Home / Romansa / Wanita Simpanan Suamiku / 2. Membuntuti Mas Abdu

Share

2. Membuntuti Mas Abdu

Author: Narpendyah Kahurangi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Seperti biasa Mas Abdu berangkat ke kantor pukul 07.00. Setelah yakin sedan putihnya berjalan pergi, aku kembali ke ruang makan, meraih gawai di atas meja kemudian mencari nama Niko—adikku—di daftar kontak. Lalu dalam hitungan detik aku sudah melakukan panggilan ke nomornya.

"Assalamualaikum, Dek! Kamu sibuk nggak hari ini?" Tanpa membuang waktu aku langsung bertanya pada dia yang mengangkat panggilan teleponku di menit pertama.

"Nggak, Mbak. Kenapa?"

"Kamu bisa nggak anterin mbak hari ini?" Aku balik bertanya.

"Bisa. Emang Mbak mau ke mana?"

"Nanti aja mbak kasih tau kalo kamu udah tiba di sini. Mbak mau beres-beres rumah dulu. Kalo udah kelar, Mbak telepon kamu lagi, ya?"

"Oke, Mbak."

Aku mematikan panggilan telepon, membuang napas kasar kemudian meraih sapu dan kemoceng. Tunggu saja kamu Mas Abdu. Aku akan mengintai gerak-gerikmu hari ini. ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana tingkahmu di luaran sana. Enak saja. Sedangkan aku sendiri, lihatlah. Hendak keluar saja harus bebenah isi rumah dulu. Huh!

***

"Sebenarnya kita mau kemana, sih, Mbak?" Niko bertanya sambil menyetir. Dia fokus menatap jalanan di depannya.

"Mbak mau mengintai Mas Abdu, Dek," jawabku sembari sesekali melirik ke Taksa yang sedang tertidur pulas di jok belakang. Kasihan anakku itu. Dia terpaksa tidur siang di dalam mobil pamannya. Jika saja bukan karena ulah si papa, saat ini Taksa pasti sedang tidur nyaman di ranjang tidurnya.

"Mengintai?" Dahi Niko berkerut pertanda bingung.

"Sikap kakak iparmu itu beberapa hari ini mencurigakan," jawabku. "Tiap malam selalu begadang. selalu berlama-lama di ruang kerja. Pernah dua kali mbak pergoki dia sedang berbicara dengan seseorang via telepon. Padahal waktu itu udah tengah malam. Entah dengan siapa." Aku menggerutu panjang lebar.

"Mungkin lagi teleponan dengan klien, Mbak. Kan Mas Abdu tenaganya dibutuhkan seharian full alias 24 jam. Iya, kan?" Sepertinya Niko mencoba berpikir positif.

"Tapi yang Mbak dengar dia panggil 'sayang-sayang', Dek. Itu bukan hal yang wajar."

"Sayang?"

"Dan pas mbak tanya ke dia, ada aja alasannya. Kamu tau sendiri, kan, kalo Mas Abdu itu pintar berkilah."

"Terus sekarang tujuan kita kemana ini, Mbak?"

"Ke kantor Mas Abdu aja dulu. Kita parkirin mobil dari jarak jauh. Nanti kita ikuti kemana dia pergi sehabis pulang dari kantor."

"Aku ikut perintah Mbak aja, deh. Tapi aku berharap semoga kecurigaan Mbak nggak terbukti." Niko menggaruk kepala. Tampaknya adikku satu-satunya itu tak dapat menolak kehendak dari sang kakak perempuan.

***

Niko memarkirkan mobil tepat di bawah pohon yang rindang. Tempat yang tidak mencurigakan jika dilihat dari kantornya Mas Abdu. Sedari tadi pandanganku tak lepas dari bangunan tiga lantai itu, mengawasi dan mencari sosok pria yang kunikahi tujuh tahun yang lalu. Kulirik jam di layar ponsel. Biasanya lima menit lagi Mas Abdu sudah turun dari lantai dua di mana kantornya berada.

Benar saja, sosoknya terlihat menuju ke parkiran yang terletak di halaman gedung kantor. Dia melangkah santai tapi tegap sebagaimana ciri khas caranya berjalan. Aku memerintah Niko agar bersiap-siap. Sebab kulihat Mas Abdu sudah masuk ke dalam mobilnya. Kemudian sedan putih itu perlahan meninggalkan area parkir.

Kami menjaga jarak aman agar tidak mencurigakan. Aku sangat yakin, Mas Abdu tidak langsung menuju ke rumah. Sebab jalan yang dia lewati saat ini tidak mengarah ke sana.

"Kamu lihat sendiri kan, Ko, ini bukan jalan menuju ke rumah Mbak." Aku tersenyum sinis. "Pasti dia ingin bertemu dengan selingkuhannya itu."

"Istighfar, Mbak. Nggak boleh berburuk sangka dan jangan ikuti nafsu amarah. Kita cari bukti dulu. Mbak nggak boleh menuduh tanpa alasan." Niko menenangkan.

"Kok kamu jadi bela Mas Abdu, sih. Kamu adiknya Mbak atau dia?" Aku mencebik.

"Bukan begitu. Aku hanya ingin Mbak berpikir dengan kepala dingin dan nggak salah bertindak." Niko berbicara dengan suara lembut dan mendamaikan hati. Ucapan Niko barusan ada benarnya juga. Aku terlalu mengikuti rasa curiga. Tapi kecurigaanku bukan tanpa dasar. Sikap dan perbuatan Mas Abdu lah penyebabnya.

Aku memilih diam untuk sementara dan terus mengawasi sedan Mas Abdu yang terus melaju. Tepat di sebuah toko bunga, dia memarkirkan mobilnya. Tampak dia melangkah masuk ke dalam toko itu. Sepuluh menit kemudian dia keluar dengan sebuah buket bunga mawar yang sangat indah. Wajahnya semringah sambil menghidu seikat bunga di tangan. Lantas kembali masuk ke sedan putihnya dan melaju.

"Tuh, kamu lihat, kan. Barusan dia beli bunga. Untuk siapa coba? Tujuh tahun menikah dia sama sekali nggak pernah kasih bunga ke Embak, Dek. Siapa lagi kalo bukan untuk selingkuhannya," ujarku berapi-api.

"Iya-iya, Mbak. Kita ikuti dia, oke." Kali ini Niko tidak membantah.

Mobil kami terus melaju mengikuti ke mana jalannya mobil Mas Abdu. Jalur yang ditempuh semakin menjauhi jalan menuju rumah kami. Kali ini terlihat Mas Abdu berhenti dan memasuki sebuah butik pakaian wanita yang mewah. Dadaku menggelegak. Tentu uang yang dihabiskan suamiku itu tidaklah sedikit untuk membeli gaun-gaun yang sangat mahal harganya.

"Ini udah kelewatan, Dek. Mbak mau samperin Mas Abdu sekarang juga." Tangan kiriku sudah meraih pegangan pintu mobil dan bersiap membukanya. Tapi, Niko berhasil mencegah.

"Jangan sekarang, Mbak. Kita belum punya banyak bukti." Niko menahan pergelangan tanganku yang lain.

"Kurang bukti apalagi? Buket bunga dan pakaian wanita, apa itu masih belum bisa dijadikan bukti, Dek?" Kutepis tangan Niko.

"Hanya buket bunga dan pakaian, Mbak. Bisa aja nanti Mas Abdu berkilah barang-barang itu untuk Mbak, kan." Lagi-lagi ucapan Niko benar.

Ah, bodohnya kamu Gauri. Aku merutuk dan dongkol sendiri dalam hati. Aku harus bisa menahan diri lebih lama hingga Mas Abdu dan selingkuhannya bertemu di depan mataku. Dengan begitu aku punya bukti yang bisa memberatkan dirinya.

Mobil kami terus melaju. Namun, jalur yang dipilih Mas Abdu kali ini menuju rumah. "Nah, kan. Apa aku bilang. Seandainya tadi Mbak turun marah-marah melabrak Mas Abdu, yang ada hanya rasa malu yang Mbak dapatkan." Niko nyengir.

"Diam kamu, Dek," ujarku sembari memalingkan wajah malu. Kemudian, "Lho, kok kita ke mini market?" Aku heran saat Niko memberhentikan laju mobil di sebuah mini market.

"Kita beli sesuatu dulu. Biar Mas Abdu nggak curiga. Bilang aja kita habis ajak Taksa jalan-jalan dan beli sesuatu."

Aku tersenyum. "Nggak sia-sia Embak punya adik sepintar kamu. Tunggu bentar, ya. Kebetulan minyak, gula, dan beras di rumah udah habis," ujarku seraya membuka pintu mobil dan masuk ke dalam mini market, mengambil barang-barang yang diperlukan kemudian mengantre di kasir. Setelah membayar aku kembali ke dalam mobil. Kudapati Taksa sudah bangun dari tidurnya.

"Eh, anak mama udah bangun. Nih, susu. Kamu pasti haus, kan." Aku menyerahkan susu kotak pada Taksa dan air mineral pada Niko.

Setiba di rumah, Mas Abdu sudah menunggu di teras. Taksa berlari ke dalam pelukannya setelah dia keluar dari pintu mobil. "Papa!"

Meraih tubuh Taksa dan mengendongnya, Mas Abdu bertanya pada anak usia lima tahun itu. "Taksa dari mana, sih? Kok papa nggak diajak jalan-jalan?" Taksa hanya tersenyum sambil terus menyesap sekotak susu yang kuberikan padanya tadi.

"Mas udah makan?" Aku bertanya sembari salim padanya.

"Belum. Mama dari mana, sih?"

"Ngajakin Taksa jalan-jalan sekalian beli beras. Tuh, liat aja." Jariku menunjuk Niko yang berjalan mendekat sambil menenteng belanjaan yang kubeli di mini market tadi. Bagus juga ide adikku itu.

Meletakkan barang belanjaanku di sofa ruang tamu, Niko pamit pulang. Dia menolak ajakan Mas Abdu untuk makan bersama. Setelah memandangi mobil Niko yang berjalan menjauh, kubawa barang belanjaan ke dapur. Mataku melirik ke segala penjuru rumah, mencoba mencari keberadaan buket bunga yang dibeli Mas Abdu tadi. Jangankan penampakannya, aromanya saja tidak terendus indera penciumanku. Di manakah kira-kira suamiku menyimpannya?

Rasa penasaranku kian memuncak, hingga tiba waktu memasuki malam. Mas Abdu tidak juga memberikan buket bunga itu padaku. Lagi-lagi bisikan setan menguasai pikiran, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Akhirnya karena tidak bisa menahan kesabaran lagi, aku menuju ruang kerja Mas Abdu yang berada di sebelah ruang tamu. Pintunya tidak tertutup rapat, sedikit terbuka. Kudapati dirinya sedang tersenyum sendiri seraya menatap layar ponsel. Dengan gerakan cepat, kudorong pintu ruang kerjanya hingga terbuka lebar.

"Lebih baik sekarang Mas jujur padaku, untuk siapa buket bunga dan pakaian wanita yang Mas beli tadi sore?" Aku bertanya dengan nada tinggi dan begitu tiba-tiba. Mas Abdu sontak kaget dan menatapku dengan wajah yang tak biasa.

***

Related chapters

  • Wanita Simpanan Suamiku   3. Suami Pembohong

    "Lebih baik sekarang Mas jujur, untuk siapa buket bunga dan pakaian wanita yang Mas beli tadi sore?" Aku bertanya dengan nada tinggi dan begitu tiba-tiba. Mas Abdu sontak kaget dan menatapku dengan wajah yang tak biasa.Namun, sedetik berikutnya wajah Mas Abdu berubah sinis. "Oh, bagus! Ternyata benar dugaan saya." Mas Abdu buka suara, sedikit menunduk kemudian membuka laci meja kerja di depannya. Dia mengeluarkan buket bunga yang tadi kulihat dan juga sebuah kado terikat pita merah jambu."Sengaja saya simpan. Rencananya buat kejutan nanti malam. Tepat di hari ulang tahun pernikahan kita." Selesai berbicara rahang Mas Abdu mengeras. Jika sedang marah dia akan menyebut dirinya dengan kata ‘saya’.Tanganku yang sejak awal berkacak pinggang, seketika terhempas ke sisi badan. Syok tentu saja. Rasa cemburu telah membuatku lupa segalanya, termasuk ulang tahun pernikahan kami yang jatuh pada hari esok.Rasa bersalah membuatku jadi salah tingkah. Apalagi saat me

  • Wanita Simpanan Suamiku   4. Nomor Asing

    Aku berdiri di sisi tempat cucian piring. Tanganku bertumpu pada tepiannya. Aku sedikit termenung sebab masih terngiang di pikiran perihal omongan Bu RT saat di warung sayur tadi pagi. Meski sudah berusaha seolah tidak terjadi apa-apa, tetap saja hatiku gundah saat ini.Bahkan untuk melakukan kegiatan yang kusuka saja—yaitu memasak—aku sedikit malas-malasan. Biasanya dengan semangat, aku selalu mencari resep menu-menu baru di internet untuk kusajikan buat putra semata wayangku, Taksa.Sayur oyong yang kubeli tadi, tergeletak di atas meja makan, masih berada di dalam kantong plastik bersama bahan-bahan yang lain. Melangkah ke meja makan, kutarik salah satu kursi lalu duduk di sana.Melirik ke jam dinding dapur, kulihat pukul sepuluh kurang lima belas menit. Aku mengembuskan napas berat. Sebentar lagi aku harus menjemput Taksa dari sekolahnya. Mana sempat memasak kalau begini.Meraih kantong plastik belanjaan tadi, kubawa menuju kulkas. Membuka pintunya, ke

  • Wanita Simpanan Suamiku   5. Mendatangi Freya

    "Kenapa Mas nggak cerita padaku bahwa Mas sudah bertemu dengan Freya?" Aku menunjukkan foto yang terpampang di aplikasi W******p.Melihat foto yang terpampang di ponselku, raut wajah Mas Abdu berubah. Dia menelan ludah kemudian dia segera mengambil duduk di sofa single di hadapanku."Mama dapat foto itu dari mana?" Jakunnya terlihat naik turun, pertanda dia menelan ludah berkali-kali dan gugup."Sebuah nomor asing mengirimkannya tadi siang," jawabku ketus. "Apa Mas bisa mengelak lagi setelah melihat foto ini?""Bukan begitu, Ma." Mas Abdu berhenti sejenak. "Kami memang bertemu. Itu pun hanya sekali. Freya meminta tolong pada Papa untuk memeriksa listrik di rumahnya. Saat itu Papa sedang makan siang seorang diri dan kami nggak sengaja bertemu." Mas Abdu menunduk, menatap kaki meja di depannya. Hah! Kelihatan sekali jika dia sedang berbohong. Omongannya berbelit-belit."Kenapa nggak menghubungi admin kantor saja, Mas? Kenapa Mas yang harus menangani

  • Wanita Simpanan Suamiku   6. Pertengkaran Hebat

    Aku mengendarai lagi laju motor ke arah sekolah Taksa dengan benak yang berkecamuk. Di satu sisi aku marah pada Mas Abdu yang sudah mengarang cerita dan kebohongan. Di sisi yang lain ada perasaan malu serta rasa bersalah pada diri Freya.Setelah tiba di tanah lapang tepat di depan warung makanan Bu Haji, kuparkirkan motor di sana. Mengunci setang motor, aku melangkah mendekati Mama Joshua yang sedang duduk sendirian."Kok, sendirian, Mama Joshua? Mana yang lain?" tanyaku sembari mengedarkan pandangan.Wanita berusia setengah abad berdarah Batak itu menjawab, "Iya ... yang lain tadi pada pulang. Saya malas pulang, Mama Taksa. Nanggung banget. Lebih baik saya nunggu di sini aja."Aku meraih ponsel di kantong celana, membuka layarnya dan melihat jam digital. Lima belas menit lagi anak-anak akan keluar kelas.Tak lama setelah aku mengambil duduk di sebelah Mama Joshua, seorang ibu-ibu lain datang mendekat dan ikut bergabung. Dia mengendong anaknya yang

  • Wanita Simpanan Suamiku   7. Kisah Masa Lalu Mas Abdu

    "Sekarang katakan padaku, Mas! Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apa yang Mas inginkan?" tanyaku lagi."Aku masih mencintai Freya hingga saat ini, Gauri ...." Mas Abdu berbicara lirih. Tatapannya masih terpaku pada lantai kamar.Tentu saja aku syok mendengar pengakuannya barusan. Bagaikan dentuman gemuruh mengisi seluruh ruang kepalaku. Jika dia mencintai wanita lain, mengapa Mas Abdu menikahiku? Aku pikir hanya aku satu-satunya wanita yang ada di hatinya.Tanpa sadar, langkahku mundur hingga bersandar pada tembok kamar. Aku butuh tempat untuk menopang tubuhku yang tiba-tiba melemas."Maaf, jika kejujuran ini menyakiti hatimu, Gauri." Mas Abdu belum berani menatapku. Aku masih butuh beberapa detik mencerna tiap ucapannya. Setelah mendapati seluruh tenagaku yang meluruh, aku berdiri, melangkah ke arah meja rias di sudut kamar, aku menarik kursinya lalu duduk di situ."Ceritakan padaku semuanya, Mas. Tanpa ada satu pun yang ditutupi. Sehingga aku bi

  • Wanita Simpanan Suamiku   8. Perkenalan

    Lonceng pulang sekolah berbunyi. Abdu gegas berdiri setelah gurunya meninggalkan kelas terlebih dahulu. Ali sudah menunggunya di ambang pintu kelas. Pemuda berambut keriting itu seperti biasa memberi tumpangan untuk Abdu tiap pulang sekolah."Mampir dulu bentar, yuk, ke rumah Dodot." Ali berbicara sambil memutar-mutar gantungan kunci motor di telunjuk kanannya."Mau ngapain?" Abdu bertanya."Nggak ngapa-ngapain, sih. Pengin mampir aja. Udah lama kita nggak kumpul di sana." Ali membetulkan posisi ranselnya."Bentar aja, ya. Nanti Bibi nyariin aku," jawab Abdu."Takut dimarahi, ya?" Ali meledek."Aku cuma nggak mau ribut. Itu aja." Abdu mengedik bahu. Dia berjalan mengiringi langkah Ali ke arah parkiran motor.Setelah Ali menyalakan mesin, mereka berdua naik ke atas kuda besi keluaran tahun 2000 itu, platnya sudah dilepas, berwarna biru dongker dengan list merah jambu. Terkadang Abdu tersenyum sendiri melihat kendaraan milik sahabatnya

  • Wanita Simpanan Suamiku   9. Bersemi

    "Li, aku pinjam motormu, ya?" Abdu berdiri meraih kunci motor Ali yang tergeletak di atas meja ruang tamu rumah Dodot."Mau jemput Freya lagi?" Ali bertanya sambil mengunyah gorengan. "Jadi obat nyamuk lagi, dong, akunya!" Ali menggoda Abdu. Sesungguhnya dia turut senang setelah sosok Abdu berubah menjadi periang. Bukan seperti Abdu yang dulu, minder dan tak bersemangat sebelum bertemu Freya."Kan ada Dodot. Ya, kan, Dot?" Abdu menatap Dodot sambil memakai sepatu di ambang pintu, lalu mengikat talinya menjadi simpul yang rapi.Dodot yang awalnya sedang rebahan di lantai keramik, bergerak bangkit dan duduk, membuat gerakan seolah sedang menyelipkan rambut ke telinga kemudian melambai pada Ali. Sontak Abdu tergelak melihatnya."Apa dosaku, Ya Allah!" Ali bergidik kemudian melempar sebiji cabe rawit tepat mengenai hidung Dodot yang bangir. Dodot tertawa lepas memperdengarkan suara baritonnya.Abdu bersenandung, melangkah ke motor Ali yang terparkir di

  • Wanita Simpanan Suamiku   10. Kado Untuk Freya

    "Tadi malam Laila bilang, Minggu besok katanya si Freya ulang tahun. Gimana kalo party yang direncanakan kita bikin hari itu aja, Du," saran Ali saat dua sahabat itu sedang duduk di sofa ruang tamu rumah Dodot. Seperti biasa, mereka berkumpul sehabis pulang dari sekolah."Ulang tahun? Aku malah nggak tau sama sekali. Freya nggak bilang apa-apa." Abdu menatap Ali serius."Dia bilang ke adikku malah jangan kasih tau ke kamu. Katanya nggak mau merepotkan. Takut kamu kasih kado." Ali mengangkat bahu. "Kayaknya Laila cerita semua tentang kamu, deh. Termasuk kamu nggak pernah dikasih uang saku."Abdu menarik napas. "Seharusnya Laila jangan cerita-cerita mengenai hal itu.""Yah, kan, bagus, Du. Kamu jadi tau kalo Freya nerima kamu karena dia benar-benar tulus." Ali menambahkan. "Banyak pemuda di kampung yang dia tolak, padahal anak orang berduit. Contohnya aja si Luki. Itu tandanya pacarmu itu nggak matre."Abdu termenung. Setelah mengetahui hari ulang ta

Latest chapter

  • Wanita Simpanan Suamiku   51. Menua Bersama

    Suasana bandara ramai seperti biasa. Di antara orang-orang yang berlalu lalang mengejar waktu keberangkatan pesawat mereka, ada sepasang pengantin baru yang berjalan santai ke arah konter check-in keberangkatan.Akan tetapi, ada yang berbeda pada wajah Freya. Dia tidak semringah seperti ketika hendak jalan-jalan atau ke tempat-tempat baru seperti sebelum-sebelumnya. Bibirnya mencebik, raut wajahnya masam, berulang kali dia menggerutu sejak tadi."Mereka yang kasih tiket perjalanan ini sebagai kado pernikahan, eh, malah mereka gak ada kabar. Gimana, sih, padahal gak ada salahnya, kan, cuma nganterin ke bandara doang?"Abdu tersenyum geli sekaligus geleng-geleng kepala mendengarkan gerutuan istrinya. Dia mengecup pelan kepala Freya sembari menepuk-nepuk pundaknya berbalut gemas."Mungkin mereka sibuk, Yank. Kan Gauri lagi ngidam, lagi mabuk-mabuknya. Bisa jadi Ali juga lagi sibuk urus pekerjaan di kantor. Jadi mereka gak sempat antar kita hari ini."

  • Wanita Simpanan Suamiku   50. Pesta Pernikahan

    Puluhan unit tenda terbentang luas memenuhi halaman rumah Freya. Bunga-bunga nan harum dan berwarna-warni ditata sedemikian rupa di tiap sudut: tenda, meja prasmanan, ruang tamu sebagai tempat ijab kabul. Kain-kain serta hiasan yang tergelar bernuansa nilakandi dan abu-abu, warna kesukaan Freya, menjadi tema utama.Di kamarnya, teman dan kerabat terdekat berkerumun, mengobrol bahkan memerhatikan gadis itu yang sedang dihiasi jari-jarinya menggunakan inai instans.Gauri juga berada di sana. Freya memintanya untuk datang, sebab malam ini akan diadakan doa selamat agar acara yang berlangsung esok hari berjalan dengan lancar."Kamu deg-deg'an, gak?" Gauri berbisik di dekatnya.Freya tersipu. "Ya, jelas dong. Duh!" Dia mengembuskan napas panjang. Sebenarnya bukan sejak itu saja, tetapi sedari ketika Freya menerima lamaran Abdu, kekasihnya itu."Santai aja, kan, bukan yang pertama." Gauri terkikik."Ya, kan, beda, Gauri." Freya memutar bola matany

  • Wanita Simpanan Suamiku   49. Kabar yang Ditunggu-Tunggu

    Ali mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Dia sedang mengejar waktu sebab waktu yang dia punya, sungguh terbatas.Berulang kali dia mengerutu atau menekan klakson tak henti-henti ketika ada pengendara lain yang menghalangi jalannya.Ali sangat menyesali keputusannya yang datang terlambat. Andai saja sedari awal dia tidak plin-plan dan menolak semua ajakan-ajakan Lena. Setelah dia berbincang cukup lama dengan Abdu, barulah Ali menyadari, perasaan ragu yang sempat datang ketika bertemu Lena ialah bersifat sementara."Itu cuma rasa penasaranmu aja, Li. Karena kamu dulu menyukai Lena dan gak pernah menjalin hubungan dengannya. Kamu akan sadar mencintai siapa bila orang tersebut pergi meninggalkanmu. Kamu akan merasa baik-baik aja atau nelangsa."Sekarang, itu lah yang Ali rasakan, nelangsa. Ketika Freya datang ke kantornya membawa kabar bahwa Gauri akan pergi meninggalkannya, pikirannya seketika kalut. Hatinya gelisah. Ali sedang tidak baik-baik saja.

  • Wanita Simpanan Suamiku   48. Aksi Freya

    Freya menurunkan standar motor metic-nya di parkiran sebuah kantor berlantai tiga. Gadis berkulit putih itu menyimpan jaket dan helm ke jok motor, sebelum melangkah ke lobi untuk bertanya ke meja resepsionis.Kakinya tanpa ragu melangkah, terbalut rasa geram dan amarah. Sejak mengetahui bahwa Gauri hamil, Freya tidak bisa untuk diam saja. Rasanya merupakan perbuatan zholim jika mengetahui kebenaran tetapi malah tidak melakukan tindakan apa-apa.Freya pun kali ini tidak peduli jika aksinya bakal berujung dengan kemarahan Abdu. Itu urusan nanti saja, yang penting saat ini dia harus segera menemui Ali dan menyampaikan fakta yang sebenarnya.Berdasarkan keterangan dari resepsionis, Ali sedang berada di kantornya. Kebetulan pula dia baru selesai menghadiri rapat. Sebelum petugas resepsionis melarangnya ke kantor Ali, Freya setengah berlari menuju lift yang hendak tertutup.Gadis itu berhasil masuk, meski mendapat sorot tatapan tajam dari beberapa orang yang te

  • Wanita Simpanan Suamiku   47. Kehamilan Gauri

    Ali pulang ke rumah tepat ketika jam dinding menunjuk ke angka tengah malam. Gauri sengaja menunggunya di ruang tengah sembari menonton televisi."Kamu belum tidur?" Ali hendak melangkah ke kamar, tetapi ucapan Gauri menghentikan langkahnya."Bisa bicara sebentar, Mas?" Suaranya datar, tetapi senyuman tipis tak lepas dari bibir Gauri.Ali menurut saja tanpa berkomentar apa-apa. Wajahnya kelihatan kusam dan letih, seperti habis bepergian seharian penuh."Mas seharian bersama Lena, kan?" Gauri tidak ingin basa-basi yang menurutnya sangat membuang-buang waktu dan itu memuakkan jika dilakukan di saat hatinya sedang remuk redam."Ya, maaf, aku gak kasih tau." Ali menghela napas. "Tadi dia memintaku mengantarkannya membeli sesuatu. Barang yang dia cari, susah ditemui. Itu sebabnya sampai malam aku baru pulang."Gauri manggut-manggut, mencoba memahami. "Saking sibuknya, sampai-sampai Mas gak bisa lagi kasih kabar via chat atau telepon ke aku, ya? P

  • Wanita Simpanan Suamiku   46. Keputusan Gauri

    Suasana vila menjadi aneh. Sebab perubahan sikap Gauri dan juga Ali terjadi secara bersamaan. Seharusnya masalah yang menerpa mereka, dibicarakan berdua, tetapi didiamkan saja tanpa adanya jalan keluar.Di sisi Gauri, dia ingin kejelasan, tentang apa hubungan yang terjadi antara suaminya dengan Lena. Mengapa sikapnya tunduk saja ketika ditarik kala di pesta itu, bukankah seharusnya saat itu Ali menemani Gauri, bukannya malah menghilang, malah kepergok tengah berciuman. Meski saat itu Ali tidak tahu, bahwa aksinya sedang dilihat oleh istrinya sendiri.Di sisi Ali, pikirannya dipenuhi peristiwa itu, tentang Lena yang menciumnya secara tiba-tiba. Rasa yang dulu telah terkubur dalam, kini seperti berontak dan menggelitik dadanya. Ali sebenarnya sadar diri bahwa Gauri mencurigai sesuatu, tetapi pria itu lebih memilih untuk diam. Dia kehabisan tenaga untuk berdebat. Dia sedang tidak ingin bertengkar dan malah nanti Lena menjadi pelariannya saja.Sehabis sarapan, merek

  • Wanita Simpanan Suamiku   45. Air Mata Gauri

    Selesai berdansa, Abdu mencari-cari keberadaan Taksa dan juga Gauri. Berulang kali dia berusaha menghubungi ponsel Gauri, tetapi sama sekali tidak ada sahutan.Setelah berkeliling, Abdu mendapati Ali yang tengah duduk melamun di teras vila. "Ali, kamu sendirian? Mana Taksa? Gauri?"Ali mengerutkan dahi. "Mereka gak bersamaku sejak tadi. Dari tadi aku sendirian di sini.""Apa mereka balik ke vila, ya?" Freya menduga. "Kalau gitu, aku cek ke sana dulu, ya, Kak." Gadis itu bergegas pulang. Tubuhnya pun dirasa penat sehabis berdansa dan bermain seharian sejak pagi. Mencari Gauri ke vila sewaan mereka bisa dijadikan alasan untuk melarikan diri dari sana.Freya pun agak kesal. Dia datang ke pesta tersebut, tapi seperti orang asing saja. Tidak ada sesiapa pun yang menyapa. Tidak ibunya Ali, atau Ali sendiri. Freya sudah punya firasat tak baik. Mungkinkah Gauri lebih memilih pulang ketimbang merasakan hal tak enak yang sama seperti dia rasakan?Setiba di v

  • Wanita Simpanan Suamiku   44. Pesta

    Mereka berlima termasuk Taksa berjalan kaki menuju vila sewaan ibunya Ali. Tempat itu tidak terlalu jauh jaraknya, hanya terpisah tiga vila saja.Vila yang disewa ibunya Ali untuk mengadakan pesta ukurannya lebih luas. Halamannya pun luas, bisa menampung sekitar lima puluh orang tamu yang hadir.Tampaknya ibunya Ali niat sekali untuk mengadakan pesta. Cukup terlihat dari dekorasi yang apik, bunga-bunga segar yang menghiasi tiap sudut halaman, dan juga menu makanan yang terhidang terkesan makanan mahal serta mewah.Pihak pengelola vila ternyata juga menyediakan segala perlengkapan jika tamunya hendak mengadakan pesta. Gauri melihat pelayan yang mondar-mandir membawakan minuman atau pun di bagian bersih-bersih memakai seragam hitam-hitam berlabel nama perusahan pengelola vila tersebut."Ali!" Dari sudut halaman, terdengar suara perempuan memanggil. Sontak Ali menoleh ke arah Lena yang berjalan anggun mendekatinya.Gaun malam yang dikenakannya, berwar

  • Wanita Simpanan Suamiku   43. Magdalena

    Ibunya Ali tanpa permisi langsung masuk melangkahkan kaki ke dalam ruangan di mana mereka masih terdiam dan menatap heran. Disusul Magdalena yang berjalan anggun, mengekor di belakangnya. Gadis itu tersenyum manis pada siapa saja yang memandangnya."Kamu gak tau, ya? Mama lagi ajak Lena jalan-jalan. Dia pengin sekali menikmati suasana yang segar dan hijau-hijau. Ya sudah. Mama ajak aja dia ke sini. Mama direkomendasiin temen Mama. Katanya tempat ini lagi viral di I*, kan." Ibunya Ali terus nyerocos tak henti-henti. "Kalau Mama tau kamu juga ke sini, pasti Mama bakal minta jemput dan nebeng mobilmu aja, Li."Tak ada jawaban. Suasana menjadi canggung. Apalagi Ali menjadi pendiam, tidak banyak bunyi. Gauri sungguh penasaran, siapakah gadis itu yang membuat suaminya menjadi salah tingkah dan gugup seketika."Taksa udah makannya?" Suara Abdu mengenyahkan atmosfer yang aneh di antara mereka.Taksa yang baru saja meneguk habis susunya, lantas mengangguk. "Sudah,

DMCA.com Protection Status