“Saya mau bunga lily yang warna putih itu, Mbak, tolong rangkai yang cantik.”
“Baik, Pak, apa mau dicampur bunga yang lain?” tanya sang penjual dengan ramah.“Mawar merah, boleh deh, Mbak.”Sang penjual bunga itu dengan cekatan menyiapkan pesanan Laksa, dan tak lama kemudian bunga mawar dan lily itu terangkai dengan sangat cantik, Laksa tersenyum puas melihatnya.“Terima kasih, mbak, semoga saya istri saya suka.”“Untuk istri ya, Pak saya kira untuk pacarnya.”Laksa hanya tersenyum saja mendengar komentar itu dan segera berlalu setelah membayar semuanya.Setelah bicara dengan ayah mertuanya, Laksa memang akhirnya pulang ke rumah, menyelesaikan pekerjaan yang memang tak bisa dia tinggalkan, dan akan kembali lagi ke rumah sakit saat sore hari, tapi diperjalanan dia teringat dengan kata-kata Dirga supaya minta maaf pada Luna.Dan dari pengalamannya dengan wanita-wanita yang pernah dekat dengannya, bunga adalah cara minta maaf yang paling efektif“Kenapa pintunya dikunci, Kak?” tanya Luna heran melihat Laksa langsung mengunci pintu ruang rawatnya sesaat setelah Vira dan Vano, meninggalkan ruangan itu. “Biar tidak ada yang mengganggu.”“Mengganggu kenapa mereka hanya menjenguk?” Laksa menghela napas, melempar kode pada Luna seperti melempar kail ke sungai yang tidak ada ikannya, jadi dia memutuskan untuk bicara apa adanya. “Aku juga sudah bilang pada suster, supaya tak mengijinkan seseorang menjengukmu.” “Tapi kenapa begitu, aku memang yakin tidak ada yang menjengukku lagi, tapi bagaimana kalau ayah kembali.” “Ayah sudah pulang ke rumah, beliau baru saja menghubungiku.” Luna beringsut mundur saat Laksa melangkah ke arah ranjang yang dia tiduri.“Kakak memangnya mau apa?” tanya Luna menoleh ke kanan dan kirinya, tidak ada apapun yang bisa dia jadikan senjata. “Tentu saja yang dilakukan sepasang suami istri saat berdua saja, kenapa kamu terlihat takut padaku?”“Kakak menyeramkan,”
“Jadilah kekasihku.”Luna membulatkan matanya tak percaya, apa dia baru saja ditembak? Benarkah dalam kondisi seperti ini? Memakai baju rumah sakit? Wajah kusam yang hanya dibasuh dengan air dan penampilan yang pasti acak-acakan?Luna menggeleng tak percaya ini pasti mimpi. Dicobanya untuk mencubit tangannya sendiri. Ah! Sakit jadi ini tidak mimpi. Tapi juga tidak nyata. Luna memandang tajam laki-laki di depannya, dia memang gadis yang polos dan belum pernah pacaran, tapi bukan berarti dia mau untuk dipermainkan.Atau laki-laki ini sedang mabuk atau sedang patah hati akut. Jahat sekali kalau memang itu yang terjadi. Seketika perasaan mellow menyelimuti hati Luna, miris sekali memang kisah cintanya. Padahal Luna sangat mengidolakan cinderella yang menemukan pangeran tampan dan hidup bahagia selamanya. Hidup memang tak seindah dongeng pengantar tidur. “Kamu tidak usah terburu-buru menjawabnya, aku bisa menunggu, sementara kita jalani s
“Kamu mau aku bantu mandi?’ tanya Laksa ringan.Tapi mampu membuat Luna melototkan matanya kaget, apa-apan suaminya ini, baru saja mereka baikan mau mengajak berantem lagi apa. “Matanya nggak usah melotot gitu, kalau nggak mau ya sudah.” “Kak Laksa niat banget modusnya.” “Kok modus, apa salahnya aku membantu istri yang sedang sakit, kamu pasti akan kesulitan dengan infus di tanganmu itu.” Pagi ini setalah dokter melakukan visite pagi dan sudah memperbolehkan Luna pulang, dengan semangat Laksa langsung mengemasi semua barang-barang mereka... kecuali peralatan mandi, karena mereka tak mungkin keluar ruangan tanpa mandi terlebih dahulu. Luna termangu, ucapan Laksa yang memang ingin lebih dekat dengannya ternyata tidak main-main setelah pembicaraan mereka kemarin malam, Laksa menjadi lebih berani untuk memberikan perhatian lebih padanya, meski Luna belum menyetujui permintaan laki-;alo itu. Dan tak ada salahnya memang status mereka yang sudah sah dimata
Luna turun dari mobil di bantu Laksa dan langsung di sambut oleh sang kakek yang menunggunya di atas kursi roda. “Kamu akhirnya pulang juga, maaf opa tak bisa menjenguk ke rumah sakit.” Luna berjalan menghampiri laki-laki tua itu dan memelukanya singakat. “Luna malah khawatir kalu opa pergi ke rumah sakit.” Sang kakek berdecak kesal. “Kamu memiliki terlalu banyak kekhawatiran, opa masih kuat kalau hanya menjenguk ke rumah sakit, Laksa saja yang terlalu berlebihan melarang opa ke sana.” “Itu karena kak Laksa sayang opa, benarkan, Kak,” Luna menoleh pada Laksa yang malah memalingkan muka ke arah lain. Luna kembali menatap sang kakek saat terdengar tawanya. “Baiklah aku mengerti, Nak, ayo masuk, bukankah kamu tidak boleh terlalu capek. Luna masih memandang Laksa dengan kening berkerut, kenapa suaminya itu jadi bersiakap aneh, bukankah dia benar, Laksa melarang sang kakek karena menyayanginya dan tak ingin terjadi hal yang buruk. “Jadi bagaimana kondis
Luna hampir terpekik saat dia membuka matanya dan bangun dalam pelukan seseorang.Lalu dia ingat semalam memang sudah setuju untuk tidur di ranjang Laksa, sejenak diamatinya wajah tampan yang masih terpejam dalam tidurnya, bahkan saat tidurpun terlihat begitu tampan, pantas saja banyak wanita yang tidak rela laki-laki ini berakhir bersama dirinya yang hanya dari kalangan biasa. Matanya yang begitu tajam saat menatap, membuat jantungnya berdebar tak menentu, hidungnya yang mancung, bibirnya yang pernah dengan kurang ajar hinggap di bibirnya, tapi Luna suka, wajah itu tak akan pernah bosan Luna memandangnya. “Berapa nilaiku?” Luna hampir saja terlonjak saat tiba-tiba Laksa bersuara, meski dengan mata masih terpejam, tapi tangan kekar Laksa yang melingkar di perutnya membuat Luna tak bisa bahkan untuk bergerak menjauh. “Apa aku bisa menyaingi laki-laki cantik yang saat ini banyak disukai wanita?” tanya Laksa lagi karena tak juga mendapat jawaban dari bibir Luna.
Lagi-lagi Laksa harus meminjam mobil mamanya untuk mengantar Luna, sebenarnya wanita itu sendiri tak masalah kalau Laksa menggunakan mobil ‘Kecilnya’ itu tapi, Laksa yang tahu kalau Luna tak nyaman jika menaiki mobil itu, tak ingin membuat istrinya itu semakin stress. “Apa kakak yakin harus mengantarku, kak Laksa pasti akan terlambat kerja, jam masukku tak menentu, kadang bisa pagi atau siang,” kata Luna yang masih keberata kalau Laksa harus mengantar jemputnya setiap hari. Bukan karena Luna tak bersyukur dengan perubahan yang terjadi pada Laksa, tapi dia hanya takut terjadi kehebohan, apalagi dia datang dengan dianatar laki-laki tampan dan juga mobil yang luar biasa mewah. “kamu sepertinya keberatan aku mengantarmu?” tanya Laksa meski pandangannya masih lurus ke depan untuk mengemudikan mobilnya. Memang. “Bukan begitu aku hanya tak ingin merepotkan kakak saja, aku yakin Kak Laksa punya jadwal kerja yang padat,” kata Luna berusaha memberi
“Mbak Luna sudah ditunggu pacarnya yang ganteng dari tadi,” kata Sifa petugas resepsionis yang biasanya berjaga di depan. Luna menghela napas panjang dan mengangguk berterima kasih, dia tidak ingin repot-repot meluruskan kesalahpahaman itu.“Tuh, yag punya pacar baru rajin banget sudah jemput,” Vira malah meledek Luna yang cemberut. Setelah mengajar, seperti biasa Luna memang berada di ruangan Vira, mereka terbiasa ngobrol tentang apa saja, sampai Luna harus pulang, tapi sekarang momen seperti itu harus dia lupakan, salahkan saja Luna yang terlalu ceroboh memberikan jadwal mengajarnya langsung pada Laksa, jadi laki-laki itu kapan harus mengantar dan menjemputnya. “Sebenarnya kamu mendukung atau tidak hubunganku dengan kak Laksa, kamu terlihat tidak suka padanya, tapi juga lain waktu mendukungku dengannya?” Vira pura-pura berpikir keras yang membuat Luna kesal. “Aku sudah siapin racun tikus kok,” katanya kemudian. “Apa maksudmu, kamu tidak bermaksud membu
Luna terduduk merasa bersalah pada Laksa, bagaimanapun suaminya itu terlihat sangat kesakitan, dan Luna hanya bisa berdiri diam di sana, tanpa membantu apapun. Dan Laksa yang masih tampak meringis kesakitan itu harus cepat-cepat berangkat kembali ke kantor saat sekretarisnya menghubunginya kalau meeting akan segera di mulai. Laksa hanya mengatakan “Aku pergi dulu.” Pada Luna sebelum meninggalkan kamar ini, membuat Luna teringat kejadian beberapa malam yang lalu. Dan rasa bersalah langsung menghujam hati Luna. Dia bahkan menelepon Vira dan sahabatnya malah menertawakannya. “Biarkan saja, Lun, itu bisa jadi pelajaran buat dia, supaya tidak menggunakan ‘itu’ sembarangan,” kata Vira dari seberang sana.“Tapi... itu berarti aku berdosa menyakiti suamiku sendiri.” Luna bisa mendengar helaan napas Vira diseberang sana. “Luna, aku saja belum menikah kenapa juga kamu tanya beginian ke aku.” Luna menghela napas benar juga, dia salah berguru. “Lalu aku
Luna meremas rok yang dipakainya saat ini, setelah makan siang yang sangat terlambat yang mereka lakukan Luna kira Laksa akan langsung kembali ke kantornya tapi ternyata dia salah, suaminya itu malah duduk berselonjor di atas karpet tebal di depan televisi besar yang ada di ruangan itu. Luna membulatkan tekad, menekan gengsi dan rasa malunya yang setinggi gunung itu, dia sadar jika ingin hubungan mereka berhasil bukan hanya Laksa yang harus berjuang, dia juga tak boleh pasif dan hanya bisa menerima saja, dan salah satu cara untuk semakin meningkatkan hubungan mereka yang diajarkan guru besarnya -VIRA- adalah dengan menjalin komunikasi yang baik dengan Laksa, hal kecil yang sejak dulu adalah penyakit Luna yang sangat sulit dicari obatnya. Luna berjalan pelan mendekati Laksa, dengan sedikit canggung dia duduk tepat di samping Laksa, tapi laki-laki itu rupanya cepat tanggap tangan kirinya yang sedang tidak memegang remot televisi merengkuh tubuh Luna hingga tak ada jarak
Luna kembali berguling-guling di atas ranjang hotel yang empuk itu, ternyata menjadi tidak hanya saat bekerja dia bisa kelelahan, menjadi pengangguran seperti sekarang ini juga membuatnya lelah. Yah, meski Laksa memberikannya fasilitas mewah di hotel ini, tetap saja Luna yang biasa bekerja dan bergerak ke sana kemari sangat bosan kalau harus tiduran saja. Dia sedang tidak ingin menonton drama yang biasanya sangat dia sukai itu, pun demikian ebook yang sering dia baca juga terlihat tak menarik lagi. Intinya Luna sangat bosan, dia ingin berbicara dengan seseorang, oh... Ini memang bukan kebiasaannya, biasanya Luna bahkan begitu betah mendekam di dalam kamar semdirian.Dilihatnya jarum jam berdetak dengan sangat lambat menurut Luna dan berat. Kapan Laksa akan kembali?Luna menghela napas berat. Kalau tahu dia dianggurin seperti ini, lebih baik tadi dia pulang ke rumah keluarga Sanjaya saja, setidaknya di sana ada mama mertuanya atau para asisten rumah tangga yang meski tidak terlalu r
Seperti memahami suasana hati Laksa yang segelap malam, Luna memutuskan diam saja di kursinya, kalau bisa ingin sekali berkamuflase agar sama dengan kursi mobil Laksa. Suasana hati suaminya ini benar-benar sedang tidak baik. Setelah mereka mengantarkan nenek ke stasiun tadi, Laksa memang akan langsung mengantar Luna ke rumah keluarganya, tapi siapa sangka tepat saat mereka akan keluar dari stasiun, mereka bertemu dengan ibu kandung Laksa bersama seorang laki-laki yang mungkin usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari suaminya itu, mereka terlihat mesra bergandengan berdua. Luna sampai meringis karena Laksa mencengkeram tangannya terlalu kuat. Tapi tanpa Luna duga Laksa memutuskan untuk mengikuti mereka. Laki-laki yang bersama ibu Laksa itu langsung naik begitu kereta yang akan menuju ke Jakarta datang, meninggalkan sang ibu yang tersenyum lebar setelah memeluknya sebentar. Pemandangan yang jamak memang, tapi tidak untuk Laksa, meski mereka tak tahu apa hubungan keduanya tapi dari
Luna masih sibuk dengan ponsel di tangannya saat Laksa masuk kamar dan mengerutkan kening tak suka. Dengan pelan dia mendekati Luna dan mengintip apa yang sedang dilakukan sang istri sampai mengabaikan mahluk setampan dirinya begitu saja. “Kukira ngapain ternyata ngasih makan zombie.” Luna yang sedang sangat sibuk memberi makan zombienya langsung mendongak mendengar Laksa sudah ada didekatnya. Sejak kapan? “Aku kira kakak akan menemani ayah sampai malam,” kata Luna sambil meletakkan ponsel di sampingnya dan melupan kalau masih ada zombie kelaparan di sana. Laksa mengangguk. “Hanya ngobrol ringan, kami sudah selesai ngobrol serius tadi sore.” Mereka memang baru saja makan malam dengan makanan buatan nenek yang lezat itu, tapi nenek memutuskan tidur lebih awal, karena badannya terasa pegal setelah menempuh perjalanan jauh dan dia juga memerintahkan Luna untuk cepat masuk kamar dan tidur juga. Meninggalkan Pak Edwin dan Laksa yang atas perintah nenek, harus membersihkan mej
Malam sudah sangat larut saat Laksa memasuki pelataran rumah mertuanya, dia menengok pada arloji yang melingkar di tangannya, sudah hampir pukul sebelas malam memang, pantas saja semua rumah di kiri kanan sudha tertutup rapat. Untunglah Laksa sempat meminta kunci cadangan pada Luna, khawatir dia pulang cukup larut dan harus membangunkan orang rumah. Saat pintu terbuka dia masih bisa mendegar suara televisi yang dinyalakan di ruang tengah. Ternyata ayah mertuanya belum tidur, dalam hati Laksa sedikit mengeluh, tubuh dan pikirannya terasa lelah, dan dia ingin sekali langsung istirahat, tapi dia tak mungkin melewati ayah mertuanya begitu saja tanpa berbasa-basi sebentar minimal menanyakan apa yang dia tonton. Laksa tidak bisa bersikap seperti saat berada di rumahnya ayah mertuanya bukan papanya yang terlihat tidak peduli padanya. “Malam, Yah, belum tidur,” sapa Laksa berbasa basi. “Belum, ayah masih nonton bola.” Mau tak mau Laksa duduk sebentar menanyakan skor pero
Kalau mau tahu rasanya jatuh cinta sama cowok dan sudah dari laaama... tapi si cowok nggak notice juga yang berujung pada putus asa, Luna sangat tahu jawabannya. Sakitnya nylekit banget lebih sakit dari pada saat Luna digigit kalajengking waktu kecil. Dulu waktu Laksa bersikap sangat baik padanya –dan itu terjadi mungkin karena tidak sengaja– Luna sudah menggelepar kegeeran tidak karuan, dia selalu ingin melihat Laksa setiap saat., meskipun secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang agak jauh dan yang pasti tidak ada yang curiga kalau dia sedang memperhatikan :Laksa. Saat Laksa jadian dengan teman seangkatannyanyapun yang terkenal sebagai primadona kampus, Luna tak langsung patah hati, dia selalu percaya kalau suatu saat dialah yang akan jadi jodoh Laksa, kepercayaan konyol memang yang langsung terkikis begitu dia bertemu Laksa pertama kali di tempat kerja dan tampak sangat tidak mengenali Luna, yang selama ini diam-diam memendam asa untuknya. Bego memang, Luna tahu it
Laksa bukan orang yang suka menunda masalah memang, baginya lebih cepat masalah bisa diselesaikan lebih cepat pula hasilnya akan kelihatan, begitulah yang dia lakukan selama ini. Akan tertapi serang bukan waktunya untuk memikirkan tentang hal lain, Luna masih sangat perlu perhatian darinya, apalagi hubungan mereka yang barusan membaik membuat Laksa berharap banyak. “Ada apa, Kak? Siapa yang menelepon?” tanya Luna yang melihat Laksa tiba-tiba terdiam di tempat duduknya. Laksa memandang Luna sejenak, menimbang apa akan mengatakan semuanya atau tidak, sejujurnya dia tak ingin membebani pikiran Luna dengan perkara itu, tapidia sudah banyak belajar dari kesalahan sebelumnya. Sekarang dia bukan lagi laki-laki lajang yang bisa memutuskan apapun sekehendak hatinya, ada Luna di sisinya yang akanberbagi suka dan duka dengannya. “Aku harap kamu tidak berpikir yang berlebihan.” Dirga menghela napasnya sebentar dan memandang Luna dalam. “Beberapa hari yang lalu aku min
“Dua menit sepuluh detik.” Dirga mematikan stopwatch dari ponselnya dengan gembira. “Kamu menghitung apa?” tanya Laksa penasaran. Saat ini mereka sedang duduk di taman rumah sakit, saat Laksa dan Luna terlibat percakapan tadi, tiba-tiba sang mama datang bersama Dirga, membawakan makanan kesukaan Laksa dan Luna. Sungguh perhatian yang membuat dada Laksa menghangat, meski rasa malu dan gengsi masih membatasinya untuk kembali masuk dalam pelukan mamanya. Dirga menoleh pada Laksa, terlihat sangat gembira, membuat Laksa mengerutkan keningnya bingung. “Rekor sebelumnya ternyata sudah terpecahkan.” “Rekor apa? sebenarnya apa yang sedang kamu bicarakan?” Dirga mengarahkan telunjuknya pada Luna dan mama mertuanya yang sedang asyik bersenda gurau. “Bagiamana menurutmu pemandangan di sana, maksudku saat dua orang itu tertawa lepas?” Laksa tersenyum, “sangat indah, aku suka melihatnya.” “Keduanya atau salah satu?” “Keduanya tentu saja, a
Hal yang paling dibenci Luna adalah mencurahkan isi hati pada seseorang, selain ayah dan Bundanya juga Vira, belum pernah sekalipun Luna bicara panjang lebar menyangkut tetang perasaan di hatinya. Sekarang dia tentu saja sangat kesulitan untuk mengungkapkan semua isi hatinya pada Laksa, meski sudah tak terhitung jumlahnya mereka berbagi keringat bersama. Bahkan beberapa kali Vira sudah mendorongnya untuk berbicara pada Laksa secara terus terang, Luna sangat kesulitan mengatakan maksud hatinya. “Bagaimana jika aku tak ada di sini?” Laksa menatap Luna dengan kening berkerrut. “Apa maksudmu?” Luna menghela napas, kali ini dia ingi menguatkan tekad, mengatakan apa yang menjadi kehendak hatinya. Vira benar ini hidupnya dan jika dia ingin bahagia, maka dia harus tegas untuk menyikapi semua. “Hubungan kita hanya sebuah kecelakaan yang direncanakan seseorang, dasarnya sama sekali tak kuat, banyak faktor yang menyebabkan kita sangat berbeda, dan aku rasa kak Lak