Bab 46. Wanita di Masa Laluku Adalah Kamu, Ning!POV. ElangBerulangkali sudah aku menelpon Bening. Tetapi, tetap tak dia angkat. Kenapa dia? Padahal aku sudah mewanti-wanti bahkan sedikit mengancam, agar dia angkat telponku segera setiap aku menghubunginya. Apakah dia terlalu sibuk di dapur, sehingga tidak mendengar panggilan ponselku? Atau memang dia sengaja tak mau angkat?Kenapa, sih, perempuan itu. Aaaargh, aku juga aneh. Kenapa hatiku mesti berdebar setiap ingat dia. Kenapa dia ada di dalam pikiranku setiap waktu, setiap detik. Apa istimewanya dia, coba? Cantik, tidak. Bodynya juga tak ada menarik-menariknya. Apalagi dengan penampilannya yang selalu begitu-begitu saja.Padahal aku sudah menyuruhnya beli gaun waktu itu. Aku juga sudah menyuruhnya ke salon, biar penampilannya berubah sedikit. Buktinya, dia cabtik banget, kan, satu hari itu. Tapi, setelah itu, balik lagi seperti semula. Ke mana dia buat gaun mahal waktu itu? Jangan-jangan dia jual lagi buat keperluan penting.
Bab 47. Bening, Harga Dirimu Kubayar KontanSepertinya semua perempuan sama saja, kan, Ning!? Ah, sudahlah! Aku mau mencoba menjalani hidup ini meski sudah tak punya harapan apa-apa. Allah tidak mengambil nyawaku, jadi aku jalani saja. Aku sedikit bersyukur karena bertemu Nada dan Rara. Allah menganugerahi anak-anakmu padaku. Semoga anak-anakmu bisa mengisi hari-hariku, ya, Ning. Aku janji akan memperhatikan mereka dengan baik, pendidikannya, juga masa depannya. Jangan khawatir, Ning! Aku aku tak akan menyusahkanmu. Meski dulu pernah aku menyukaimu, tapi sekarang kamu bukan siapa-siapa bagiku. Begitu inginku. Tapi kenapa aku kepikiran kamu terus? Ning …!“Lang! Elang …!”Aku tersentak kaget. Lamunan panjangku terhenti saat mendengar ketukan halus di pintu kamar. Itu suara Ibu. Sepertinya mereka sudah balik dari Bandara karena aku tak datang juga. Pasti Ibu akan marah-marah sekarang. Biarlah, aku tebalkan telinga saja. Setelah dia lelah mengomel, pasti akan selesai juga.Pe
Bab 48. Balasan Pertama Buat Kinanti“Ada apa Ibu-ibu?” tanyaku heran. Beberapa Ibu-ibu telah berkumpul di depan rumahku Bu Indah, Bu Resty, Bu Leny ada di antara mereka. Seorang wanita berhijab memimpin paling depan, sepertinya dia seorang yang dituakan dalam rombongan itu.“Maaf, ini Bu Bening?” Perempuan berhijab itu bertanya.“Ya, saya sendiri. Ada apa, Bu?” jawabku langsung bertanya lagi.“Kenalkan, Bu! Saya istrinya Pak RT. Saya dimintai Ibu-ibu di gang ini, untuk menemui dan menyampaikan ini sama Ibu.”“Menyampaikan apa?”“Seluruh Ibu-ibu di gang ini memohon dengan hormat agar ibu meninggalkan gang ini. Mereka tak mau bertindak anarkis, main kasar mengusir Ibu dari sini. Jadi mereka meminta saya untuk menengahi ini. Jadi, tolong, ya, Bu, setidaknya besok pagi, Ibu sudah angkat kaki dari sini.”Aku tercekat. Kaget luar biasa. Apa lagi ini, Tuhan? Apakah ini belum selesai juga?“Jangan tersinggung, Bu! Ini untuk ketentraman kita bersama. Ibu-ibu di sini sudah beretiket baik,
Bab 49. Nek Ayang Malaikat Atau Musuh Baruku“Om kita mau ke mana?” tanya Rara saat mobil Mas Elang terpaksa berhenti di lampu merah.“Kita ke rumah baru kalian, Sayang!” sahut Mas Elang menoleh ke belakang.“Rumah baru? Nanti enggak diusir lagi kayak tadi, kan, Om?” oceh Rara terlihat senang. Namun tidak dengan Nada.“Kita pindah-pindah terus, Ma?” lirihnya terlihat murung. Dia sangat jarang bicara, bila kali ini dia bicara itu artinya hatinya sedang sangat tidak nyaman.“Maafkan mama, Sayang,” ucapku pelan.Lampu jalan berubah warna, mobil kembali berjalan. Suasana hening. Rara yang biasanya tak berhenti mengoceh kali ini diam membisu. Sepertinya dia paham kesedihan kakaknya, meski dia sendiri merasakan hal yang sama. Bahkan penderitaannya tentu lebih parah, karena trauma yang penah dia alami, pasti sering menyergap juga. Kedua putriku berubah menjadi pendiam.Nyesss! Kembali ada perih di sini, di hati ini. Kenapa aku belum bisa membahagiakan putri putriku? Apakah aku sudah gag
Bab 50. Syarat Mengejutkan Dari Nek AyangNek Ayang menatapku lagi. Tatapan penuh makna. Entah itu iba, kasihan, atau malah tak suka, aku belum tahu apa pastinya. Apalagi dengan pengakuan cucu tersayangnya yang mengatakan aku adalah wanita yang disayanginya. Mas Elang aneh-aneh saja.“Tinggallah di sini, Ning! Rumah ini kosong! Sanyang kalau tak ditempati. Dulu ada yang nempati, sepasang suami istri dan anak tiga. Istrinya jual lontong pagi-pagi. Suaminya supir angkutan umum. Naas, suaminya kecelakaan, dan meninggal. Istrinya memilih pulang kampung,” kata Nek Ayang membuat hatiku sedikit lega. Namun galau segera menyergapku.“Terima kasih, Nek. Tapi, saya belum bisa bayar sewanya. Saya belum punya uang,” ucapku seraya tertunduk.“Ndak usah mikirin sewa dulu! Nanti kalau usahamu lancar, baru pikirkan itu!”“Terima kasih, Nek!”“Hem, yang kuat, ya! Nenek juga dulu janda. Ajeng dan Restu, pamannya Elang, tak besarkan tanpa dampingan seorang suami. Bahkan hingga detik ini nenek te
Bab 51. Nirmala Dicumbu Pria Lain Mas Elang berpaling saat mulut Nirmala di sumbat oleh pria itu dengan bibirnya. Apalagi tangan Nirmala langsung mengalung di leher sang pria. Jelas terlihat kalau Nirmala sangat menikmati dan membalas pagutan pasangannya. Satu hal yang kusadari kini, kalau Mas Elang masih sangat mencintai istrinya. Dan hari ini, tanpa sengaja dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri perempuan itu telah dimiliki pria lain. Sesakit itukah? Mas Sigit, kamu juga berbuat seperti itu padaku. Sakit sekali kurasakan. Sesakit ini jugakah perasaan Mas Elang? Saat harus melepas orang yang kita cintai menjadi milik orang lain?****“Jangan kamu pikirkan itu! Aku akan mengantar Bening belanja. Bantu aku masuk ke mobil!” perintah Mas Elang lagi.Aku terkejut lagi. Kenapa dia suka sekali memutuskan sesuatu tanpa bertanya dulu pendapatku? Siapa juga yang mau belanja di temani olehnya? Aku hanya bertanya di mana pasar terdekat.“Ning, cepat!” panggilnya diiringi bunyi kla
Bab 52. Bu Ajeng Melabrak Warungku“Ini saja belanjanya, Mbak?” Pria penarik becak yang dipesani Mas Elang tadi membantu mengangkatkan barang belanjaanku.“Iya, Pak! Ini saja dulu, ini juga sudah sangat banyak,” sahutku. Ya, daftar belanjaan yang sudah kurencanakan semula berubah banyak. Uang pembelian Mas Elang kugunakan juga. Aku nekat menyediakan menu makan siang juga. Tak ada salahnya aku mencoba, begitu pikirku.Kata orang rendang daging olahanku sangat enak. Kalah rasa rendang di restoran mahal sekalipun. Bahkan banyak pelanggan Bu Ajeng yang khusus datang hanya karena tak bisa melupakan menu daging rendang special di restoran itu. Rendang daging itulah yang akan menjadi menu andalanku. Kalau ternyata tidak laku, tidak apa-apa kami akan konsumsi sendiri bersama anak-anak. Toh, daging rendang tidak gampang basi.“Sudah semua, Pak?” tanyaku meneliti sekali lagi isi beca. Beras, kelapa, daging sapi, daging ayam, bumbu-bumbu, satu tumpuk sayuran, minyak goreng, sepertinya suda
Bab 53. Rupanya Pengkhianat Itu Adalah Mas Dayat“Sini kowe! Dasar penjilat! Kowe jilati bokongnya Elang, toh? Kowe jilati bokong anakku supaya kowe ditolong! Terus kau bujuk dia untuk merayu ibuku, supaya ibuku ngasih izin kowe tinggal di sini! Astaga, di mana mukamu, Ning! Ini … ni rumah ibuku! Sok-sok an kowe keluar dari restoranku, tapi kau menjilat pan t*t anaku dan ibuku, supaya kowe dapat tempat jualan di sini! Beraninya kowe mau buka usah rumah makan seperti ini, astaga! Kok yo, pede banget, kowe, Ning! Perempuan kampung! Kowe iku katak di bawah tempurung!”Aku menunduk. Kedatangan Bu Ajeng dan Kinanti ini masih sangat mengejutkan bagiku. Apalagi langsung marah-marah seperti ini. Otakku belum menemukan kalimat yang paling tepat untuk kuucap.“Kok kowe iso punya ide buka rumah makan kayak ngene, hem? Mau niru restoran milikku? Jangan mimpi, kowe! Kowe mau modal dari mana, hem? Oh, iyo, tadi Dayat juga sempat bilang kalau kowe sedang belanja dengan Elang! Kau merayu Elang