Aku mengendarai lagi laju motor ke arah sekolah Taksa dengan benak yang berkecamuk. Di satu sisi aku marah pada Mas Abdu yang sudah mengarang cerita dan kebohongan. Di sisi yang lain ada perasaan malu serta rasa bersalah pada diri Freya.
Setelah tiba di tanah lapang tepat di depan warung makanan Bu Haji, kuparkirkan motor di sana. Mengunci setang motor, aku melangkah mendekati Mama Joshua yang sedang duduk sendirian."Kok, sendirian, Mama Joshua? Mana yang lain?" tanyaku sembari mengedarkan pandangan.Wanita berusia setengah abad berdarah Batak itu menjawab, "Iya ... yang lain tadi pada pulang. Saya malas pulang, Mama Taksa. Nanggung banget. Lebih baik saya nunggu di sini aja."Aku meraih ponsel di kantong celana, membuka layarnya dan melihat jam digital. Lima belas menit lagi anak-anak akan keluar kelas.Tak lama setelah aku mengambil duduk di sebelah Mama Joshua, seorang ibu-ibu lain datang mendekat dan ikut bergabung. Dia mengendong anaknya yang berusia kisaran dua tahun dengan kain batik panjang."Mama Nisa tumben cepat jemput?" Ternyata Mama Joshua mengenalnya dan menyapa."Iya, Mam. Aduuh ... terpaksa saya membawa si bontot menjauh dari rumah," jawab Mama Nisa dengan wajah sedikit pucat."Kenapa gitu, Mam?" tanya Mama Joshua ingin tau.Mama Nisa berjalan semakin mendekat dan berdiri sangat dekat dengan kami yang sedang duduk di bangku panjang. Sambil berbisik dia bilang, "Tetangga saya sebelah rumah teriak-teriak. Berantem sama suaminya. Suaminya ketahuan selingkuh dan istrinya mengamuk membabi buta." Mama Nisa berhenti dan menelan ludah. "Namanya aja tinggal di perumahan yang hanya dibatasi selapis tembok, pasti dengar banget teriakan-teriakan mereka.""Ya ampun ... ngeri kali, Mama Nisa. Nggak ada yang mencegah atau bagaimana kah? Takut nanti terjadi hal yang nggak-nggak." Mama Joshua ikut berkomentar."Selama pertengkaran mereka tadi, si suami nggak banyak bersuara. Hanya istrinya yang bicara sumpah serapah mencaci maki. Itu sebabnya saya pergi bawa anak saya ini. Takut semua ucapan nggak baik itu didengar dan di-copy. Duh ... benar-benar seram, Mam. Semoga nanti pas pulang mereka sudah berhenti bertengkar," jelas Mama Nisa panjang lebar.Aku hanya mendengarkan saja obrolan mereka tanpa sedikit pun ikut berkomentar. Keterangan Mama Nisa mengingatkan aku pada masalahku sendiri.Bagaimana jika aku dan Mas Abdu nanti bertengkar seperti pasangan tetangga Mama Nisa? Pastilah Mas Abdu tersulut emosi setelah dia kucecar dengan bantahan dan bukti dari semua kebohongannya.Aku tidak ingin Taksa mendengar pertengkaran kami. Pastilah tidak baik untuk tumbuh kembangnya. Ah, haruskah aku diam saja di atas semua kebohongan Mas Abdu ini? Aku sungguh bingung. Berilah petunjuk padaku Ya Allah. Aku mengembuskan napas panjang-panjang, tak kudengarkan lagi obrolan antara Mama Joshua dan Mama Nisa. Sebab benakku melanglang buana, memikirkan nasib pernikahanku sendiri.***Mendekati waktu kepulangan Mas Abdu sepulang bekerja, rumah sudah bersih dan tertata rapi. Taksa pun sudah wangi sehabis kumandikan. Menghabiskan waktu sore, seperti kebiasaanku sehari-hari, aku duduk di sofa ruang tamu sembari bermain ponsel.Kali ini Taksa menemaniku sambil bermain bersama beberapa anak tetangga di bawah teras rumah. Setengah jam kami berada di sana, terlihat mobil sedan putih Mas Abdu melaju kencang.Taksa menoleh dan memancarkan raut senang saat melihat kedatangan ayahnya. Dia meloncat-loncat girang tatkala mobil itu sudah memasuki pekarangan rumah kami. "Papa pulang! Papa pulang!" teriak bocah berpipi tembam itu.Namun, yang mengagetkanku, Mas Abdu keluar dari mobil dengan membanting pintunya sangat keras. Wajahnya menyimpan kemarahan seraya menatapku. Bahkan dia mengabaikan putranya yang sudah merentangkan tangan untuk menyambutnya.Bergegas Mas Abdu menghampiriku. Aku berdiri menyambut kedatangannya. "Saya mau bicara dengan kamu!" katanya tiba-tiba sambil berlalu masuk ke dalam kamar kami. Tentu saja hatiku berdetak dan bertanya-tanya, ada apa ini?Namun, aku mencoba tenang, mendekati Taksa merayunya agar dia berhenti bermain. Juga secara halus kubilang pada teman-temannya bahwa hari akan memasuki Magrib. Sebaiknya mereka pulang saja ke rumah. Untungnya mereka nurut, begitu juga Taksa.Setelah menutup pintu depan, aku menggiring Taksa ke kamarnya. Aku memasangkan earphone di telinganya dan membujuk agar dia tidak keluar kamar untuk beberapa waktu.Mengembuskan napas sembari mempersiapkan diri, kuraih grendel pintu kamar lalu membukanya perlahan. Aku mendapati Mas Abdu sedang berkacak pinggang membelakangi masih dengan posisi berdiri."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada datar dan normal. Agar dia tau, aku tidak takut sama sekali padanya.Mas Abdu memutar badan menghadapku, menatapku dengan tajam sembari menaikkan sebelah alisnya. "Apa maksudmu, Gauri? Apa yang kamu inginkan kali ini? Mengapa kamu datangi Freya? Mau ditaruh di mana mukaku sekarang, hah?!" Mas Abdu memberikan rentetan pertanyaan dalam satu tarikan napas.Kamu? Aku tersenyum sinis dalam hati. Dari sapaan 'Mama' menjadi 'Kamu'? Semarah itukah Mas Abdu padaku sampai mengubah sapaan itu?"Menurut Mas apa yang salah? Aku hanya mengunjungi teman lama, apa yang salah dari itu?" Aku menjawab santai."Mengunjungi? Kamu nggak dengar gunjingan para tetangga sekeliling? Mereka bilang kamu sudah melabrak Freya. Mau ditaruh di mana mukaku sekarang?!""Kenapa Mas jadi dengerin omongan tetangga, sih? Tinggal abaikan aja apa susahnya." Aku melangkah santai ke tempat tidur. Namun, sebelum aku sampai ke sana, tiba-tiba Mas Abdu menarik dan mencengkeram lengan kiriku. Membuatku menatapnya sangat dekat. Wajahnya masih dipenuhi raut emosi. Rahangnya berkedut."Dan gara-gara kamu Freya memblokir semua akunku. Bahkan dia tidak mengangkat telepon dariku. Bukan ini yang aku inginkan!" Akhirnya ucapan tak terduga meluncur dari bibirnya.Aku tertawa senang sekali. Seperti baru saja mendapat doorprize. "Oh ... jadi itu penyebab sebenarnya, Mas. Mas nggak malu mengungkapkan itu padaku?" Kini senyum sinis mengembang dari wajahku. "Keceplosan, kan, akhirnya."Dia melepaskan tangannya dari lenganku. "Bukan seperti itu, Gauri. Aku hanya nggak mau hubungan baik yang udah terjalin berakhir begitu aja karena gunjingan orang." Mas Abdu mencari alasan dan suaranya mulai melembut."Jujur aja, Mas. Nggak usah ditutup-tutupi lagi. Sebenarnya apa yang udah terjadi antara Mas dan Freya?" Kali ini suaraku yang agak sedikit meninggi. Namun, masih bisa kutahan. Sebab aku takut tetangga mendengarnya, terlebih Taksa "Aku udah tau kalo Mas bohong. Bahwa Mas yang menghubungi dan mengajak Freya bertemu di luar."Mas Abdu terdiam. Dia mengenyakkan diri di sisi tempat tidur. Kali ini tak ada lagi raut emosinya. Dia menatap lantai kamar, dengan sorot yang berbeda."Mas juga harus tau, aku pun menyimpan rasa malu sehabis bertemu Freya tadi pagi. Aku tau sejak awal bahwa Freya tidak mungkin melakukan hal-hal yang dibicarakan pengunjing di luar sana. Ini semua gara-gara kebohongan Mas sendiri. Apa Mas tau itu?" Kutatap dia yang masih menunduk."Sekarang katakan padaku, Mas! Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang Mas inginkan?" tanyaku lagi."Aku masih mencintai Freya hingga saat ini, Gauri ...." Mas Abdu berbicara lirih. Namun, terdengar jelas, menusuk ke hati dan juga indera pendengaranku.***"Sekarang katakan padaku, Mas! Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apa yang Mas inginkan?" tanyaku lagi."Aku masih mencintai Freya hingga saat ini, Gauri ...." Mas Abdu berbicara lirih. Tatapannya masih terpaku pada lantai kamar.Tentu saja aku syok mendengar pengakuannya barusan. Bagaikan dentuman gemuruh mengisi seluruh ruang kepalaku. Jika dia mencintai wanita lain, mengapa Mas Abdu menikahiku? Aku pikir hanya aku satu-satunya wanita yang ada di hatinya.Tanpa sadar, langkahku mundur hingga bersandar pada tembok kamar. Aku butuh tempat untuk menopang tubuhku yang tiba-tiba melemas."Maaf, jika kejujuran ini menyakiti hatimu, Gauri." Mas Abdu belum berani menatapku. Aku masih butuh beberapa detik mencerna tiap ucapannya. Setelah mendapati seluruh tenagaku yang meluruh, aku berdiri, melangkah ke arah meja rias di sudut kamar, aku menarik kursinya lalu duduk di situ."Ceritakan padaku semuanya, Mas. Tanpa ada satu pun yang ditutupi. Sehingga aku bi
Lonceng pulang sekolah berbunyi. Abdu gegas berdiri setelah gurunya meninggalkan kelas terlebih dahulu. Ali sudah menunggunya di ambang pintu kelas. Pemuda berambut keriting itu seperti biasa memberi tumpangan untuk Abdu tiap pulang sekolah."Mampir dulu bentar, yuk, ke rumah Dodot." Ali berbicara sambil memutar-mutar gantungan kunci motor di telunjuk kanannya."Mau ngapain?" Abdu bertanya."Nggak ngapa-ngapain, sih. Pengin mampir aja. Udah lama kita nggak kumpul di sana." Ali membetulkan posisi ranselnya."Bentar aja, ya. Nanti Bibi nyariin aku," jawab Abdu."Takut dimarahi, ya?" Ali meledek."Aku cuma nggak mau ribut. Itu aja." Abdu mengedik bahu. Dia berjalan mengiringi langkah Ali ke arah parkiran motor.Setelah Ali menyalakan mesin, mereka berdua naik ke atas kuda besi keluaran tahun 2000 itu, platnya sudah dilepas, berwarna biru dongker dengan list merah jambu. Terkadang Abdu tersenyum sendiri melihat kendaraan milik sahabatnya
"Li, aku pinjam motormu, ya?" Abdu berdiri meraih kunci motor Ali yang tergeletak di atas meja ruang tamu rumah Dodot."Mau jemput Freya lagi?" Ali bertanya sambil mengunyah gorengan. "Jadi obat nyamuk lagi, dong, akunya!" Ali menggoda Abdu. Sesungguhnya dia turut senang setelah sosok Abdu berubah menjadi periang. Bukan seperti Abdu yang dulu, minder dan tak bersemangat sebelum bertemu Freya."Kan ada Dodot. Ya, kan, Dot?" Abdu menatap Dodot sambil memakai sepatu di ambang pintu, lalu mengikat talinya menjadi simpul yang rapi.Dodot yang awalnya sedang rebahan di lantai keramik, bergerak bangkit dan duduk, membuat gerakan seolah sedang menyelipkan rambut ke telinga kemudian melambai pada Ali. Sontak Abdu tergelak melihatnya."Apa dosaku, Ya Allah!" Ali bergidik kemudian melempar sebiji cabe rawit tepat mengenai hidung Dodot yang bangir. Dodot tertawa lepas memperdengarkan suara baritonnya.Abdu bersenandung, melangkah ke motor Ali yang terparkir di
"Tadi malam Laila bilang, Minggu besok katanya si Freya ulang tahun. Gimana kalo party yang direncanakan kita bikin hari itu aja, Du," saran Ali saat dua sahabat itu sedang duduk di sofa ruang tamu rumah Dodot. Seperti biasa, mereka berkumpul sehabis pulang dari sekolah."Ulang tahun? Aku malah nggak tau sama sekali. Freya nggak bilang apa-apa." Abdu menatap Ali serius."Dia bilang ke adikku malah jangan kasih tau ke kamu. Katanya nggak mau merepotkan. Takut kamu kasih kado." Ali mengangkat bahu. "Kayaknya Laila cerita semua tentang kamu, deh. Termasuk kamu nggak pernah dikasih uang saku."Abdu menarik napas. "Seharusnya Laila jangan cerita-cerita mengenai hal itu.""Yah, kan, bagus, Du. Kamu jadi tau kalo Freya nerima kamu karena dia benar-benar tulus." Ali menambahkan. "Banyak pemuda di kampung yang dia tolak, padahal anak orang berduit. Contohnya aja si Luki. Itu tandanya pacarmu itu nggak matre."Abdu termenung. Setelah mengetahui hari ulang ta
Seorang gadis berkulit putih sedang mematut diri di depan cermin. Dia merapikan rambutnya yang hitam pekat lurus sebahu dengan jemarinya. Berkali-kali dia membetulkan tali pinggang hijau muda yang mempunyai rumbai-rumbai panjang. Kerah baju kaosnya pun tak luput dari perhatiannya.Melangkah keluar kamar kemudian Freya menghampiri ibunya yang sedang duduk di ambang pintu penghubung antara ruang tengah dan dapur."Bu, Freya mau pergi dulu, ya. Ada temen yang bikin acara." Gadis yang duduk di bangku SMP kelas 3 itu pamit pada ibunya sembari mencium tangan."Sendirian atau ada yang jemput?"Freya tersipu menatap ibunya. "Fre dijemput Kak Abdu, Bu.""Pulangnya jangan kesorean, ya. Jangan sampai Magrib," ujar wanita yang menurunkan gen kulit putih ke putrinya itu.Freya melangkah ke ruang tamu, duduk di sofa, menunggu kedatangan Abdu sembari berdebar. Berulang kali dia mengembuskan napas untuk menenangkan rasa gugupnya. Meski sudah sering kali ber
Hingga sore menjelang, Abdu tak jua kunjung datang. Atas bujukan Wulan pula, dia mengajak Freya mampir ke rumahnya yang tak jauh dari rumah Dodot tersebut. Wulan juga berjanji akan mengantar Freya dengan motornya setelah dia menjemput motornya dulu ke rumah.Ali tidak bisa mencegah. Dia membiarkan saja kedua gadis itu pergi menjauh. Pikirannya dipenuhi rasa penasaran atas apa yang telah terjadi antara sahabatnya dan Freya, yang menurutnya sangat janggal. Ali tidak percaya jika Abdu dan Freya bisa bertengkar hebat di satu bulan usia hubungan mereka. Apalagi hari ini gadis itu berulang tahun.Setelah jam 7 malam, baru lah Abdu datang. Baju singletnya basah, kemeja yang semula terpakai rapi, sudah tersampir di bahunya. Wajahnya pun terlihat sangat lelah."Kemana aja, sih, Du? Kenapa kamu pergi ninggalin Freya begitu aja? Kamu tau nggak tadi dia menangis? Apa yang sebenarnya sudah terjadi?" Ali menyambut dengan pertanyaan yang bertubi-tubi."Aku dari kebun da
Abdu menunggu Freya di jalanan setapak, tempat mereka pertama kali bertemu. Dia gelisah sekaligus gugup, takut jika gadis itu tak mau lagi bicara padanya.Satu jam menunggu, gadis yang dia nantikan terlihat melangkah mendekat. Freya berjalan menunduk, tidak menyadari Abdu yang berdiri di hadapannya. Ketika melihat sepasang sepatu Abdu, barulah dia mendongak."Hai!" sapa Abdu kikuk."Kakak nunggu aku? Kebetulan ada sesuatu yang ingin aku sampein ke Kakak." Tak diduga, respons Freya seperti biasa, tersenyum manis."Apa itu?""Sambil jalan, yok!" Freya melanjutkan langkahnya. Abdu nurut, mensejajarkan langkahnya dengan langkah Freya.Beberapa menit mereka melangkah dalam diam. Hingga langkah mereka hampir mencapai ujung jalan setapak itu, Freya berhenti dan menghadapkan badannya ke Abdu."Kak, Steve udah kembali. Beberapa hari yang lalu dia datang padaku."Hening."Jadi ...." Freya tidak melanjutkan. Dia membuang muka saat
Sejak mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi, hingga saat ini aku tidak pernah bertegur sapa dengan Mas Abdu. Aku juga tak pernah lagi memasak di rumah. Aku selalu makan di luar bersama dengan Taksa saja.Sedang Mas Abdu sendiri, juga sama pergi bekerja seperti biasa. Dia pamit dan bermanis muka di depan anak kami setelah itu pulang larut malam, langsung menuju kamar. Meski begitu, dia tetap mentransfer uang ke rekeningku seperti biasa, untuk keperluan rumah tangga dan juga kebutuhan sekolah putranya.Semua pakaian dan barang-barang milikku sudah kupindahkan ke kamar tamu, di waktu Taksa sedang berada di sekolah. Aku tak ingin anakku itu bertanya, mengapa mamanya bertindak demikian.Hari ini aku memiliki sebuah rencana. Aku akan membuntuti Mas Abdu lagi, tapi dengan cara menyamar. Aku sudah menitipkan Taksa pada Mama Joshua. Padanya kubilang, aku ada urusan penting yang harus kuselesaikan seorang diri.Aku juga menukar sementara motor dan meminjam jaket
Suasana bandara ramai seperti biasa. Di antara orang-orang yang berlalu lalang mengejar waktu keberangkatan pesawat mereka, ada sepasang pengantin baru yang berjalan santai ke arah konter check-in keberangkatan.Akan tetapi, ada yang berbeda pada wajah Freya. Dia tidak semringah seperti ketika hendak jalan-jalan atau ke tempat-tempat baru seperti sebelum-sebelumnya. Bibirnya mencebik, raut wajahnya masam, berulang kali dia menggerutu sejak tadi."Mereka yang kasih tiket perjalanan ini sebagai kado pernikahan, eh, malah mereka gak ada kabar. Gimana, sih, padahal gak ada salahnya, kan, cuma nganterin ke bandara doang?"Abdu tersenyum geli sekaligus geleng-geleng kepala mendengarkan gerutuan istrinya. Dia mengecup pelan kepala Freya sembari menepuk-nepuk pundaknya berbalut gemas."Mungkin mereka sibuk, Yank. Kan Gauri lagi ngidam, lagi mabuk-mabuknya. Bisa jadi Ali juga lagi sibuk urus pekerjaan di kantor. Jadi mereka gak sempat antar kita hari ini."
Puluhan unit tenda terbentang luas memenuhi halaman rumah Freya. Bunga-bunga nan harum dan berwarna-warni ditata sedemikian rupa di tiap sudut: tenda, meja prasmanan, ruang tamu sebagai tempat ijab kabul. Kain-kain serta hiasan yang tergelar bernuansa nilakandi dan abu-abu, warna kesukaan Freya, menjadi tema utama.Di kamarnya, teman dan kerabat terdekat berkerumun, mengobrol bahkan memerhatikan gadis itu yang sedang dihiasi jari-jarinya menggunakan inai instans.Gauri juga berada di sana. Freya memintanya untuk datang, sebab malam ini akan diadakan doa selamat agar acara yang berlangsung esok hari berjalan dengan lancar."Kamu deg-deg'an, gak?" Gauri berbisik di dekatnya.Freya tersipu. "Ya, jelas dong. Duh!" Dia mengembuskan napas panjang. Sebenarnya bukan sejak itu saja, tetapi sedari ketika Freya menerima lamaran Abdu, kekasihnya itu."Santai aja, kan, bukan yang pertama." Gauri terkikik."Ya, kan, beda, Gauri." Freya memutar bola matany
Ali mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Dia sedang mengejar waktu sebab waktu yang dia punya, sungguh terbatas.Berulang kali dia mengerutu atau menekan klakson tak henti-henti ketika ada pengendara lain yang menghalangi jalannya.Ali sangat menyesali keputusannya yang datang terlambat. Andai saja sedari awal dia tidak plin-plan dan menolak semua ajakan-ajakan Lena. Setelah dia berbincang cukup lama dengan Abdu, barulah Ali menyadari, perasaan ragu yang sempat datang ketika bertemu Lena ialah bersifat sementara."Itu cuma rasa penasaranmu aja, Li. Karena kamu dulu menyukai Lena dan gak pernah menjalin hubungan dengannya. Kamu akan sadar mencintai siapa bila orang tersebut pergi meninggalkanmu. Kamu akan merasa baik-baik aja atau nelangsa."Sekarang, itu lah yang Ali rasakan, nelangsa. Ketika Freya datang ke kantornya membawa kabar bahwa Gauri akan pergi meninggalkannya, pikirannya seketika kalut. Hatinya gelisah. Ali sedang tidak baik-baik saja.
Freya menurunkan standar motor metic-nya di parkiran sebuah kantor berlantai tiga. Gadis berkulit putih itu menyimpan jaket dan helm ke jok motor, sebelum melangkah ke lobi untuk bertanya ke meja resepsionis.Kakinya tanpa ragu melangkah, terbalut rasa geram dan amarah. Sejak mengetahui bahwa Gauri hamil, Freya tidak bisa untuk diam saja. Rasanya merupakan perbuatan zholim jika mengetahui kebenaran tetapi malah tidak melakukan tindakan apa-apa.Freya pun kali ini tidak peduli jika aksinya bakal berujung dengan kemarahan Abdu. Itu urusan nanti saja, yang penting saat ini dia harus segera menemui Ali dan menyampaikan fakta yang sebenarnya.Berdasarkan keterangan dari resepsionis, Ali sedang berada di kantornya. Kebetulan pula dia baru selesai menghadiri rapat. Sebelum petugas resepsionis melarangnya ke kantor Ali, Freya setengah berlari menuju lift yang hendak tertutup.Gadis itu berhasil masuk, meski mendapat sorot tatapan tajam dari beberapa orang yang te
Ali pulang ke rumah tepat ketika jam dinding menunjuk ke angka tengah malam. Gauri sengaja menunggunya di ruang tengah sembari menonton televisi."Kamu belum tidur?" Ali hendak melangkah ke kamar, tetapi ucapan Gauri menghentikan langkahnya."Bisa bicara sebentar, Mas?" Suaranya datar, tetapi senyuman tipis tak lepas dari bibir Gauri.Ali menurut saja tanpa berkomentar apa-apa. Wajahnya kelihatan kusam dan letih, seperti habis bepergian seharian penuh."Mas seharian bersama Lena, kan?" Gauri tidak ingin basa-basi yang menurutnya sangat membuang-buang waktu dan itu memuakkan jika dilakukan di saat hatinya sedang remuk redam."Ya, maaf, aku gak kasih tau." Ali menghela napas. "Tadi dia memintaku mengantarkannya membeli sesuatu. Barang yang dia cari, susah ditemui. Itu sebabnya sampai malam aku baru pulang."Gauri manggut-manggut, mencoba memahami. "Saking sibuknya, sampai-sampai Mas gak bisa lagi kasih kabar via chat atau telepon ke aku, ya? P
Suasana vila menjadi aneh. Sebab perubahan sikap Gauri dan juga Ali terjadi secara bersamaan. Seharusnya masalah yang menerpa mereka, dibicarakan berdua, tetapi didiamkan saja tanpa adanya jalan keluar.Di sisi Gauri, dia ingin kejelasan, tentang apa hubungan yang terjadi antara suaminya dengan Lena. Mengapa sikapnya tunduk saja ketika ditarik kala di pesta itu, bukankah seharusnya saat itu Ali menemani Gauri, bukannya malah menghilang, malah kepergok tengah berciuman. Meski saat itu Ali tidak tahu, bahwa aksinya sedang dilihat oleh istrinya sendiri.Di sisi Ali, pikirannya dipenuhi peristiwa itu, tentang Lena yang menciumnya secara tiba-tiba. Rasa yang dulu telah terkubur dalam, kini seperti berontak dan menggelitik dadanya. Ali sebenarnya sadar diri bahwa Gauri mencurigai sesuatu, tetapi pria itu lebih memilih untuk diam. Dia kehabisan tenaga untuk berdebat. Dia sedang tidak ingin bertengkar dan malah nanti Lena menjadi pelariannya saja.Sehabis sarapan, merek
Selesai berdansa, Abdu mencari-cari keberadaan Taksa dan juga Gauri. Berulang kali dia berusaha menghubungi ponsel Gauri, tetapi sama sekali tidak ada sahutan.Setelah berkeliling, Abdu mendapati Ali yang tengah duduk melamun di teras vila. "Ali, kamu sendirian? Mana Taksa? Gauri?"Ali mengerutkan dahi. "Mereka gak bersamaku sejak tadi. Dari tadi aku sendirian di sini.""Apa mereka balik ke vila, ya?" Freya menduga. "Kalau gitu, aku cek ke sana dulu, ya, Kak." Gadis itu bergegas pulang. Tubuhnya pun dirasa penat sehabis berdansa dan bermain seharian sejak pagi. Mencari Gauri ke vila sewaan mereka bisa dijadikan alasan untuk melarikan diri dari sana.Freya pun agak kesal. Dia datang ke pesta tersebut, tapi seperti orang asing saja. Tidak ada sesiapa pun yang menyapa. Tidak ibunya Ali, atau Ali sendiri. Freya sudah punya firasat tak baik. Mungkinkah Gauri lebih memilih pulang ketimbang merasakan hal tak enak yang sama seperti dia rasakan?Setiba di v
Mereka berlima termasuk Taksa berjalan kaki menuju vila sewaan ibunya Ali. Tempat itu tidak terlalu jauh jaraknya, hanya terpisah tiga vila saja.Vila yang disewa ibunya Ali untuk mengadakan pesta ukurannya lebih luas. Halamannya pun luas, bisa menampung sekitar lima puluh orang tamu yang hadir.Tampaknya ibunya Ali niat sekali untuk mengadakan pesta. Cukup terlihat dari dekorasi yang apik, bunga-bunga segar yang menghiasi tiap sudut halaman, dan juga menu makanan yang terhidang terkesan makanan mahal serta mewah.Pihak pengelola vila ternyata juga menyediakan segala perlengkapan jika tamunya hendak mengadakan pesta. Gauri melihat pelayan yang mondar-mandir membawakan minuman atau pun di bagian bersih-bersih memakai seragam hitam-hitam berlabel nama perusahan pengelola vila tersebut."Ali!" Dari sudut halaman, terdengar suara perempuan memanggil. Sontak Ali menoleh ke arah Lena yang berjalan anggun mendekatinya.Gaun malam yang dikenakannya, berwar
Ibunya Ali tanpa permisi langsung masuk melangkahkan kaki ke dalam ruangan di mana mereka masih terdiam dan menatap heran. Disusul Magdalena yang berjalan anggun, mengekor di belakangnya. Gadis itu tersenyum manis pada siapa saja yang memandangnya."Kamu gak tau, ya? Mama lagi ajak Lena jalan-jalan. Dia pengin sekali menikmati suasana yang segar dan hijau-hijau. Ya sudah. Mama ajak aja dia ke sini. Mama direkomendasiin temen Mama. Katanya tempat ini lagi viral di I*, kan." Ibunya Ali terus nyerocos tak henti-henti. "Kalau Mama tau kamu juga ke sini, pasti Mama bakal minta jemput dan nebeng mobilmu aja, Li."Tak ada jawaban. Suasana menjadi canggung. Apalagi Ali menjadi pendiam, tidak banyak bunyi. Gauri sungguh penasaran, siapakah gadis itu yang membuat suaminya menjadi salah tingkah dan gugup seketika."Taksa udah makannya?" Suara Abdu mengenyahkan atmosfer yang aneh di antara mereka.Taksa yang baru saja meneguk habis susunya, lantas mengangguk. "Sudah,