"Tapi bagaimana dengan Alika, Bu? Dia pasti tidak mengizinkan!"
"Ah, anak itu biar saja, dia nanti juga mengerti. Laki-laki menikah lagi tak perlu izin istri pertama, kok!" kilahnya."Tapi aku tidak menyukai Wulan, Bu!""Kamu ini tidak normal apa, Galang? Wulan itu cantik, semok, pintar, baik, apa lagi yang kurang darinya? Dia pasti bisa menyenangkan hatimu!" terangnya bersemangat. Seperti seorang sales yang memasarkan produknya.Memang yang diucapkan Ibu ada benarnya. Walau aku belum menyukai Wulan tapi aku mengakui semua yang Ibu katakan barusan.Lalu setelah hari itu Ibu terus berusaha mendekatkan aku dengan Wulan. Membuatnya terus saja menempel denganku. Wulanlah yang menyiapkan semua keperluan harianku. Sedang Alika dibuat sibuk dengan urusan rumah tangga lainnya."Kamu mau 'kan menikahi Wulan?" tanya Ibu lagi untuk kesekian kalinya saat aku tengah mengecek pekerjaan melalui ponsel di ruang tengah.Tak kujawab pertanyaannya. Hanya terus saja fokus menatap ponsel."Galang, buatlah hati Ibu senang sekali saja! Ikutilah perintah Ibu ini. Toh Ibu hanya memintamu menikahi Wulan. Bukannya menceraikan Alika. Kamu tetap bisa bersama dengan Alika. Tapi bedanya kamu juga suami Wulan nantinya," desaknya lagi.Rasanya aku sudah bosan dengan semua permintaan Ibu. Setiap hari hanya ini saja yang dibicarakannya, seakan tak ada topik lainnya lagi."Ayolah, Galang ..., Wulan itu wanita baik, pintar, dan cantik. Dia rela walaupun harus menjadi istri kedua, karena dia juga mencintaimu. Kamu tidak akan menyesal menikah dengannya, Lang!""Iya Mas, aku gak masalah menjadi istri kedua karena aku mencintaimu, Mas!" seru Wulan, entah kenapa aku melihat dia lebih manis memang saat itu."Ayolah, Lang, nikahi Wulan. Ibu akan tenang jika kamu sudah menikah dengan Wulan, Lang!"Bosan dengan desakkan Ibu yang tak henti-henti, akhirnya aku pun menerima saja permintaannya. Toh, benar kata Ibu, aku masih bersama Alika. Aku juga mampu untuk menafkahi dua istri sekaligus dan pasti bisa berlaku adil pada mereka"Baiklah, Bu. Akan kunikahi Wulan. Semoga Ibu bahagia setelah ini!" ucapku dengan datar"Terima kasih Galang, akhirnya kamu mau menurut juga pada Ibu!" ucap Ibu berseri.Kulihat Wulan juga tersenyum manis sekali penuh kebahagiaan disisi sofa lain.Ya ..., sepertinya tak masalah memang memiliki istri dua.Malam itu kudatangi Alika, dan berniat memberitahukan keputusanku yang akan segera menikahi Wulan."Alika, maafkan Mas ya, Mas nampaknya tidak bisa menolak permintaan Ibu untuk menikahi Wulan," ucapku berhati-hati ketika mengajaknya bicara."Mas janji akan tetap bersikap baik dan berusaha adil padamu, Alika!" lanjutku lagi.Kulihat mata Alika mulai berkaca-kaca. Yang kutakutkan terjadi. Alika pasti tidak setuju."Jadi ...Mas setuju menikah dengan Mba Wulan? Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi, Mas? Kalau begitu lebih baik ceraikan aku daripada harus berbagi suami dengannya!" protes Alika, tak terima akan keputusanku."Aku mencintaimu, Alika. Tapi aku juga tidak bisa menolak permintaan Ibu terus. Kamu tahu 'kan Ibu tidak setuju aku menikah denganmu. Ia ingin aku membahagiakannya dengan menikahi Wulan. Aku janji tidak akan ada yang berubah sama sekali setelahnya!" bujukku, mencoba membuatnya mengerti kondisiku."Kamu jahat, Mas, kalau begitu untuk apa aku bertahan dua tahun ini, menerima semua sikap kasar Ibu padaku, jika akhirnya aku tetap tak bisa diterimanya sebagai menantu. Ceraikan aku Mas, ceraikan!" Alika pun menangis tersedu-sedu.Saat itu aku tak mengerti rasa sakitnya. Aku hanya tak mau lagi dipusingkan dengan rengekan Ibu. Tak kupedulikan lagi air mata Alika. Kutinggalkan dia begitu saja. Tetap pada pendirian untuk menikahi Wulan._______________8 FebruariDear Diary!Hari ini hatiku hancur berkeping-keping. Pernikahan itu tetap terjadi. Mas Galang dengan teganya menikahi Mba Wulan tanpa memikirkan perasaanku.Berulang kali aku meminta cerai. Berulang kali juga dia menolaknya. Katanya Mas Galang akan tetap mencintaiku sampai kapan pun, tapi kenapa ia malah menyakitiku seperti ini?Mas, kau tahu, sakit hati ini tak tertahan kan lagi. Lebih baik kau mencampakkanku dari pada aku harus melihatmu dengan wanita lain, dan hidup tersiksa seperti ini!________10 Februari.Seperti dugaanku, Mba Wulan makin bertingkah setelah resmi menikah dengan Mas Galang. Ia menganggap dirinya nyonya di rumah ini. Sikapnya bahkan lebih semena-mena dari pada Ibu.Kesal!Hidupku kini layaknya neraka __________20 FebruariAku sedih ... Ibu memberhentikan Mba Sum, pembantu kami satu-satunya. Mba Sum bagiku bukan hanya pembantu di rumah ini, tapi juga temanku. Karena hanya dia yang selalu bersikap baik padaku.Ibu bilang tak perlu paka
Saat itu jujur aku tidak tahu bahwa yang dimaksud adalah memohon-mohon dan bersujud seperti seorang peminta-minta.Kukira hanya meminta biasa seperti seorang anak yang membutuhkan uang pada orang tuanya."Kamu benar-benar jahat, Mas!" ucapnya sambil menatapku dengan tatapan yang amat sendu. "Alika, ini semua demi kebaikan kita bersama, Wulan pasti bisa mengatur keuangan keluarga kita dengan baik!" bujukku, berharap ia bisa menerimanya."Kebaikanmu, Mba Wulan dan Ibu lebih tepatnya, Mas!" ucapnya sambil berlalu pergi meninggalkanku begitu saja."Alika ..., Alika ...!" panggilku ingin membujuknya lagi. Tapi melihat ia yang telah hilang dari pandangan, membuatku mengurungkan niat. Toh Alika nanti juga akan kembali seperti biasa lagi, seperti hari biasanya ketika ia kesal padaku. Sekarang ada banyak pekerjaan yang lebih penting dari masalah ini.Semenjak hari itu memang aku tak pernah memberikan uang sepeser pun lagi padanya. Kuanggap Wulan telah memberikannya pada Alika sesuai yang ia
Kini aku berada di depan rumah besar yang menyimpan banyak kenangan itu. Rumah yang kubangun dari nol dan menjadi saksi perjuangan. Rumah yang pernah sangat kubanggakan karena menjadi simbol keberhasilanku berubah dari seorang Galang Gunawan anak tukang becak, menjadi Galang Gunawan pemilik salah satu perusahaan kontraktor di kota ini.Tapi rumah itu juga yang ternyata menjadi saksi betapa kejamnya perlakuanku juga perlakuan ibu tiri dan Wulan, mantan istri keduaku pada Alika dan Alesha.Aku perlahan memasuki rumah yang kini nampak seperti tak berpenghuni itu. Membuka pintunya yang ternyata tak terkunci. Kulihat sekeliling rumah yang tampak sangat berantakan dan tak terurus. Banyak barang dan furniture yang dulu ada kini hilang entah kemana."Ibu..., Ibu ...!"Panggilku, mencari sosok yang sangat ingin kutemui itu. Betapa aku penasaran akan kondisinya sekarang. Bagaimana dia bisa bertahan hidup saat aku di penjara, sementara tak ada siapa pun yang menjamin hidupnya?Tiba-tiba keluarla
"Mas ..., masa Ibu menghentikan Mba Sum sih!" teringat rengekan Alika suatu hari di ruang kerjaku,l saat Ibu memutuskan memberhentikan asisten rumah tangga kami."Ya, Ibu tadi sudah bilang padaku. Agar biaya rumah tangga kita tak membengkak memang." sahutku sambil terus fokus pada laptop dihadapanku."Terus gimana dengan kerjaan rumah dong, Mas?""Tinggal kerjakan bersama-sama, lah! Kamu, Wulan dan Ibu, gampang kan?!" jawabku, tanpa sedikit pun memalingkan mata dari pekerjaan."Iya, mending kalau mereka memang mengerjakannya. Tapi ini semua dibebankan padaku, Mas!" protesnya padaku sambil menghentakkan kakinya."Tinggal, dibagi kerjaannya dong! Kalian kan sudah besar. Masa seperti itu saja tak bisa? Ah ... sudah-sudah, Pekerjaanku banyak sekali ini. Jadi tolong jangan ganggu aku dulu!" Aku pun sekonyong-konyong meminta Alika pergi begitu saja. Tanpa mau mengerti arti keluhan Alika kala itu.Ya, ternyata memang kenyataannya Alikalah yang membersihkan seisi rumah setiap harinya seorang
Menjelang malam kubiarkan ibu beristirahat terlebih dahulu. Aku tak mau ia kecapekan lalu pingsan begitu saja, hal itu akan sangat merepotkan nantinya.Aku pun tak ingin dia sakit lalu mati dengan mudah. Masih banyak yang ingin kulakukan padanya. Betapa aku ingin dia merasakan semua penderitaan yang sama dengan yang Alika rasakan karena telah semena-mena dilakukannya pada Alika.Dari sela pintu kamarnya kulihat kini Ibu tengah membaringkan badannya di kasur, beristirahat setelah tadi membereskan semua kekacauan di rumah ini. Kurasa waktunya beristirahat sudah selesai. Maka aku pun seketika menendang begitu saja pintu kamarnya hingga menimbulkan suara yang keras. Ibu sekonyong-konyon terduduk, terperanjat."Ibu kira, bisa beristirahat begitu saja, hah?" bentakku. Ibu membalas menatap mataku penuh emosi, seakan mau melawanku. "Apa, mau melawan, Bu?" Tanyaku, sambil tersenyum meremehkannya. "Silahkan saja, tapi kau harus tahu, aku bukan Galang kecil lagi yang bisa kau perlakukan seenak
"Galang, kamu kemanakan ponsel dan uangku?" teriak Ibu saat sedang menikmati sepiring bubur ayam kesukaanku.Seperti yang sudah kuduga, Ibu akan meledak marah saat tahu semua uang yang dimilikinya kuambil. Tadi pagi ketika ia tengah mandi, aku menyelinap masuk kamarnya, mencari dimana ia menyimpan semua sisa uang hasil penjualan barang-barang di rumah ini. Toh itu juga uangku. Aku tak mau dia masih menikmati hidup setelah hari ini. Pastinya jika dia masih memliki sisa uang, akan memudahkan Ibu untuk kabur dariku. Ya ... lagi-lagi aku hanya melakukan yang sama dengan yang ia lakukan pada Alika. Tak memberi uang sepeser pun agar Alika tak bisa pergi dari siksaannya. "Galang ...!"Tak kuhiraukan teriakan Ibu yang membahana. Tetap menikmati sarapan buburku, sambil menunggu kehadirannya disini."Galang! Kamu yang ambil uangku 'kan? Semalam aku masih melihat uang itu ada dibtempatnya," tuduhnya, sambil menatapku tajam."Uangmu? Kau yakin itu uangmu?"Ibu seketika salah tingkah. Pastinya i
"Waw ..., akhirnya kau punya pembantu baru, ya, Galang!" seloroh Satria saat melihat Ibu yang tengah mencabuti rumput ditengah panas terik siang ini.Satria memang kuminta datang ke rumah untuk membawakanku laporan dan beberapa berkas terkait perusahaan yang harus kutandatangani. Kebetulan, aku juga punya tugas tambahan yang harus dia lakukan."Mau juga wanita itu melakukannya ternyata!" ejeknya lagip, tersenyum puas melihat Ibu yang nampak kepayahan berjongkok-jongkok mencabuti rumput.Aku hanya tersenyum mendengar ejekannya sambil terus menekuri berkas laporan yang ia bawa. Perusahaanku mulai stabil kini. Ia mulai bangkit lagi pasca hampir terpuruk karena kutinggalkan.Keyakinanku pada Satria terbukti, ia pasti mampu mengembangkan perusahaan tanpa diriku. Buktinya kini beberapa tender ia menangkan kembali. Termasuk mega proyek bersama Dyna Corp, untuk membuat sebuah small city, kota dalam kota. Nampaknya kini aku bisa lebih bernafas lega meninggalkan perusahaan, lalu fokus pada mi
"Alika telah menuliskan semua yang kalian lakukan di buku catatan hariannya! Kau tak bisa mengelak lagi! Bisa saja aku serahkan bukti itu saat ini juga ke polisi, lalu membiarkan dirimu masuk penjara." Ibu seketika terbelalak tak percaya bahwa aku benar-benar memiliki bukti itu."Tapi sekali lagi kutekankan, aku ingin kau dan Wulan merasakan semua penderitaan yang kalian buat pada Alika terlebih dahulu, tanpa terkecuali!"Ibu terdiam tak dapat berkata apa-apa. Sekarang hilang sudah sorot marah dari matanya, berganti menjadi ketakutan."Sekarang, cepat selesaikan membereskan rumput itu, dan jangan masuk sebelum semua selesai!" bentakku sambil menunjuk ke luar.Segera Ibu berlari keluar, dan kembali mencabuti rumput-rumput di halaman.****Aku pandangi foto pernikahan bersama Alika hampir lima tahun silam dulu. Alika sangat cantik mengenakan kebaya putih yang elegan. Pernikahan kami digelar sederhana, seperti keinginannya. Ia hanya ingin pernikahan penuh keskaralan, katanya.Dia begitu
Dendi seorang pemuda berusia kisaran 28 tahunan baru saja terbangun dari tidurnya. Bunyi notifikasi dari ponsel tiada henti mengganggu tidur lelapnya. Sambil mengumpulkan nyawa, Dendi mencoba mencari tahu siapa gerangan yang terus saja menghubunginya itu.[Den, kau sudah lihat berita? Klienmu, Pak Galang ditemukan mati terjatuh dari lantai 4 kantornya bersama dengan temannya sendiri!]Dendi, mencoba membaca pesan dari salah satu temannya itu, berulang kali. Mencoba mencerna semua isinya. Berharap yang ia baca salah. Namun berulang kali Dendi membaca, isinya tetap sama tak berubah.Dendi sangat tak percaya akan berita yang baru saja diterimanya itu. Pasalnya kurang dari seminggu lalu Galang datang menemuinya.Dengan wajah murung, dan putus asa, hampir tengah malam Galang memaksa Dendi agar mau meluangkan waktu untuknya, kala itu. Dendi sempat menolak. Ia tak mau bekerja di luar jam kerjanya. Ia tak pernah mau pekerjaan mengganggu jam istirahatnya.Tapi Galang memaksa, ia berjanji akan
"Pak Galang, saya sudah menemukan beberapa bukti yang menguatkan penggelapan dana yang telah dilakukan oleh Pak Satria!" lapor Vera bersemangat, sesaat setelah aku kembali dari hotel.Tak bisa fokus, aku tak langsung menanggapi ucapannya."Apa sebaiknya kita bicarakan terkait ini semua nanti saja, Pak?" tanya Vera ragu-ragu. Mungkin ia menangkap perubahan mood-ku yang sangat berbeda setelah kembali dari hotel."No, no, kita selesaikan semua ini sekarang juga. Aku minta kau salin semua bukti yang kau dapatkan. Berikan salinannya padaku dan kuminta kau segera buat laporan terkait Satria ke polisi, Ve! Aku percayakan kasus ini padamu!" titahku, seraya menatap Vera penuh keyakinan bahwa dia akan menyelesaikan semua dengan baik."Sa-saya yang buat laporan, Pak? Bagaimana jika orang lain saja, jujur saya takut menghadapi Pak Satria nantinya, Pak ...." Nampaknya Vera tak percaya diri untuk meneruskannya, sayangnya ia tak punya pilihan, hanya dia yang bisa melakukannya. Maka tak ada pilihan l
Mendapati Alika yang melawan, Wulan tak tinggal diam. Ia mendatangi Alika kembali dengan nafas yang terengah-engah lalu sekonyong-konyong menjabak rambut Alika keras hingga Alika tersungkur terjatuh."Jangan pikir kau bisa melawanku, Alika. Tak akan pernah bisa!" murka Wulan. Sembari mengeraskan cengkeramannya pada rambut Alika. Alika memekik kesakitan. Ia tak tahan lagi terus diperlakukan kasar. Seketika ia mengambil alat pel lantai yang tergeletak begitu saja lalu memukulnya ke badan Wulan dengan keras.Wulan meringis kesakitan. Tak percaya Alika melawan. Langsung saja Wulan merebut alat pel di tangan Alika, lalu menghujani Alika dengan pukulan bertubi-tubi. Alika tak dapat berbuat banyak. Ia hanya meringkuk kesakitan sembari melindungi janin di dalam perutnya.Saat Wulan sedang melancarkan aksinya, tiba-tiba saja terdengar tangisan Alesha yang kencang. Alesha ketakutan melihat ibunya dipukuli, dan juga menjerit kesakitan.Ibu segera menghampiri Alesha, dan menggendongnya. Tapi bu
Author's POV2 tahun yang lalu.17 Desember 2018Seperti biasa, hari itu Alika tengah mengerjakan pekerjaan rumahnya seorang diri saat belum ada seorang pun penghuni rumah yang bangun dari tidurnya. Menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci baju, semua Alika kerjakan tanpa sedikit pun ada bantuan dari Wulan--madunya sendiri--atau pun Ibu mertuanya. Tiba-tiba, Rendi, adik dari madunya datang begitu saja dan mendorong Alika yang sedang mencuci piring di wastafel. Sekonyong-konyong lelaki yang seumuran dengan Alika itu memuntahkan seisi perutnya.Alika kesal bukan main melihat ulah lelaki pengangguran itu, yang bisanya hanya merepotkan di rumah ini. Setiap harinya selalu pulang pagi dan dalam keadaan mabuk seperti sekarang ini. Tak pernah ada kegiatan berarti yang ia lakukan. Kesalnya lagi, kakaknya, Wulan selalu saja menuruti adiknya yang hanya bisa minta uang padanya saja. Apalagi uang yang diberikan oleh kakaknya itu adalah uang dari Galang suami Alika yang juga suami Wulan."Kau in
Malam kini sudah semakin gelap. Suasana di bangunan gedung mangkrak ini semakin mencekam. Kudengar dari dalam gedung ada ketegangan yang teramat sangat. Nampaknya Rendi dan juga lelaki asing itu mempertahankan diri dengan cukup keras."Bajingan Rendi ...!" murka Pak Andre saat mendengar pengakuan Kaira barusan. "Awas saja akan aku habisi dia setelah ini!" pekiknya lagi, nampak sangat marah. Tangannya mengepal kuat, menahan amarah yang sudah di ubun-ubun.Bagaimana tidak, Rendi telah dengan sengaja menodai Kaira anak gadisnya. Aku saja yang bukan siapa-siapa Kaira ikut geram dibuatnya. Memang Kaira salah telah menyebarkan video itu. Tapi tak seharusnya Rendi melakukan hal sejauh ini.Sementara itu, Kulihat Kaira menangis tersedu memeluk sang Ayah. Dapat kurasakan kesedihannya, ia pasti sangat shock dan juga terpukul atas semua yang menimpa dirinya."Mari, Pak, kita harus segera pergi. Di sini terlalu berbahaya!" ajak para polisi wanita itu seiring terdengar lagi suara tembakan dari dala
"Aku siapa? Haha ... Sebaiknya kau tak usah tahu. Tapi yang pasti aku tahu siapa dirimu, Galang Ginanjar!" jawab lelaki itu angkuh. Lelaki itu kini mulai melangkah maju, mengitariku, entah untuk apa."Kau 'kan yang telah memperlakukan Wulan seenaknya, menceraikan dia lalu membuatnya terlantar? Kau juga yang membuat ia akhirnya bunuh diri seperti yang dilakukan istri pertamamu!" ucap lelaki yang entah siapa itu, dengan angkuhnya."Kau siapa? Apa hubungannya dirimu dengan semua ini?" tanyaku, kesal akan tingkah angkuhnya."Aku memang bukan siap-siapa, tapi aku pernah berjanji akan melindungi Wulan. Maka sekarang saatnyalah aku melakukannya, agar Wulan tenang di alam sana." jawabnya. Dengan tetap mengitariku. Membuatku merasa risih."Lantas, apa yang mau kalian perbuat padaku sekarang?" tanyaku lagiKemudian mereka pun saling memberikan kode yang entah apa artinya dengan matanya. Sampai tiba-tiba, lelaki itu memegangi tanganku dari belakang mengunci gerakanku.Lalu Rendi mengeluarkan ta
Terbangun saat aku merasakan haus yang teramat sangat di tenggorokan ini. Perlahan kubuka mata, merasa aneh berada di tempat yang nampak asing ini. Aku berada di mana? Kenapa aku bisa berada di tempat yang .... Tiba-tiba indra perasaku mulai aktif kini. Kepalaku berdenyut hebat dan terasa amat sakit. Saat kuangkat tangan, untuk memegangi kepala yang rasanya akan copot itu, kulihat ditanganku menempel sebuah selang dan jarum infus.Aku di rumah sakitkah? Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku?Dengan keras kucoba mengingat semua yang terjadi hari ini. Aku datang ke pemakaman Wulan, kembali bekerja, menemukan hal mencurigakan di perusahaan, lalu .... Kaira. Ya, aku kemarin mencari Kaira dan tak menemukannya. Yang ada malahan aku diserang oleh lelaki bertopeng dengan sebilah kayu. Nampaknya aku pingsan setelahnya. Lalu, siapa yang membawaku ke rumah sakit ini?"Galang, kau sudah siuman?" Satria datang menghampiri. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran."Kau, ini ceroboh sekali, mau jadi
Dibalik cermin aku mengobati lukaku sendiri dengan sebongkah es batu dan betadine. Ternyata pukulan Rendi keras sekali hingga meninggalkan legam yang membiru di wajah ini.Sebenarnya saat Rendi memukuli tadi, aku seperti melihat diri sendiri yang sedang marah saat mengetahui bahwa Alika mengalami KDRT oleh Wulan dan Ibu. Rasanya ingin bisa melakukan seperti yang Rendi lakukan barusan kepadaku. Namun sayang aku tak bisa memukuli wanita. Maka waktu itu aku menahannya.Kembali aku merenungi semua yang telah terjadi. Ibu dan Wulan telah memilih jalan yang sama dengan Alika. Satu persatu akhirnya mereka telah merasakan apa yang dirasakan Alika sebelumnya. Walau akhir hidup mereka yang mengenaskan itu semua tidak masuk dengan rencanaku sama sekali.Tinggal Rendi yang belum mendapat balasan apapun dariku. Aku harus melakukan sesuatu untuk membongkar semua perbuatannya dan membuatnya menyesali perbuatannya. Tapi kini Rendi juga menuduhku menjadi penyebab kematian kakaknya. Skor kami 1-1 kini.
Selepas dari rumah Pak Andre tadi, aku langsung kembali ke kantor. Tak mau berlama-lama berada pada suasana canggung di rumah itu karena Pak Andre yang mungkin merasa terluka atau tersinggung akan perilaku Wulan padanya.Kaira memintaku untuk tinggal lebih lama lagi. Katanya untuk sekedar menemani merayakan hari yang menyenangkan karena telah berhasil mengusir Wulan dari rumah.Tapi aku menolaknya. Lebih baik aku bekerja lebih keras lagi dan mengembangkan perusahaan dari pada melakukan hal yang tak berguna seperti itu. Juga lebih baik aku mencari cara lain untuk membalas perbuatan Wulan dan Rendi pada Alika yang masih belum tuntas kutunaikan."Galang, kau tahu kasus Wulan yang viral itu? Kacau, benar-benar kacau dia. Kurasa dia mendapat karma atas perbuatannya sendiri," ucap Satria, saat baru saja memasuki ruang kerjaku. "Oh ya, kudengar kau juga kemarin memukuli Rendi habis-habisan di sini?" tanya Satria lagi, makin menggangguku dengan berondongan pertanyaannya, padahal aku tengah s