Barbara baru saja terbangun dari tidurnya yang lelap. Dia terkejut ketika melihat ada pesan masuk di handphone miliknya."Hah? Daniel?"[Barbara, aku sudah mendapatkan informasi yang kau inginkan. Aku menginginkan bayaranku segera. Kapan kita bisa bertemu?]Barbara menghela napas panjangnya. "Tak kusangka dia serius mengerjakan tugasnya. Baiklah, lebih baik aku membalas pesannya."[Kita bertemu di restoran SPQR pada jam makan siang.]Daniel mengiyakan ucapan Barbara melalui balasan pesannya selanjutnya. Barbara kemudian menuliskan sejumlah nominal pada cek kosong yang sebelumnya belum sempat dia isi dan menyimpannya di tas kecil miliknya. Barbara menyunggingkan senyuman puasnya."Bagus, kali ini aku akan bisa menyingkirkan gadis itu."Barbara pun bersiap untuk sarapan setelah dia mandi dan berdandan. Moodnya hari itu sangat bagus mengingat rencana yang dia susun hampir berhasil. Di meja makan, dia duduk bersebelahan dengan Lilian. Lilian tentu merasa heran dengan sikap Barbara yang ce
Barbara benar-benar pergi menemui Daniel siang itu. Dia berdandan rapi dan elegan seperti biasanya. Ketika dia hendak berangkat, tiba-tiba ada panggilan masuk ke ponselnya."Daniel? Kenapa dia menelepon?" gumam Barbara. Dia akhirnya memijit tombol terima panggilan. "Ya, halo?""Barbara, kau masih belum berangkat, 'kan? Aku ingin mengubah tempat pertemuan kita," ujar Daniel dari ujung telepon.Rencana Daniel yang ingin mengubah tempat pertemuan mereka sempat membuat Barbara kesal."Kenapa mendadak kau ingin menggantinya? Aku sudah mau pergi ke sana," timpal Barbara ketus. "Lalu di mana kita akan bertemu?""Kita bertemu di Hotel Omni San saja. Langsung ke kamar 405," jawab Daniel cepat."Apa? Kenapa tidak bertemu di lounge nya saja? Kenapa harus bertemu di kamar?" Barbara mulai berbisik, takut jika ada orang lain yang mendengar ucapannya itu."Aku sedang mengerjakan pekerjaanku. Makanya, tidak akan sempat menunggumu di lounge hotel." Daniel memberikan alibinya. "Jadi bagaimana? Kau mau a
Langkah wanita itu menghentak, seiring dengan suara hak sepatu yang beradu di lantai mansion itu. Barbara terlihat sangat kalap, bahkan ketika Lilian berusaha menanyainya tentang kemajuan rencana mereka."Barbara, bagaimana .... " Ucapan Lilian itu terpotong ketika Barbara menyelanya cepat."Nanti aku ceritakan."Barbara masuk ke kamarnya. Dia membanting pintunya sangat keras, membuat Lilian terkejut."Ya ampun, kenapa sih dia?" omel Lilian yang kemudian pergi meninggalkan area itu.Barbara berusaha mengatur napasnya agar bisa normal kembali. Seketika pikirannya beku, sama sekali tak bisa berpikir jernih akibat peristiwa yang sangat mendadak terjadi antara dirinya dan Daniel. Barbara menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur."Kurang ajar laki-laki itu! Dia mempermainkan aku!"Tak bisa dipungkirinya jika sesaat ketika Daniel kembali menghujaninya dengan cumbuan mesra, tubuhnya seolah merespon balik hal itu. Jauh di dalam perasaannya, dia juga merindukan bagaimana ketika dulu Daniel bis
Luther berusaha untuk bersikap tenang dan profesional, namun tetap saja hasil investigasi yang dilakukan oleh sang informan terus membayangi dirinya. Pria itu seringkali melamun di kursi kebanggaannya. Jeremy, sang asisten semakin khawatir dengan kondisi bosnya itu."Bos, apa yang mengganggu pikiran Anda kali ini?"Luther mendongak pada Jeremy. Wajahnya terlihat sangat suram, tak terdapat rona bahagia sedikitpun dari sana."Entahlah Jeremy. Pikiranku terasa penat dan rumit memikirkan semua yang sudah terjadi.""Memangnya apa hasil investigasi sang informan itu, Bos?" tanya Jeremy penasaran.Luther tak menjawab sedikitpun. Dia hanya menyodorkan lembaran kertas dokumen yang diberikan informannya kepada Jeremy. Jeremy memeriksa satu persatu dokumen itu. Dia terkejut dengan fakta yang terdapat pada hasil laporannya."Apakah kau terkejut, Jer? Sejujurnya aku sangat terkejut begitu mengetahui semua hal itu," lanjut Luther dengan senyumnya yang memilukan."Saya ... ya, saya juga terkejut, Bo
Luther sudah diberitahu oleh Jeremy jika Lola bersedia untuk melakukan terapi. Luther benar-benar terkejut dengan keputusan Lola itu."Benarkah? Dia mau melakukannya?""Iya, Bos. Psikiater bicara begitu kepada saya. Besok setelah makan siang, terapi itu akan dilakukan di mansion. Anda diharapkan untuk hadir memantau terapinya," jelas Jeremy."Baiklah. Bicara padanya, jika aku akan datang setelah makan siang," kata Luther pada akhirnya.Perasaan Luther kini tak menentu. Dia merasa lega akan keputusan Lola yang akhirnya mengizinkan untuk disembuhkan. Akan tetapi ada hal lain yang cukup mengusik Luther pada saat itu. Luther urung membicarakan hal tersebut dengan Jeremy. Dia memilih untuk menanyakannya saja langsung besok kepada Psikiater yang menangani Lola.Keesokan siangnya sesudah makan siang, Luther meluncur bersama Jeremy ke mansion. Jeremy hanya mengantar Luther namun tidak ikut memantau proses terapinya, karena tugasnya di kantor terlampau banyak. Luther langsung masuk ke kamar Lol
Psikiater terlihat begitu terkejut dengan apa yang Lola katakan. Ternyata semua di luar dugaan mereka. Dia menyadari jika Luther saat ini sedang dilanda amarah besar."Tuan, tolong tahan sebentar lagi. Jangan biarkan amarah menguasai Anda," bujuk psikiater sebisa mungkin. "Anda ingin Nona sembuh, 'kan? Tolong jangan bergerak dan tetap di tempat Anda sebentar lagi."Luther sama sekali tidak bicara. Rahangnya mengeras, tubuhnya masih gemetar hebat. Psikiater akhirnya menutup sesi terapi."Baiklah, Nona. Terapi sudah selesai. Silahkan buka mata Anda."Lola yang sebelumnya terpejam, perlahan membuka mata. Dia terbelalak saat mendapati ada Luther di hadapannya yang kini tengah membuang muka."Lu ... Luther?"Dengan segera Luther menepiskan tangannya dari genggaman Lola. Dia bangkit dan berpaling kepada psikiater. "Terapinya sudah selesai, 'kan? Boleh aku kembali ke kantor sekarang?""Tentu, Tuan Luther. Terima kasih untuk kerja sama dan sikap kooperatif Anda dalam melancarkan terapi ini,"
"Oh, jadi Jhonatan ini adalah saudara tiri dari Lola? Sejujurnya aku pernah sesekali mendengar namanya. Tapi tak kusangka dia malah lebih terkenal di luar Amerika," komentar Luther agak sinis."Betul Bos. Tuan Jhonatan ini memang fokus mengembangkan bisnisnya di luar Amerika, tepatnya di Singapura. Kebetulan pasar di sana bagus dan dia beruntung," tambah Jeremy."Gadis itu seleranya jelek sekali! Dilihat dari sisi mana pun, jelas aku yang lebih unggul segalanya dari dia!" Luther tetap tidak terima. "Lola akan menyesal memilih laki-laki itu daripada diriku!""Menurut saya, mungkin karena sudah terlalu lama bersama, jadinya Nona Lola dan Tuan Jhonatan ada kedekatan yang tidak biasa. Bukankah ada peribahasa? Cinta akan hadir seiring berjalannya waktu," ucap Jeremy memberikan pendapatnya."Memangnya aku kurang lama dan sabar dalam mendekati gadis itu?" tanya Luther."Mungkin karena awal pertemuan dan perkenalan kalian kurang bagus, makanya Nona Lola masih membatasi dirinya dengan Anda. Ta
Virginia merasa Luther hanya menggertaknya saja pada saat pria itu mendatanginya di kondominium miliknya. Karena sampai pada saat itu, Virginia masih bisa ongkang kaki dan menempati kondominium tersebut walau surat kepemilikannya sudah diambil paksa oleh Luther."Mana yang katanya ingin menyita aset milikku? Sampai detik ini, aku tidak melihat adanya pergerakan darinya! Aku masih menempati kondominium ini, itu artinya Luther hanya mengancamku," tantang Virginia. Virginia memeriksa tanggal di kalender handphone nya. Ada catatan pengingat yang sengaja Virginia berikan pada hari itu, bertuliskan jatah sugar baby Noah. Sudah saatnya bagi Virginia untuk menagih jatah bulanan yang dijanjikan oleh Noah untuk dirinya.Virginia segera mengirim chat kepada Noah, bertujuan menagih sekaligus mengingatkan.[Sayang, hari ini adalah hari yang kau janjikan. Kapan kau akan mengirim uang bulananku, Sayang? Oh iya, yang bulan kemarin juga masih belum kau kirimkan semua. Kapan aku bisa mendapatkan sisa