, tetap tak dia angkat. Kenapa dia? Padahal aku sudah mewanti-wanti bahkan sedikit mengancam, agar dia angkat telponku segera setiap aku menghubunginya. Apakah dia terlalu sibuk di dapur, sehingga tidak mendengar panggilan ponselku? Atau memang dia sengaja tak mau angkat?Kenapa, sih, perempuan itu. Aaaargh, aku juga aneh. Kenapa hatiku mesti berdebar setiap ingat dia. Kenapa dia ada di dalam pikiranku setiap waktu, setiap detik. Apa istimewanya dia, coba? Cantik, tidak. Bodynya juga tak ada menarik-menariknya. Apalagi dengan penampilannya yang selalu begitu-begitu saja.Padahal aku sudah menyuruhnya beli gaun waktu itu. Aku juga sudah menyuruhnya ke salon, biar penampilannya berubah sedikit. Buktinya, dia cabtik banget, kan, satu hari itu. Tapi, setelah itu, balik lagi seperti semula. Ke mana dia buat gaun mahal waktu itu? Jangan-jangan dia jual lagi buat keperluan penting.
Bab 47. Bening, Harga Dirimu Kubayar KontanSepertinya semua perempuan sama saja, kan, Ning!? Ah, sudahlah! Aku mau mencoba menjalani hidup ini meski sudah tak punya harapan apa-apa. Allah tidak mengambil nyawaku, jadi aku jalani saja. Aku sedikit bersyukur karena bertemu Nada dan Rara. Allah menganugerahi anak-anakmu padaku. Semoga anak-anakmu bisa mengisi hari-hariku, ya, Ning. Aku janji akan memperhatikan mereka dengan baik, pendidikannya, juga masa depannya. Jangan khawatir, Ning! Aku aku tak akan menyusahkanmu. Meski dulu pernah aku menyukaimu, tapi sekarang kamu bukan siapa-siapa bagiku. Begitu inginku. Tapi kenapa aku kepikiran kamu terus? Ning …!“Lang! Elang …!”Aku tersentak kaget. Lamunan panjangku terhenti saat mendengar ketukan halus di pintu kamar. Itu suara Ibu. Sepertinya mereka sudah balik dari Bandara karena aku tak datang juga. Pasti Ibu akan marah-marah sekarang. Biarlah, aku tebalkan telinga saja. Setelah dia lelah mengomel, pasti akan selesai juga.Pe
Bab 48. Balasan Pertama Buat Kinanti“Ada apa Ibu-ibu?” tanyaku heran. Beberapa Ibu-ibu telah berkumpul di depan rumahku Bu Indah, Bu Resty, Bu Leny ada di antara mereka. Seorang wanita berhijab memimpin paling depan, sepertinya dia seorang yang dituakan dalam rombongan itu.“Maaf, ini Bu Bening?” Perempuan berhijab itu bertanya.“Ya, saya sendiri. Ada apa, Bu?” jawabku langsung bertanya lagi.“Kenalkan, Bu! Saya istrinya Pak RT. Saya dimintai Ibu-ibu di gang ini, untuk menemui dan menyampaikan ini sama Ibu.”“Menyampaikan apa?”“Seluruh Ibu-ibu di gang ini memohon dengan hormat agar ibu meninggalkan gang ini. Mereka tak mau bertindak anarkis, main kasar mengusir Ibu dari sini. Jadi mereka meminta saya untuk menengahi ini. Jadi, tolong, ya, Bu, setidaknya besok pagi, Ibu sudah angkat kaki dari sini.”Aku tercekat. Kaget luar biasa. Apa lagi ini, Tuhan? Apakah ini belum selesai juga?“Jangan tersinggung, Bu! Ini untuk ketentraman kita bersama. Ibu-ibu di sini sudah beretiket baik,
Bab 49. Nek Ayang Malaikat Atau Musuh Baruku“Om kita mau ke mana?” tanya Rara saat mobil Mas Elang terpaksa berhenti di lampu merah.“Kita ke rumah baru kalian, Sayang!” sahut Mas Elang menoleh ke belakang.“Rumah baru? Nanti enggak diusir lagi kayak tadi, kan, Om?” oceh Rara terlihat senang. Namun tidak dengan Nada.“Kita pindah-pindah terus, Ma?” lirihnya terlihat murung. Dia sangat jarang bicara, bila kali ini dia bicara itu artinya hatinya sedang sangat tidak nyaman.“Maafkan mama, Sayang,” ucapku pelan.Lampu jalan berubah warna, mobil kembali berjalan. Suasana hening. Rara yang biasanya tak berhenti mengoceh kali ini diam membisu. Sepertinya dia paham kesedihan kakaknya, meski dia sendiri merasakan hal yang sama. Bahkan penderitaannya tentu lebih parah, karena trauma yang penah dia alami, pasti sering menyergap juga. Kedua putriku berubah menjadi pendiam.Nyesss! Kembali ada perih di sini, di hati ini. Kenapa aku belum bisa membahagiakan putri putriku? Apakah aku sudah gag
Bab 117. Tamat (Malam Pertama Elang Dan bening)“Kamu terima aku, kan, Ning? Tapi, maaf, mungkin aku tak bisa memuaskanmu di ranjang. Kamu bisa terima aku apa adanya, kan?” Mas Elang menggenggam tanganku, tatapannya tepat di bola mataku, begitu sayu dan menghiba. “Aku sangat mencintai kamu, Ning. Maya bukan siapa siapa bagiku. Tolong terima lamaranku, aku mohon!” lirihnya lagi.“Mas Elang …?” gumamku tercekat.“Aku janji akan berusaha menjadi ayah yang baik buat anak-anak kamu. Aku juga sudah baca-baca tutorial memuaskan istri bila senjata suami gak mampu bertahan lama. Aku akan praktekkan cara itu. Aku akan buat kamu sampai benar-benar puas, baru aku tuntaskan diriku sendiri. Asal kamu sudah puas, meski aku hanya bisa tahan sebentar, gak masalah, kan?”“Mas?”“Mau praktekin sekarang?”“Tidak.”“Ya, kita halalin dulu, ya!”Mas Elang memelukku, kembali melumat bibirku. Kali ini aku membalasnya. Kurasakan ada yang menegang di areal sensitifnya. Hatiku membuncah, aku bersumpah, ta
Bab 116. Lamaran Mengejutkan Mas Elang“Mbak Nuri di sini? Kenapa? Kapan Mbak datang dari Tawang Sari? Kenapa enggak langsung ke rumah Ibu, kok, malah ke sini?” cecar Mas Elang begitu turun dari mobilnya dan menghampiri kami. Pria itu hanya menatap Mbak Nuri, sedikitpun tak melihat ke arahku. Padahal posisiku tepat di samping kakaknya itu.“I-ya, aku sengaja langsung ke warung Bening. Bening nelpon kakak. Dia ngadu tentang hubungan kalian.” Mbak Nuri mulai bersandiwara.Kulihat wajah Mas Elang memerah. Dia sempat melirikku sekilas, tatapan kami beradu, pria itu lalu berpaling.“Kita pulang sekarang, aku tunggu di mobil!” titahnya langsung meninggalkan kami.Kuhela nafas panjang, mengembuskannya dengan sangat berat. Mbak Nuri menepuk bahuku dengan halus, seperti hendak mentransfer kekuatan agar stok sabarku tak habis. Buru-buru kami mengunci pintu warung, lalu menyusul ke mobil Mas Elang. Mbak Nuri membukakan pintu untuk kami. Memintaku masuk duluan di jok tengah.“Kenapa dia ikut?”
Bab 115. Hampir Diperkos* Mas Wisnu“Menikah? Kalian mau menikah?” seruku masih saja kaget. Padahal aku tahu hubungan Kak Runi dengan Mas Dayat akhir-akhir ini makin dekat saja. Kukira mereka masih dalm tahap saling menjajaki, ternyata sudah sampai pada tahap yang paling tinggi. Menikah.“Iya, Ning, kami minta ijin cuti, ya. Buat Persiapan lamaran.” Kak Runi menunduk. Sepertinya, dia masih saja malu-malu. Mungkin karena Mas Dayat pernah menyukaiku dulu. Dia bahkan sempat ikut berjuang untuk menyatukan antara aku dan Mas Dayat dulu.“Ya, sudah. Selamat, ya! Semoga acaranya berjalan lancar. Kapan rencana kalian pulang kampung?” tanyaku menatap mereka bergantian.“Sore ini, kalau kamu ijinin.” Kak Runi mendongak.“Tentu aku ijinin. Tapi, maaf, acara lamarannya aku enggak bisa hadir, nanti di acara pernikahannya saja, ya, aku datang?”“Ya, datang bareng Mas Elang, ya, Ning!” Mas Dayat langsung nyeletuk. Aku hanya tersenyum tipis. Kualihkan suasana dengan bergerak ke laci kasir. Meraih p
Bab 114. Janji Nek AyangAku menoleh ke belakang, Nek Ayang berdiri kaku di sana. Tatapannya lekat kepadaku. Tatapan dengan sorot mata sayu.“Nenek?” gumamku terkejut. “Sejak kapan Nenek di sini?” tanyaku gelisah.“Sejak tadi,” sahutnya pelan.“Nenek tidak mendengar apa apa, bukan?” tanyaku mendekatinya, kuraih lengannya, lalu kubimbing berjalan menuju bangku panjang yang tersedia di halaman belakang warung itu. Tetapi dia bertahan tak bergerak. Tetap kokoh di posisi berdirinya.“Nenek sudah mendengar semuanya. Sekarang nenek paham apa yang membuat Elang berubah.”“Nek, tolong jangan salah paham! Apa yang Nenek dengar tadi tak seperti yang sebenarnya.”“Mungkin Elang memang benar, Ning! Cucuku itu …, wess lah, Ning! Kowe ora usah ikut stress, Nduk! Keputusan Elang, pasti sudah dia pikirkan baik baik.”“Nenek! Kenapa sekarang Nenek malah ikut-ikutan seperti ini? Bening mau, Nenek itu membantu Bening meyakinkan Mas Elang. Bantu Bening, Nek!”“Elang sudah dewasa, Nduk! Dia tau apa ya
Bab 113. Rahasia TerbongkarWajah Nek Ayang tampak sangat semringah sekarang. Setelah dia mendengar penuturanku barusan. Sepertinya dia begitu lega, dan mengira cucunya hanya cemburu buta. Dia pasti berfikir hubunganku dengan cucunya baik-baik saja.“Elang enggak tahu hati perempuan, apa dikiranya kita mau saja diajak ehem ehem padahal hati kita sudah sangat benci? Hehehe … biarkan dia dibakar cemburu, kowe tenang saja! Itu artinya Elang cinta banget karo kowe, iyo, toh, Ning?” ungkapnya seraya mengusap punggung tanganku.Aku mengangguk saja. Biarlah Nek Ayang berfikir seperti itu. Padahal masalahnya tak sesederhana itu. Ada masalah yang begitu pelik tengah melanda antara aku dan cucunya. Bukan sekedar cemburu buta, tetapi lebih kepada rasa minder Mas Elang akan kelemahannya.Mas Elang merasa dia kalah jauh dibandingkan dengan Mas Sigit dalam urusan ranjang. Perasaan minder itu semakin membakar hatinya saat tahu kalau Mas Sigit memaksaku melakukan hubungan badan kemarin. Mas Elang
Bab 112. Perintah Nek AyangMereka semua terperangh kaget. Pernyataanku barusan jelas tak bisa mereka percaya. Tapi aku tak peduli. Sudah terlanjur. Aku tak peduli entah apa tanggapan Mas Sigit juga keluarganya. Yang aku pikirkan justru perasaan Mas Elang. Aku begitu mengkhawatirkan dia sekarang.Entah bagaimana tanggapannya terhadapku. Setelah jelas-jelas dia mulai menghindariku, aku justru ungkapkan perasaan cintaku. Padahal dia mulai mencipta jarak denganku. Tak pernah lagi menelpon, apa lagi mendatangi aku. Biasanya dia menjemputku ke warung di malam hari, mengantarku pulang ke rumah karena dia mengkhawtirkn aku pulang sendiri di tengah malam. Lalu, dia akan menjemputku lagi di pagi hari.Sekarang itu tak lagi dia lakukan. Bukankah itu artinya dia sudah mundur. Dan saat itu pula aku menyatakan perasaanku. Ah, betapa rendah aku di matanya sekarang. Mungkin dia menganggap aku wanita murahan. Tapi, sudahlah. Aku pasrah saja. Yang penting aku lolos dulu dari Mas Sigit.“Apa? Kau bil
Bab 111. Pengakuan Cinta Kepada Mas Elang Kulepaskan rangkulan tangan Mas Sigit di bahuku, kukibaskan dengan kasar. Itu tak luput dari perhatian Mas Elang dan juga Nek Ayang. Mereka hanya melongo. Sementara tiga perempuan yang sejak tadi menonton dari jarak yang agak jauh, kini datang mendekat. Mbak Ambar, Mbak Sekar dan ibunya. “Ning, kamu?” sergah Mas Sigit menatapku tak percaya. “Kenapa kamu ikut bar-bar seperti ini, Ning?” tanyanya dengan nada lirih. “Kamu sepertinya lupa kalau kemarin aku bahkan bersikap lebih bar-bar. Luka di kening kamu saja belum kering, Mas! Kau mau mendapt luka baru lagi, hem? Kuingatkan padamu, antara aku dan kau tidak ada ikatan apa-apa lagi, jadi jangan pernh berani menyentuhku, paham!” tegasku diiringi hujaman tatapan tajam. “Aku belum talak kamu, Ning! Pengadilan juga belum mengeluarkan surat cerai. Jadi, kau masih istriku. Aku berhak atas dirimu, kau masih istriku, Ning!” “Jangan mimpi! Meski kau tak talak aku, bagiku kau bukan siapa-siapaku lagi
Bab 110. Mantan Suami dan Calon Suami Mantan ibu mertua berhasil menjambak rambutku. Kutahan sakit itu demi melindugi Nek Ayang.“lepaskan nenek, Ning! Biar nenek lawan perempuan itu!” perintah Nek Ayang mencoba melepaskan diri dari pelukanku.“Tidak, Nek! Nenek enggak akan tahan. Tulang Nenek bisa remuk dihantamnya, Bening enggak mau Nenek kenapa napa,” tolakku mengeratkan pelukan.“Tapi de e jambakin rambut kowe, Ning!”“Biar, Nek, Bening tahan, kok. Asal jangan Nenek yang disakiti.”“Ya, Allah, Ning, kowe iku, Nduk!” ucap Nek Ayang terharu.“Lepaskan rambut Bening!” Sebuah suara yang sudah sangat kukenal tiba-tiba terdengar. Sontak jambakan di kepalaku lepas. “Sini, lepaskan, Nenek, biar aku yang melindungi,” ucapnya padaku seraya merengkuh tubuh renta Nek Ayang dari pelukanku.“Kowe, datang, Lang!” lirih Nek Ayang dengan mata berkaca-kaca. Aku merasa sangat lega sekarang. Nek Ayang sudah berada di tangan yang aman. Entah bagaimana dan kapan datangnya, Mas Elang tiba-tiba s
Bab 109. Perkelahian Nek Ayang Dengan Mantan Ibu Mertuaku“Ini barang-barang kalian, jangan pernah injak rumahku lagi!” tegas Yosa seraya melemparkan tiga koper ke hadapan para benalu itu.“Yosa, maksudnya apa ini, Nak?” Sang mertua menatap nanar menantu kesayangan. Mbak Ambar dan Mbak Sekar pun terlihat kebingungan.“Saya sudah menjatuhkan talak kepada Mas Sigit, putra Tante! Meskipun saya tahu itu terbalik, tapi mau gimana lagi. Habisnya, saya minta talak, Mas Sigit enggak mau nalak saya. Ya, udah, saya aja yang talak dia, hehehehe ….” Yosa terkekeh.“Yosa,” gumam mereka bersamaan.“Jadi, antara saya dan putra Anda, sudah tak ada ikatan apa-apa. Dan antara saya dengan Anda, juga kedua betina ini, juga sudah tak ada hubungan apapun. Paham, Tante?” sinis Yosa dengan iringan senyum ketus.“Yosa, kamu … kamu maksudnya, maksudnya?” Mbak Ambar dan Mbak Sekar memegangi kedua lengan Yosa. Mengguncang-guncangnya dengan kalimat terbata-bata.“Iya, maksud saya, kalian harus keluar dari rumah s