Sudah sebulan lamanya sejak pernyataan Luna yang membuat Laksa tak enak hati.
Malam itu mereka sepakat untuk saling menjaga jarak demi mengamankan hati masing-masing, meski Laksa sedikit keberatan dengan hal itu, tapi dia tak bisa berbuat banyak, dia tak mampu memberikan apa yang Luna inginkan, tepatnya hatinya masih ragu, ada Raya di luar sana yang masih berstatus kekasihnya, meski akhir-akhir ini mereka jarang sekali saling menyapa.“Mukamu terlihat sangat kusut, apa begitu berat pernikahanmu dengan wanita itu?”Dirga, memandang sepupunya dengan prihatin, dia tahu apa yang terjadi pada Laksa dan malam itu juga dia ada di sana, tapi sayang dia tak dapat menyelamatkan Laksa dari kejadian buruk itu.“Dia menjauh dariku,” kata Laksa lirih.“Siapa?”“Luna, siapa lagi, bukankah kamu tadi bertanya tentangnya,” jawab Laksa kesal.Dirga mengangguk, sudah biasa dengan sifat ketus Laksa yang kadang-kadang muncul.“Oh, aku sudah menyelidikinya lebih jaLuna memandang semua makanan yang terhampar di depannya dengan tanpa minat. Rujak buah, manisan, keripik pisang, keripik singkong, keripik kentang semua ada di depannya, terhampar memanggil-manggil Luna untuk segera memakannya. Tapi wanita itu hanya menatap makanan itu dengan muka ditekuk. “Kamu nggak mau makan ini semua?” tanya Vira. “Rujak ini enak lho, aku sengaja beli buat kamu.” Vira menyuap rujak buah ke dalam mulutnya. “Kenapa kamu tiba-tiba baik banget, belikan aku semua ini.” Vira memandang Luna dengan gemas. “Aku males liat muka butek kamu setiap hari.” Luna menghela napasnya dalam, dia juga tidak ingin berwajah sedih seperti ini, tapi bagaimana Lagi, dia tidak dapat menyembunyikan ekspresi sedih di wajahnya, meski sudah dia paksakan menonton drama komedi yang mengundang tawa di ponselnya, nyatanya dia malah menangis sambil tertawa membuat Vira menatapnya marah dan merampas ponselnya. “Kamu kenapa lagi? Bertengkar dengan Laksa?” Bertengk
“Kamu belum pulang? Ini sudah jam lima lho,” Vira yang baru saja keluar dari ruangannya, terkejut saat menemukan Luna masih duduk di lobi sanggar. Sanggar memang dibuka sampai malam, tapi baik Luna maupun Vira biasanya sudah pulang paling lambat jam empat sore, hanya saja hari ini gadis itu harus menyelesaikan laporan bulanan yang diminta kakaknya, jadi sedikit terlambat. “Aku mau menunggu di sini sebentar.” “Laksa mau menjemputmu? Kebetulan aku bisa kenalan,” kata Vira antusias.“Kamu terlihat senang akan bertemu Kak Laksa?” “Tentu saja, aku ingin berkenalan dengannya dan kalau perlu memberikan sedikit wejangan padanya, bagaimana menjadi suami yang baik.” “Kayak kamu pernah jadi suami saja,” komentar Luna sinis. “Tapi maaf mengecewakanmu aku hanya sedang menunggu jam enam saja.” “Ada apa dengan jam enam kenapa kamu menunggunya?” “Aku akan pergi ke dokter.” “Kamu sakit?” tanya Vira yang tiba-tiba khawatir.“Hanya sedikit tak enak badan
Laksa berjalan mondar-mandir di teras depan rumahnya, sesekali matanya menatap ke arah ponselnya yang dari tadi tak mau bersuara. Bahkan sudah menghubungi ayah mertuanya untuk menanyakan di mana Luna, tapi sang ayah juga sama bingungnya dengan Laksa karena tak biasanya Luna pulang semalam ini. Dia menyesali panggilan Luna yang tadi tak terdengar olehnya saat meeting, apa Luna menghubunginya untuk minta ijin ke suatu tempat, tapi kenapa tidak kirim pesan saja, kalau Laksa tak mengangkat teleponnya?Atau sekarang Luna dalam bahaya? Pikiran itu langsung ditepis jauh oleh Laksa, dia tak akan sanggup membayangkan kalau sesuatu yang buruk pada Luna dan bayi dalam kandungannya.Berkali-kali Laksa menghubungi ponsel Luna, tapi ponselnya mati, Laksa juga sudah menghubungi nomor yang diberikan ayah Luna tapi lagi-lagi, tak ada jawaban dari seberang sana, membuatnya frustasi sendiri. Hubungan mereka memang sedang tak baik-baik saja, dalam artian mereka memang saling mem
Porsche hitam itu melaju cepat meninggalkan halaman rumah mewah yang dijaga oleh beberapa satpam. Sang pengemudi hanya menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong, ada amarah yang ingin dia salurkan, tapi dia sangat sadar kalau melajukan mobilnya sekencang ini akan membahayakan dirinya dan juga orang lain, dia bukan lagi anak SMA yang suka balapan liar.“Sial,” makinya kesal. Dipukulnya kemudi itu dengan marah. Malam yang merambat naik membuat jalanan sedikit lengang, apalagi ditambah gerimis yang sejak sore mengguyur kota ini, membuat suasana makin sepi.Laksa terus saja mengemudikan mobilnya, entah akan ke mana laki-laki itu, yang jelas Laksa hanya ingin sekedar menjauh, menghindar sejauh mungkin dari Luna. Setelah satu jam mobil mewah itu melaju tak tentu arah, Laksa akhirnya berhenti tepat di depan sebuah jembatan panjang yang juga tampak sepi. Sejenak dia termangu, terlalu bergelut dengan campur aduk perasaan, membuat Laksa tak sadar ke mana dia m
“Aku tidak tahu kalau kamu sampai sedepresi itu sampai ingin bunuh diri.” Dirga menatap Laksa tajam, terlihat sekali kalau laki-laki itu sangat kesal pada sepupunya. “Dan kamu percaya?” “Tak ada asap kalau tak ada api.” “Sekarang banyak asap buatan, kamu tak perlu membuat api untuk menghasilkan asap.” Dirga yang sudah gemas dengan Laksa dengan semena-mena memukul kepala sepupunya itu. “Kalau kamu bukan sepupuku sudah dari dulu kamu aku kubur hidup-hidup.” Tanpa mempedulikan Dirga lagi, Laksa segera menuju arah mobilnya, tapi siapa sangka kalau Dirga malah masuk ke kursi penumpang mobilnya. “Kenapa kamu ikut mobilku?”“Itu yang dikatakan polisi tadi aku harus mengawalmu dan tidak memberimu kesempatan untuk bunuh diri.” “Sudah kukatakan aku tidak bunuh diri, polisi-polisi itu saja yang salah paham.” “Lalu apa yang kamu lakukan di pinggir sungai.” “Berpikir.” “Hah?” “Bukan, Hah tapi aku memang sedang berpikir, dan perlu k
Tanpa diusir dua kali Laksa langsung pergi dari sana, sedikit berlari dia mencari mobilnya dan mengemudikannya dengan kecepatan penuh. Bahkan dia tak peduli saat jarum spedometernya menunjuka angka lebih dari seratus. Yang ada di otaknya kini bagaimana secepatnya sampai di rumah dan mengetahui kondisi Luna. Mungkin benar kata Dirga dia telah menggadaikan otaknya, bisa-bisanya dia meninggalkan Luna sendiri yang sedang sakit, padahal kemarin saat dia sakit istrinya itu dengan setia merawatnya. Dia menengok arloji di tangannya sebentar, jarum jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Dia tak akan bisa tenang kalau belum mengetahui kondisi Luna. Tiba diperempatan Setia Budi, Laksa harus mengumpat saat lampu lalu lintas menyala merah, dan butuh satu menit sampai dia tertahan di sana. Dia melihat jalan yang sepi, sangat jarang memang orang yang berkeliaran di jam-jam seperti ini, dengan tekad kuat Laksa kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, tapi sia
“Bapak tunggu di luar saja, biar kami tangani ibu dulu,” kata seorang perawat saat Laksa ingin merangsek masuk ke dalam mendampingi Luna. “Tapi sus, istri saya sedang hamil.” “Iya pak kami mengerti, sekarang bapak lebih baik keluar dulu biar ibu bisa segera ditangani.” Mau tak mau Laksa keluar dari sana, dia menunggu dengan tak sabar, mondar-mandir di UGD. Dia benar-benar takut, kandungan Luna baru berumur beberapa minggu, kata dokter masih sangat rawan untuk keguguran. Laksa memang tidak menginginkan anak itu awalnya, tapi seiring berjalannya waktu, dia mulai menyayangi anak itu, anak yang bahkan detak jantungnya saja masih belum ada. Suara pintu ruangan yang terbuka bagai hembusan angin surga untuk Laksa, dia segera menyongsong seorang dokter yang keluar dari sana. “Bagaimana kondisi istri saya, Dok?” tanyanya cemas.“Kami sudah melakukan pertolongan pertama sebentar lagi dokter kandungan akan memeriksanya lagi, sekarang dia akan dipindahk
Kalau boleh memilih antara mendapatkan mertua yang galak dan pemarah dengan mertua yang sabar dan bijak, Laksa lebih memilih yang pertama. Kenapa?Alasannya simple saja, orang galak dan pemarah lebih mudah dihadapi, apalagi dengan karisma dan uang yang dia miliki, tapi ayah Luna tidak begitu, mertuanya itu sangat baik padanya, bahkan meski sudah menduga bahwa Laksa tak sungguh-sungguh dengan pernikahannya dan Luna. Ada kekecewaan memang di mata laki-laki paruh baya itu, tapi mertuanya itu menyikapi dengan cara yang bijak, membuat Laksa begitu segan padanya. Apalagi mertuanya pernah berkata. Untuk mengambalikan Luna dengan baik-baik padanya, jika memang Laksa sudah tak menginginkan putrinya. Terdengar kejam memang untuk wejangan oarang tua yang putrinya baru dia nikahi. “Ayah, maaf saya ketiduran.” “Tidak apa-apa, Nak kamu pulanglah biar aku yang menjaga Luna.” “Ayah benar, Kakak pulang saja, bukankah sebentar lagi juga harus kerja.” Eh, La
Luna meremas rok yang dipakainya saat ini, setelah makan siang yang sangat terlambat yang mereka lakukan Luna kira Laksa akan langsung kembali ke kantornya tapi ternyata dia salah, suaminya itu malah duduk berselonjor di atas karpet tebal di depan televisi besar yang ada di ruangan itu. Luna membulatkan tekad, menekan gengsi dan rasa malunya yang setinggi gunung itu, dia sadar jika ingin hubungan mereka berhasil bukan hanya Laksa yang harus berjuang, dia juga tak boleh pasif dan hanya bisa menerima saja, dan salah satu cara untuk semakin meningkatkan hubungan mereka yang diajarkan guru besarnya -VIRA- adalah dengan menjalin komunikasi yang baik dengan Laksa, hal kecil yang sejak dulu adalah penyakit Luna yang sangat sulit dicari obatnya. Luna berjalan pelan mendekati Laksa, dengan sedikit canggung dia duduk tepat di samping Laksa, tapi laki-laki itu rupanya cepat tanggap tangan kirinya yang sedang tidak memegang remot televisi merengkuh tubuh Luna hingga tak ada jarak
Luna kembali berguling-guling di atas ranjang hotel yang empuk itu, ternyata menjadi tidak hanya saat bekerja dia bisa kelelahan, menjadi pengangguran seperti sekarang ini juga membuatnya lelah. Yah, meski Laksa memberikannya fasilitas mewah di hotel ini, tetap saja Luna yang biasa bekerja dan bergerak ke sana kemari sangat bosan kalau harus tiduran saja. Dia sedang tidak ingin menonton drama yang biasanya sangat dia sukai itu, pun demikian ebook yang sering dia baca juga terlihat tak menarik lagi. Intinya Luna sangat bosan, dia ingin berbicara dengan seseorang, oh... Ini memang bukan kebiasaannya, biasanya Luna bahkan begitu betah mendekam di dalam kamar semdirian.Dilihatnya jarum jam berdetak dengan sangat lambat menurut Luna dan berat. Kapan Laksa akan kembali?Luna menghela napas berat. Kalau tahu dia dianggurin seperti ini, lebih baik tadi dia pulang ke rumah keluarga Sanjaya saja, setidaknya di sana ada mama mertuanya atau para asisten rumah tangga yang meski tidak terlalu r
Seperti memahami suasana hati Laksa yang segelap malam, Luna memutuskan diam saja di kursinya, kalau bisa ingin sekali berkamuflase agar sama dengan kursi mobil Laksa. Suasana hati suaminya ini benar-benar sedang tidak baik. Setelah mereka mengantarkan nenek ke stasiun tadi, Laksa memang akan langsung mengantar Luna ke rumah keluarganya, tapi siapa sangka tepat saat mereka akan keluar dari stasiun, mereka bertemu dengan ibu kandung Laksa bersama seorang laki-laki yang mungkin usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari suaminya itu, mereka terlihat mesra bergandengan berdua. Luna sampai meringis karena Laksa mencengkeram tangannya terlalu kuat. Tapi tanpa Luna duga Laksa memutuskan untuk mengikuti mereka. Laki-laki yang bersama ibu Laksa itu langsung naik begitu kereta yang akan menuju ke Jakarta datang, meninggalkan sang ibu yang tersenyum lebar setelah memeluknya sebentar. Pemandangan yang jamak memang, tapi tidak untuk Laksa, meski mereka tak tahu apa hubungan keduanya tapi dari
Luna masih sibuk dengan ponsel di tangannya saat Laksa masuk kamar dan mengerutkan kening tak suka. Dengan pelan dia mendekati Luna dan mengintip apa yang sedang dilakukan sang istri sampai mengabaikan mahluk setampan dirinya begitu saja. “Kukira ngapain ternyata ngasih makan zombie.” Luna yang sedang sangat sibuk memberi makan zombienya langsung mendongak mendengar Laksa sudah ada didekatnya. Sejak kapan? “Aku kira kakak akan menemani ayah sampai malam,” kata Luna sambil meletakkan ponsel di sampingnya dan melupan kalau masih ada zombie kelaparan di sana. Laksa mengangguk. “Hanya ngobrol ringan, kami sudah selesai ngobrol serius tadi sore.” Mereka memang baru saja makan malam dengan makanan buatan nenek yang lezat itu, tapi nenek memutuskan tidur lebih awal, karena badannya terasa pegal setelah menempuh perjalanan jauh dan dia juga memerintahkan Luna untuk cepat masuk kamar dan tidur juga. Meninggalkan Pak Edwin dan Laksa yang atas perintah nenek, harus membersihkan mej
Malam sudah sangat larut saat Laksa memasuki pelataran rumah mertuanya, dia menengok pada arloji yang melingkar di tangannya, sudah hampir pukul sebelas malam memang, pantas saja semua rumah di kiri kanan sudha tertutup rapat. Untunglah Laksa sempat meminta kunci cadangan pada Luna, khawatir dia pulang cukup larut dan harus membangunkan orang rumah. Saat pintu terbuka dia masih bisa mendegar suara televisi yang dinyalakan di ruang tengah. Ternyata ayah mertuanya belum tidur, dalam hati Laksa sedikit mengeluh, tubuh dan pikirannya terasa lelah, dan dia ingin sekali langsung istirahat, tapi dia tak mungkin melewati ayah mertuanya begitu saja tanpa berbasa-basi sebentar minimal menanyakan apa yang dia tonton. Laksa tidak bisa bersikap seperti saat berada di rumahnya ayah mertuanya bukan papanya yang terlihat tidak peduli padanya. “Malam, Yah, belum tidur,” sapa Laksa berbasa basi. “Belum, ayah masih nonton bola.” Mau tak mau Laksa duduk sebentar menanyakan skor pero
Kalau mau tahu rasanya jatuh cinta sama cowok dan sudah dari laaama... tapi si cowok nggak notice juga yang berujung pada putus asa, Luna sangat tahu jawabannya. Sakitnya nylekit banget lebih sakit dari pada saat Luna digigit kalajengking waktu kecil. Dulu waktu Laksa bersikap sangat baik padanya –dan itu terjadi mungkin karena tidak sengaja– Luna sudah menggelepar kegeeran tidak karuan, dia selalu ingin melihat Laksa setiap saat., meskipun secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang agak jauh dan yang pasti tidak ada yang curiga kalau dia sedang memperhatikan :Laksa. Saat Laksa jadian dengan teman seangkatannyanyapun yang terkenal sebagai primadona kampus, Luna tak langsung patah hati, dia selalu percaya kalau suatu saat dialah yang akan jadi jodoh Laksa, kepercayaan konyol memang yang langsung terkikis begitu dia bertemu Laksa pertama kali di tempat kerja dan tampak sangat tidak mengenali Luna, yang selama ini diam-diam memendam asa untuknya. Bego memang, Luna tahu it
Laksa bukan orang yang suka menunda masalah memang, baginya lebih cepat masalah bisa diselesaikan lebih cepat pula hasilnya akan kelihatan, begitulah yang dia lakukan selama ini. Akan tertapi serang bukan waktunya untuk memikirkan tentang hal lain, Luna masih sangat perlu perhatian darinya, apalagi hubungan mereka yang barusan membaik membuat Laksa berharap banyak. “Ada apa, Kak? Siapa yang menelepon?” tanya Luna yang melihat Laksa tiba-tiba terdiam di tempat duduknya. Laksa memandang Luna sejenak, menimbang apa akan mengatakan semuanya atau tidak, sejujurnya dia tak ingin membebani pikiran Luna dengan perkara itu, tapidia sudah banyak belajar dari kesalahan sebelumnya. Sekarang dia bukan lagi laki-laki lajang yang bisa memutuskan apapun sekehendak hatinya, ada Luna di sisinya yang akanberbagi suka dan duka dengannya. “Aku harap kamu tidak berpikir yang berlebihan.” Dirga menghela napasnya sebentar dan memandang Luna dalam. “Beberapa hari yang lalu aku min
“Dua menit sepuluh detik.” Dirga mematikan stopwatch dari ponselnya dengan gembira. “Kamu menghitung apa?” tanya Laksa penasaran. Saat ini mereka sedang duduk di taman rumah sakit, saat Laksa dan Luna terlibat percakapan tadi, tiba-tiba sang mama datang bersama Dirga, membawakan makanan kesukaan Laksa dan Luna. Sungguh perhatian yang membuat dada Laksa menghangat, meski rasa malu dan gengsi masih membatasinya untuk kembali masuk dalam pelukan mamanya. Dirga menoleh pada Laksa, terlihat sangat gembira, membuat Laksa mengerutkan keningnya bingung. “Rekor sebelumnya ternyata sudah terpecahkan.” “Rekor apa? sebenarnya apa yang sedang kamu bicarakan?” Dirga mengarahkan telunjuknya pada Luna dan mama mertuanya yang sedang asyik bersenda gurau. “Bagiamana menurutmu pemandangan di sana, maksudku saat dua orang itu tertawa lepas?” Laksa tersenyum, “sangat indah, aku suka melihatnya.” “Keduanya atau salah satu?” “Keduanya tentu saja, a
Hal yang paling dibenci Luna adalah mencurahkan isi hati pada seseorang, selain ayah dan Bundanya juga Vira, belum pernah sekalipun Luna bicara panjang lebar menyangkut tetang perasaan di hatinya. Sekarang dia tentu saja sangat kesulitan untuk mengungkapkan semua isi hatinya pada Laksa, meski sudah tak terhitung jumlahnya mereka berbagi keringat bersama. Bahkan beberapa kali Vira sudah mendorongnya untuk berbicara pada Laksa secara terus terang, Luna sangat kesulitan mengatakan maksud hatinya. “Bagaimana jika aku tak ada di sini?” Laksa menatap Luna dengan kening berkerrut. “Apa maksudmu?” Luna menghela napas, kali ini dia ingi menguatkan tekad, mengatakan apa yang menjadi kehendak hatinya. Vira benar ini hidupnya dan jika dia ingin bahagia, maka dia harus tegas untuk menyikapi semua. “Hubungan kita hanya sebuah kecelakaan yang direncanakan seseorang, dasarnya sama sekali tak kuat, banyak faktor yang menyebabkan kita sangat berbeda, dan aku rasa kak Lak