Hari sudah menjelang petang begitu Siska keluar dari kantor polisi. Helaan nafas panjang terdengar, wajahnya terlihat begitu lelah dengan manik mata yang sedikit kemerahan karena debu yang beterbangan. Suara bising dan asap kendaraan bermotor yang berdenging di telinga, kini sudah tidak begitu di hiraukannya lagi.Perutnya terasa perih, wajar saja, karena sejak pagi hanya roti gandum saja yang masuk ke dalam lambungnya. Begitu melelahkannya hari ini, hingga membuatnya tidak sempat memikirkan perutnya yang sedari tadi kelaparan.Ekor mata Siska kini tampak memutar, mencari warteg atau penjual makanan gerobak yang ada di sekitarnya. Sayang, keberuntungan kali ini belum berpihak padanya, ia tak menemukan penjual makanan. Hanya kendaraan bermotor saja yang masih memadati jalan."Apa yang harus kulakukan?" Ucapnya getir di tengah rasa lapar yang mendera. Karena tidak mungkin baginya melangkahkan kaki ke cafe atau tempat makan yang nyaman karena isi dompetnya yang mulai menjerit.Pekerjaann
Aarrgghh!Siska menjerit karena cengkraman tangan Aldo menyakitinya."Lepas, mas!""Katakan jika semua itu adalah omong kosongmu, dan bukti yang kau perlihatkan padaku adalah rekayasa," desak Aldo sambil terus mencengkram erat dagu Siska."Mas, apa kau melihat ada kebohongan di wajahku? Di mataku?" Lidah Siska berkelit."Kau sakit, Siska. Haruskah aku mengatakan jika kau tidak waras?" "Mas, aku mencintaimu. Apa itu tidak cukup?" Lirih Siska dengan air mata yang mulai menetes."Hanna juga mencintaiku," geram Aldo tertahan."M-mas!" Panggil Siska terbata.Kedua tangan Siska, menggapai lengan Aldo, meronta dan berusaha melepaskan dagunya dari cengkraman tangan lelaki itu "Le-lepas mas, bisakah kita masuk ke kamarku saja, mungkin kau lelah hingga berpikir macam macam tentang diriku. Ki-kita bisa menghabiskan malam ini bersama, agar kau bisa sedikit lebih santai," bujuk Siska dengan tangannya yang kini beralih menyentuh ujung kancing kemeja yang dipakai Aldo.Perlahan, cengkraman tangan
Hanna segera memalingkan wajahnya ketika pandangan matanya bertemu dengan Aldo di meja makan pagi ini. Sudut bibirnya berkedut ketika ia melihat lelaki itu duduk dengan rambut yang terlihat sedikit memanjang.Ingin rasanya ia tertawa melihat penampilan Aldo pagi ini, lelaki yang selalu berpenampilan rapi itu, kini terlihat kacau dengan jambang yang dibiarkan tumbuh, Hanna mengira jika sudah dua hari, suaminya itu tidak mencukur jambangnya.Harum masakan menguar. Mbok Iyem datang menghidangkan sepiring telur mata sapi dan membuka toples yang berisi kerupuk ikan kesukaan Hanna, setelah sebelumnya meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan pasangan suami istri tersebut .Suasana masih hening, baik Hanna maupun Aldo enggan untuk menegur atau membuka pembicaraan lebih dulu, hingga akhirnya Hanna memutar bola mata malas lalu mulai menikmati sarapannya."Mbok mau jemur pakaian dulu di belakang, mbak," pamit Mbok Yem beberapa saat kemudian.Hanna tak menjawab, hanya anggukan kepalanya yang te
Dering ponselnya berbunyi, Namun diabaikan saja oleh Hanna. Pandangan matanya masih memandang lurus pada foto pernikahannya yang terpajang di meja kerjanya.Hanna menyandarkan punggungnya di kursi, rasa lelah kini menderanya. Perlahan tangannya lembut memijat kedua bahu secara bergantian, hingga bahunya merasakan sedikit kenyamanan disana.Harum aroma terapi yang menguar di dalam ruangan membuat suasana hatinya sedikit lebih baik, tak lama salah satu tangannya meraih frame foto pernikahannya lalu menyimpannya ke dalam laci mejanya yang paling bawah."Kau sudah menjadi masa laluku, mas." Hanna bergumam lirih memandang sayu pada foto tersebut sebelum akhirnya menutup laci meja itu kembali.Pembicaraannya dengan Aldo tadi pagi tak terlalu mengganggu pikirannya, hatinya sudah ikhlas jika memang perceraian adalah jalan keluar terbaik. Bukan karena ia sudah tidak mencintai Aldo, tapi rasa sakit dikhianati dan juga karena tak ingin terluka lebih dalam lagi, membuat Hanna merasa bahwa perpisa
"Ada apa mencariku, Mbak?" Tanya Siska begitu mereka berdua duduk di kasur pegas kamar kostnya."Aku punya penawaran terbaik untukmu, Siska," jawab wanita yang biasa dipanggil Mayang itu."Penawaran terbaik untukku? maksudnya bagaimana?" Tanya Siska sambil mengerutkan kening. "Ada seorang pria dari arab yang sedang mencari istri kontrak. Kau mau tidak, dijamin ini barang bagus karena uangnya tidak berseri. Jika kau berhasil memuaskan hasratnya, kau bisa memiliki rumah mewah impianmu," jelas Mayang begitu menggebu."Aku tidak tertarik untuk menikah kontrak. Kau cari orang lain saja," tolak Siska sambil memijat kepalanya yang semakin terasa pusing."Aku menawarkannya padamu lebih dulu karena ini ikan kakap. Tak mudah untuk mendapatkan pria kaya seperti ini, kau sendiri tahu biasanya aku sering menerima permohonan dari para lelaki yang kurang belaian istrinya. Yang cuma mampu kasih tiga puluh juta saja untuk kontrak pernikahan enam bulan," Bujuk Mayang."Tidak, aku belum berminat." Tola
Mata Hanna menyipit tajam, melihat Siska yang kini berdiri dihadapannya dengan wajah yang kesal, lama ia meneliti sosok itu, seolah masih tak yakin dengan apa yang di lihatnya.Sesaat, ruangan itu terasa hening, desau udara malam terdengar pelan dari arah luar, membuat syahdu suasana yang tadi sempat memanas.Hanna tersenyum tipis, lalu membuang pandangannya sebentar ke arah lain seakan ingin menyembunyikan perasaannya saat ini, tak bisa ia pungkiri meskipun dalam kemarahannya, ia takut ada setitik rasa cemburu yang tampak di raut wajahnya."Wah, haruskah aku harus menyambut kedatanganmu, di rumahku?" Sindir Hanna menyeringai. Setelah bisa menguasai dirinya."Aku tidak ada urusan denganmu, wanita g!l4," balas Siska.Mendengar makian itu Hanna tertawa."Oh ya!? Tapi ini rumahku, dan apapun yang sedang kau cari disini adalah milikku, apa kau tidak menyadari itu? Ah, aku lupa, jika kau sekarang sedang mengincar suamiku. Entah mengapa, kau sangat suka sekali memiliki barang bekas-ku, buka
"Mulutmu memang ingin minta dijahit," balas Hanna."Mas, cepat minta istrimu melepaskanku,"kembali Siska berteriak memohon.Aldo memalingkan wajahnya, pertengkaran kedua wanita itu kini membuatnya dilema, entah mengapa, tak ada niatan di hatinya untuk melerai pertikaian mereka berdua, lelaki itu lebih memilih diam, seolah ingin membiarkan istrinya melepaskan kemarahannya."Lepaskan aku, wanita gil4," kembali terdengar Siska meronta. Hanna menyeringai sinis, beberapa helai rambut Siska terjatuh kelantai, karena tarikan kuat tangannya. "Baiklah, aku akan melepaskanmu, tapi katakan padaku jika semua tuduhan yang kau katakan pada suamiku adalah kebohongan, semua bukti yang kau perlihatkan adalah rekayasa buatanmu sendiri," paksa Hanna semakin erat mencengkram rambut Siska, Kembali jeritan kesakitan lolos dari wanita itu. Karena selain jambakan di rambut nya, rasa sakit juga ia rasakan dipunggungnya karena tubuhnya terpaksa melengkung karena tangan Hanna yang juga mengunci sekitar leher
"Tunggu Hanna, apa maksud ucapanmu?" Dahi Aldo mengernyit. Membuat Hanna menghentikan langkahnya."Kau sudah mendengarnya sendiri tadi, apa aku harus mengulanginya?" sahut Hanna santai."Apa yang sedang kau rencanakan? Kau ingin mendepakku dari kantor? Katakan Hanna?" desak Aldo."Oh, Itu hanya kejutan kecil saja, mas. Kau tidak perlu khawatir."Mata Aldo meneliti tajam bahasa tubuh yang di perlihatkan Hanna, sama, tak ada yang berubah. Hanya senyum wanita itu saja yang seakan sulit diartikan."Aku ingin mengunci pintunya, cepat bawa peliharaanmu itu pergi dari sini jika tidak aku akan memanggil keamanan komplek untuk mengusir kalian berdua dari rumah ini. Percayalah padaku kau tidak akan menyukainya jika hal itu benar benar ku lakukan," ancam Hanna.Aldo menghela nafas berat, lalu memandang nanar koper besar di masih berada di samping sofa. Apa yang bisa di lakukannya sekarang selain meninggalkan rumah ini? ingin rasanya menolak semua ini, Namun, ia takut ancaman Hanna akan terjadi j
Bab Ekstra 2Sementara itu di tempat lain."Darimana saja kau Siska?" Ketus seorang pria padanya "Aku keluar sebentar, mas," Jawab Siska gugup."Aku tahu kau keluar, yang kutanyakan darimana?""A-aku ke minimarket depan, mas. Beli beberapa perlengkapan mandiku yang sudah habis," jawab Siska menunduk."Mana?""Hah?""Aku tanya mana perlengkapan mandi yang kau beli itu? Aku tak melihatnya?" "Itu, a-ada ..." Ucap Siska gugup, karena ia tahu mengapa pria itu bertanya padanya seperti ini.Plak!Sebuah tamparan keras diberikan pria itu di wajah Siska, belum puas, pria itu lantas menjambak rambutnya dengan kasar."Kau pikir aku tidak tahu, kau baru saja menemui istriku, bukan?""Sial," umpat Siska dalam hati."Kau benar benar lacur! Apa semua yang kuberikan padamu belum cukup hingga kau membuat onar di rumahku, Hah!" "Mas, istrimu yang lebih dulu menghinaku. Lagipula, kau sudah berjanji akan menceraikan istrimu setelah menikahiku!" Siska meraung."Kau benar-benar lancang!" Hardik pria itu
Bab Extra 1Aldo termangu memandangi Andira, putri semata wayangnya dengan Siska, dengan tatapan sayu. Hatinya menjerit melihat anak perempuannya itu tumbuh tanpa sosok ibu di sampingnya.Balita berusia dua tahun itu tampak sedang berpegangan tangan pada ujung meja, sedang asyik belajar berjalan, sesekali tampak ia terjatuh.Dipandanginya wajah putrinya, wajah yang persis sama dengan Siska. Lelaki itu berharap jika putrinya tidak mengikuti jejak ibunya, bahkan demi bisa fokus merawat dan mengasuh Andira, Aldo terpaksa keluar dari pekerjaannya.Membuka sebuah warung bengkel kecil di depan rumah, itulah pekerjaannya yang ditekuni Aldo sekarang untuk menafkahi putrinya. Sesekali ia menerima pekerjaan sampingan sebagai sales freelance. Untung saja ia tak perlu mengeluarkan uang untuk tempat tinggal, karena Ridwan mengizinkan dirinya dan putrinya untuk tinggal bersamanya. Sudah dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Roy, sang ayah biologisnya. Sesekali beliau menelpon, sekedar
Dua tahun kemudian."Aku tak menyangka jika kau akan membeli keripik kentang sebanyak itu," keluh Hanna sambil melirik beberapa jenis merk keripik kentang yang ada dalam troli."Aku hanya membeli untuk jatah satu minggu," jawab Reza santai.Hanna menggeleng melihat kelakuan dokter tampan itu, lalu kembali memandang deretan produk pencuci wajah yang ada di hadapannya.Awalnya Hanna hanya berdua saja dengan mbok Yem, asisten rumah tangganya, belanja dan mendorong troli supermarket ini, tapi di tengah perjalanan ke supermarket tadi, Reza mendadak meneleponnya, dan entah bagaimana caranya tiba tiba lelaki itu bisa ada di supermarket tersebut dan akhirnya ikut berbelanja."Apa masih ada yang ingin dibeli, mbok?" Tanya Hanna pada Mbok Yem ketika meletakan sebuah sabun pencuci wajah kedalam troli belanjanya."Nggak ada, semuanya sudah ada dalam troli," jawab mbok Yem."Baguslah, berati kita langsung saja ke kasir," sahut Hanna lalu menoleh pada lelaki yang berdiri di sebelahnya."Aku juga su
Hanna melirik arloji di tangannya, ketika tangan Dina menyenggol lengannya. Hanna mengerti apa yang ingin disampaikan Dina, wajahnya tampak mengangguk perlahan, lalu berpaling melirik ke sekelilingnya.Ridwan dan Roy terlihat sedang menyandarkan punggung mereka sementara Aldo menjambak rambutnya. Kemarahan masih terlihat jelas di matanya. Hanna bisa mengerti, mantan suaminya itu membutuhkan waktu untuk bisa menerima semua kenyataan ini."Hanna, ayo kita pulang," bisik Dina di telinga Hanna."Baiklah." sahut Hanna. Hanna dan Dina terlihat meraih tas mereka, lalu melirik Ridwan yang masih diam, segera saja mereka mengutarakan niatnya untuk pamit pulang dan segera pergi dari sini."Amanah ibu Marina sudah saya sampaikan, mohon maaf saya dan Dina pamit pulang, pak," ucap Hanna pada Ridwan."Oh ya, terima kasih banyak atas bantuannya, Hanna. Tunggu sebentar," ujarnya lalu bangkit dan berjalan tergesa masuk ke salah satu ruangan di dalam rumahnya.Hanna hanya bisa menunggunya, untung saja
"Tenangkan dirimu, nak. Bapak tahu, sulit bagimu menerima kebenaran ini, tolong jangan biarkan kemarahanmu yang berbicara karena itu tidak baik. Karena bagaimanapun dia adalah ibumu, seseorang yang harus kau hormati."Hanna melirik Roy yang tampak diam dengan kepala tertunduk. Ada luka dan kesedihan di wajah lelaki paruh baya itu. Sesekali mata tua itu melirik putranya yang masih belum bisa menerima dirinya dan kenyataan tersebut.Sentuhan tangan Dina membuat Hanna menoleh, mata Dina mengisyaratkan jika mereka harus pamit pulang, segera Hanna melirik ke arah jam di pergelangan tangannya, seakan meminta waktu sebentar lagi."Baiklah, tapi sebentar saja ya," bisik Dina."Iya." Bisik Hanna pelan."Sejak kapan bapak tahu semua ini dan tahu bahwa aku bukan anak kandung bapak?" Tanya Aldo dengan suara parau, sungguh, wajah lelaki itu kini tampak begitu muram."Satu bulan sebelum ibumu memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah," ujar Ridwan sambil terus memandang Aldo." ... Saat itu?" Kenin
"Pe-pemeriksaan apa ini, apakah ini adalah pemeriksaan identifikasi DNA milikku? Siapa itu Mario Darmawan? Apakah itu nama asli dari lelaki bernama Roy ini?" Lanjut Aldo sambil memandang fokus pada Ridwan, ayahnya.Ridwan tak menjawabnya, manik mata lelaki itu memandang lurus pada Aldo dengan tatapan teduh dan sikap yang begitu tenang, tak tampak kegelisahan dan rasa takut di wajahnya. Di lihatnya tangan Aldo yang gemetar, ia tahu suatu saat, hari ini pasti akan tiba, hari di mana lelaki itu mengetahui jati dirinya. Hari di mana sebuah rahasia yang disimpan bertahun-tahun akan terbongkar.Suasana hening sesaat, baik Hanna maupun Dina memilih diam, tak bersuara. Tak terkecuali Roy, lelaki berusia lima puluh tahunan itu juga memilih bungkam."Apa maksud semua ini pak? Tes DNA?" Kembali Aldo bertanya lirih."A-pa pemeriksaan ini benar?" Mendengar pertanyaan Aldo, Ridwan hanya mengangguk. Di lihatnya wajah Aldo yang tampak begitu terluka. Sungguh, ia tak berharap melukai perasaan Aldo,
Ekor mata Aldo melirik lelaki yang duduk di sebelah ayahnya dengan begitu tajam. Suasana hatinya mendadak buruk. Ia tak menyangka jika ayahnya bisa mengundang lelaki itu untuk bergabung bersama mereka di sini.Tangannya mengepal kuat, melihat wajah lelaki itu, telapak tangannya terasa gatal untuk memukul atau pun mengajak lelaki itu bertengkar.Sesekali tampak lelaki itu melirik pada Aldo, sekilas ia melihat beberapa bagian dari wajah Marina yang terpahat di sana. Mata mereka begitu mirip. Begitu juga dengan bentuk dagunya yang persis sama dengan Marina, ibunya."Untuk apa mengundangnya kemari, Pak? aku tak suka melihatnya ada di sini," ujar Aldo setengah berbisik pada Ridwan ayahnya."Bapak mengundangnya karena kehadirannya berhubungan dengan isi amplop itu, nak," jawab Ridwan."Tapi ..." Ujar Aldo yang masih tampak begitu keberatan.Yah, Aldo mengetahui persis siapa lelaki itu. Lelaki yang menjadi penyebab rumah tangga kedua orang tuanya berakhir di pengadilan. Lelaki itu pula yang
"Maaf membuatmu menunggu. Aku memintamu datang kesini karena ingin menyampaikan amanah dari ibumu," ujar Hanna sambil meletakkan sebuah amplop putih yang masih bersegel di atas meja.Aldo tampak mengernyitkan dahi, tatapan matanya lurus pada amplop putih yang baru saja diletakkan Hanna di meja, ada gurat kebingungan di wajahnya, wajar saja karena di matanya Hanna seakan ingin bermain teka-teki dengannya.Amplop itu tampak rapi dengan logo sebuah rumah sakit di salah satu sudutnya. Sebuah amplop yang berisi rahasia kelahiran Aldo.Menyadari kemana arah pandangan Aldo, Hanna terlihat menuduk sesat, lalu berbicara pelan."Sebelumnya aku minta maaf padamu, mas. Karena menahan amanah ini cukup lama. Aku tahu aku sangat egois dan salah, karena tidak langsung menyampaikannya padamu.""Sebenarnya, ibu memintaku untuk segera memberikan amplop ini padamu setelah ia meninggal, namun, saat itu kau sangat gencar menuduhku berselingkuh, hal itu membuatku geram dan sakit hati hingga ..." Hanna menje
Sementara itu di tempat lain."Kita tunggu Hanna datang, karena dia yang memegang amanah ibumu," Sahut Ridwan yang langsung di balas dengan kerutan di kening Aldo."Hanna? Amanah ibu? Apa sebenarnya maksud semua ini, pak?""Tunggulah sebentar, bapak yakin tak lama lagi Hanna akan tiba.""Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini," ungkap Aldo dengan wajah kebingungan.Untuk beberapa saat mereka saling diam, tak lama, terdengar Ridwan berdehem cukup keras."Bapak ke belakang sebentar membuatkan teh hangat untukmu. Sementara itu, buatlah dirimu senyaman mungkin disini. Lagipula, sudah lama kau tidak pulang ke rumah," Selesai mengucapkan kalimat itu, Ridwan pun berlalu meninggalkan Aldo sendiri.Aldo menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, mengikuti saran sang ayah untuk membuat dirinya senyaman mungkin. Sesekali terlihat ia memejamkan matanya, mencoba mencari ketenangan di sana.Rumah ini adalah tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya. Selepas menyelesaikan pendidikan das