Bab 35. Biaya Rumah Sakit Putriku “Bagaimana putri saya, Suster?” tanyaku deg-deg an.“Putri Ibu sudah ditangani dokter. Pertolongan pertama sudah di berikan. Demamnya sudah sitangani. Sampel darah juga sudah kita kirim ke lab. Kita tunggu hasilnya, ya, Bu!”“Anak saya masih bisa diselamatkan, kan, Suster?”“Insyaallah, ya, Bu! Bantu doa! Dokter pasti lakukan yang terbaik”“Sebenarnya dia sakit apa, Sus?”“Kita tunggu hasil lab dulu, ya, Bu! Diagnosa sementara Dokter, putri ibu terkena types. Ini, Bu, ada yang ingin saya sampaikan. Putri Ibu akan kita pindahkan ke ruangan, tolong ibu urus administrasinya segera, ya! Agar dia bisa masuk ruang rawat!”“Administrasi, ya, Sus?”“Iya, Bu! Kami tunggu secepatnya, ya!”Aku belum menjawab, tapi perawat itu sudah kembali masuk dan menutup pintu ruangan. Kepalaku mendadak pusing. Tadi yang aku pikirkan hanya nyawa anakku, sekarang aku dihadapkan kepada masalah baru. Biaya!“Kamu tunggu di sini, ya, aku yang akan urus!” Mas Dayat menyentuh lemb
Bab 36. Sikap Aneh Bu Ajeng“Maaf, Pak Elang dan Bu Bening! Fix, putri Ibu mengalami trauma.” Wanita yang dari perwakilan Komnas perlindungan Anak itu berkomentar.Wanita itu lalu mendekati ranjang pasien, mengeluarkan sebuah boneka mungil namun sangat cantik dari dalam tasnya. “Hey, saya Bu Retno, ini hadiah buat anak cantik seperti kamu, mau, ya?” Dia menyapa Rara dengan penuh kelembutan, mengajak putriku berbincang. Yang lain hanya mencatat saja di buku notes mereka. Setelah saju jam berbincang, mereka mohon pamit.Rara terlihat kembali ceria setelah usai berbincang dengan wanita lemah lembut itu. Memeluk dan berkali-kali menciumi bonekanya. Bu Retno berjanji akan datang lagi besok dengan membawa bonek yang lebih besar. Rara terlihat makin senang.“Kami permisi, Pak Elang, Bu Bening. Kami akan menindak lanjuti laporan Bapak tadi. Pak Sigit dan Bu Yosa akan kita tuntut dengan pasal penganiyaan, penyekapan, dan penelantaran anak di bawah umur. Bapak dan Ibu tennag saja, ya! Fok
Bab 37. Jangan Curi Hati Putraku, Ning!“Bu Ajeng menyambutku dengan wajah cemberut. Ini aneh, kenapa dia? Apakah karena kemarin aku seharian di rumah sakit menjaga Rara dan tak datang lagi ke restoran? Kan aku sudah minta izin semalam?“Maaf, Bu, kemarin itu, anak saya belum bisa ditinggal, makanya saya tidak balik kerja. Putri saya trauma, jadi saya belum berani meninggalkannya sendirian,” ucapku dengan nada sangat rendah. Berharap dia mengerti.“Ndak apa-apa! Itu, bumbu rendang, kamu pegang!” perintahnya tanpa menatap wajahku. Segera kuraih mangkuk dan rak tempat bumbu kering. Kuracik dengan penuh konsentrasi. Kulupakan sejenak masalah Rara, agar bisa fokus dalam menakar.“Nanti siang, kakak-kakak si Elang pada datang,” kata Bu Ajeng tanpa menoleh ke arahku.“Oh, iya, Bu!” sahutku masih bingung, kenapa dia mesti lapor kepadaku. Apakah ada sesuatu yang dia khawatirkan bila anak-anaknya semua datang nanti? Dan itu ada hubungannya dengan aku, begitu?“Mereka mau bertemu Elang! Ma
Bab 38. Mas Elang Kabur dari Bandara Dengan cekatan sang perawat melepas jarum dan selang di pergelangan tangan Rara sambil berpesan agar Rara jangan dulu minum es dan makan teratur agar tidak sakit lagi. Rara mengangguk patuh. Perawat yang ramah itu mengantar kami sampai ke dalam lif.“Cepat masuk, Ning!” Bu Ajeng menarik tangan Rara dan mendorongnya mausk ke jok tengah mobilnya. nada sudah ada di dalam. Aku cepat-cepat menyusul masuk setelah meletakan barang bawaanku.“Cepat, Yat! Muter kiri aja dulu! Jangan sampai dia melihat kita!” perintahnya kepada Mas Dayat yang sudah menghidupkan mesin mobil. Bu Ajeng duduk di depan. Aku bingung entah siapa maksudnya ‘dia’ itu. Kenapa Bu Ajeng seperti sangat khawatir ‘si dia’ itu melihat kami. Kuedarkan pandangan untuk mencari tahu. Tapi aku tak menemukan siapapun di sekitar situ.“Kakinya saja masih lumpuh, kok, nekat banget nyetir mobil! Bagaimana caranya dia masuk ke dalam mobilnya tadi, coba?” omel Bu Ajeng terlihat sangat kesal saat
Bab 39. Janjiku Pada Mas Elang?Kak Runi yang masih berdiri di hadapanku menunjuk-nunjuk ke belakang. Entah apa maksudnya. Apakah itu kode untuk memberithu aku bahwa Mas elang ada di belakang?“Cepet, Ning! Kowe samperin si Elang! Bujuk dia supaya cepat-cepat datang ke Bandara! Suruh diantar sama Dayat! Cepet. yo, Ning!”“Saya yang bujuk?”“Ya, iyo! Masa si Dayat! Elang ke situ ngejar kowe, toh?”“Lho, kok, ngejar saya?”“Mbuhlah, Ning! Pokoknya kowe harus bisa ngebujuk Elang! Cepetan!”“Njih, Buk! Saya coba!” Kutatap Kak Runi dengan nanar. Diapun paham apa yang aku risaukan. “Coba dulu!” katanya lalu menarik tanganku, membawaku menuju gudang. Gudang restorang yang sempat aku jadikan kamar waktu itu.Mas Dayat memperhatikan kami dari sudut ruangan. Sempat kulihat tatapan kecewa di sorot matanya. Namun, aku tak sempat memikirkan itu semua. Baru saja aku merasa begitu bahagia karena keadaanku saat ini bersama anak-anak. Tetapi semua sirna karena masalah yang seharusnya tak terjadi i
Bab 40. Siapa Wanita Yang Dihindari Mas Elang?“Ambil ini, Ning!” Pria itu tiba-tiba mengulurkan sebuah ponsel.“Apa ini, Mas?” seruku kaget.“Ini hape lamaku. Jarang kupakai. Mulai sekarang kamu pakai saja supaya aku gampang menghubungimu! Pokoknya setiap aku menelpon wajib kamu angkat, paham?”“Tapi, Mas. ini … ini hape mahal!”“Aku mau pulang!” sergahnya tak menghiraukan protesanku.Aku masih terperangah, bingung. Belum selesai masalah dia yang tak mau juga ke Bandara, sekarang dia tambah pula dengan masalah ponsel ini. Apa kata Bu Ajeng nanti kalau tahu anaknya memberi aku sebuah ponsel.“Ning, aku pulang, ya! Jangan terlalu capek kerjanya!” ulangnya. Dia juga … mengucapakan kalimat yang berupa perhatian padaku. Ini maksudnya apa?“Hey, jangan melongo aja! Aku mau pulang! Ingat, Dayat harus mengantar Nada dan Rara ke rumahku setelah pulang sekolah nanti. Bik Siti akan kusuruh masak yang enak buat mereka! Oh, iya, aku juga akan menghubungi guru ngaji buat Nada dan Rara. Kem
Bab 41. Maaf, Kinanti, Aku Tidak Menjual Anak!Aku mengangguk seraya melemparkan senyum ramah. Gadis itu mengulurkan tangan sambil tersneyum lagi. Aku ragu untuk menyalamnya. Minder tepatnya. Mana berani aku menyentuh tangan lembut dan mulus itu dengan tangakku yang kasar dan tapanya kapalan seperti parutan kelapa ini. Aku takut kulit mulusnya akan tergores.“Kinanti,” ucapnya masih tersenyum.“Saya Bening, Mbak,” ucapku terpaksa menyalamnya, namun tak sampai sedetik aku langsung menarik tanganku lagi.“Jadi piye ceritane? Nopo kowe enggak bisa membujuk Elang?” semprot Bu Ayu kemudian.“Saya sudah berusaha, Bu. Tapi Mas Elang tetap enggak mau. Saya minta maaf,” ucapku menunduk.“Trus, sekarang dia ke mana? Tak pikir masih di sini, makanya kami susul ke mari.”“Katanya mau pulang, Bu.”“Yo, weslah. Gini, ya, Ning! Bapak sama Ibu sudah rembukkan tadi di jalan, Kinanti juga setuju, iyo, kan, Nduk?” kata Bu Ajeng menoleh kepada gadis cantik di sampingnya.“Iya, Tante,” sahut gadis it
Bab 42. Aku Memilih Berhenti Dari Restoran Bu AjengHatiku tiba-tiba mencelos. Nyelekit perih. Serasa tak percaya apa yang aku dengar barusan dari bibir tipisnya itu. Ternyata aku salah sangka. Rupanya wajah cantik tak menjamin hatinya juga cantik. Suaranya merdu amat, berucap dengan nada begitu lemah lembut, tapi kata-katanya menghinaku, merendahkan pendidikanku. Astaga! Jadi dia pikir aku ini bodoh gitu?****“Kamu hebat, Ning! Kakak mendukungmu!” Kak Runi menyambutku di dapur. “Makasih, Kak!” sahutku langsung mengambil alih sendok goreng besar dari tangan Nani. “Biar saya teruskan, kamu bersihkan meja dan kursi saja, ya!” titahku padanya. Kuaduk masakan rendang yang hampir kering itu. Nani langsung bergerak mematuhi perintahku.“Kamu persis seperti aku dulu, Ning. Saat keluarga mantan suamiku berusaha merebut putriku, tak pertahankan mati-matian. Enak aja mau ambil. Apa mereka enggak ngerti ya, gimana perasaan kita selaku seorang ibu? Lebih baik ndak usah punya apa-apa, asal a