Bab 39. Janjiku Pada Mas Elang?Kak Runi yang masih berdiri di hadapanku menunjuk-nunjuk ke belakang. Entah apa maksudnya. Apakah itu kode untuk memberithu aku bahwa Mas elang ada di belakang?“Cepet, Ning! Kowe samperin si Elang! Bujuk dia supaya cepat-cepat datang ke Bandara! Suruh diantar sama Dayat! Cepet. yo, Ning!”“Saya yang bujuk?”“Ya, iyo! Masa si Dayat! Elang ke situ ngejar kowe, toh?”“Lho, kok, ngejar saya?”“Mbuhlah, Ning! Pokoknya kowe harus bisa ngebujuk Elang! Cepetan!”“Njih, Buk! Saya coba!” Kutatap Kak Runi dengan nanar. Diapun paham apa yang aku risaukan. “Coba dulu!” katanya lalu menarik tanganku, membawaku menuju gudang. Gudang restorang yang sempat aku jadikan kamar waktu itu.Mas Dayat memperhatikan kami dari sudut ruangan. Sempat kulihat tatapan kecewa di sorot matanya. Namun, aku tak sempat memikirkan itu semua. Baru saja aku merasa begitu bahagia karena keadaanku saat ini bersama anak-anak. Tetapi semua sirna karena masalah yang seharusnya tak terjadi i
Bab 40. Siapa Wanita Yang Dihindari Mas Elang?“Ambil ini, Ning!” Pria itu tiba-tiba mengulurkan sebuah ponsel.“Apa ini, Mas?” seruku kaget.“Ini hape lamaku. Jarang kupakai. Mulai sekarang kamu pakai saja supaya aku gampang menghubungimu! Pokoknya setiap aku menelpon wajib kamu angkat, paham?”“Tapi, Mas. ini … ini hape mahal!”“Aku mau pulang!” sergahnya tak menghiraukan protesanku.Aku masih terperangah, bingung. Belum selesai masalah dia yang tak mau juga ke Bandara, sekarang dia tambah pula dengan masalah ponsel ini. Apa kata Bu Ajeng nanti kalau tahu anaknya memberi aku sebuah ponsel.“Ning, aku pulang, ya! Jangan terlalu capek kerjanya!” ulangnya. Dia juga … mengucapakan kalimat yang berupa perhatian padaku. Ini maksudnya apa?“Hey, jangan melongo aja! Aku mau pulang! Ingat, Dayat harus mengantar Nada dan Rara ke rumahku setelah pulang sekolah nanti. Bik Siti akan kusuruh masak yang enak buat mereka! Oh, iya, aku juga akan menghubungi guru ngaji buat Nada dan Rara. Kem
Bab 41. Maaf, Kinanti, Aku Tidak Menjual Anak!Aku mengangguk seraya melemparkan senyum ramah. Gadis itu mengulurkan tangan sambil tersneyum lagi. Aku ragu untuk menyalamnya. Minder tepatnya. Mana berani aku menyentuh tangan lembut dan mulus itu dengan tangakku yang kasar dan tapanya kapalan seperti parutan kelapa ini. Aku takut kulit mulusnya akan tergores.“Kinanti,” ucapnya masih tersenyum.“Saya Bening, Mbak,” ucapku terpaksa menyalamnya, namun tak sampai sedetik aku langsung menarik tanganku lagi.“Jadi piye ceritane? Nopo kowe enggak bisa membujuk Elang?” semprot Bu Ayu kemudian.“Saya sudah berusaha, Bu. Tapi Mas Elang tetap enggak mau. Saya minta maaf,” ucapku menunduk.“Trus, sekarang dia ke mana? Tak pikir masih di sini, makanya kami susul ke mari.”“Katanya mau pulang, Bu.”“Yo, weslah. Gini, ya, Ning! Bapak sama Ibu sudah rembukkan tadi di jalan, Kinanti juga setuju, iyo, kan, Nduk?” kata Bu Ajeng menoleh kepada gadis cantik di sampingnya.“Iya, Tante,” sahut gadis it
Bab 42. Aku Memilih Berhenti Dari Restoran Bu AjengHatiku tiba-tiba mencelos. Nyelekit perih. Serasa tak percaya apa yang aku dengar barusan dari bibir tipisnya itu. Ternyata aku salah sangka. Rupanya wajah cantik tak menjamin hatinya juga cantik. Suaranya merdu amat, berucap dengan nada begitu lemah lembut, tapi kata-katanya menghinaku, merendahkan pendidikanku. Astaga! Jadi dia pikir aku ini bodoh gitu?****“Kamu hebat, Ning! Kakak mendukungmu!” Kak Runi menyambutku di dapur. “Makasih, Kak!” sahutku langsung mengambil alih sendok goreng besar dari tangan Nani. “Biar saya teruskan, kamu bersihkan meja dan kursi saja, ya!” titahku padanya. Kuaduk masakan rendang yang hampir kering itu. Nani langsung bergerak mematuhi perintahku.“Kamu persis seperti aku dulu, Ning. Saat keluarga mantan suamiku berusaha merebut putriku, tak pertahankan mati-matian. Enak aja mau ambil. Apa mereka enggak ngerti ya, gimana perasaan kita selaku seorang ibu? Lebih baik ndak usah punya apa-apa, asal a
Bab 43. Aku Dituduh PencuriJangan nangis karena dihina! Jangan lemah karena difitnah! Jangan menyerah karena diinjak! Bangkit, kau kuat, kau sanggup! Kua memang miskin, Ning! tapi setidaknya kau masih punya harga dirimu. Kau bukan binatang yang sednag terjepit! Apalagi dituduh menggigit setelah ditolong***** “Jangan kenceng ngomognya, Ning! Malu didenger orang, pelan-pelan aja, yang lembut ngomongnya!” Mbak Kinanti terlihat resah. Rupanya dia tetap berusaha menjaga imag kalau dia adalah wanita lemah lembut. Aku tak peduli.“Enggak penting, Mbak! Buat apa ngomong lembut-lembut tapi nyelekit! Ngomong manis-manis tapi nusuk! Itu namanya munafik!” ketusku.“Baik, jadi kita to the point saja, intinya, anak-anakmu menghalangi recana keluarga besar kami untuk mengobati Mas Elang ke luar negeri. Kamu harus bertanggung jawab untuk itu!”“Tanggung jawab apa? Anakku enggak salah!”“Pokoknya kau harus tanggung jawab! Caranya adalah kamu harus ikutin saran Tante Ajeng dan Om Gondo. Kamu ha
Bab 44. Ditahan Karena Terjerat Hutang “Bening! Kowe …!” Kedua mata Bu Ajeng membulat sempurna, tentu saja sangat kaget dengan keputusanku.“Maaf, saya permisi mengambil barang-barang saya di belakang!” ucapku lalu meninggalkan mereka dengan langkah terburu.“Tunggu, Bening! Tadi kowe ngomong opo, ha?” Bu Ajeng bangkit dari duduknya lalu mengejarku. “Kowe ngomong apa tadi? Coba kowe ulangi! Aku ora mudeng!” teriaknya menyentak lenganku.Aku menghentikan langkah, “saya bilang, saya mau berhenti! Dan saya minta catatan utang-utang saya!” jawabku lalu melanjutkan langkah lagi menuju kamar gudang.“Kok, enak tenan kowe mau berhenti! Kamu itu punya hutang banyak karo aku! Gimana kowe bayarinya kalau kowe berhenti kerja, ha? Ueeenak aja mau berhenti! Enggak bisa!” Senggaknya sekali lagi menghentakkan tanganku.“Mengenai hutang-hutang saya, Ibu enggak usah takut! Bila perlu buat surat perjanjian di atas materai! Saya akan bayar hutang saya, tapi tetap secara cicil! Karena itu perjanjian
Bab 45. Mas Elang di Depan Kontrakanku“Sudah kamu pikirkan matang-matang apa yang kamu lakukan ini?” tanya pria enam puluh tahunan itu menatap wajah Kak Runi lekat. “Kamu sudah ikut dengan kami puluhan tahu, terus hanya karena masalah ini, kamu mau pergi?” sambungnya lagi.Kak Runi menunduk. Kenapa dia? Kok, begitu berhadapan dengan Pak Gondo dia langsung melempem. Aneh.“Kamu, Ning, sudah mantap keputusanmu mau pergi?” Kali ini pria itu menoleh ke arahku.“Bapak akui, Bu Ajeng salah karena langsung menuduhmu mencuri tanpa menyelidiki lebih dulu. Tapi, kamu kan tahu, kalau Bu Ajeng sedang sangat stress. Elang, anak kesayangannya masih terongok di kursi roda. Nirmala meninggalkannya karena kondisinya itu. Kinanti juga memberi persyaratan Elang harus bisa berjalan baru mau menikah. Kami sudah menemukan jalan, Elang akan sembuh bila ke luar negeri. Semua sudah di atur, tetapi tiba-tiba semua hancur. Bukan anak-anakmu yang salah, tidak! Tapi apapun penyebab Elang mangkir, jelas itu m
Bab 46. Wanita di Masa Laluku Adalah Kamu, Ning!POV. ElangBerulangkali sudah aku menelpon Bening. Tetapi, tetap tak dia angkat. Kenapa dia? Padahal aku sudah mewanti-wanti bahkan sedikit mengancam, agar dia angkat telponku segera setiap aku menghubunginya. Apakah dia terlalu sibuk di dapur, sehingga tidak mendengar panggilan ponselku? Atau memang dia sengaja tak mau angkat?Kenapa, sih, perempuan itu. Aaaargh, aku juga aneh. Kenapa hatiku mesti berdebar setiap ingat dia. Kenapa dia ada di dalam pikiranku setiap waktu, setiap detik. Apa istimewanya dia, coba? Cantik, tidak. Bodynya juga tak ada menarik-menariknya. Apalagi dengan penampilannya yang selalu begitu-begitu saja.Padahal aku sudah menyuruhnya beli gaun waktu itu. Aku juga sudah menyuruhnya ke salon, biar penampilannya berubah sedikit. Buktinya, dia cabtik banget, kan, satu hari itu. Tapi, setelah itu, balik lagi seperti semula. Ke mana dia buat gaun mahal waktu itu? Jangan-jangan dia jual lagi buat keperluan penting.