Bab 31. Vonis Dari Dokter Untuk Kaki Mas Elang“Oh, jadi, itu tujuan Mas yang sebenarnya?”“Ya, maaf! Jika kau merasa aku memperalatmu!”“Kenapa tidak tadi saja sekalian, saat Dokter tadi memintaku menemuinya?”“Aku tidak tega melihat penampilanmu! Kamu tahu, rumah sakit ini adalah rumah sakit swasta terelit di kota ini! Bayangkan kamu berkeliaran ke sana kemari, masuk ke ruanagn Dokter, hanya dengan daster lusuh dan kumalmu tadi! Aku tak mau kamu diremehkan orang! Karena pada umumnya, manusia menilai seseorang itu adalah berdasarkan penampilan.”Aku terdiam, dalam hati sangat membenarkan.“Sekarang pergilah! Setelah ini, aku izinkan kamu pulang! Aku tidak akan menahan kamu di sini lagi.”“Baik, Mas Elang tidur, ya! Mas sudah terlalu lelah sejak tadi, Mas pasti belum ada istirahanya!”“Aku akan tidur setelah mendengar informasi darimu!”“Baikalah kalau begitu. Saya pergi dulu, ya!”“Hem.”**“Selamat siang, Dokter!” sapaku seraya melangkah masuk. “Siang, silahkan masuk!” jawabny
Bab 32. Perasan Sapu Tangan Rembesan ASI-ku“Tidak, Sayang! Om Elang tidak mengusir mama. Sini, masuk! Salim dulu Om Elangnya, Nak!” ucapku, sontak membuat mata Elang beralih kepadaku. Kubalas tatapannya dengan senyum lembut. Wajah ketatnya berangsur surut.“Siapa dia?” tanyanya pelan.“Dia putri sulungku. Namanya Nada. Nada, salim Om Elang, Nak!” titahku.Nada melangkah masuk dengan langkah masih takut-takut. Mas Dayat menggandeng tangannya mendekati kami.“Selamat siang, Om!” ucap Nada seraya mengulurkan tangan. “Nama saya Nada, Om,” sambungnya saat Mas Elang menjabat tangan mungil itu. Nada mencium punggung tangan kurus tak berdaging itu.“Kelas berapa?” tanya Mas Elang ramah. Syukurlah, ternyata dia bisa bersikap lunak kepada putriku.“Kelas tiga, Om,” sahut Nada dengan sopan. “Maafin, Mama kalau dia ada salah, ya, Om! Jangan marahin Mama, kasihan dia selalu dimarahin oleh semua orang. Dulu sering dimarahin nenek, tante Ambar, tante Sekar, Papa, juga kemarin dimarahin oleh Mam
Bab 33. Suara Desahan Istri Baru Suamiku Di Antara Rintihan PutrikuAku siap menerima apapun resikonya, yang penting bisa bertemu Rara sebentar saja. Namun yang kutunggu tak juga tiba. Kata Nada sudah tiga hari Rara tidak sekolah. Kutemui guru kelas satu untuk mencari informarsi yang sebenarnya. Ibu Guru itu membenarkan, Rara sakit, itu alasan Mas Sigit menelpon dia tiga hari yang lalu.Entah kali ini beneran sakit atau bohongan lagi seperti waktu itu. Sebagai seorang ibu, aku sangat tidak tenang. Segera kubereskn semua tugas-tugasku, lalu minta izin kepada Bu Ajeng untuk menjenguk putriku.“Aku antar, Ning!” Mas Dayat menawarkan jasa.“Aku antar, Ning!” Mas Dayat menawarkan jasa.“Enggak usah, Mas! Mas Dayat harus antar pesanan jam sebelas nanti,” tolakku tak mau merepotkan siapapun. Aku juga harus sebisa mungkin menjaga jarak dengan pria itu. Dengan naik ojek aku menuju rumah istri baru Mas Sigit.Setelah membayar ongkos, aku melangkah memasuki halaman yang luas tak berpagar i
Bab 34. Kuhajar Suami dan MadukuTiba-tiba Mas Sigit dan Yosa sudah berdiri menghadang. “Eeeeeeh, kamu! Beraninya kamu masuk ke dalam rumahku tanpa permisi! Mau mencuri kamu, ya!?” Yosa langsung menjambak rambutku.Aku bertahan, tak kupedulikan sakit karena jambakannya yang semakin kencang. Jika aku melawan, maka Rara akan lepas dari gendongan. Kuterobos tubuh mereka yang masih berpakaian acak-acakan. Kulanjutkan langkah kaki dengan beban tubuh Rara yang tak kurasakan berat. Ketakutanku akan kehilangan nyawa Rara mengalahkan segalanya.“Mau kau bawa ke mana Rara! Siniin!” Mas Sigit merebut tubuh putriku. Sementara jambakan istrinya masih erat di rambutku.“Jangan, Mas! Rara sakit, Mas! Rara pingsan, Mas! Rara demam, Mas! Tolong lepasin, Mas! Aku akan membawanya ke rumah sakit, tolong, Mas!” pintaku berusaha mempertahankan tubuh Rara.“Siapa yang mneyuruhmu ke sini! Aku juga bisa membawanya ke rumah sakit! Pergi kau, Bneing!” bentak Mas Sigit berhasil merebut tubuh Rara dari ge
Bab 35. Biaya Rumah Sakit Putriku “Bagaimana putri saya, Suster?” tanyaku deg-deg an.“Putri Ibu sudah ditangani dokter. Pertolongan pertama sudah di berikan. Demamnya sudah sitangani. Sampel darah juga sudah kita kirim ke lab. Kita tunggu hasilnya, ya, Bu!”“Anak saya masih bisa diselamatkan, kan, Suster?”“Insyaallah, ya, Bu! Bantu doa! Dokter pasti lakukan yang terbaik”“Sebenarnya dia sakit apa, Sus?”“Kita tunggu hasil lab dulu, ya, Bu! Diagnosa sementara Dokter, putri ibu terkena types. Ini, Bu, ada yang ingin saya sampaikan. Putri Ibu akan kita pindahkan ke ruangan, tolong ibu urus administrasinya segera, ya! Agar dia bisa masuk ruang rawat!”“Administrasi, ya, Sus?”“Iya, Bu! Kami tunggu secepatnya, ya!”Aku belum menjawab, tapi perawat itu sudah kembali masuk dan menutup pintu ruangan. Kepalaku mendadak pusing. Tadi yang aku pikirkan hanya nyawa anakku, sekarang aku dihadapkan kepada masalah baru. Biaya!“Kamu tunggu di sini, ya, aku yang akan urus!” Mas Dayat menyentuh lemb
Bab 36. Sikap Aneh Bu Ajeng“Maaf, Pak Elang dan Bu Bening! Fix, putri Ibu mengalami trauma.” Wanita yang dari perwakilan Komnas perlindungan Anak itu berkomentar.Wanita itu lalu mendekati ranjang pasien, mengeluarkan sebuah boneka mungil namun sangat cantik dari dalam tasnya. “Hey, saya Bu Retno, ini hadiah buat anak cantik seperti kamu, mau, ya?” Dia menyapa Rara dengan penuh kelembutan, mengajak putriku berbincang. Yang lain hanya mencatat saja di buku notes mereka. Setelah saju jam berbincang, mereka mohon pamit.Rara terlihat kembali ceria setelah usai berbincang dengan wanita lemah lembut itu. Memeluk dan berkali-kali menciumi bonekanya. Bu Retno berjanji akan datang lagi besok dengan membawa bonek yang lebih besar. Rara terlihat makin senang.“Kami permisi, Pak Elang, Bu Bening. Kami akan menindak lanjuti laporan Bapak tadi. Pak Sigit dan Bu Yosa akan kita tuntut dengan pasal penganiyaan, penyekapan, dan penelantaran anak di bawah umur. Bapak dan Ibu tennag saja, ya! Fok
Bab 37. Jangan Curi Hati Putraku, Ning!“Bu Ajeng menyambutku dengan wajah cemberut. Ini aneh, kenapa dia? Apakah karena kemarin aku seharian di rumah sakit menjaga Rara dan tak datang lagi ke restoran? Kan aku sudah minta izin semalam?“Maaf, Bu, kemarin itu, anak saya belum bisa ditinggal, makanya saya tidak balik kerja. Putri saya trauma, jadi saya belum berani meninggalkannya sendirian,” ucapku dengan nada sangat rendah. Berharap dia mengerti.“Ndak apa-apa! Itu, bumbu rendang, kamu pegang!” perintahnya tanpa menatap wajahku. Segera kuraih mangkuk dan rak tempat bumbu kering. Kuracik dengan penuh konsentrasi. Kulupakan sejenak masalah Rara, agar bisa fokus dalam menakar.“Nanti siang, kakak-kakak si Elang pada datang,” kata Bu Ajeng tanpa menoleh ke arahku.“Oh, iya, Bu!” sahutku masih bingung, kenapa dia mesti lapor kepadaku. Apakah ada sesuatu yang dia khawatirkan bila anak-anaknya semua datang nanti? Dan itu ada hubungannya dengan aku, begitu?“Mereka mau bertemu Elang! Ma
Bab 38. Mas Elang Kabur dari Bandara Dengan cekatan sang perawat melepas jarum dan selang di pergelangan tangan Rara sambil berpesan agar Rara jangan dulu minum es dan makan teratur agar tidak sakit lagi. Rara mengangguk patuh. Perawat yang ramah itu mengantar kami sampai ke dalam lif.“Cepat masuk, Ning!” Bu Ajeng menarik tangan Rara dan mendorongnya mausk ke jok tengah mobilnya. nada sudah ada di dalam. Aku cepat-cepat menyusul masuk setelah meletakan barang bawaanku.“Cepat, Yat! Muter kiri aja dulu! Jangan sampai dia melihat kita!” perintahnya kepada Mas Dayat yang sudah menghidupkan mesin mobil. Bu Ajeng duduk di depan. Aku bingung entah siapa maksudnya ‘dia’ itu. Kenapa Bu Ajeng seperti sangat khawatir ‘si dia’ itu melihat kami. Kuedarkan pandangan untuk mencari tahu. Tapi aku tak menemukan siapapun di sekitar situ.“Kakinya saja masih lumpuh, kok, nekat banget nyetir mobil! Bagaimana caranya dia masuk ke dalam mobilnya tadi, coba?” omel Bu Ajeng terlihat sangat kesal saat
Bab 117. Tamat (Malam Pertama Elang Dan bening)“Kamu terima aku, kan, Ning? Tapi, maaf, mungkin aku tak bisa memuaskanmu di ranjang. Kamu bisa terima aku apa adanya, kan?” Mas Elang menggenggam tanganku, tatapannya tepat di bola mataku, begitu sayu dan menghiba. “Aku sangat mencintai kamu, Ning. Maya bukan siapa siapa bagiku. Tolong terima lamaranku, aku mohon!” lirihnya lagi.“Mas Elang …?” gumamku tercekat.“Aku janji akan berusaha menjadi ayah yang baik buat anak-anak kamu. Aku juga sudah baca-baca tutorial memuaskan istri bila senjata suami gak mampu bertahan lama. Aku akan praktekkan cara itu. Aku akan buat kamu sampai benar-benar puas, baru aku tuntaskan diriku sendiri. Asal kamu sudah puas, meski aku hanya bisa tahan sebentar, gak masalah, kan?”“Mas?”“Mau praktekin sekarang?”“Tidak.”“Ya, kita halalin dulu, ya!”Mas Elang memelukku, kembali melumat bibirku. Kali ini aku membalasnya. Kurasakan ada yang menegang di areal sensitifnya. Hatiku membuncah, aku bersumpah, ta
Bab 116. Lamaran Mengejutkan Mas Elang“Mbak Nuri di sini? Kenapa? Kapan Mbak datang dari Tawang Sari? Kenapa enggak langsung ke rumah Ibu, kok, malah ke sini?” cecar Mas Elang begitu turun dari mobilnya dan menghampiri kami. Pria itu hanya menatap Mbak Nuri, sedikitpun tak melihat ke arahku. Padahal posisiku tepat di samping kakaknya itu.“I-ya, aku sengaja langsung ke warung Bening. Bening nelpon kakak. Dia ngadu tentang hubungan kalian.” Mbak Nuri mulai bersandiwara.Kulihat wajah Mas Elang memerah. Dia sempat melirikku sekilas, tatapan kami beradu, pria itu lalu berpaling.“Kita pulang sekarang, aku tunggu di mobil!” titahnya langsung meninggalkan kami.Kuhela nafas panjang, mengembuskannya dengan sangat berat. Mbak Nuri menepuk bahuku dengan halus, seperti hendak mentransfer kekuatan agar stok sabarku tak habis. Buru-buru kami mengunci pintu warung, lalu menyusul ke mobil Mas Elang. Mbak Nuri membukakan pintu untuk kami. Memintaku masuk duluan di jok tengah.“Kenapa dia ikut?”
Bab 115. Hampir Diperkos* Mas Wisnu“Menikah? Kalian mau menikah?” seruku masih saja kaget. Padahal aku tahu hubungan Kak Runi dengan Mas Dayat akhir-akhir ini makin dekat saja. Kukira mereka masih dalm tahap saling menjajaki, ternyata sudah sampai pada tahap yang paling tinggi. Menikah.“Iya, Ning, kami minta ijin cuti, ya. Buat Persiapan lamaran.” Kak Runi menunduk. Sepertinya, dia masih saja malu-malu. Mungkin karena Mas Dayat pernah menyukaiku dulu. Dia bahkan sempat ikut berjuang untuk menyatukan antara aku dan Mas Dayat dulu.“Ya, sudah. Selamat, ya! Semoga acaranya berjalan lancar. Kapan rencana kalian pulang kampung?” tanyaku menatap mereka bergantian.“Sore ini, kalau kamu ijinin.” Kak Runi mendongak.“Tentu aku ijinin. Tapi, maaf, acara lamarannya aku enggak bisa hadir, nanti di acara pernikahannya saja, ya, aku datang?”“Ya, datang bareng Mas Elang, ya, Ning!” Mas Dayat langsung nyeletuk. Aku hanya tersenyum tipis. Kualihkan suasana dengan bergerak ke laci kasir. Meraih p
Bab 114. Janji Nek AyangAku menoleh ke belakang, Nek Ayang berdiri kaku di sana. Tatapannya lekat kepadaku. Tatapan dengan sorot mata sayu.“Nenek?” gumamku terkejut. “Sejak kapan Nenek di sini?” tanyaku gelisah.“Sejak tadi,” sahutnya pelan.“Nenek tidak mendengar apa apa, bukan?” tanyaku mendekatinya, kuraih lengannya, lalu kubimbing berjalan menuju bangku panjang yang tersedia di halaman belakang warung itu. Tetapi dia bertahan tak bergerak. Tetap kokoh di posisi berdirinya.“Nenek sudah mendengar semuanya. Sekarang nenek paham apa yang membuat Elang berubah.”“Nek, tolong jangan salah paham! Apa yang Nenek dengar tadi tak seperti yang sebenarnya.”“Mungkin Elang memang benar, Ning! Cucuku itu …, wess lah, Ning! Kowe ora usah ikut stress, Nduk! Keputusan Elang, pasti sudah dia pikirkan baik baik.”“Nenek! Kenapa sekarang Nenek malah ikut-ikutan seperti ini? Bening mau, Nenek itu membantu Bening meyakinkan Mas Elang. Bantu Bening, Nek!”“Elang sudah dewasa, Nduk! Dia tau apa ya
Bab 113. Rahasia TerbongkarWajah Nek Ayang tampak sangat semringah sekarang. Setelah dia mendengar penuturanku barusan. Sepertinya dia begitu lega, dan mengira cucunya hanya cemburu buta. Dia pasti berfikir hubunganku dengan cucunya baik-baik saja.“Elang enggak tahu hati perempuan, apa dikiranya kita mau saja diajak ehem ehem padahal hati kita sudah sangat benci? Hehehe … biarkan dia dibakar cemburu, kowe tenang saja! Itu artinya Elang cinta banget karo kowe, iyo, toh, Ning?” ungkapnya seraya mengusap punggung tanganku.Aku mengangguk saja. Biarlah Nek Ayang berfikir seperti itu. Padahal masalahnya tak sesederhana itu. Ada masalah yang begitu pelik tengah melanda antara aku dan cucunya. Bukan sekedar cemburu buta, tetapi lebih kepada rasa minder Mas Elang akan kelemahannya.Mas Elang merasa dia kalah jauh dibandingkan dengan Mas Sigit dalam urusan ranjang. Perasaan minder itu semakin membakar hatinya saat tahu kalau Mas Sigit memaksaku melakukan hubungan badan kemarin. Mas Elang
Bab 112. Perintah Nek AyangMereka semua terperangh kaget. Pernyataanku barusan jelas tak bisa mereka percaya. Tapi aku tak peduli. Sudah terlanjur. Aku tak peduli entah apa tanggapan Mas Sigit juga keluarganya. Yang aku pikirkan justru perasaan Mas Elang. Aku begitu mengkhawatirkan dia sekarang.Entah bagaimana tanggapannya terhadapku. Setelah jelas-jelas dia mulai menghindariku, aku justru ungkapkan perasaan cintaku. Padahal dia mulai mencipta jarak denganku. Tak pernah lagi menelpon, apa lagi mendatangi aku. Biasanya dia menjemputku ke warung di malam hari, mengantarku pulang ke rumah karena dia mengkhawtirkn aku pulang sendiri di tengah malam. Lalu, dia akan menjemputku lagi di pagi hari.Sekarang itu tak lagi dia lakukan. Bukankah itu artinya dia sudah mundur. Dan saat itu pula aku menyatakan perasaanku. Ah, betapa rendah aku di matanya sekarang. Mungkin dia menganggap aku wanita murahan. Tapi, sudahlah. Aku pasrah saja. Yang penting aku lolos dulu dari Mas Sigit.“Apa? Kau bil
Bab 111. Pengakuan Cinta Kepada Mas Elang Kulepaskan rangkulan tangan Mas Sigit di bahuku, kukibaskan dengan kasar. Itu tak luput dari perhatian Mas Elang dan juga Nek Ayang. Mereka hanya melongo. Sementara tiga perempuan yang sejak tadi menonton dari jarak yang agak jauh, kini datang mendekat. Mbak Ambar, Mbak Sekar dan ibunya. “Ning, kamu?” sergah Mas Sigit menatapku tak percaya. “Kenapa kamu ikut bar-bar seperti ini, Ning?” tanyanya dengan nada lirih. “Kamu sepertinya lupa kalau kemarin aku bahkan bersikap lebih bar-bar. Luka di kening kamu saja belum kering, Mas! Kau mau mendapt luka baru lagi, hem? Kuingatkan padamu, antara aku dan kau tidak ada ikatan apa-apa lagi, jadi jangan pernh berani menyentuhku, paham!” tegasku diiringi hujaman tatapan tajam. “Aku belum talak kamu, Ning! Pengadilan juga belum mengeluarkan surat cerai. Jadi, kau masih istriku. Aku berhak atas dirimu, kau masih istriku, Ning!” “Jangan mimpi! Meski kau tak talak aku, bagiku kau bukan siapa-siapaku lagi
Bab 110. Mantan Suami dan Calon Suami Mantan ibu mertua berhasil menjambak rambutku. Kutahan sakit itu demi melindugi Nek Ayang.“lepaskan nenek, Ning! Biar nenek lawan perempuan itu!” perintah Nek Ayang mencoba melepaskan diri dari pelukanku.“Tidak, Nek! Nenek enggak akan tahan. Tulang Nenek bisa remuk dihantamnya, Bening enggak mau Nenek kenapa napa,” tolakku mengeratkan pelukan.“Tapi de e jambakin rambut kowe, Ning!”“Biar, Nek, Bening tahan, kok. Asal jangan Nenek yang disakiti.”“Ya, Allah, Ning, kowe iku, Nduk!” ucap Nek Ayang terharu.“Lepaskan rambut Bening!” Sebuah suara yang sudah sangat kukenal tiba-tiba terdengar. Sontak jambakan di kepalaku lepas. “Sini, lepaskan, Nenek, biar aku yang melindungi,” ucapnya padaku seraya merengkuh tubuh renta Nek Ayang dari pelukanku.“Kowe, datang, Lang!” lirih Nek Ayang dengan mata berkaca-kaca. Aku merasa sangat lega sekarang. Nek Ayang sudah berada di tangan yang aman. Entah bagaimana dan kapan datangnya, Mas Elang tiba-tiba s
Bab 109. Perkelahian Nek Ayang Dengan Mantan Ibu Mertuaku“Ini barang-barang kalian, jangan pernah injak rumahku lagi!” tegas Yosa seraya melemparkan tiga koper ke hadapan para benalu itu.“Yosa, maksudnya apa ini, Nak?” Sang mertua menatap nanar menantu kesayangan. Mbak Ambar dan Mbak Sekar pun terlihat kebingungan.“Saya sudah menjatuhkan talak kepada Mas Sigit, putra Tante! Meskipun saya tahu itu terbalik, tapi mau gimana lagi. Habisnya, saya minta talak, Mas Sigit enggak mau nalak saya. Ya, udah, saya aja yang talak dia, hehehehe ….” Yosa terkekeh.“Yosa,” gumam mereka bersamaan.“Jadi, antara saya dan putra Anda, sudah tak ada ikatan apa-apa. Dan antara saya dengan Anda, juga kedua betina ini, juga sudah tak ada hubungan apapun. Paham, Tante?” sinis Yosa dengan iringan senyum ketus.“Yosa, kamu … kamu maksudnya, maksudnya?” Mbak Ambar dan Mbak Sekar memegangi kedua lengan Yosa. Mengguncang-guncangnya dengan kalimat terbata-bata.“Iya, maksud saya, kalian harus keluar dari rumah s