Noval tiba di kantor Andhika tiga puluh menit setelah sambungan telepon mereka berakhir. Dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke ruangan pria itu. Tiba di depan pintu, dia sudah disambut oleh sekretaris Andhika.“Silakan masuk, Pak! Bapak sudah ditunggu dari tadi oleh Pak Dhika.”“Terima kasih,” sahut Noval. Dia lalu membuka pintu ruangan Andhika, dan terkejut mendapati seorang pria duduk di kursi di hadapan Andhika.“Eh, Noval. Masuk sini dan duduk di kursi itu! Aku sudah menyiapkan untuk kamu,” titah Andhika.Noval tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia lalu melangkah ke dalam ruangan, kemudian duduk di kursi yang ditunjuk oleh Andhika.“Ada apa, Pak Dhika? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Noval setelah dia duduk di kursi, bersebelahan dengan Romi.“Iya. Kamu harus membantu aku dengan menjawab semua pertanyaan yang aku ajukan dengan jujur!” tegas Andhika dengan tatapan tajam tertuju pada Noval.Noval yang ditatap Andhika dengan tatapan tajam, merasa grogi juga. Rasa bersalah
Dalam sekejap, Bagus sudah tiba di ruangan Andhika. Pria itu menghela napas panjang melihat Noval yang babak belur. Dia lalu melangkah mendekati Andhika.“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Bagus.“Tolong kamu urus untuk mengambil alih perusahaan jasa keamanan atas nama si brengs*k ini. Aku dulu yang memberi dia modal untuk merintis perusahaan itu bersama temannya. Tapi, dia nggak tahu diri. Sudah ditolong malah menikamku dari belakang,” sahut Andhika dengan tatapan tajam terarah pada Noval yang masih menundukkan kepalanya.“Baik, Pak. Saya akan hubungi notaris dan mengadakan rapat dengan pemegang saham lainnya. Setelah itu, akan saya umumkan kalau perusahaan tersebut sudah diambil alih oleh Pak Dhika dari Pak Noval,” ucap Bagus, yang diangguki oleh Bagus.“Iya, segera kamu urus semuanya!” titah Andhika, yang diangguki oleh Bagus.“Ok, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”Selanjutnya, Bagus melangkah meninggalkan ruangan Andhika.Sepeninggal asisten pribadinya, Andhika kembal
Andhika menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah toko bunga. Dia berniat membeli buket bunga cantik untuk sang istri.“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya seorang pegawai toko bunga.“Iya, saya mau cari bunga mawar pink.” Andhika menjawab tanpa menatap ke pegawai toko bunga. Matanya tetap fokus ke arah deretan aneka bunga.“Di sebelah sini, Pak. Ini ada bunga mawar pink, yang baru dipetik dari kebun. Masih segar sekali. Kalau kue, fresh from the oven,” ucap pegawai toko bunga itu.Andhika terkekeh mendengar perumpamaan yang diucapkan oleh wanita itu.“Mbak bisa saja menyamakan bunga dengan kue,” celetuk Andhika.Wanita itu hanya tersenyum menanggapi penuturan Andhika barusan. Langkahnya terhenti di pojok ruangan toko.“Ini bunga mawar pink-nya,” tunjuk wanita itu.“Ok, saya mau yang ini. Tolong segera dirangkai ya, Mbak. Saya tunggu,” ucap Andhika.“Siap. Ada kata-kata mutiara yang bisa diselipkan di rangkaian bunga ini?” tanya wanita itu.“Oh iya, ada. Bisa minta kertas dan pulpenn
Sementara itu di Singapura.Hana yang sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, kini termangu di kamar apartemennya. Dia yang kini sedang berbaring, mengangsurkan tangannya ke perutnya yang masih rata.“Ada anak Mas Dhika di rahimku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku nggak mungkin kembali padanya. Aku sangat membencinya, dan aku sangat terhina dengan ucapannya. Biarlah anak ini aku rawat sendiri di sini. Mas Dhika nggak perlu tahu. Tapi, apa keputusanku ini adil untuk anakku ini?” gumam Hana seorang diri. Tak terasa cairan bening mulai membasahi kelopak matanya.Posisi Hana yang memunggungi pintu, tak menyadari kalau Mutia tengah memperhatikan dari ambang pintu. Kakak sepupu sekaligus managernya itu, dapat melihat kalau kini Hana tengah menangis karena punggung Hana tampak berguncang.Mutia lalu melangkah mendekati Hana dan duduk di tepi tempat tidur. Dia mengusap lembut lengan adik sepupunya itu, berusaha untuk menenangkan.“Han, aku sudah ngomong tadi sama Pak David dan berneg
Hana yang meragu dengan yang Andhika tulis di kartu itu, lantas menutup aplikasi pesan berwarna hijau itu. Dia lalu kembali merebahkan tubuhnya di kasur.Mutia yang melihat reaksi adik sepupunya itu menjadi heran.“Han, kok kamu cuek begitu sih?”“Memangnya aku harus apa, Mbak? Apa aku harus tersenyum karena senang telah membaca tulisan Mas Dhika? Aku saja nggak tahu apakah dia menuliskan itu semua dengan tulus, atau hanya trik saja supaya aku mau memaafkan dia?” sahut Hana dengan bibir yang mengerucut.“Astaga, Hana! Kenapa kamu keras kepala begini sih? Pak Dhika itu seorang yang nggak main-main dalam bertindak lho, Han. Kalau dia menuliskan kata itu, artinya dia sungguh-sungguh. Coba kamu tengok lagi tentang kesepakatan kalian. Pak Dhika menikahi kamu sah secara hukum agama maupun negara. Kalau dia mau, bisa saja dia menikahi kamu secara siri. Jadi kalau mau berpisah, nggak usah repot mengurus ke pengadilan agama. Kalau menurutku sih, sebenarnya dari awal Pak Dhika sudah tertarik sa
“Terima kasih, Pak. Tapi, sepertinya kami bisa mengatasi sendiri,” ucap Hana dengan senyum canggung yang menghiasi wajahnya.“Betul, Pak David. Kami bisa kok mengatasi ini semua berdua saja. Lagi pula, suami Hana sudah tahu kalau Hana sekarang ini sedang hamil. Nanti dia akan kemari,” timpal Mutia yang membuat Hana mendelik saking terkejutnya, karena tak menyangka kalau Mutia akan berkata seperti itu.“Jadi suaminya belum tahu kalau Hana sedang hamil?” tanya David dengan kening berkerut.“Belum. Kalau sudah tahu sejak awal, pastinya Hana nggak akan diberi ijin ke Singapura,” sahut Mutia.Hana melirik ke arah Mutia. Tak lama, dia kembali menatap David seraya berkata, “Sebenarnya, saya dan suami saya sedang ada masalah. Jadi dia belum tahu keberadaan saya di sini.”“Hana!” sentak Mutia. Dia menatap tajam ke arah Hana karena kesal dengan kebodohan adik sepupunya itu. Apalagi setelah melihat senyuman David. Semakin kesal saja dia.Hana sontak mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, dan menga
Mata Hana berkaca-kaca mendengar ancaman Mutia. Selama ini, Mutia yang mengurus segala keperluannya. Hana tinggal menjalankan pekerjaannya. Dia tidak bisa membayangkan kalau Mutia meninggalkan seorang diri di Singapura. Apalagi keadaannya kini sedang hamil.“Mbak, jangan pergi dong. Aku sangat membutuhkan Mbak Mutia di sini. Mbak nggak kasihan apa sama aku yang sedang hamil dan masih suka mual?” ucap Hana dengan tatapan memohon.“Makanya kamu hubungi itu si Pak David, supaya dia nggak terus menerus kirim sesuatu kemari. Nggak tahu, Han. Khawatirnya nanti malah ada pamrih. Soalnya aku mencium gelagat yang aneh dari dia,” sahut Mutia.“Aneh? Aneh bagaimana maksudnya Mbak Mutia?”“Aku sempat dengar kasak-kusuk saat kamu pingsan. Terus secara refleks Pak David membopong kamu ke mobilnya. Padahal yang aku dengar dari kasak-kusuk itu, belum pernah dia seperti itu. Apalagi dia juga kemari bawa bunga segala. Ada apa coba itu? Terus sekarang dia kirim makanan segala. Tebak saja sendiri, Han. B
Lestari seketika panik dan menatap Andhika seraya berkata, “Kamu tega sama Mama, Dhika! Kamu melaporkan Mama kandungmu ke polisi. Padahal kamu belum dengar penjelasan Mama. Keterlaluan kamu, Dhika!”“Aku nggak melaporkan Mama kok. Aku hanya memerintahkan orang suruhanku untuk menyerahkan Noval ke kantor polisi. Mungkin polisi kemari untuk menjemput Mama berdasarkan hasil pemeriksaan pada Noval. Dia pasti bilang kalau Mama yang menyuruhnya melakukan fitnah pada Hana. Sebuah fitnah keji, yang aku sendiri nggak menyangka Mama sanggup melakukannya,” ucap Andhika dengan helaan napas panjang.Aryo lantas menatap sang istri dengan tatapan tajam. “Benar itu, Tari?”Lestari terdiam. Dia menundukkan kepalanya sambil memilin jemarinya. Tak lama, terdengar isak tangisnya. Hal itu cukup menjawab pertanyaan yang Aryo ajukan padanya.“Kenapa kamu lakukan ini? Apa salahnya?” tanya Aryo lagi.Lestari hanya diam. Membuat Aryo kesal.“Pak, suruh polisi masuk!” ucap Aryo pada penjaga rumahnya.“Baik, Pak
Andhika dan Hana sontak menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pria sebaya dengan Andhika kini tengah melangkah serta tersenyum pada Andhika.“Siapa dia, Mas?” bisik Hana.“Dia Sakti. Teman semasa SMA yang berselingkuh dengan Devy,” sahut Andhika datar.Hana hanya manggut-manggut dan memperhatikan perubahan ekspresi sang suami.Rahang Andhika mengeras. Tampak jelas kalau kini dia sedang menahan emosinya. Terbayang masa lalu Sakti bersama dengan Devy yang mengkhianatinya.“Dhika, apa kabar?” sapa sakti ketika dirinya sudah berada di hadapan Andhika.“Kabarku baik, alhamdulillah,” sahut Andhika datar.Sakti yang paham dengan sikap Andhika yang dingin padanya, kini tersenyum canggung.“Aku tahu kamu mau makan malam ke restoran itu. Tapi, bisakah kita bicara sebentar saja. Aku mau...minta maaf padamu,” ucap Sakti agak grogi.Andhika menghela napas panjang. Dia tersenyum samar kala mendengar permintaan maaf yang baru saja Sakti ucapkan. Baru sekarang pria itu minta maaf. Ke mana saja
Aryo lalu mendekati Widya seraya berkata, “Aku akan mencarinya. Aku akan lapor ke polisi. Kamu tenang saja, ya.”“Aku ikut ke kantor polisi, karena aku yang mendapat kabar dari sekolah kalau Tika dijemput oleh seseorang yang mengaku masih keluarga,” sahut Widya setelah dapat menghentikan isak tangisnya. Dia lalu melirik ke arah Wiryo.Aryo yang paham akan lirikan Widya, menoleh pada mertuanya. Dia menatap Wiryo seraya berkata, “Apa Ayah yang menyuruh seseorang untuk menjemput anak kami di sekolahnya?”Wiryo terkekeh mendengar ucapan Aryo. “Buat apa aku melakukan hal itu? Urusanku adalah mengamankan aset perusahaan milik anakku, yang otomatis adalah milik kedua cucuku. Selain itu juga, kamu adalah suami anakku. Jadi aku berusaha untuk mengembalikan posisi kamu seperti semula, sebagai suami Lestari satu-satunya. Jadi setelah kamu menceraikan perempuan ini, dan menyuruhnya pergi dari sini, maka selesai sudah urusanku. Masalah anak kalian, aku sama sekali nggak tahu menahu.”Jawaban Wiryo
Wajah Aryo pun semakin pucat pasi mendengar ancaman dari ayah mertuanya. Dia lalu beranjak dari sofa dan bersimpuh di kaki sang mertua.“Ayah, maafkan aku. Maafkan atas kekhilafanku ini. Aku berjanji akan mengakhiri semua, asalkan jangan usik kehidupan adikku. Aku mohon Ayah,” ucap Aryo memelas.Wiryo tersenyum mendengar permohonan menantunya itu. Dia lalu berdiri karena tak sudi kakinya disentuh oleh pria macam Aryo, yang jelas telah membuatnya kecewa.“Apa kamu pikir aku akan percaya dengan perkataanmu ini, Aryo? Aku bukan orang bodoh yang bisa kamu bohongi untuk kedua kalinya. Kamu mau mengakhiri ini semua, maksudnya mau kamu ceraikan istri simpananmu itu? Apa bisa kamu menceraikannya? Sementara kamu tergila-gila sama dia, iya kan. Kalau kamu nggak tergila-gila, tentu nggak mungkin kamu selingkuh sampai menikahi perempuan itu. Semua yang kamu lakukan itu sudah terlalu jauh, Aryo, dan jujur aku sangat kecewa dan menyesal telah berbaik hati padamu dulu. Jadi salah satunya cara agar k
Sementara itu, Aryo yang tengah berada di apartemen tampak tak tenang. Semenjak kepergiannya dari rumah meninggalkan Lestari yang marah, dan Andhika yang menangis dengan kening yang berdarah, membuat rasa bersalah menyelimuti hati Aryo. Tiba-tiba rasa penyesalan hinggap di hatinya, karena dia tak menuruti permintaan anak sulungnya, anak kesayangannya.‘Dhika maafkan Papa ya, Nak,’ ucap Aryo dalam hati.Aryo memejamkan matanya dan menjambak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri. Ingin dia berteriak sekedar meringankan sesak di hati. Namun, dia tak ingin Widya mengetahui masalahnya.Widya yang baru saja meninabobokan Kartika, tercenung melihat Aryo yang tampak gusar di ruang tengah. Wanita itu melangkah menghampiri sang suami.“Ada apa, Mas?” tanya Widya dengan perlahan.Aryo membuka kelopak mata dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa kok, Wid. Aku hanya pusing saja. Aku mau tidur saja sekarang. Mungkin dengan tidur, sakit kepalaku akan hilang.”Tak menunggu jawaban dari
Aryo sedikit tersentak mendengar pengakuan Widya. Namun, tak lama dia pun tersenyum karena sadar apa yang mereka lakukan selama ini akan membuahkan hasil.“Aku akan menikahi kamu. Tapi, aku nggak bisa menikahi kamu secara resmi.”“Lho, kenapa?” tanya Widya bingung. “Kamu ini ngakunya bujangan, Mas. Masak menikahi aku nggak menikah resmi sih? Atau...kamu sudah punya keluarga?”Aryo tampak sedikit gugup. Dia melihat wajah Widya yang menatapnya dengan penuh selidik.“Bu-bukan begitu, Widya. Tapi, aku ada ikatan dinas di kantorku yang melarang karyawannya untuk menikah dulu selama lima tahun. Nanti kalau ikatan dinas itu sudah selesai, aku akan meresmikan pernikahan kita. Jadi nanti kita menikah di Bogor saja, ya. Kalau di Jakarta nanti ada teman-temanku yang tahu. Bisa bahaya untuk karirku,” sahut Aryo berbohong. Tentu saja dia tak mau menikah di Jakarta, karena Lestari atau keluarga yang lainnya yang juga tinggal di Jakarta akan tahu. Aryo tak ingin itu terjadi.“Oh, ya sudah kalau begi
Aryo menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.“Aku nggak akan macam-macam, apalagi selingkuh, Tari,” ucap Aryo serius.“Aku hanya jaga-jaga saja, Mas. Aku lakukan ini demi anak kita. Kalau nanti kamu macam-macam, aku bisa mengambil tindakan tegas. Lalu aku pastikan kalau masa depan anakku juga aman. Aku berkata begini bukan sombong, tapi aku hanya mengambil tindakan yang tepat untuk anakku kelak,” sahut Lestari yang juga serius.Akhirnya pasangan suami istri itu berhasil mendirikan CV Barata yang bergerak di bidang kontraktor kecil-kecilan. Lestari sendiri yang menangani dibantu oleh empat orang karyawan. Sedangkan Aryo masih tetap bekerja sambil mencari klien untuk CV Barata. Bahkan Aryo pun mulai berani ikut tender proyek pendirian sekolah swasta. Proyek itu pun sukses. Dari situlah lambat laun CV Barata mulai dikenal orang. Hingga dua tahun pendirian badan usaha itu yang semula bernama CV Barata, kini berubah menjadi PT. Barata.Usaha mereka pun semakin maju pesat. Omsetnya
Beberapa minggu kemudian, hubungan Aryo dan Lestari semakin akrab. Hal itu diketahui oleh orang tua mereka. Sehingga Wiryo dan Dirjo sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan mereka.Aryo dan Lestari hanya menuruti keinginan orang tua mereka. Meskipun belum ada perasaan cinta di hati keduanya, namun kedua insan itu telah berkomitmen untuk saling menyayangi dan menghargai satu sama lain. Mereka juga sepakat akan membina rumah tangga dengan baik, sehingga bisa menjadikan rumah tangga mereka rukun dan tenteram.Lima bulan pasca pernikahan, Lestari telah lulus kuliah dengan predikat terbaik. Selain itu, dia juga telah mengandung anak Aryo. Hal itu tentu saja membuat pasangan suami istri sangat bahagia karena mendapat hadiah yang terindah dari Yang Maha Kuasa.“Alhamdulillah, di saat aku telah lulus kuliah, aku hamil,” ucap Lestari suatu malam ketika dia dan Aryo sudah berada di peraduan.“Iya, Tari. Aku sangat bahagia sekali. Kamu jaga ya kandungan kamu ini. Biar bayi kita tumbuh deng
Aryo hanya diam. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia berikan pada kedua orang tuanya. Dia ingin menolak, tapi tak mau mengecewakan orang tuanya. Kalau dia menerima, itu bertentangan dengan hati nuraninya.“Nak, cinta itu bisa tumbuh setelah tinggal bersama nanti setelah kalian menikah. Dulu Bapak dan Ibu juga menikah tanpa adanya cinta. Tapi, pernikahan kami langgeng sampai sekarang,” ucap Narti-sang ibu, seolah tahu dilema yang Aryo rasakan saat ini.Aryo hanya menghela napas panjang. “Lalu bagaimana dengan Lestari sendiri? Apa dia bersedia punya suami kere seperti aku ini. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa untuk dia. Ya...hanya gajiku saja sebagai staf keuangan di perusahaan swasta, yang bisa aku berikan untuknya. Tentunya nggak seratus persen, karena aku juga ingin memberi uang untuk kalian. Aku ingin membantu perekonomian orang tua.”Dirjo dan Narti tersenyum mendengar penuturan anak sulung mereka.“Terima kasih kamu sudah punya niat baik untuk kami, Nak. Bapak yakin kalau
Semenjak Aluna menikah dan tinggal bersama dengan sang suami, Aryo tinggal sendiri di rumahnya. Pria itu hanya ditemani oleh asisten rumah tangga, sopir dan penjaga rumahnya. Membuat Aryo merasa kesepian. Kadang kala dia menginap di rumah Andhika. Dia ingin menginap di rumah Aluna maupun Kartika, tapi dirinya merasa sungkan. Aryo lebih nyaman menginap di rumah anak laki-lakinya. Hal itu membuat Aluna maupun Kartika secara bergantian mengunjungi ayah mereka.Seperti hari ini, Kartika datang berkunjung setelah pulang dari bekerja di rumah sakit.“Kenapa kamu masih bekerja, Tika? Apa uang suami kamu nggak cukup untuk biaya hidup kamu?” tanya Aryo ketika mereka sedang berbincang di taman belakang sambil minum teh di sore hari.“Mas Rafli memang sudah berulang kali menyuruhku berhenti bekerja, Pa. Tapi aku keberatan, karena aku masih menikmati pekerjaanku merawat orang-orang di rumah sakit,” sahut Tika kalem.“Kalau begitu, jadilah perawat Papa. Apa kamu masih keberatan juga kalau harus me