"Oh, jadi Jhonatan ini adalah saudara tiri dari Lola? Sejujurnya aku pernah sesekali mendengar namanya. Tapi tak kusangka dia malah lebih terkenal di luar Amerika," komentar Luther agak sinis."Betul Bos. Tuan Jhonatan ini memang fokus mengembangkan bisnisnya di luar Amerika, tepatnya di Singapura. Kebetulan pasar di sana bagus dan dia beruntung," tambah Jeremy."Gadis itu seleranya jelek sekali! Dilihat dari sisi mana pun, jelas aku yang lebih unggul segalanya dari dia!" Luther tetap tidak terima. "Lola akan menyesal memilih laki-laki itu daripada diriku!""Menurut saya, mungkin karena sudah terlalu lama bersama, jadinya Nona Lola dan Tuan Jhonatan ada kedekatan yang tidak biasa. Bukankah ada peribahasa? Cinta akan hadir seiring berjalannya waktu," ucap Jeremy memberikan pendapatnya."Memangnya aku kurang lama dan sabar dalam mendekati gadis itu?" tanya Luther."Mungkin karena awal pertemuan dan perkenalan kalian kurang bagus, makanya Nona Lola masih membatasi dirinya dengan Anda. Ta
Virginia merasa Luther hanya menggertaknya saja pada saat pria itu mendatanginya di kondominium miliknya. Karena sampai pada saat itu, Virginia masih bisa ongkang kaki dan menempati kondominium tersebut walau surat kepemilikannya sudah diambil paksa oleh Luther."Mana yang katanya ingin menyita aset milikku? Sampai detik ini, aku tidak melihat adanya pergerakan darinya! Aku masih menempati kondominium ini, itu artinya Luther hanya mengancamku," tantang Virginia. Virginia memeriksa tanggal di kalender handphone nya. Ada catatan pengingat yang sengaja Virginia berikan pada hari itu, bertuliskan jatah sugar baby Noah. Sudah saatnya bagi Virginia untuk menagih jatah bulanan yang dijanjikan oleh Noah untuk dirinya.Virginia segera mengirim chat kepada Noah, bertujuan menagih sekaligus mengingatkan.[Sayang, hari ini adalah hari yang kau janjikan. Kapan kau akan mengirim uang bulananku, Sayang? Oh iya, yang bulan kemarin juga masih belum kau kirimkan semua. Kapan aku bisa mendapatkan sisa
Noah terkejut karena Anneliese memperlakukannya dengan tidak baik, bahkan terlihat tidak senang dengan kehadirannya. "Santai, Ann. Aku datang ke sini hanya untuk membawa sisa barangku dan sedikit bersantai. Tidak ada salahnya bukan mengunjungi mantan istri?"Anneliese Harris, yang kini sudah menjadi janda dari Noah Wilson sama sekali tak menjawab sedikit pun ucapan mantan suaminya. Dia masih berdiri di depan pintu, tak mempersilahkan Noah masuk. Noah terkekeh dengan sikap Anneliese terhadap dirinya."Ya ampun Ann, kau masih saja tidak berubah!""Bagaimana aku bisa biasa saja menghadapimu, Noah? Kau pikir kesalahan yang sudah kau perbuat itu hanya sebesar biji jagung? Tidak semudah itu aku akan memaafkanmu! Bahkan sampai kapan pun, kau tidak akan pernah kumaafkan!" Anneliese semakin sengit menghadapi Noah."Tapi setidaknya, izinkan aku masuk dulu. Aku datang ke sini bukan untuk mengajakmu bertengkar. Aku ada keperluan penting." Noah bersikeras ingin diterima kehadirannya.Anneliese te
Noah berjalan masuk perlahan menelisik tiap sudut ruangan. Dia mulai membuka dan mengobrak-abrik isi lemari milik Lola. Di sana tidak terdapat adanya brankas."Sial! Brankas itu ada di mana?" decak Noah kesal.Hampir seluruh penjuru yang diduga sebagai tempat terdapatnya brankas sudah diperiksa oleh Noah. Akan tetapi, Noah sama sekali tidak menemukan apa pun. Di saat dia merasa berang, dihampirinya kembali sang asisten rumah tangga. Tanpa ampun, Noah menjambak rambut Joyce sampai wanita itu berteriak kesakitan."Kurang ajar! Wanita sialan! Kalian berdua bersekongkol untuk membohongiku ya?""Ampun, Tuan! Sa ... saya tidak berani ... membohongi Tuan!" Joyce merintih. "Saya bersumpah! Nyonya mengatakan ... hal itu kepada saya!"Noah menghentakkan Joyce dengan kasar, sampai wanita itu terjerembab di lantai. Noah kini mulai pening. Matanya semakin lincah, mencari kira-kira ada di mana lagi tempat yang belum sempat dia jangkau. Tiba-tiba mata Noah membulat seketika."Apa mungkin .... "Noah
Virginia sedang mematut dirinya di depan cermin pada pagi itu. Dia berniat untuk bertemu dengan klien barunya. Tiba-tiba ketika dia masih bersiap-siap, suara bel pintu berbunyi dengan berkala menghilangkan konsentrasinya. "Siapa yang sengaja berbuat keributan pagi-pagi di tempat tinggalku?" gerutu Virginia.Dengan malas dia pun beranjak membuka pintu, kemudian terkejut saat mendapati ada beberapa orang yang berdiri di depan pintu itu."Selamat pagi, apa benar ini kondominium milik Nyonya Virginia Amber?" Salah seorang lelaki yang terlihat seperti kurir pengantar barang mulai mengajaknya berbicara."Iya. Kalian dari mana? Ada keperluan apa?" timpal Virginia kesal."Kami kurir pengantar barang. Kami mau mengangkat semua barang-barang yang ada di dalam kondominium ini."Virginia terkejut di tempatnya. Siapa orang gila yang mengutus kurir untuk memindahkan semua barang miliknya?"Sebentar! Kalian diutus oleh siapa? Kenapa tidak ada persetujuan dulu dariku mengenai hal ini?""Kami diperin
"Sayang, kau sekarang sedang berada di mana?" tanya Noah yang kini tengah berbaring di atas kasur empuk motel."Aku sedang ada janji dengan pelanggan. Ada apa, Sayang?" sahut Virginia dari seberang telepon."Kupikir kau sedang bersantai di kondominium ku," ujar Noah dengan nada yang kecewa. "Padahal aku ingin mengajakmu menginap malam ini. Ada sesuatu yang ingin aku berikan kepadamu juga."Virginia terdengar menahan napas sejenak. Kemudian hening, karena wanita itu mendadak membisu."Kau mau memberikan uang itu, Sayang?""Iya. Jadi apa kita bisa bertemu sekarang?"Virginia tidak langsung menjawab. "Nanti aku hubungi lagi ya. Aku akan mengirimkan pesan untuk jawabannya."Dengan cepat, Virginia menutup telepon. Noah menghela napas panjang. Sesaat kemudian dia menyunggingkan senyumnya karena Virginia telah mengirimkan pesan padanya jika dia akan datang menemui Noah.[Kita bertemu di Motel 6 Los Angeles.]Noah mengeluarkan kotak perhiasan yang dirampasnya dari sang mantan istri. Kalung em
Jhonatan seolah tak merasakan lelah sedikit pun setelah melakukan perjalanan jauhnya. Dia langsung pergi ke rumah sakit bersama Joyce untuk menemui sang ibu yang masih dirawat secara intensif. Laki-laki itu tak dapat membendung air mata saat dirinya menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri betapa memprihatinkan kondisi sang ibu."Ibu!" Jhonatan menghambur pada sang ibu. Dia menangis sejadinya sambil memegangi kedua tangan ibunya yang terpasang infus.Anneliese merespon putra tirinya itu dengan sedikit menggerakkan tangan. Ada bulir air mata yang mengalir dari ujung matanya. Joyce tak kuasa meneteskan air mata juga melihat pertemuan yang mengharu biru antara ibu dan anak itu setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu."Ibu, aku ada di sini! Ibu jangan khawatir ya. Mulai hari ini, Jhonatan akan tinggal di Wichita untuk merawat Ibu," ucap Jhonatan tulus sambil tak henti menggenggam tangan ibundanya.Perlahan, Jhonatan menghapus air mata yang terus mengalir dari sela mata Anneliese. Hat
Kondisi Anneliese jauh lebih baik saat Jhonatan ada di dekatnya dan senantiasa mendampinginya. Akan tetapi untuk pemulihan penyakitnya jelas masih sangat panjang waktunya.Jhonatan tetap setia menunggui ibu sambungnya setiap waktu. Bahkan dirinya mengetahui jika sampai detik ini, Anneliese masih belum melupakan putri kandungnya yaitu Lola. Nama Lola selalu disebut setiap ibunya itu terlelap."L ... Lo ... La." Suara yang lirih dan samar terdengar dari mulut Anneliese lagi.Jhonatan terdiam di samping sang ibu sambung. Dia merasa sangat prihatin karena sampai sekarang Lola masih belum kembali ke rumah. Joyce menghampiri Jhonatan dengan tatapan sedih."Bahkan di saat Nyonya sedang sakit parah seperti ini, beliau masih terus menyebut nama putrinya," ucap Joyce sedih. "Di mana kamu, Nona Lola?"Rasa bersalah kembali hinggap di perasaan Jhonatan. Pasalnya dia sempat mengetahui keberadaan Lola. Beberapa kali mereka juga bertemu di San Francisco diam-diam. Jhonatan berniat untuk mengatakan k
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t
Tubuh Joyce mulai gemetar. Dia sampai tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya, sementara pihak detektif terus memanggilnya yang terdiam. Anneliese merasa janggal dengan sikap Joyce yang mematung di dekat telepon."Ada apa ... Joyce?" Suara serak Anneliese membuat Joyce terkesiap. Segera wanita itu terlempar ke dalam realita."Maaf, Tuan. Kami sedang sibuk. Permisi." Joyce cepat-cepat menutup teleponnya dan bergabung kembali di meja makan.Akan tetapi sikap Joyce masih terlihat begitu gelisah. Dia tak dapat menyembunyikan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya itu membuat Jhonatan, Lola maupun Anneliese semakin bertanya-tanya."Joyce, apa yang terjadi? Siapa yang barusan menelepon?" Jhonatan kembali menanyakan.Joyce tersenyum kaku sambil kembali menyendok makanannya. "Sepertinya salah sambung."Jhonatan hanya bisa memicingkan mata. Dia tahu jika Joyce sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Aku tidak semudah itu dibohongi. Kita sudah tinggal bersama sejak lama. Ada sesuatu yan
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka