Rintik hujan masih mengguyur pagi ini, udara dingin juga terasa menusuk kulit karena hujan semalam turun cukup deras, membuat Aldo memilih untuk tetap bertahan di bawah selimut, meski jarum jam di dinding kamar itu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat.Aldo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu meraih ponsel yang tergeletak di dekat bantalnya, sekedar untuk mengecek pesan ataupun panggilan telepon yang masuk.Pertemuannya dengan Hanna dua hari yang lalu hanya menyisakan pertengkaran saja. Lelaki itu hanya bisa meraung kesal karena keputusan Hanna untuk bercerai darinya sudah bulat. Hanna bahkan tidak takut dengan ancaman yang dilontarkanya, membuat pikirannya semakin tak menentu."Aku tidak akan membuat perceraian kita mudah, Hanna," sungutnya setengah berbisik.Emosinya begitu labil beberapa hari belakangan ini. Entahlah, mungkin karena banyaknya masalah yang membelit dan belum ada penyelesaian apapun. Hanna begitu keras dan tegas, seakan keputusan apapun yang sudah diambilnya ti
"Darimana kau tahu aku tinggal di sini?" Jawab Aldo dengan raut wajah kecewa. "Aku bertanya dengan seseorang di kantormu kemarin, ia bilang kau tinggal di sebuah kost kostan daerah sini, lalu aku minta alamatnya," jawabnya santai."Lalu untuk apa kau datang ke sini? Kupikir di hari libur seperti ini bisa beristirahat sepanjang hari di kamar, ternyata ..." Also menyindir wanita di hadapannya. "Kau mengabaikan panggilan telepon dariku, dan tak membalas pesanku. Lalu bagaimana lagi aku bisa bicara denganmu jika tidak mendatangimu ke sini?" Hardik wanita itu."Berhentilah mencariku, Bukankah sudah ku katakan padamu jika hubungan kita sudah berakhir! Siska!" Hardik Aldo keras."Aku hamil anakmu, mas. Kita harus segera menikah." Pinta Siska memohon."Aku tidak berminat untuk menikahimu, kau lupa? Jika sejak awal, kita sudah membuat kesepakatan untuk menjalani hubungan ini tanpa komitmen dan kehamilan?" Ujar Aldo sinis."Persetan dengan kesepakatan itu, aku hanya ingin kita secepatnya meni
"Mengapa Mas, kau takut?" Ucapnya dengan mata yang membulat sempurna. Seakan menantang harga diri lelaki itu.Mata Aldo tak berkedip menatap Siska yang masih terkekeh, seakan ada sesuatu yang menggelitik hati wanita itu. Aura gelap kini menyelimutinya, kalimat yang di ucapkan Siska membuat lelaki itu tersulut emosi.Satu tangan Siska masih mengelus pipinya yang terasa sedikit perih. Tamparan yang di layangkan Aldo ke wajahnya membuat hati wanita itu terluka."Mengapa kau bungkam, mas?" Ejek Siska beberapa saat kemudian. Mendengar pertanyaan Siska, lelaki itu spontan membuang muka dengan tangan yang terus mengepal. Sekuat mungkin ia berusaha menahan diri untuk tidak menyakiti wanita yang sudah menghangatkan ranjangnya beberapa bulan ini, bukan karena terlalu sayang, tapi karena kehamilannya. Namun, Siska sudah terlalu berani bermain dengan egonya.Jujur, di dalam hatinya, Aldo memang tak berniat untuk menikahi Siska. "Kau takut?" Bibir gadis itu mengejek. Mengalihkan fokus pandangann
Matahari masih nyaman mengintip dari balik awan ketika langkah Hanna memasuki halaman rumah Dina. Meskipun sudah hampir menjelang makan siang, tetap saja, udara dingin masih terasa menusuk kulit. Wajar saja karena sudah masuk musim penghujan. Hanna menginjak rumput di halaman rumah Dina yang masih basah. Hujan deras yang mengguyur semalam hingga pagi hari membuat beberapa bagian di halaman ini masih menyisakan genangan air. Tak ayal, membuat Hanna begitu memperhatikan langkahnya.Rumah Dina cukup besar dengan garasi yang cukup untuk menampung tiga buah mobil. Meskipun memiliki suami yang mapan namun, Hanna kagum dengan sepupunya itu yang masih sering terlihat tampil begitu sederhana.Seorang asisten rumah tangga yang nampak beberapa tahun lebih muda darinya, datang dari arah samping rumah dan langsung menghampirinya, sebelum tangan Hanna mengetuk menekan bel yang berada di sudut atas pintu."Mbak Hanna!" Serunya begitu sudah beberapa langkah di hadapannya."Bu Dina ada?" Tanya Hanna.
Dina memandang Hanna dengan pandangan mata yang sulit diartikan. Meski ia sudah lama mengenal Hanna, tetap saja, baginya tak mudah untuk menebak isi pikiran sepupunya itu.Ekor matanya meneliti setiap jengkal wajah itu, selain senyum tipis yang tampak misterius, dan raut wajah yang nyaris tidak menampakkan ekspresi apapun, membuat Dina menyerah untuk terus mencari tahu.Dengan pandangan yang masih tetap terfokus pada Hanna, tangannya meraih gelas berisi jus apel di meja. Menyesapnya sedikit demi sedikit, hingga akhirnya rasa penasaran membuatnya melempar tanya."Kado istimewa? apa maksudmu Hanna?" Dina memiringkan kepalanya dan meletakkan kembali gelas di tangannya setelah menghabiskan isinya."Tentu saja, bukankah kita harus membawa hadiah jika datang ke pernikahan seseorang? Aku juga ingin ikut merasakan kebahagiaan sang pengantin dengan memberikannya hadiah," Jawab Hanna."Kado? hadiah? Apa itu artinya kau akan membiarkan mereka menikah?" Tanya Dina tak mengerti.Hanna menggeleng.
Aldo menghela nafas berat, pekerjaan kantornya begitu menyita waktunya hari ini. Biasanya ia selalu menyuruh orang untuk mengerjakan laporan di hadapannya ini. Namun, apalah dirinya sekarang, ia bukanlah seorang manager lagi.Dengan gaji yang telah berkurang nyaris setengahnya, tentu saja ikut mengubah gaya hidupnya. Biasanya ia menikmati segelas kopi di St*rbucks di sela-sela waktu senggangnya atau pikirannya sedang kusut. Tapi sekarang, makan ataupun menikmati segelas kopi di warteg terpaksa di lakukannya demi menghemat pengeluaran.Kembali Aldo menghela nafas berat, pertengkaran dengan Siska seminggu yang lalu masih menyisakan masalah untuknya. Desakan wanita itu untuk segera menikahinya sungguh menambah beban pikirannya."Wanita itu membuat hidupku sengsara," keluh Aldo dengan wajahnya yang suram.Aldo memandang sebuah kertas yang terletak di ujung meja kerjanya. Surat panggilan dari pengadilan yang meminta untuk hadir di sidang mediasi masih tergeletak di sana. Entah mengapa saat
Kau membuatku menunggu dua puluh menit, mas, untung saja, aku membuat janjinya jam tujuh," keluh Siska ketika menghampiri Aldo yang baru saja keluar dari lobby kantornya."Aku banyak pekerjaan, lagipula jika kau bosan menungguku, bukankah kau bisa pergi sendiri saja ke sana?" Balas Aldo dengan tatapan bosan."Kau benar-benar berubah, mas. Dulu kau begitu lembut dan perhatian padaku ...""Tapi sekarang ...." Kembali Siska mengeluarkan keluhannya."Berisik, jika memang masih ingin kutemani lebih baik jangan membicarakan sesuatu yang membuatku kesal." Mata Aldo melotot tajam."Terserah kau saja," ujar Siska cemberut.Dengan menggunakan taksi online, mereka segera meninggalkan bangunan perkantoran itu, menuju sebuah rumah sakit."Mengapa tidak periksa di bidan saja, bukankah hanya untuk memeriksa dan meminta resep vitamin saja kan?" Keluh Aldo ketika mereka berdua sudah duduk di dalam taksi. Lalu membuang pandangan ke luar jendela."Aku tidak mau, aku ingin anak ini mendapat fasilitas yan
Mata Hanna membulat mendengar pengakuan Reza yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Bukan hanya dirinya, tapi juga pasangan pengkhianat itu kini memandang Reza dengan begitu intens.Untuk beberapa saat tubuh Hanna membeku dan mematung diam. Tak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan, ucapan Reza sudah seperti sebuah kalimat lamaran untuknya.Siska pun bungkam dengan ekor mata yang terus menerus memperhatikan Reza, sosok dokter tampan itu lebih menarik perhatiannya ketimbang melihat pertengkaran Hanna dan Aldo. Suara bising kendaraan bermotor di jalanan tak juga mengalihkan perhatian mereka dan tetap memfokuskan pandangan pada dokter muda itu. Kalimat yang di ucapkan dokter muda itu seolah mantra yang menyihir mereka. Hingga akhirnya sebuah kedipan mata mengembalikan kesadaran Hanna."A-apa yang baru saja kau katakan, Reza? Melamar?" Tanya Hanna gugup."Kau sudah mendengarnya sendiri, Hanna.""Aku ingin melamarmu dan aku serius dengan ucapanku,," Reza mengulang perkataannya sambil m