Dia harus berjuang keras untuk mencapai lemari pakaian Laksa dan mengambilkan baju ganti untuk laki-laki itu, kakinya sudah seperti Jeli yang sulit untuk digerakkan.
“Aku... mau buatkan bubur untuk Kak Laksa,” kata Luna dengan terbata, setelah memberikan baju pada Laksa.“Lho dalamannya mana, Lun?” tanya Laksa dengan tampang kalem.Tuhan kenapa cobaan darimu berat sekali.“Kak Laksa bisa pilih sendiri, di laci,”“Kenapa kamu tidak mengambilkan sekalian.”“Ih Kak Laksa ya karena aku nggak mau,” kata Luna kesal setengah mati, mukanya sudah seperti kepiting rebus.“Wah apa kamu malu melihat pakaian dalamku, bukankah kamu sudah lihat isinya juga,” kata Laksa jahil yang dijawab Luna dengan bantingan pintu kamarnya.Sungguh Luna tak biasa dengan guyonan ala laki-laki dewasa seperti itu, dadanya berdegup sangat kencang.“Laksa sia- ups... tak boleh mengumpat aku tidak boleh mengajari anakku mengumpat, apalagi mengumpati ayahnya,” gumam Luna yanMengingat insiden tadi pagi Luna rasanya tak punya muka bahkan untuk melihat bayangan Laksa. Dia yakin otaknya memang sudah konslet karena hanya memikirkan kejadian tadi pagi saja, sialnya bahkan dia bisa melihat dengan jelas penampakan Laksa tanpa sehelai kainpun –meski ini bukan yang pertama– tapi tetap saja dalam konteks yang berbeda. Pikirannya terus saja menyalahkan laki-laki itu, kenapa tak mengunci pintu? Mengapa tidak ganti baju di kamar mandi saja?Setelah menganalisa dan menimbang beberapa lama di depan pintu kamar Laksa, Luna akhirnya memutuskan untuk mengetuk lagi kamar laki-laki itu, jujur saja dia khawatir dengan Laksa kalau dia masih sakit perut. “Kak! Aku masuk ya?” Luna menunggu beberapa saat sampai terdengar sahutan dari dalam. Luna segera membuka pintu begitu terdengar suara Laksa. Dilihatnya laki-laki itu malah berbaring lagi di atas tempat tidur dengan muka pucat. Seketika rasa khawatir mengalahkan rasa malu dalam hati Luna. “Kakak
“Kamu terlihat nyaman bersamanya, apa itu juga alasan kamu mau menikahinya?” Laksa yang sedang mengamati Luna yang sedang bercanda bersama kakeknya, segera membalikkan badan. Sang ayah menatapnya dengan tenang. Laksa memang sudah terbiasa dengan ayahnya yang cenderung dingin dan kaku, laksa bahkan tak bisa mengingat kapan dia ngobrol santai dengan sang aya. Dia lalu berjalan mendekati sang ayah dan duduk di sampingnya. Sejenak Laksa terdiam matanya tidak lepas memandang Luna yang entah apa yang dia bicarakan dengan sang kakek, karena hanya raut kebahagian yang terlihat, tawanya yang renyah membuat Laksa tak sadar ikut tersenyum juga. “Bukankah papa tahu kalau mama yang minta aku menikahinya.” Sang ayah menggeleng tak percaya. “Apa kamu yakin itu alasannya? Aku tahu kamu memang menyayangi mamamu, tapi kamu bukan anak yang patuh, sampai mau melaksanakan apapun yang diperintahkan mamamu, apalagi ini menyangkut masa depanmu.” Laksa tersenyum sambil matany
Laksa sedang menyedekapkan kedua tangannya di dada, mengamati Luna yang sedang mengambilkannya baju ganti. Setelah pembicaraan dengan sang ayah yang membuatnya kagum pada wanita yang berstatus istrinya ini, bagaiamana tidak, dalam waktu singkat Luna berhasil mengambil hati semua keluarganya, padahal dia tahu wanita itu tidak melakukan apapun. Tidak ada hadiah mahal yang seperti Raya berikan pada keluarganya ataupun keuntungan bisnis yang akan keluarganya dapatkan darinya, Luna memang tak punya itu. Luna hanya punya sikap polos dan tulus. Ya tulus, karena sepengetahuan Laksa wanita itu memperlakukan keluarganya seperti keluarga kandung sendiri, dia tak segan untuk membuatkan masakan hasil karyanya yang tentu saja jauh di bawah standart koki profesional di rumahnya, atau menemani obrolan konyol kakeknya yang kadang membuat Laksa sendiri sakit kepala, dan jangan lupakan ayahnya yang seperti patung, bisa menampilkan senyum emasnya jika bicara dengan Luna. Tapi pada
Luna rasanya ingin mengubur dirinya sendiri. Malu. Bahkan Luna juga mengabaikan keripik yang tadi menjadi rebutan dengan Laksa, membuat suaminya itu hanya bisa melongo memandang Luna. “Ah, kenapa aku harus cemburu segala memangnya aku punya hak apa.” Luna menutup kepalanya dengan bantal. Dia menghentak-hentakkan tubuhnya kesal. Laksa pasti tahu tentang perasaannya sekarang. Dan pasti laki-laki itu akan marah padanya, mereka memang memiliki perjanjian tak akan menghadirkan cinta dalam pernikahan ini, meski bagi Luna sangat sulit, karena nyatanya dia sudah menyukai Laksa jauh sebelum kejadian yang menimpa mereka. Apalagi sekarang Laksa yang selalu bersikap sangat manis padanya, membuat Luna tak mampu membendung luapan perasaannya yang membuncah. “Lun, kamu baik-baik saja, kenapa tiba-tiba ke kamar?” Luna menghentikan gerakan konyolnya dan duduk tegak begitu mendengar suara Laksa. “Aku baik-baik saja,
Sudah sebulan lamanya sejak pernyataan Luna yang membuat Laksa tak enak hati. Malam itu mereka sepakat untuk saling menjaga jarak demi mengamankan hati masing-masing, meski Laksa sedikit keberatan dengan hal itu, tapi dia tak bisa berbuat banyak, dia tak mampu memberikan apa yang Luna inginkan, tepatnya hatinya masih ragu, ada Raya di luar sana yang masih berstatus kekasihnya, meski akhir-akhir ini mereka jarang sekali saling menyapa. “Mukamu terlihat sangat kusut, apa begitu berat pernikahanmu dengan wanita itu?” Dirga, memandang sepupunya dengan prihatin, dia tahu apa yang terjadi pada Laksa dan malam itu juga dia ada di sana, tapi sayang dia tak dapat menyelamatkan Laksa dari kejadian buruk itu. “Dia menjauh dariku,” kata Laksa lirih. “Siapa?” “Luna, siapa lagi, bukankah kamu tadi bertanya tentangnya,” jawab Laksa kesal. Dirga mengangguk, sudah biasa dengan sifat ketus Laksa yang kadang-kadang muncul. “Oh, aku sudah menyelidikinya lebih ja
Luna memandang semua makanan yang terhampar di depannya dengan tanpa minat. Rujak buah, manisan, keripik pisang, keripik singkong, keripik kentang semua ada di depannya, terhampar memanggil-manggil Luna untuk segera memakannya. Tapi wanita itu hanya menatap makanan itu dengan muka ditekuk. “Kamu nggak mau makan ini semua?” tanya Vira. “Rujak ini enak lho, aku sengaja beli buat kamu.” Vira menyuap rujak buah ke dalam mulutnya. “Kenapa kamu tiba-tiba baik banget, belikan aku semua ini.” Vira memandang Luna dengan gemas. “Aku males liat muka butek kamu setiap hari.” Luna menghela napasnya dalam, dia juga tidak ingin berwajah sedih seperti ini, tapi bagaimana Lagi, dia tidak dapat menyembunyikan ekspresi sedih di wajahnya, meski sudah dia paksakan menonton drama komedi yang mengundang tawa di ponselnya, nyatanya dia malah menangis sambil tertawa membuat Vira menatapnya marah dan merampas ponselnya. “Kamu kenapa lagi? Bertengkar dengan Laksa?” Bertengk
“Kamu belum pulang? Ini sudah jam lima lho,” Vira yang baru saja keluar dari ruangannya, terkejut saat menemukan Luna masih duduk di lobi sanggar. Sanggar memang dibuka sampai malam, tapi baik Luna maupun Vira biasanya sudah pulang paling lambat jam empat sore, hanya saja hari ini gadis itu harus menyelesaikan laporan bulanan yang diminta kakaknya, jadi sedikit terlambat. “Aku mau menunggu di sini sebentar.” “Laksa mau menjemputmu? Kebetulan aku bisa kenalan,” kata Vira antusias.“Kamu terlihat senang akan bertemu Kak Laksa?” “Tentu saja, aku ingin berkenalan dengannya dan kalau perlu memberikan sedikit wejangan padanya, bagaimana menjadi suami yang baik.” “Kayak kamu pernah jadi suami saja,” komentar Luna sinis. “Tapi maaf mengecewakanmu aku hanya sedang menunggu jam enam saja.” “Ada apa dengan jam enam kenapa kamu menunggunya?” “Aku akan pergi ke dokter.” “Kamu sakit?” tanya Vira yang tiba-tiba khawatir.“Hanya sedikit tak enak badan
Laksa berjalan mondar-mandir di teras depan rumahnya, sesekali matanya menatap ke arah ponselnya yang dari tadi tak mau bersuara. Bahkan sudah menghubungi ayah mertuanya untuk menanyakan di mana Luna, tapi sang ayah juga sama bingungnya dengan Laksa karena tak biasanya Luna pulang semalam ini. Dia menyesali panggilan Luna yang tadi tak terdengar olehnya saat meeting, apa Luna menghubunginya untuk minta ijin ke suatu tempat, tapi kenapa tidak kirim pesan saja, kalau Laksa tak mengangkat teleponnya?Atau sekarang Luna dalam bahaya? Pikiran itu langsung ditepis jauh oleh Laksa, dia tak akan sanggup membayangkan kalau sesuatu yang buruk pada Luna dan bayi dalam kandungannya.Berkali-kali Laksa menghubungi ponsel Luna, tapi ponselnya mati, Laksa juga sudah menghubungi nomor yang diberikan ayah Luna tapi lagi-lagi, tak ada jawaban dari seberang sana, membuatnya frustasi sendiri. Hubungan mereka memang sedang tak baik-baik saja, dalam artian mereka memang saling mem
Akhirnya Laksa hanya bisa menanyakan kegiatan sang istri hari ini, tanpa menyatakan dimana dirinya sekarang berada, tapi dia berjanji akan mengatakan semuanya setelah sampai di rumah, banyak hal yang harus mereka bicarakan tapi Laksa butuh suasana yang tenang. Saat seorang perawat memangil keluarga Raya serempak dia dan sang manager restoran berdiri, mereka lalu diarahkan untuk menemui dokter paruh baya yang sangat dikenal Laksa. “Apa anda berdua keluarganya?” “Saya manager restoran tempat ibu Raya pingsan, saya hanya ingin memastikan kalau pingsannya ibu Raya ada sangkut pautnya dengan restoran kami atau tidak.” Sang dokter mengangguk mengerti meski begitu dia melirik pada Laksa yang hanya berdiri diam di depannya. “Saya bisa memastikan kalau ibu Raya pingsan bukan karena makanan dan minuman yang dia makan tapi karena stress dan tertekan, syukurlah untuk janin yang dia kandung baik-baik saja.” “Jadi dia benar hamil, Dok?”
Laksa langsung mendekati Raya, dia memang tidak tahu apapun tentang pertolongan pertama pada orang sakit , jadi yang bisa dia lakukan adalah memastikan Raya masih bernapas dengan tangannya yang gemetar. Bagaimanapun Raya pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya dan juga sebagai sesama manusia tentu saja Laksa tak bisa meninggalkannya begitu saja. “Tolong segera kirim ambulance, seorang wanita tiba-tiba pingsan.” Laksa lalu menyebutkan alamat restoran ini. Tak lama kemudian manager restoran tiba-tiba muncul entah siapa yang memberitahunya, tapi kemunculan sang menager berhasil meredam kehebohan yang ada. “Apa yang terjadi, pak?” tanya sang manager ramah dan berusaha tenang meski Laksa tahu ada getar dalam suara laki-laki itu. “Saya juga tidak tahu kami baru saja selesai bicara dan saya sudah akan pergi tapi tiba-tiba saja dia terjatuh,” kata Laksa menjelaskan sesingkat mungkin. Seorang pelayan wanita masuk dan meletakkan
“Sudahlah yang penting aku menemuinya hanya untuk menyelesaikan masalah saja.” Laksa tak menyadari kalau keputusan yang dia ambil kini akan berdampak besar pada kehidupan pernikahannya kelak. “Aku akan keluar sebentar,” kata Laksa pada asistennya. “Tapi pak jam tiga kita ada pertemuan dengan seorang investor.” “Aku akan kembali sebelum itu.” Asisten itu terlihat bimbang, tapi tak mungkin dia melarang bosnya apalagi Laksa sudah masuk ke dalam lift. “Semoga bapak bisa kembali tepat waktu dan tidak ada masalah lagi kedepannya,” gumam sang asisten entah mengapa dia memiliki firasat buruk. Laksa memasuki restoran jepan yang dulu menjadi favorit Raya setiap kali mereka bertemu. Seorang pelayan memakai pakaian tradisional jepang menyambut Laksa di depan pintu setelah Laksa mengatakan akan bertemu dengan Raya. “Akhirnya kamu datang juga.” Laksa melirik jam tangannya mengisyaratkan kalau dia
Tidak banyak waktu yang tersisa untuk Laksa dalam meyiapkan event besar yang akan diadakan di hotelnya. Tanda tangan kontrak memang sudah dilakukan dan pihak penyelenggara memberikan beberapa syarat yang harus manageman hotel penuhi terkait dengan sarana dan prasarana yang akan digunakan. Tumpukan dokumen laporan berserakan di meja kerjanya menunggu untuk dikerjakan. Bukan tanpa aasan dia bekerja sekeras ini, dia hanya ingin membuktikan pada semua orang dia bukan hanya beruntung mewarisi semua kekayaan ini, tapi dia juga punya kemampuan untuk membawa kemajuan usaha yang telah dirintis kakeknya dan juga Laksa ingin membuktikan meski dia lahir dari rahim wanita yang gila harta, tapi dia berbeda dengan ibunya. Itu juga salah satu alasan dia akan tetap setia pada istrinyaa, di samping rasa yang mulai tumbuh subur di hatinya. "Maaf, pak. Ada telepon untuk bapak," suara asistennya terdengar dari interkom yang terhubung antar ruangan. "Dari siapa?" Sang asisten terdengar menghela napas
"Tentu saja , Ma. Aku akan bertajan selama kak Laksa masih menginginkanku dan juga tidak menduakanku," jawab Luna yakin. Sang mama menganggukkan kepala. "Bagus, jawaban itu yang ingin mama dengar, jika kamu masih ingin mempertahankan semuanya kamu harus lawan wanita itu." Sang mama menghela napas sebentar dan meminum air putih di depannya. "Dengar, Nak. Mama memang bukan mama kandung Laksa, tapi mamalah yang merawatnya sejak kecil dan dia bukan orang yang tidak bertanggung jawab. Dia pernah bilang pada mama akan mempertahankanmu di sisinya jadi jangan pernah menyerah." Luna menangguk, suaminya juga pernah mengatakan hal yang sama. "Kak Laksa juga pernah mengatakannya pada Luna." "Jadi kamu harus percaya Laksa kalau dia tidak aka kembali pada wanita itu, tapi mungkin dia akan membantunya. Sifatnyaa, tapi hanya sebatas itu yang perlu kamu lakukan adalah mencegah mereka untuk taak sering bertemu. " Lun
Luna menyadarkan tubuhnya yang terasa lelah luar biasa di kursi penumpang, di sampingnya Laksa menyetir mobil dengan wajah keruh, membuat Luna enggan untuk memulai pembicaraan dengannya. Beberapa saat yang lalu memang Laksa menjemputnya di sanggar saat dia sedang ngobrol dengan Vano di halaman belakang dan tentu saja hanya berdua karena Vira benar-benar tak muncul sampai akhir. "Hhh." Helaan napas panjang dan lelah Luna bahkan tak membuat Laksa menoleh laki-laki itu masih fokus dengan kemudinya. Luna tak tahu apa sebenarnya kesalahannya sehingga Laksa berubah dingin seperti ini. Apa karena Luna menemui mantan kekasih suaminya itu? Atau karena di pergi ke sanggar? Tapi Luna sudah minta Izin dan kalau ternyata Laksa terlambat membukanya itu bukan salahnya kan. Kenapa Laksa marah? "Kakak sudaah makan siang?" tanya Luna mencoba untuk membuka pembicaraan dengan suaminya meski dia sedikit ngeri sendiri dengan sikap Laks
"Maaf, kak. Aku kira tidak ada orang," kata Luna tak enak hati. "Masuklah, sudah lama kamu tidak kemari." Luna bimbang di dalam sana hanya ada Vano yang sedang melakukan entah apa, tapi kalau dia langsung pergi rasanya juga tidak sopan bagaimanapun Vano juga orang yang sangat berjasa untuknya. "Apa kabar kak?" sapa Luna sedikit sungkan. Vano mengangkat alisnya dengan senyum mengejek. "Baik. Setidaknya aku tidak menangis hari ini," kata Vano menyebalkan. Luna mengerucutkan bibirnya, Vano masih tetap sama menyebalkanya seperti dulu."Aku tidak menangis." "Percaya." Jawaban yang makin mempertegas kalau laki-laki itu hanya sedang ingin mengejek Luna. "Kakak ngapain di ruangan Vira?" tanya Luna sebal sendiri. "Bumil habis nangis otaknya ikut eror juga. Kamu tidak lupa kan kalau aku pemilik tempat ini dna bisa bebas berada di mana saja yang aku suka." Ish sebel banget Luna dikatain seperti itu, dia yang sudah duduk di sofa langsung bangkit dan melangkah pergi. Lebih baik dia jalan
Luna keluar dari cafe dengan kaki yang bergetar hebat, dia tak pernah suka bertengkar dengan orang lain. Saat akan berkonfrontasi dengan orang lain Luna lebih memilih mengatakan apa yang memang perlu dikatakan lalu pergi begitu saja, tanpa mau menoleh lagi. Terkesan pengecut memang tapi seperti itulah Luna. JIka hari ini dia mampu berkonfrontasi dengan Raya, itu semata-mata karena rasa cemburu yang mendominasi pikirannya. Dia mencintai Laksa dengan tulus dan laki-laki itu juga mengatakan kalau hanya Luna yang akan menjadi masa depannya, meski tanpa ada kata cinta, tapi bagi Luna itu sudah cukup. Dia jadi punya keberanian untuk melawan. "Mbak Luna baik-baik saja?" tanya sopir yang mengantarkan Luna. Dia menatap khawatir menantu majikannya ini. Luna terlihat pucat dan lemas. "Saya baik-baik saja, Pak." Luna memberi senyum sebahai ucapan terima kasih, si bapak membukakan pintu mobil untuknya. "Kita langsung pulang, mbak?" tanya sang sopir. Luna menimbang sejenak, dia tak
Tanpa menunggu dipersilahkan Luna meanrik kursi dan duduk di sana. Perutnya yang besar memang membuatnya tak betah untuk berdiri terlalu lama. "Mau pesan apa?" tanya Raya yang telah mampu menguasai dirinya. Sepertinya beberapa bulan menjadi istri Laksa membuat wanita lebih berani tak sepolos dan sepengecut dulu. LUna melihat buku menu dan dia langsung menginginkan oreo milkshake dan brownies yang terlihat menggoda di sana. "Kamu cukup berani juga memesan minuman itu padahal tubuhmu sudah gendut," Komentar Raya saat Luna menyebutkan pesanannya. Wah bodyshaming ini. "Sya memang sedang hamil jadi wajar kalau tubuh saya berisi, justru kalau kurus suami saya akan khawatir." "Hati-hati. Laki-laki tidak suka dengan wanita gendut," kata Raya sok menasehati. Luna tersenyum mendengar nasehat 'baik hati' dari mantan kekasih Laksa ini. "Mungkin, Tapi suami saya bilang lebih suka memeluk saya yang lebih berisi d