Jhonatan seolah tak merasakan lelah sedikit pun setelah melakukan perjalanan jauhnya. Dia langsung pergi ke rumah sakit bersama Joyce untuk menemui sang ibu yang masih dirawat secara intensif. Laki-laki itu tak dapat membendung air mata saat dirinya menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri betapa memprihatinkan kondisi sang ibu."Ibu!" Jhonatan menghambur pada sang ibu. Dia menangis sejadinya sambil memegangi kedua tangan ibunya yang terpasang infus.Anneliese merespon putra tirinya itu dengan sedikit menggerakkan tangan. Ada bulir air mata yang mengalir dari ujung matanya. Joyce tak kuasa meneteskan air mata juga melihat pertemuan yang mengharu biru antara ibu dan anak itu setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu."Ibu, aku ada di sini! Ibu jangan khawatir ya. Mulai hari ini, Jhonatan akan tinggal di Wichita untuk merawat Ibu," ucap Jhonatan tulus sambil tak henti menggenggam tangan ibundanya.Perlahan, Jhonatan menghapus air mata yang terus mengalir dari sela mata Anneliese. Hat
Kondisi Anneliese jauh lebih baik saat Jhonatan ada di dekatnya dan senantiasa mendampinginya. Akan tetapi untuk pemulihan penyakitnya jelas masih sangat panjang waktunya.Jhonatan tetap setia menunggui ibu sambungnya setiap waktu. Bahkan dirinya mengetahui jika sampai detik ini, Anneliese masih belum melupakan putri kandungnya yaitu Lola. Nama Lola selalu disebut setiap ibunya itu terlelap."L ... Lo ... La." Suara yang lirih dan samar terdengar dari mulut Anneliese lagi.Jhonatan terdiam di samping sang ibu sambung. Dia merasa sangat prihatin karena sampai sekarang Lola masih belum kembali ke rumah. Joyce menghampiri Jhonatan dengan tatapan sedih."Bahkan di saat Nyonya sedang sakit parah seperti ini, beliau masih terus menyebut nama putrinya," ucap Joyce sedih. "Di mana kamu, Nona Lola?"Rasa bersalah kembali hinggap di perasaan Jhonatan. Pasalnya dia sempat mengetahui keberadaan Lola. Beberapa kali mereka juga bertemu di San Francisco diam-diam. Jhonatan berniat untuk mengatakan k
Jhonatan sangat yakin dengan keterlibatan Virginia atas kepindahan Lola. Dia langsung membuka blokir nomor milik Virginia. Jika bukan karena masalah Lola, dia sangat tidak ingin berurusan dengan Virginia yang selalu mencoba menggodanya.Jhonatan menunggu Virginia mengangkat telepon darinya dengan perasaan harap-harap cemas. Akan tetapi, wanita itu tidak mengangkat teleponnya. Jhonatan tak berputus asa. Dia terus mencoba selama beberapa kali, namun Virginia tetap tidak dapat dihubungi."Hm ... sepertinya aku harus datang ke kampus mereka. Mungkin pada saat jam istirahat, aku bisa menemuinya," gumam Jhonatan.Jhonatan tak tergesa-gesa. Dia tetap menunggu waktu yang tepat untuk bisa datang ke kampus Lola. Dirinya memutuskan datang pada jam makan siang. Untung saja dirinya masih ingat di mana letak ruangan fakultas tempat Lola menuntut ilmu. Dengan sembarang, dia bertanya pada salah satu mahasiswi di sana."Permisi, Nona. Maaf mengganggu waktumu," kata Jhonatan yang sudah menepuk pundak m
Jhonatan dilanda rasa kesal sekaligus kebingungan. Masalahnya dia sudah mengorbankan banyak waktu untuk menunggu Virginia, namun wanita itu malah memanfaatkan kesempatan."Lebih baik aku pulang saja. Sepertinya ini tidak akan sesuai dengan harapanku," gumam Jhonatan pada akhirnya.Baru saja dia mau beranjak dari tempatnya, Virginia kembali menghubunginya. Dengan malas, Jhonatan mengangkat telepon itu."Jhonatan, kau ada di mana sekarang? Aku sudah menunggumu lama sekali." Suara Virginia terdengar manja di ujung telepon.Jhonatan mengerlingkan matanya, muak. "Harusnya aku yang bicara seperti itu padamu! Kau sudah membuatku menunggu sangat lama! Kau bilang kita bertemu di lounge, kenapa sekarang jadi di dalam kamar hotel?""Aku berubah pikiran. Aku lelah setelah bekerja tadi. Jadi aku memutuskan untuk bersantai sejenak sambil menginap. Makanya aku memintamu bertemu di dalam kamar hotel." Virginia berdalih. "Jadi, kau sudah berada di hotel? Kalau begitu, langsung saja masuk ke kamar.""A
Pergulatan mereka semakin memanas di atas ranjang. Tubuh polos keduanya sudah terekspos. Virginia semakin merasa bergairah melihat tubuh atletis Jhonatan, berbeda dengan ayahnya, Noah yang memiliki tubuh gemuk dan perut buncit.Virginia merebahkan diri di tempat tidur. Dia sudah tak sabar untuk menerima jamahan dari Jhonatan lebih intens dan mendalam lagi pada tubuhnya itu. "Sentuh aku, Jho," pinta Virginia dengan suara yang mendayu manja.Jhonatan benar-benar sudah dipengaruhi oleh alkohol. Sekilas dia melihat sosok wanita yang tengah bersamanya sebagai Lola, sang adik tiri yang diam-diam dia cintai."Hah?" Jhonatan terkejut. Dia berusaha mengerjapkan matanya berkali-kali, merasa salah melihat. Akan tetapi, di matanya justru terlihat benar-benar Lola yang sedang berbaring tanpa mengenakan busana. Apalagi sebutan Jho yang dia dengar, biasanya hanya Lola yang memanggilnya dengan sebutan itu.Semakin yakin jika Lola yang ada di sampingnya pada saat ini, membuat gairah Jhonatan semakin
Berbekal alamat yang dia temukan di internet, Jhonatan nekat untuk mendatangi Lola di kediaman barunya. Meskipun awalnya dirinya merasakan sebuah keraguan, tapi Jhonatan benar-benar harus bisa membawa Lola untuk pulang.Hari itu, dia menempuh perjalanan menuju ke sana. Sepanjang perjalanan hatinya diliputi rasa kecemasan yang melanda. Sekalipun dirinya sudah memantapkan hati, namun di dalam hati kecilnya Jhonatan masih belum begitu siap memandang Lola. Apalagi setelah apa yang sudah dilakukannya pada Lola."Aku harus bersikap bagaimana ketika bertemu Lola nanti? Apa yang harus kukatakan padanya? Apakah dia mau bertemu denganku? Apakah Lola membenciku?"Sekitar lepas makan siang, Jhonatan baru sampai di kawasan elit Kota San Francisco itu. Jhonatan terpesona dengan arsitektur dan kerapian tata kota kawasan tersebut. Sambil terus melihat-lihat, tak lupa dia memeriksa kembali alamat tujuannya."2799 Broadway Street. Apakah mansion yang ini?" gumam Jhonatan. Dia berdiri persis di depan m
Tanpa Lola sadari, air matanya kembali meleleh seketika ketika menyangkut hal buruk mengenai sang ibu. Lola merasakan perasaan bersalah karena sudah meninggalkan ibunya begitu saja. Jhonatan merasa tak tega melihat adiknya menangis. Dia lalu menghapus lembut air mata Lola."Ibu ..., " isak Lola tersedu. "Maafkan aku, Ibu .... ""Sudah, tidak apa-apa, Lola. Ibu sama sekali tidak pernah membencimu. Apa pun yang telah terjadi di masa lalu, Ibu tak pernah mengungkitnya. Dia hanya selalu memikirkan dan mendoakanmu. Berharap jika anak gadisnya selalu baik-baik saja di sini." Jhonatan berusaha menenangkan."Lalu ... sudah berapa lama Ibu di rumah sakit?" tanya Lola masih dengan terisak."Sebenarnya sudah lebih dari dua minggu ini Ibu dirawat di sana," jawab Jhonatan. Dia kembali menatap Lola lekat-lekat. "Jadi tolong pertimbangkan semuanya. Aku sangat berharap kamu bisa kembali ke Wichita."Lola tak bisa menjawabnya. Dia kini sudah menjadi milik Luther. Tak bisa dirinya seenaknya untuk pergi
Lola ditinggalkan dalam kondisi yang masih agak gemetar. Karena sikap Luther padanya, Lola menjadi semakin sedih dan tertekan. Dirinya juga merasa benci pada siapa pun yang sudah memotret dirinya bersama Jhonatan diam-diam dan mengirimkannya pada Luther.Beban pikiran Lola terasa sangat menumpuk dan membebaninya. Setiap dirinya memejamkan mata, dia selalu terbayang akan kondisi ibunya yang sedang terbaring di rumah sakit, dengan infus di tangannya. Rasa bersalah dan dosa yang Lola pernah lakukan di masa lalu juga lah yang semakin membuat dirinya terbebani.Gadis itu menjadi tak nyaman dalam tidurnya. Pagi itu dia terlihat seperti zombie, dengan kantung mata yang menebal dan lingkaran hitam yang terlihat jelas. Rasanya tak ada semangat lagi untuk menjalani harinya. Lola berjalan lunglai menuju ke ruang makan."Lola sudah meninggalkan kamarnya. Ayo sekarang kita bergerak!" bisik Barbara pada Lilian.Lilian menganggukkan kepalanya. Mereka berjalan perlahan dengan agak mengendap-endap men
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t
Tubuh Joyce mulai gemetar. Dia sampai tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya, sementara pihak detektif terus memanggilnya yang terdiam. Anneliese merasa janggal dengan sikap Joyce yang mematung di dekat telepon."Ada apa ... Joyce?" Suara serak Anneliese membuat Joyce terkesiap. Segera wanita itu terlempar ke dalam realita."Maaf, Tuan. Kami sedang sibuk. Permisi." Joyce cepat-cepat menutup teleponnya dan bergabung kembali di meja makan.Akan tetapi sikap Joyce masih terlihat begitu gelisah. Dia tak dapat menyembunyikan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya itu membuat Jhonatan, Lola maupun Anneliese semakin bertanya-tanya."Joyce, apa yang terjadi? Siapa yang barusan menelepon?" Jhonatan kembali menanyakan.Joyce tersenyum kaku sambil kembali menyendok makanannya. "Sepertinya salah sambung."Jhonatan hanya bisa memicingkan mata. Dia tahu jika Joyce sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Aku tidak semudah itu dibohongi. Kita sudah tinggal bersama sejak lama. Ada sesuatu yan
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka