Luther terus terpikirkan akan hal itu. Dia benar-benar ingin mengetahui bagaimana dan segala hal yang terjadi pada Lola di masa lalu. Akhirnya dia kembali menelepon Jeremy di kantor."Jeremy, segera cari detektif atau mata-mata khusus untuk menyelidiki segala hal mengenai Lola. Aku berani membayar mahal untuk itu semua, asalkan aku bisa mengetahui semuanya," titah Luther pada Jeremy."Baik, Bos. Mengenai pengamatan terhadap Virginia, kami juga menemukan titik terang." Jeremy menjelaskan.Luther mendelik, "Apa itu?""Virginia akhir-akhir ini tidak ditemukan di klub malam tempat biasa dia bekerja. Kami berhasil menemukan mobilnya terparkir di kawasan condominium milik Tuan Noah Wilson." Jeremy melaporkan.Luther tentu syok mengenai apa yang sudah Jeremy laporkan barusan. "Apa? Noah Wilson? Sejak kapan mereka berkenalan?""Soal itu, saya juga tidak tahu. Kami belum menemukan infonya. Jadi bagaimana, Bos?" sahut Jeremy.Luther berpikir keras sebelum menjawabnya. "Tunggu. Jangan bergerak d
Saat itu, Virginia terlihat syok dan merasa memiliki kesalahan. Dari sorot matanya memancarkan rasa takut yang sangat tinggi. Dia benar-benar sudah bisa menebak apa tujuan Luther datang menemuinya."Kau tidak mempersilahkan aku duduk dulu? Wah, kau sangat tidak sopan ya terhadap tamu." Luther terkekeh. Dia pun beranjak duduk di sofa bersama dengan Jeremy. Sementara para bodyguard berdiri berkerumun persis di belakangnya. Virginia menelan ludah, dia seperti dikeroyok dan terkepung oleh Luther."Ke ... kenapa kau datang?" Virginia berusaha berbasa-basi pada Luther."Sebenarnya kau pasti sudah tahu apa alasanku datang menemuimu. Makanya kau lebih dari seminggu ini bersembunyi dariku, 'kan?" ujar Luther dengan tatapannya yang tajam.Virginia masih tak menjawab perkataan Luther. Dia hanya bisa menunduk dan terlihat gelisah. Tak tersisa nyalinya untuk menatap Luther. Luther mencondongkan tubuhnya mendekat. Dia pun mencengkeram dagu Virginia kasar, agar gadis itu bisa menatap dirinya."Kau t
"Lalu selain itu, tak ada lagi yang Anda ketahui?" Daniel kembali melontarkan pertanyaannya kepada Max.Max termenung sejenak sebelum menjawab. "Seperti yang sebelumnya kukatakan. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang dia. Jadi sepertinya percuma saja bertanya kepadaku."Daniel menganggukkan kepala. "Nama lengkap gadis itu siapa?""Lola Wilson. Dia berasal dari pinggiran Kota Wichita, Texas," sahut Max lagi. "Aku tak tahu bagaimana dia bisa mendapatkan koneksi untuk mendekati Luther Quinn, mengingat dia yang memiliki sifat tertutup dan menjauhi laki-laki. Dia sudah banyak berubah."Daniel mengerutkan kening. "Menurut Anda, apa yang melatarbelakangi gadis itu untuk berubah?""Aku tidak tahu. Mungkin dia terpengaruh oleh salah seorang teman kampus kami yang memang dekat dengannya bernama Virginia Amber," kata Max.Daniel kembali mencatat informasi baru yang didapatkan olehnya tadi. "Virginia Amber? Dia wanita penghibur ternama di Kota ini?""Ya. Sayangnya begitu. Dia seorang pelacu
Virginia mulai merasa gelisah. Dia khawatir jika Daniel ingin berbuat jahat padanya. Apa lagi dia memang belum mengetahui dengan jelas apa tujuan Daniel terhadap dirinya.Menyadari kegelisahan Virginia, Daniel pun menyunggingkan senyumannya. Dia lalu menggiring Virginia untuk mengambil tempat duduk di sofa."Jangan takut. Aku tidak bermaksud buruk padamu. Aku hanya membutuhkan sedikit bantuanmu untuk beritaku." Daniel menjelaskan perihal tujuan yang sebenarnya."Bantuan apa?" tanya Virginia agak ketus. Bukannya apa-apa. Dia sudah berharap lebih dari Daniel. Dirinya sudah kepalang senang mendapatkan klien yang hebat."Aku ingin sedikit mewawancarai seputar Lola Wilson," ucap Daniel lagi yang seketika itu membuat Virginia melotot di tempatnya."Apa? Lola? Kenapa dengan perempuan itu?" Virginia mulai naik darah. Dia merasa tersaingi pamornya oleh Lola. "Huh! Kenapa kau ingin meliputnya? Memang dia itu siapa? Orang penting?""Yah, bisa dibilang begitu. Dia kini telah menjadi sorotan warga
Barbara baru saja terbangun dari tidurnya yang lelap. Dia terkejut ketika melihat ada pesan masuk di handphone miliknya."Hah? Daniel?"[Barbara, aku sudah mendapatkan informasi yang kau inginkan. Aku menginginkan bayaranku segera. Kapan kita bisa bertemu?]Barbara menghela napas panjangnya. "Tak kusangka dia serius mengerjakan tugasnya. Baiklah, lebih baik aku membalas pesannya."[Kita bertemu di restoran SPQR pada jam makan siang.]Daniel mengiyakan ucapan Barbara melalui balasan pesannya selanjutnya. Barbara kemudian menuliskan sejumlah nominal pada cek kosong yang sebelumnya belum sempat dia isi dan menyimpannya di tas kecil miliknya. Barbara menyunggingkan senyuman puasnya."Bagus, kali ini aku akan bisa menyingkirkan gadis itu."Barbara pun bersiap untuk sarapan setelah dia mandi dan berdandan. Moodnya hari itu sangat bagus mengingat rencana yang dia susun hampir berhasil. Di meja makan, dia duduk bersebelahan dengan Lilian. Lilian tentu merasa heran dengan sikap Barbara yang ce
Barbara benar-benar pergi menemui Daniel siang itu. Dia berdandan rapi dan elegan seperti biasanya. Ketika dia hendak berangkat, tiba-tiba ada panggilan masuk ke ponselnya."Daniel? Kenapa dia menelepon?" gumam Barbara. Dia akhirnya memijit tombol terima panggilan. "Ya, halo?""Barbara, kau masih belum berangkat, 'kan? Aku ingin mengubah tempat pertemuan kita," ujar Daniel dari ujung telepon.Rencana Daniel yang ingin mengubah tempat pertemuan mereka sempat membuat Barbara kesal."Kenapa mendadak kau ingin menggantinya? Aku sudah mau pergi ke sana," timpal Barbara ketus. "Lalu di mana kita akan bertemu?""Kita bertemu di Hotel Omni San saja. Langsung ke kamar 405," jawab Daniel cepat."Apa? Kenapa tidak bertemu di lounge nya saja? Kenapa harus bertemu di kamar?" Barbara mulai berbisik, takut jika ada orang lain yang mendengar ucapannya itu."Aku sedang mengerjakan pekerjaanku. Makanya, tidak akan sempat menunggumu di lounge hotel." Daniel memberikan alibinya. "Jadi bagaimana? Kau mau a
Langkah wanita itu menghentak, seiring dengan suara hak sepatu yang beradu di lantai mansion itu. Barbara terlihat sangat kalap, bahkan ketika Lilian berusaha menanyainya tentang kemajuan rencana mereka."Barbara, bagaimana .... " Ucapan Lilian itu terpotong ketika Barbara menyelanya cepat."Nanti aku ceritakan."Barbara masuk ke kamarnya. Dia membanting pintunya sangat keras, membuat Lilian terkejut."Ya ampun, kenapa sih dia?" omel Lilian yang kemudian pergi meninggalkan area itu.Barbara berusaha mengatur napasnya agar bisa normal kembali. Seketika pikirannya beku, sama sekali tak bisa berpikir jernih akibat peristiwa yang sangat mendadak terjadi antara dirinya dan Daniel. Barbara menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur."Kurang ajar laki-laki itu! Dia mempermainkan aku!"Tak bisa dipungkirinya jika sesaat ketika Daniel kembali menghujaninya dengan cumbuan mesra, tubuhnya seolah merespon balik hal itu. Jauh di dalam perasaannya, dia juga merindukan bagaimana ketika dulu Daniel bis
Luther berusaha untuk bersikap tenang dan profesional, namun tetap saja hasil investigasi yang dilakukan oleh sang informan terus membayangi dirinya. Pria itu seringkali melamun di kursi kebanggaannya. Jeremy, sang asisten semakin khawatir dengan kondisi bosnya itu."Bos, apa yang mengganggu pikiran Anda kali ini?"Luther mendongak pada Jeremy. Wajahnya terlihat sangat suram, tak terdapat rona bahagia sedikitpun dari sana."Entahlah Jeremy. Pikiranku terasa penat dan rumit memikirkan semua yang sudah terjadi.""Memangnya apa hasil investigasi sang informan itu, Bos?" tanya Jeremy penasaran.Luther tak menjawab sedikitpun. Dia hanya menyodorkan lembaran kertas dokumen yang diberikan informannya kepada Jeremy. Jeremy memeriksa satu persatu dokumen itu. Dia terkejut dengan fakta yang terdapat pada hasil laporannya."Apakah kau terkejut, Jer? Sejujurnya aku sangat terkejut begitu mengetahui semua hal itu," lanjut Luther dengan senyumnya yang memilukan."Saya ... ya, saya juga terkejut, Bo
"Jadi kita bulan madunya ke sini?" Lola menoleh memperhatikan sekeliling. "Iya, lagipula sudah lama 'kan kau tidak mengunjungi makam orang tuamu?" Luther menurunkan sekeranjang bunga dari mobil.Mereka pun berjalan beriringan menuju ke dalam kompleks pemakanan, tempat Tuan Harris, yaitu ayah kandung Lola terbaring selama bertahun-tahun. Lola pun hampir lupa kapan terakhir kalinya dia mengunjungi makam ayahnya tersebut.Di atas makam itu rupanya sudah banyak bunga yang bertebaran. Belum lagi kondisi makamnya terawat sekali. Lola mengernyit sejenak. Siapa yang sudah mengunjungi makam ayahnya? Setahunya, ayahnya sudah tak memiliki keluarga lagi di Amerika. "Kalian itu bagaimana? Tidak ada kah keluarga yang mengunjungi makam ini? Makamnya benar-benar tak terurus. Aku gemas sekali melihatnya." Luther memprotes pelan.Lola menoleh pada suaminya tak percaya. "Jangan-jangan kau yang .... "Luther hanya bisa menyembunyikan wajahnya yang tersenyum kecil. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ayo tabur
"Omong kosong apa itu, Cassandra? Cepat pergi dari sini!" bantah Luther cepat.Cassandra tak mau beranjak dari tempatnya. "Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum orang-orang mengetahui kebenarannya!"Para wartawan kembali mulai bergumam, saling membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di antara Cassandra dan Luther. Cassandra sengaja mengambil alih microphone dan mulai berbicara."Jadi para hadirin, Luther ini seorang pria bermulut manis. Dia membuangku setelah kekasih lama yang meninggalkannya kembali lagi. Aku diusir dari mansion, begitu juga dengan perempuan yang lain yaitu Barbara dan Lilian!""Hey! Apa yang kau katakan? Aku tidak .... " Luther mencoba merebut microphone nya, tapi Cassandra dengan gesit menyembunyikannya."Harusnya aku yang kau nikahi, bukan wanita yang sudah mencampakanmu! Kenapa kau malah memilih dia?" Cassandra mulai melakukan dramatisasi. Dia tiba-tiba menangis tersedu."Cassandra!" Luther merasa Cassandra sudah berlebihan dalam bersandiwara. Hal itu membuat opin
Wajah Luther mulai merah padam. Lola sedikit mencibir perilaku Luther itu."Kau memang si Raja Tega! Apa pun kau lakukan demi tujuanmu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.""Ya! Aku akui saat itu aku bodoh, Lola! Aku memang Raja Tega!" Luther menggertakkan giginya. "Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal seumur hidup. Karenanya aku harus kehilangan segalanya, termasuk kekasihku Abby."Luther berubah muram dan begitu terluka. Raut keputusasaan terpancar di wajahnya. Lola yang asalnya menghakimi Luther kini berubah terenyuh melihat pria itu."Coba kalau dulu aku tidak nekat melakukan itu. Aku pasti tidak akan kehilangan dia. Dia pun tidak akan kehilangan hidup dan masa depannya karena aku!""Luther .... "Luther mulai frustasi. Rasa sedih dan bersalah kembali menghantam jiwanya. Dirinya bahkan berurai air mata di hadapan Lola, menandakan memang sebegitu menyesalnya dia akan sikapnya di masa lalu."Abby! Maafkan aku! Maafkan aku si pria bodoh ini!" Luther tersedu di tempatny
Lola menelan ludahnya. Tenggorokan nya terasa sakit dan perih pada saat itu."Abigail. Dia wanitamu juga, 'kan? Kau ... sudah membunuhnya, bukan?"Tanpa diduga, Luther langsung menerjang Lola. Lola melotot dan napasnya mulai tersengal saat dia merasakan cekikan erat tangan Luther di lehernya. Dirinya begitu tak percaya jika laki-laki yang saat ini sebenarnya masih dia percayai tega mencekiknya seperti itu."Tahu apa kau soal dia? Jika kau tidak tahu apa-apa, jangan seenaknya bicara!"Lola terbatuk-batuk di tempatnya. Air mata mulai berlinang. Luther dengan kasar melepaskan Lola dan duduk kembali di sofa dengan wajahnya yang kalut."Apa yang aku tidak tahu? Kau akan dengan mudah membunuh dia, seperti kata Barbara! Aku juga menemukan banyak bukti di handphone dan emailmu!"Luther sama sekali tak menanggapi Lola. Dia menutup wajahnya yang kalut itu. Lola pun melanjutkan ucapannya lagi."Kau juga bahkan ... sampai hati mencekikku! Melukaiku seperti ini! Apa tidak cukup hanya Abigail? Kau
Lola berhasil menemukan tempat baginya untuk bermalam selama beberapa waktu. Hatinya masih berkecamuk dan bingung. Apakah jalan yang dia tempuh kali ini adalah benar?"Jadi ... kapan aku harus menemuinya? Apa yang harus aku katakan padanya?"Meskipun keraguan menghinggapinya kini, tapi karena sudah terlalu jauh akhirnya Lola tetap pada tujuannya yang awal. Dia berniat untuk menemui Luther sesudah makan malam keesokan harinya."Semoga saja dia ada di mansion. Apa reaksi Luther jika ... dia melihat kedatanganku ke sana?"Dengan terus menguatkan hatinya, Lola pun menaiki taksi menuju ke kawasan mansion elit di San Francisco itu. Gemuruh di dada tak dapat hilang semenjak tadi. Malam itu dia berhasil sampai di mansion yang pernah menaunginya selama beberapa lama."Terima kasih, Pak. Berhenti di sini saja."Lola menyodorkan uang lembaran ke pengemudi taksi. Dia sengaja berhenti cukup jauh dari mansion Luther hingga harus berjalan ke sana. Dari jauh dia melihat ada banyak pria berbaju formal
Lola sudah memikirkan segalanya matang-matang. Dia benar-benar menginginkan dirinya untuk kembali ke Amerika sekaligus bertemu dengan Luther setidaknya untuk terakhir kali. Dia sadar jika apa yang telah dilakukannya ini pasti akan membuat keluarganya khawatir.'Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan orang-orang ini? Memangnya mereka memikirkan aku?' gerutu Lola di dalam hati."Lola? Kenapa diam saja? Kau tidak memakan sarapanmu? Nanti keburu dingin," tegur Jhonatan lembut yang refleks membuat Lola terlonjak.Lola tidak menjawab. Dia terlihat tidak tertarik dengan santapan paginya. Jhonatan hanya bisa menghela napas panjang."Semuanya, sepertinya aku akan pulang terlambat. Ada banyak urusan di kantor yang belum selesai.""Ah, iya. Selamat bekerja ya, Tuan Muda." Joyce bersikap tetap ramah pada Jhonatan.Lola mendengus kecil. Bagaimana mungkin keluarganya ini bersikap seolah tidak terjadi apapun sekarang? Apakah mereka semua ini bersekongkol? Lola tak mau memikirkan terlalu banyak. Dengan t
Tubuh Joyce mulai gemetar. Dia sampai tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya, sementara pihak detektif terus memanggilnya yang terdiam. Anneliese merasa janggal dengan sikap Joyce yang mematung di dekat telepon."Ada apa ... Joyce?" Suara serak Anneliese membuat Joyce terkesiap. Segera wanita itu terlempar ke dalam realita."Maaf, Tuan. Kami sedang sibuk. Permisi." Joyce cepat-cepat menutup teleponnya dan bergabung kembali di meja makan.Akan tetapi sikap Joyce masih terlihat begitu gelisah. Dia tak dapat menyembunyikan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya itu membuat Jhonatan, Lola maupun Anneliese semakin bertanya-tanya."Joyce, apa yang terjadi? Siapa yang barusan menelepon?" Jhonatan kembali menanyakan.Joyce tersenyum kaku sambil kembali menyendok makanannya. "Sepertinya salah sambung."Jhonatan hanya bisa memicingkan mata. Dia tahu jika Joyce sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka. "Aku tidak semudah itu dibohongi. Kita sudah tinggal bersama sejak lama. Ada sesuatu yan
Mood Jhonatan cepat sekali berubah. Beberapa jam lalu, Jhonatan terlihat kelimpungan bahkan cenderung tertekan. Tapi saat ini, wajahnya terlihat senang. Lola tak henti memperhatikan laki-laki itu.'Sebenarnya apa yang sudah terjadi di sini?' batin Lola.Lola tak bisa mengungkapkan kegelisahan hatinya. Dia hanya dapat menyimpannya sendiri di dalam hati. Karena sudah bertekad untuk mencari tahu semuanya, Lola pun dengan sengaja mencuri dengar pembicaraan Jhonatan di telepon malam itu."Virginia. Aku tahu kau akan terus menghubungiku. Kau tenang saja. Semua di sini sudah selesai ku urus. Aku sedang menunggu kucuran dana dari para investor untuk membeli sisa rancangan proyek Luther."Lola tertegun di tempatnya. Dia tercengang karena Jhonatan ternyata membeli proyek milik Luther dari Virginia. Pertanyaannya adalah, bagaimana hal itu terjadi? Padahal setahunya, Virginia dan Luther sudah tak lagi berkomunikasi sejak awal mereka bertemu."Aku sudah mengikuti semua keinginanmu! Jadi kau harus
Luther berjalan mondar-mandir di ruangan kantornya. Sejujurnya dia takut merusak segala rencananya. Dia hanya butuh pengakuan Noah untuk mengakui kecurangan yang dilakukannya pada proyek yang mereka jalankan."Jer, kamera CCTV sudah menyala semua?" tanya Luther."Sudah, Bos. Semua sudah beres." Jeremy memberikan kode jempol pada bosnya.Luther menghela napasnya berat. Dia pun menoleh pada Cassandra yang juga terlihat gugup di kursinya."Kau siap, Cassandra?""Y ... ya, Bos." Cassandra terlihat ragu.Tak lama telepon kantor yang ada di meja Luther berdering. Dengan sigap, Luther mengangkat teleponnya itu."Ya? Oh, dia sudah datang? Baiklah, suruh dia masuk."Luther lalu memberikan kode pada Jeremy dan Cassandra untuk mulai menjalankan rencana mereka. Pada saat itu, tiba-tiba mesin fax menyala. Luther agak terkejut dan menunggu kertas dari dalam mesin itu keluar. Matanya langsung melotot begitu mengetahui surat apa yang datang untuknya."Bos, kenapa?" Jeremy menghampiri Luther yang seka