Kalau boleh memilih antara mendapatkan mertua yang galak dan pemarah dengan mertua yang sabar dan bijak, Laksa lebih memilih yang pertama.
Kenapa?Alasannya simple saja, orang galak dan pemarah lebih mudah dihadapi, apalagi dengan karisma dan uang yang dia miliki, tapi ayah Luna tidak begitu, mertuanya itu sangat baik padanya, bahkan meski sudah menduga bahwa Laksa tak sungguh-sungguh dengan pernikahannya dan Luna.Ada kekecewaan memang di mata laki-laki paruh baya itu, tapi mertuanya itu menyikapi dengan cara yang bijak, membuat Laksa begitu segan padanya.Apalagi mertuanya pernah berkata. Untuk mengambalikan Luna dengan baik-baik padanya, jika memang Laksa sudah tak menginginkan putrinya.Terdengar kejam memang untuk wejangan oarang tua yang putrinya baru dia nikahi.“Ayah, maaf saya ketiduran.”“Tidak apa-apa, Nak kamu pulanglah biar aku yang menjaga Luna.”“Ayah benar, Kakak pulang saja, bukankah sebentar lagi juga harus kerja.”Eh, La“Saya mau bunga lily yang warna putih itu, Mbak, tolong rangkai yang cantik.” “Baik, Pak, apa mau dicampur bunga yang lain?” tanya sang penjual dengan ramah. “Mawar merah, boleh deh, Mbak.” Sang penjual bunga itu dengan cekatan menyiapkan pesanan Laksa, dan tak lama kemudian bunga mawar dan lily itu terangkai dengan sangat cantik, Laksa tersenyum puas melihatnya. “Terima kasih, mbak, semoga saya istri saya suka.” “Untuk istri ya, Pak saya kira untuk pacarnya.” Laksa hanya tersenyum saja mendengar komentar itu dan segera berlalu setelah membayar semuanya. Setelah bicara dengan ayah mertuanya, Laksa memang akhirnya pulang ke rumah, menyelesaikan pekerjaan yang memang tak bisa dia tinggalkan, dan akan kembali lagi ke rumah sakit saat sore hari, tapi diperjalanan dia teringat dengan kata-kata Dirga supaya minta maaf pada Luna. Dan dari pengalamannya dengan wanita-wanita yang pernah dekat dengannya, bunga adalah cara minta maaf yang paling efektif
“Kenapa pintunya dikunci, Kak?” tanya Luna heran melihat Laksa langsung mengunci pintu ruang rawatnya sesaat setelah Vira dan Vano, meninggalkan ruangan itu. “Biar tidak ada yang mengganggu.”“Mengganggu kenapa mereka hanya menjenguk?” Laksa menghela napas, melempar kode pada Luna seperti melempar kail ke sungai yang tidak ada ikannya, jadi dia memutuskan untuk bicara apa adanya. “Aku juga sudah bilang pada suster, supaya tak mengijinkan seseorang menjengukmu.” “Tapi kenapa begitu, aku memang yakin tidak ada yang menjengukku lagi, tapi bagaimana kalau ayah kembali.” “Ayah sudah pulang ke rumah, beliau baru saja menghubungiku.” Luna beringsut mundur saat Laksa melangkah ke arah ranjang yang dia tiduri.“Kakak memangnya mau apa?” tanya Luna menoleh ke kanan dan kirinya, tidak ada apapun yang bisa dia jadikan senjata. “Tentu saja yang dilakukan sepasang suami istri saat berdua saja, kenapa kamu terlihat takut padaku?”“Kakak menyeramkan,”
“Jadilah kekasihku.”Luna membulatkan matanya tak percaya, apa dia baru saja ditembak? Benarkah dalam kondisi seperti ini? Memakai baju rumah sakit? Wajah kusam yang hanya dibasuh dengan air dan penampilan yang pasti acak-acakan?Luna menggeleng tak percaya ini pasti mimpi. Dicobanya untuk mencubit tangannya sendiri. Ah! Sakit jadi ini tidak mimpi. Tapi juga tidak nyata. Luna memandang tajam laki-laki di depannya, dia memang gadis yang polos dan belum pernah pacaran, tapi bukan berarti dia mau untuk dipermainkan.Atau laki-laki ini sedang mabuk atau sedang patah hati akut. Jahat sekali kalau memang itu yang terjadi. Seketika perasaan mellow menyelimuti hati Luna, miris sekali memang kisah cintanya. Padahal Luna sangat mengidolakan cinderella yang menemukan pangeran tampan dan hidup bahagia selamanya. Hidup memang tak seindah dongeng pengantar tidur. “Kamu tidak usah terburu-buru menjawabnya, aku bisa menunggu, sementara kita jalani s
“Kamu mau aku bantu mandi?’ tanya Laksa ringan.Tapi mampu membuat Luna melototkan matanya kaget, apa-apan suaminya ini, baru saja mereka baikan mau mengajak berantem lagi apa. “Matanya nggak usah melotot gitu, kalau nggak mau ya sudah.” “Kak Laksa niat banget modusnya.” “Kok modus, apa salahnya aku membantu istri yang sedang sakit, kamu pasti akan kesulitan dengan infus di tanganmu itu.” Pagi ini setalah dokter melakukan visite pagi dan sudah memperbolehkan Luna pulang, dengan semangat Laksa langsung mengemasi semua barang-barang mereka... kecuali peralatan mandi, karena mereka tak mungkin keluar ruangan tanpa mandi terlebih dahulu. Luna termangu, ucapan Laksa yang memang ingin lebih dekat dengannya ternyata tidak main-main setelah pembicaraan mereka kemarin malam, Laksa menjadi lebih berani untuk memberikan perhatian lebih padanya, meski Luna belum menyetujui permintaan laki-;alo itu. Dan tak ada salahnya memang status mereka yang sudah sah dimata
Luna turun dari mobil di bantu Laksa dan langsung di sambut oleh sang kakek yang menunggunya di atas kursi roda. “Kamu akhirnya pulang juga, maaf opa tak bisa menjenguk ke rumah sakit.” Luna berjalan menghampiri laki-laki tua itu dan memelukanya singakat. “Luna malah khawatir kalu opa pergi ke rumah sakit.” Sang kakek berdecak kesal. “Kamu memiliki terlalu banyak kekhawatiran, opa masih kuat kalau hanya menjenguk ke rumah sakit, Laksa saja yang terlalu berlebihan melarang opa ke sana.” “Itu karena kak Laksa sayang opa, benarkan, Kak,” Luna menoleh pada Laksa yang malah memalingkan muka ke arah lain. Luna kembali menatap sang kakek saat terdengar tawanya. “Baiklah aku mengerti, Nak, ayo masuk, bukankah kamu tidak boleh terlalu capek. Luna masih memandang Laksa dengan kening berkerut, kenapa suaminya itu jadi bersiakap aneh, bukankah dia benar, Laksa melarang sang kakek karena menyayanginya dan tak ingin terjadi hal yang buruk. “Jadi bagaimana kondis
Luna hampir terpekik saat dia membuka matanya dan bangun dalam pelukan seseorang.Lalu dia ingat semalam memang sudah setuju untuk tidur di ranjang Laksa, sejenak diamatinya wajah tampan yang masih terpejam dalam tidurnya, bahkan saat tidurpun terlihat begitu tampan, pantas saja banyak wanita yang tidak rela laki-laki ini berakhir bersama dirinya yang hanya dari kalangan biasa. Matanya yang begitu tajam saat menatap, membuat jantungnya berdebar tak menentu, hidungnya yang mancung, bibirnya yang pernah dengan kurang ajar hinggap di bibirnya, tapi Luna suka, wajah itu tak akan pernah bosan Luna memandangnya. “Berapa nilaiku?” Luna hampir saja terlonjak saat tiba-tiba Laksa bersuara, meski dengan mata masih terpejam, tapi tangan kekar Laksa yang melingkar di perutnya membuat Luna tak bisa bahkan untuk bergerak menjauh. “Apa aku bisa menyaingi laki-laki cantik yang saat ini banyak disukai wanita?” tanya Laksa lagi karena tak juga mendapat jawaban dari bibir Luna.
Lagi-lagi Laksa harus meminjam mobil mamanya untuk mengantar Luna, sebenarnya wanita itu sendiri tak masalah kalau Laksa menggunakan mobil ‘Kecilnya’ itu tapi, Laksa yang tahu kalau Luna tak nyaman jika menaiki mobil itu, tak ingin membuat istrinya itu semakin stress. “Apa kakak yakin harus mengantarku, kak Laksa pasti akan terlambat kerja, jam masukku tak menentu, kadang bisa pagi atau siang,” kata Luna yang masih keberata kalau Laksa harus mengantar jemputnya setiap hari. Bukan karena Luna tak bersyukur dengan perubahan yang terjadi pada Laksa, tapi dia hanya takut terjadi kehebohan, apalagi dia datang dengan dianatar laki-laki tampan dan juga mobil yang luar biasa mewah. “kamu sepertinya keberatan aku mengantarmu?” tanya Laksa meski pandangannya masih lurus ke depan untuk mengemudikan mobilnya. Memang. “Bukan begitu aku hanya tak ingin merepotkan kakak saja, aku yakin Kak Laksa punya jadwal kerja yang padat,” kata Luna berusaha memberi
“Mbak Luna sudah ditunggu pacarnya yang ganteng dari tadi,” kata Sifa petugas resepsionis yang biasanya berjaga di depan. Luna menghela napas panjang dan mengangguk berterima kasih, dia tidak ingin repot-repot meluruskan kesalahpahaman itu.“Tuh, yag punya pacar baru rajin banget sudah jemput,” Vira malah meledek Luna yang cemberut. Setelah mengajar, seperti biasa Luna memang berada di ruangan Vira, mereka terbiasa ngobrol tentang apa saja, sampai Luna harus pulang, tapi sekarang momen seperti itu harus dia lupakan, salahkan saja Luna yang terlalu ceroboh memberikan jadwal mengajarnya langsung pada Laksa, jadi laki-laki itu kapan harus mengantar dan menjemputnya. “Sebenarnya kamu mendukung atau tidak hubunganku dengan kak Laksa, kamu terlihat tidak suka padanya, tapi juga lain waktu mendukungku dengannya?” Vira pura-pura berpikir keras yang membuat Luna kesal. “Aku sudah siapin racun tikus kok,” katanya kemudian. “Apa maksudmu, kamu tidak bermaksud membu
Akhirnya Laksa hanya bisa menanyakan kegiatan sang istri hari ini, tanpa menyatakan dimana dirinya sekarang berada, tapi dia berjanji akan mengatakan semuanya setelah sampai di rumah, banyak hal yang harus mereka bicarakan tapi Laksa butuh suasana yang tenang. Saat seorang perawat memangil keluarga Raya serempak dia dan sang manager restoran berdiri, mereka lalu diarahkan untuk menemui dokter paruh baya yang sangat dikenal Laksa. “Apa anda berdua keluarganya?” “Saya manager restoran tempat ibu Raya pingsan, saya hanya ingin memastikan kalau pingsannya ibu Raya ada sangkut pautnya dengan restoran kami atau tidak.” Sang dokter mengangguk mengerti meski begitu dia melirik pada Laksa yang hanya berdiri diam di depannya. “Saya bisa memastikan kalau ibu Raya pingsan bukan karena makanan dan minuman yang dia makan tapi karena stress dan tertekan, syukurlah untuk janin yang dia kandung baik-baik saja.” “Jadi dia benar hamil, Dok?”
Laksa langsung mendekati Raya, dia memang tidak tahu apapun tentang pertolongan pertama pada orang sakit , jadi yang bisa dia lakukan adalah memastikan Raya masih bernapas dengan tangannya yang gemetar. Bagaimanapun Raya pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya dan juga sebagai sesama manusia tentu saja Laksa tak bisa meninggalkannya begitu saja. “Tolong segera kirim ambulance, seorang wanita tiba-tiba pingsan.” Laksa lalu menyebutkan alamat restoran ini. Tak lama kemudian manager restoran tiba-tiba muncul entah siapa yang memberitahunya, tapi kemunculan sang menager berhasil meredam kehebohan yang ada. “Apa yang terjadi, pak?” tanya sang manager ramah dan berusaha tenang meski Laksa tahu ada getar dalam suara laki-laki itu. “Saya juga tidak tahu kami baru saja selesai bicara dan saya sudah akan pergi tapi tiba-tiba saja dia terjatuh,” kata Laksa menjelaskan sesingkat mungkin. Seorang pelayan wanita masuk dan meletakkan
“Sudahlah yang penting aku menemuinya hanya untuk menyelesaikan masalah saja.” Laksa tak menyadari kalau keputusan yang dia ambil kini akan berdampak besar pada kehidupan pernikahannya kelak. “Aku akan keluar sebentar,” kata Laksa pada asistennya. “Tapi pak jam tiga kita ada pertemuan dengan seorang investor.” “Aku akan kembali sebelum itu.” Asisten itu terlihat bimbang, tapi tak mungkin dia melarang bosnya apalagi Laksa sudah masuk ke dalam lift. “Semoga bapak bisa kembali tepat waktu dan tidak ada masalah lagi kedepannya,” gumam sang asisten entah mengapa dia memiliki firasat buruk. Laksa memasuki restoran jepan yang dulu menjadi favorit Raya setiap kali mereka bertemu. Seorang pelayan memakai pakaian tradisional jepang menyambut Laksa di depan pintu setelah Laksa mengatakan akan bertemu dengan Raya. “Akhirnya kamu datang juga.” Laksa melirik jam tangannya mengisyaratkan kalau dia
Tidak banyak waktu yang tersisa untuk Laksa dalam meyiapkan event besar yang akan diadakan di hotelnya. Tanda tangan kontrak memang sudah dilakukan dan pihak penyelenggara memberikan beberapa syarat yang harus manageman hotel penuhi terkait dengan sarana dan prasarana yang akan digunakan. Tumpukan dokumen laporan berserakan di meja kerjanya menunggu untuk dikerjakan. Bukan tanpa aasan dia bekerja sekeras ini, dia hanya ingin membuktikan pada semua orang dia bukan hanya beruntung mewarisi semua kekayaan ini, tapi dia juga punya kemampuan untuk membawa kemajuan usaha yang telah dirintis kakeknya dan juga Laksa ingin membuktikan meski dia lahir dari rahim wanita yang gila harta, tapi dia berbeda dengan ibunya. Itu juga salah satu alasan dia akan tetap setia pada istrinyaa, di samping rasa yang mulai tumbuh subur di hatinya. "Maaf, pak. Ada telepon untuk bapak," suara asistennya terdengar dari interkom yang terhubung antar ruangan. "Dari siapa?" Sang asisten terdengar menghela napas
"Tentu saja , Ma. Aku akan bertajan selama kak Laksa masih menginginkanku dan juga tidak menduakanku," jawab Luna yakin. Sang mama menganggukkan kepala. "Bagus, jawaban itu yang ingin mama dengar, jika kamu masih ingin mempertahankan semuanya kamu harus lawan wanita itu." Sang mama menghela napas sebentar dan meminum air putih di depannya. "Dengar, Nak. Mama memang bukan mama kandung Laksa, tapi mamalah yang merawatnya sejak kecil dan dia bukan orang yang tidak bertanggung jawab. Dia pernah bilang pada mama akan mempertahankanmu di sisinya jadi jangan pernah menyerah." Luna menangguk, suaminya juga pernah mengatakan hal yang sama. "Kak Laksa juga pernah mengatakannya pada Luna." "Jadi kamu harus percaya Laksa kalau dia tidak aka kembali pada wanita itu, tapi mungkin dia akan membantunya. Sifatnyaa, tapi hanya sebatas itu yang perlu kamu lakukan adalah mencegah mereka untuk taak sering bertemu. " Lun
Luna menyadarkan tubuhnya yang terasa lelah luar biasa di kursi penumpang, di sampingnya Laksa menyetir mobil dengan wajah keruh, membuat Luna enggan untuk memulai pembicaraan dengannya. Beberapa saat yang lalu memang Laksa menjemputnya di sanggar saat dia sedang ngobrol dengan Vano di halaman belakang dan tentu saja hanya berdua karena Vira benar-benar tak muncul sampai akhir. "Hhh." Helaan napas panjang dan lelah Luna bahkan tak membuat Laksa menoleh laki-laki itu masih fokus dengan kemudinya. Luna tak tahu apa sebenarnya kesalahannya sehingga Laksa berubah dingin seperti ini. Apa karena Luna menemui mantan kekasih suaminya itu? Atau karena di pergi ke sanggar? Tapi Luna sudah minta Izin dan kalau ternyata Laksa terlambat membukanya itu bukan salahnya kan. Kenapa Laksa marah? "Kakak sudaah makan siang?" tanya Luna mencoba untuk membuka pembicaraan dengan suaminya meski dia sedikit ngeri sendiri dengan sikap Laks
"Maaf, kak. Aku kira tidak ada orang," kata Luna tak enak hati. "Masuklah, sudah lama kamu tidak kemari." Luna bimbang di dalam sana hanya ada Vano yang sedang melakukan entah apa, tapi kalau dia langsung pergi rasanya juga tidak sopan bagaimanapun Vano juga orang yang sangat berjasa untuknya. "Apa kabar kak?" sapa Luna sedikit sungkan. Vano mengangkat alisnya dengan senyum mengejek. "Baik. Setidaknya aku tidak menangis hari ini," kata Vano menyebalkan. Luna mengerucutkan bibirnya, Vano masih tetap sama menyebalkanya seperti dulu."Aku tidak menangis." "Percaya." Jawaban yang makin mempertegas kalau laki-laki itu hanya sedang ingin mengejek Luna. "Kakak ngapain di ruangan Vira?" tanya Luna sebal sendiri. "Bumil habis nangis otaknya ikut eror juga. Kamu tidak lupa kan kalau aku pemilik tempat ini dna bisa bebas berada di mana saja yang aku suka." Ish sebel banget Luna dikatain seperti itu, dia yang sudah duduk di sofa langsung bangkit dan melangkah pergi. Lebih baik dia jalan
Luna keluar dari cafe dengan kaki yang bergetar hebat, dia tak pernah suka bertengkar dengan orang lain. Saat akan berkonfrontasi dengan orang lain Luna lebih memilih mengatakan apa yang memang perlu dikatakan lalu pergi begitu saja, tanpa mau menoleh lagi. Terkesan pengecut memang tapi seperti itulah Luna. JIka hari ini dia mampu berkonfrontasi dengan Raya, itu semata-mata karena rasa cemburu yang mendominasi pikirannya. Dia mencintai Laksa dengan tulus dan laki-laki itu juga mengatakan kalau hanya Luna yang akan menjadi masa depannya, meski tanpa ada kata cinta, tapi bagi Luna itu sudah cukup. Dia jadi punya keberanian untuk melawan. "Mbak Luna baik-baik saja?" tanya sopir yang mengantarkan Luna. Dia menatap khawatir menantu majikannya ini. Luna terlihat pucat dan lemas. "Saya baik-baik saja, Pak." Luna memberi senyum sebahai ucapan terima kasih, si bapak membukakan pintu mobil untuknya. "Kita langsung pulang, mbak?" tanya sang sopir. Luna menimbang sejenak, dia tak
Tanpa menunggu dipersilahkan Luna meanrik kursi dan duduk di sana. Perutnya yang besar memang membuatnya tak betah untuk berdiri terlalu lama. "Mau pesan apa?" tanya Raya yang telah mampu menguasai dirinya. Sepertinya beberapa bulan menjadi istri Laksa membuat wanita lebih berani tak sepolos dan sepengecut dulu. LUna melihat buku menu dan dia langsung menginginkan oreo milkshake dan brownies yang terlihat menggoda di sana. "Kamu cukup berani juga memesan minuman itu padahal tubuhmu sudah gendut," Komentar Raya saat Luna menyebutkan pesanannya. Wah bodyshaming ini. "Sya memang sedang hamil jadi wajar kalau tubuh saya berisi, justru kalau kurus suami saya akan khawatir." "Hati-hati. Laki-laki tidak suka dengan wanita gendut," kata Raya sok menasehati. Luna tersenyum mendengar nasehat 'baik hati' dari mantan kekasih Laksa ini. "Mungkin, Tapi suami saya bilang lebih suka memeluk saya yang lebih berisi d