"Ini adalah kamar para selir. Kau mungkin akan menjadi salah satunya." Daissy menjawab pertanyaan Evelyn seraya mengajaknya berjalan menuju kamar mandi.
"Kamar selir?" Sontak gadis berambut sebahu itu membulatkan mata. "Majikan sialanmu itu pasti mengidap penyakit kelamin. Dia bergonta-ganti pasangan di atas ranjang semudah menabur bubuk wijen di atas daging panggang. Iya, 'kan?""Cepat masuk, dan jangan banyak omong!" perintah Daissy yang baru saja membukakan pintu kamar mandi untuk Evelyn. "Sementara kau membersihkan diri, aku akan mengambilkan handuk dan menyiapkan pakaian."Banyak pertanyaan muncul di benak Evelyn. Namun, gadis itu menahan lidahnya agar tidak mengeluarkan suara. Walaupun merasa kesal dan curiga secara bersamaan, tapi ia mencoba sabar dan memilih patuh pada perintah Daissy.Selesai mandi, Evelyn diajak ke ruang ganti untuk mengenakan pakaian. Daissy memberinya gaun selutut berpotongan rendah yang kelihatan sangat mahal. Akan tetapi, alih-alih senang dan bangga, Evelyn justru merasa seperti wanita murahan yang hendak melayani nafsu bejad laki-laki hidung belang."Tidak adakah pakaian lain yang lebih baik? Bahkan aku malu melihat bayanganku sendiri di dalam cermin," ujar gadis itu seraya membuang tatapan dari cermin besar di hadapannya.Daissy yang sedang menyisir rambut Evelyn hanya bisa menghela napas panjang. Bukan satu atau dua kali dirinya diberi tugas seperti ini oleh sang majikan. Namun, hari ini adalah yang paling sial karena harus dipertemukan dengan Evelyn yang sering kali menanyakan banyak hal kepadanya."Ini permintaan Tuan Zach," balas Daissy. "Aku tidak mau mati konyol hanya karena menolak perintahnya—kecuali jika kau mau bertanggung jawab menggantikan diriku digantung di atas perapian."Kalimat itu lantas membuat Evelyn berdecih. "Selain licik, ternyata dia juga seorang psikopat," ucapnya."Jangan pernah berurusan dengan keluarga Muller jika kau tidak ingin mati di tangan mereka." Daissy menarik kedua bahu Evelyn agar menghadap ke arahnya. Ia tatap bola mata gadis itu lurus-lurus, lalu kembali berkata, "Keluarga Muller, terutama Tuan Zach, tentu bukanlah lawan sepadan untuk kau jadikan musuh. Aku turut prihatin karena kau baru saja terjebak ke dalam neraka yang dihuni para iblis berkedok manusia. Karena sekali saja kau masuk ke sini, maka tidurmu tidak akan pernah nyenyak lagi, Nona!"Evelyn sempat merinding mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh Daissy. Ia merasa seperti seekor semut yang terjebak di dalam botol berisi sembilan puluh sembilan persen air. Pengap dan sesak.Di tengah obrolan serius tersebut, dua orang pengawal berpakaian serba hitam baru saja mengetuk pintu dan meminta Evelyn untuk segera keluar dari ruang ganti. Kemudian, Evelyn tidak bisa melawan ketika mereka—Joe dan Thomas—menarik tangannya secara paksa dan membawanya entah ke mana."Hey! Berhenti memperlakukanku seperti binatang. Kenapa kalian kasar sekali?!"Ucapan Evelyn sama sekali tidak digubris. Sementara Joe menahan lengan gadis itu, Thomas membuka sebuah pintu dan tubuh Evelyn didorong dengan kasar oleh Joe untuk masuk ke dalam ruangan tersebut.Setelah itu, pintu kembali ditutup dan dikunci dari luar sesuai dengan perintah bos mereka.Dan di sinilah Evelyn sekarang. Terkunci di dalam kamar megah milik seorang mafia penyelundup kokain terbesar di Amerika yang identitasnya tidak diketahui oleh banyak orang. Kebanyakan orang hanya tahu namanya, yaitu Zachary Muller. Tapi mereka sama sekali tidak mengetahui siapa Zachary sebenarnya."Lihatlah! Seorang gadis kecil sedang menatapku dengan penuh kebencian. Apakah aku akan dibunuh jika lengah sedikit saja?" Zach berjalan perlahan menghampiri Evelyn dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana. "Mari kita lihat! Apa kau menyembunyikan belati di balik gaun seksi yang kau kenakan?""JANGAN SENTUH AKU!" bentak Evelyn. Kalimat spontan terucap sebagai bentuk pertahanan diri."WO-HOO .... Gadis kecil ini lebih menakutkan dari yang aku bayangkan." Zach mengangkat kedua tangan sambil tersenyum miring, membuat wajahnya terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dari sebelumnya. Akan tetapi, jangan harap Evelyn akan jatuh ke dalam pesona pria itu yang menyimpan sejuta muslihat."Kau pikir dengan siapa kau berhadapan sekarang?" tanya Zach dengan nada angkuh. "Bayi singa sepertimu tidak mungkin menang melawan harimau dewasa sepertiku," katanya."Maka dari itu bebaskanlah aku! Bukankah terlalu pengecut jika harimau dewasa mengurung bayi singa di wilayah kekuasaannya?"Skakmat!Evelyn berhasil membungkam kesombongan Zach cukup dengan satu kalimat, sehingga pria itu hanya berdiam diri tanpa sepatah kata pun yang meluncur dari bibir merah mudanya.Zach mencoba membunuh Evelyn dengan tatapan yang mematikan. Namun, ia tidak melihat setitik pun rasa takut di balik bola mata seindah rembulan milik gadis itu. Justru yang ada hanyalah raut wajah menantang seperti mengajak perang."Kau memang tidak ada bedanya dengan Victor, sama-sama angkuh dan pemberani.""Tentu saja, karena aku adalah putrinya." Evelyn mengambil langkah mundur ketika Zach terus mendekatkan wajah ke arahnya. Bahkan semakin dekat, hingga nyaris tak ada jarak di antara mereka. Sampai akhirnya ...BRUK!Punggung Evelyn membentur tembok. Tak ada kesempatan baginya untuk menghindari laki-laki berperawakan tinggi tersebut. "Apa yang akan kau lakukan? Pergilah dari hadapanku!"Zach tertawa geli, terdengar seperti iblis di telinga Evelyn. "Ini mansionku, tapi kau bersikap layaknya sedang berada di gubuk pribadimu." Ia menempelkan satu tangan ke dinding, tepat di samping gadis itu."Lalu apa tujuanmu mengurungku di mansion kotormu ini?" tanya Evelyn penasaran. "Kau ingin aku menyerahkan tubuhku padamu?""Untuk dimutilasi?" Zach menaikkan satu alisnya, bicara dengan nada dingin dan mencekam. "Apa aku terlihat seperti psikopat?""Untuk memenuhi hasratmu, brengsek!" ralat Evelyn. "Seperti yang dilakukan para selir yang terjebak di ruangan kotor itu!""Kau terlalu percaya diri." Pria itu mengerling meremehkan ucapan Evelyn. "Atau kau memang berharap aku menidurimu, hm?""Aku sama sekali tidak berharap ditiduri oleh pria bajingan sepertimu!" balas Evelyn dengan nada suara yang sangat tegas."Memangnya laki-laki mana yang mau menyentuh tubuhmu yang tidak menggoda itu!?" ejek bos mafia tersebut dengan nada angkuh. "Gadis sepertimu pantasnya menjadi tukang pijat bagi para wanita simpanan yang kelelahan usai melayaniku semalaman di atas ranjang.""Ide bagus! Lebih baik aku menjadi tukang pijat mereka dibandingkan harus menjadi salah satu bagian dari mereka."Zach mengepalkan kedua tangan. Wajahnya merah padam mendengar ucapan Evelyn yang secara tidak langsung telah merendahkannya. Itu membuat emosi di dalam diri Zach berkobar, sehingga pria itu mencengkeram erat pipi Evelyn dengan sebelah tangan. "Dengar, ya! Kau sama sekali bukan tipeku. Bahkan sekalipun kita tidak berhubungan badan, seharusnya aku yang menolakmu. Bukan sebaliknya! Lagipula, gadis sepertimu tidak pantas bersanding denganku di atas ranjang! Mengerti?!"Napas Evelyn semakin memburu seiring dengan keringat yang mulai bercucuran dari keningnya. Melihat wajah marah Zach tentu saja membuat Evelyn takut. Namun, gadis itu berusaha untuk menyembunyikan ketakutannya. Jangan sampai ia terlihat lemah di hadapan lawan."Jangan bersikap seakan-akan kau paling suci di sini, sedangkan aku adalah si Brengsek yang hobinya merampas kesucian wanita!" pungkas Zach. Evelyn benar-benar mati kata dibuatnya.Di tengah suasana menegangkan tersebut, ponsel di saku celana Zach berdering. Ia pun menepis wajah Evelyn dengan kasar, sebelum akhirnya memeriksa siapa yang menelepon. Kemudian, menempelkan benda pipih itu ke telinga kanan setelah mengusap ke atas ikon berwarna hijau."Halo, Stella?"'Ada masalah, Zach. Edgard ditahan di kantor polisi karena ketahuan menyembunyikan kokain di dalam sepatunya,' ucap seorang wanita yang merupakan lawan bicara Zach di telepon."Kenapa kau panik sekali? Kita sudah sama-sama tahu apa yang harus dilakukan. Ini masalah kecil bagiku." Sambil berdecih remeh, Zach berjalan melewati Evelyn dan mengeluarkan access card dari saku jas, lalu menempelkan kartu pada kontak sensor di sisi tengah pintu—sebelum akhirnya pintu terbuka secara otomatis.Melihat kepergian Zach, Evelyn tentu sangat senang. Tapi bukan berarti ia bisa bernapas lega. Gadis itu tidak tahu berapa lama dirinya harus terjebak di tempat yang baginya sangat kotor dan menjijikkan."Bawa gadis itu ke harem! Ada urusan yang harus aku selesaikan," pesan Zach kepada Joe dan Thomas yang sejak tadi hanya berdiam diri menunggu di depan pintu kamar. "Dan beritahu Daissy, jangan sampai ada satu orang pun yang menyentuh Evelyn, termasuk adik dan kakakku! Aku mau gadis itu merasakan penderitaan yang lebih parah karena sudah berani main-main denganku!""Laksanakan, Tuan!" jawab Joe dan Thomas secara bersamaan. Kompak sekali, karena sudah tak terhitung berapa banyak mereka mengatakan kalimat itu dalam sehari.Zach melangkah semakin jauh, diikuti oleh beberapa pria yang memakai seragam serba hitam—persis seperti Joe dan Thomas. Ia dikawal kurang lebih oleh sepuluh orang yang mengekor di belakang.***Daissy mengajak Evelyn ke harem setelah Joe dan Thomas menyampaikan pesan dari Zach untuknya. Tubuh ramping gadis itu didorong masuk hingga nyaris terjungkal.Ada seorang pria di dalam sana yang sedang sibuk memilih selir. Hingga kemudian, tatapan matanya berpaling ke arah Evelyn yang menurutnya cukup menarik perhatian. "Rupanya ada mainan baru di sini," ucapnya sambil melangkah mendekati Evelyn."Maaf, Tuan, tapi tadi Tuan Zach sudah berpesan kepada saya bahwa siapa pun tidak boleh menyentuh gadis ini—bahkan termasuk Tuan Oliver sekalipun," balas Daissy sesopan mungkin. Ia tak ingin membuat Oliver murka karena tersinggung dengan ucapannya
"Sialan!" Zach mengumpat. Bola matanya bergulir memandang supir di depan sana. "Kembali ke mansion sekarang," titahnya."Laksanakan, Tuan!" Tanpa bicara panjang lebar, supir itu langsung tancap gas menuju ke lokasi yang diinginkan oleh Zach."Siapa itu Evelyn?" tanya Stella di tengah perjalanan."Anak dari Victor Smith, pemilik SMTV.""Kau menjadikannya selir baru di mansion?"Seketika Zach berdecih. "Gadis itu sangat pembangkang dan tidak akan mau dijadikan selir," ujarnya. "Lagipula tubuhnya kurus dan tidak menggiurkan sama sekali. Mana mungkin ada lelaki yang mau tidur dengannya?""Lalu?" Stella terus menginterogasi."Aku ingin membuat Victor menyesal karena sudah menolak menjadi stasiun televisi yang mendukung resmi Zachary Muller," papar Zach. "Maka dari itu, aku sengaja menculik Evelyn untuk memberinya peringatan.""Tapi kenapa kau marah saat mendengar Oliver ingin menjadikan gadis itu sebagai teman penghangat ranjang untuknya?" Stella semakin penasaran. "Jangan katakan kalau kau
Zach berdecih remeh. "Aku bukan menyelamatkanmu, tapi menyelamatkan adikku dari gadis sampah sepertimu. Mana mungkin seorang kakak tega melihat adiknya menjamah perempuan sejelek dan sekurus dirimu?" ejeknya."Bajingan ...." Evelyn melotot geram. Entah sudah berapa kali ia dihina dan dipermainkan oleh Zach—padahal pertemuan mereka belum sampai satu minggu.Sejenak pria berperawakan tinggi itu memperhatikan wajah Evelyn. Ia melihat ada setitik darah yang keluar dari dagu gadis manis tersebut. Refleks Zach mengangkat tangan dan mengusap luka kecil itu pelan-pelan. Darahnya tampak kering dan membeku. "Apa yang sudah Oliver lakukan padamu?" Kali ini ia memandang serius wajah Evelyn.Sontak Evelyn menyingkirkan tangan Zach dari dagunya, lalu berkata, "Jangan pedulikan aku."Zach mengerling sembari terkekeh gusar. Ia bertolak pinggang, mengembuskan napas panjang karena tidak menyangka akan menerima reaksi seburuk itu dari Evelyn. "Padahal aku berniat mengobati lukamu dan sedikit berbaik hati
Seorang wanita sedang berjalan ke arahnya ketika Evelyn menoleh. Satu hal yang dapat dipastikan, Evelyn yakin sekali bahwa wanita itu adalah salah satu selir yang terjebak di harem. Wajahnya tak asing."Namaku Claudia." Wanita itu mengulurkan tangan, mengajak berkenalan. "Sepertinya kita bisa menjadi teman yang baik," imbuhnya.Meskipun sedikit ragu dan tidak minat, tapi pada akhirnya Evelyn mau berjabat tangan dengan Claudia dan tak lupa menyebutkan namanya. "Evelyn."Caludia menyandarkan tubuhnya pada sisi wastafel. Kemudian, melipat kedua tangan di bawah dada. "Jadi, seberapa panas permainan yang kau lakukan di atas ranjang, sampai-sampai Tuan Zach tidak membiarkan pria lain menyentuhmu?" Jujur, ia sangat penasaran sekuat apa daya tarik Evelyn, sehingga Zach tega memukul Oliver hanya karena adik kandungnya itu ingin menjadikan Evelyn sebagai selir."Sialan! Aku bukan jalang," bantah Evelyn. Jika orang lain berpikir bahwa dirinya telah melewati malam yang panas dengan Zach, jelas it
Kabar tentang menghilangnya Victor dan Evelyn benar-benar membuat gempar. Beritanya heboh, semua orang sibuk membahas dan berdiskusi di mana-mana. Terutama Lucas, laki-laki berusia dua puluh delapan tahun yang sudah menyusun rencana untuk menikahi Evelyn dua hari lagi.Isi kepala Lucas nyaris meledak memikirkan di mana Evelyn dan calon ayah mertuanya berada sekarang. Beruntung dia tidak sampai sakit jiwa. Terlebih lagi keluarga besarnya terus menuntut jawaban mengenai bagaimana keputusan Lucas dalam menghadapi hari H.Apakah Lucas harus membatalkan acara yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan tersebut?Sedangkan, undangan telah tersebar di mana-mana. Gedung pernikahan, suvenir, beberapa bintang tamu yang merupakan penyanyi kelas internasional, gaun dan jas, mahar dan masih banyak lagi. Bisa dibilang segalanya telah dipersiapkan dengan tingkat kematangan mencapai sembilan puluh lima persen. Sisanya hanya tinggal menggelar pesta di hari yang ditentukan.Itu semua jelas mengur
Evelyn tidak bisa melawan ketika Zach menyeret paksa dirinya menuju ruang tahanan. Tanpa ampun, laki-laki tak berperikemanusiaan itu mendorong tubuhnya hingga terambau ke lantai semen."Coba saja melarikan diri sekali lagi, aku pasti akan menjadikanmu menu makan malam untuk hewan peliharaanku," ancam Zach yang terkesan tidak main-main.Evelyn mendongak, menatap wajah tegas pria itu dengan perasaan yang sangat kacau. "Mau sampai kapan kau mengurungku? Aku mohon, bebaskan aku ...." Kali ini ia mengalah. Mungkin dengan menurunkan ego dan memohon, pintu hati Zach yang keras dan beku bisa diruntuhkan dengan lebih mudah. Itu pun jika Zach memang benar-benar masih manusia."Tidak ada adegan bertekuk lutut?" tantang Zach seraya memandang rendah sosok Evelyn.Evelyn terbungkam. Selain licik dan manipulatif, rupanya Zachary Muller juga merupakan sosok yang gila hormat. Kalimat permohonan Evelyn dengan segala kerendahan dirinya, ternyata masih belum cukup menggugah hati Zach."Aku hanya ingin mel
Hari semakin gelap. Pada waktu di mana orang lain mungkin sedang terlelap bersama mimpi indahnya, Evelyn terisak diam-diam. Meringkuk seorang diri di atas lantai semen ruang tahanan. Tak ada bantal, selimut, apalagi kasur. Ia telah terjerembap di penjara kecil ini.Dunia sangat jahat dan tidak adil bagi seorang gadis tak bersalah yang hanya ingin bertemu sang ayah dan menikah dengan kekasihnya.Evelyn merasa lapar dan haus. Sejak tubuhnya dilempar ke tempat pengap dan gelap ini tadi siang, tak ada secuil pun makanan yang masuk ke perutnya. Bahkan setetes air pun tidak. Tadi pagi ia juga tidak ikut sarapan bersama para selir karena belum merasa lapar. Jika saja tahu akhirnya akan begini, pasti ia sudah mencuri beberapa makanan di dapur selir.Bukankah orang-orang itu sangat tidak berperikemanusiaan, sehingga tega membiarkannya terkurung seperti anak ayam? Bahkan nasib anak ayam jauh lebih baik karena masih diberi makan dan minum oleh orang yang memeliharanya. Tidak seperti Zach yang kej
"Aku tidak memilih keduanya," jawab Aldrick seraya membalas tatapan Zach dengan sorot mata yang tak kalah mematikan. "Tapi aku juga tidak akan membiarkan diriku menjadi abu-abu, apalagi sampai menyakiti orang lain," sindirnya.Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Aldrick membuat Zach terkekeh sumbang, sebelum akhirnya kembali memandang serius ke arah pria berusia tiga puluh tujuh tahun tersebut. "Kau terlalu naif jika menganggap dirimu tak pernah menyakiti orang lain," ucapnya sambil menunjukkan ekspresi seperti menyimpan luka yang menganga lebar di ulu hatinya. Bahkan tak pernah terobati hingga sekarang."Kau mungkin tidak sadar pernah membuat seorang anak kecil kehilangan harapan dan merasa sangat kesepian di tengah ramainya lingkungan," ucap Zach penuh arti. Kenangan pahit yang ia lalui saat masih berusia delapan tahun telah menyisakan cerita gelap dan pilu yang tak terukur kedalamannya."Tentang perayaan ulang tahunku yang kesepuluh?" Aldrick membawa memorinya untuk kembali menging
Halo, Semuanya!Aku mau nanya, kira-kira ada gak yang masih mau baca novel ini kalau aku bikin S2?Tapi di S2 ini pemeran utamanya bukan Evelyn & Zach, melainkan karakter lain di dalam cerita ini. Nah, kalian mau aku bikin cerita lanjutan tentang perjalanan kisah siapa nih?Ada beberapa pilihan yang bisa kalian pertimbangkan—tentunya dengan konflik berbeda yang nggak kalah seru dan bikin senyum-senyum sendiri.1. Oliver2. Aldrick3. Bryan4. Fathe5. Florez6. Freya7. Atau ada request?Btw, terima kasih banyak buat yang udah baca S1—baik yang baru baca beberapa BAB atau udah sampe selesai. Semoga rezekinya selalu lancar dan berkah, biar bisa top up banyak-banyak dan ikutin terus karya-karya aku yang lain, hehehe. Luv♥️
“Apa yang kau lakukan pada adikku?!”Suara bocah laki-laki dari arah lain berhasil mengalihkan perhatian Bastian dan Freya, membuat keduanya menoleh ke sumber suara, lalu terkejut mendapati Fathe yang sedang menghampiri dengan raut marah tercetak jelas di wajahnya.“Fathe!” Freya bergumam, merasa bala bantuan sudah datang kepadanya.Di belakang Fathe, tampak Florez membuntuti dengan ekspresi khawatir.Ketika Bastian menurunkan kedua tangannya dari sisi tembok, Freya langsung memaanfaatkannya untuk berlari kecil dan bersembunyi di balik punggung Fathe.Fathe menatap tajam Bastian. Satu jarinya terangkat, menunjuk-nunjuk wajah Bastian. “Kau ... jangan sekali-sekali mengganggu adikku lagi, atau aku akan mematahkan kakimu!” ancamnya dengan suara kesal.Bastian terlihat ketakutan. “Ti–tidak, Fathe. Aku tidak berniat mengganggu Freya.” Lutut kakinya terasa lemas sekarang.“Pergi sana, sebelum aku benar-benar akan menghajar wajahmu!” gertak Fathe sambil mengangkat kepalan tangannya.Bastian y
“Kenapa harus menunggu pulang sekolah? Kau bisa mengatakannya sekarang juga. Kebetulan sedang tidak ada Fathe,” ucap Revano.“Benar juga. Ayo! Kau bisa melakukannya, Bastian." Kenzo menyemangati.Bastian diam saja. Namun, isi kepalanya tidak benar-benar diam. Dia sedang berpikir mengenai apa yang harus dilakukan saat ini.“Apa kau takut ketahuan Fathe?” tanya Revano. “Kau dan Freya bisa berteman dulu. Tidak harus langsung menjalin hubungan.”“Bukan,” bantah Bastian yang tidak terima dibilang takut. “Aku hanya khawatir Freya tidak mau berteman denganku.”Revano mengibaskan telapak tangan di depan wajah Bastian. “Tidak mungkin. Aku perhatikan, Freya itu anak yang sangat baik dan berhati lembut. Dia pasti mau berteman dengan siapa saja,” ucapnya mengompori.“Revano benar. Aku bahkan tidak sengaja pernah menabrak Freya, tetapi malah dia yang menyesal dan minta maaf,” beritahu Kenzo.Karena terus didesak oleh kedua temannya, Bastian pun merasa tertantang untuk maju mendekati gadis berpipi c
“Mami, Mami, tadi Fathe mengatakan kalau dia mau memukul orang jahat,” adu Florez yang sedang dipakaikan dasi oleh Evelyn.“Iya, Mami. Papi juga malah mendukung, bukannya menegur,” tambah Freya. Seperti biasa, dia selalu menjadi orang pertama yang selesai mengenakan seragam dibandingkan kedua kakaknya.“Bukan begitu, Mami.” Fathe yang sedang memegang rompi merah itu langsung buka suara, tidak terima atas tuduhan yang telah dilayangkan Florez dan Freya kepadanya. “Aku hanya ingin memukul orang-orang yang bersikap jahat pada mereka.”“Ih, tapi, Mami ... bukankah kita tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain? Nanti Tuhan yang akan membalasnya,” ujar Florez. “Iya, ‘kan, Mi?” tanyanya memastikan.Evelyn menghela napas sejenak. Sudah biasa baginya mendengar perdebatan atau keluh kesah putra-putrinya di pagi hari, dan itu tidak pernah membuatnya merasa kesal.“Iya, betul. Kita memang tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain, tetapi bukan berarti kita harus diam saja pada saat di
Sinar mentari menembus jendela kamar ketika Evelyn menyibak tirai gorden. Sejak pukul setengah lima pagi, dia sudah bangun untuk mandi dan menyiapkan sarapan.Ini adalah hari Senin. Ketiga anak kembarnya akan beraktivitas seperti biasa, yaitu mengikuti program prasekolah yang sudah mereka jalani sejak usia tiga tahun. Jadi, tidak heran kalau Evelyn akan lebih sibuk dibandingkan di tanggal merah.Selain mengurus anak-anak mungil itu, Evelyn juga tidak lupa dengan kewajiban sebagi istri yang harus menyiapkan segala keperluan suami yang juga akan berangkat kerja pagi ini.Masing-masing seragam sudah Evelyn letakkan dengan rapi di atas kasur, lengkap dengan dasi, topi dan kaos kaki, sedangkan beberapa pasang sepatu dia taruh di lantai.Sekarang Evelyn kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Sementara itu, di dalam toilet ....“Papi, aku ingin duduk di sana.” Freya, gadis kecil yang masih memakai baju tidur dengan rambut ikalnya yang sudah berantakan, baru saja mendongak ke arah pria ber
“Siapa yang mau sandwich?” Terdengar suara dari arah lain, dan ternyata itu adalah Alice yang baru saja datang membawakan beberapa sandwich di atas piring.“Aku mau! Aku mau!” Ketiga anak itu berseru, lalu berlari dengan riang gembira menghampiri Alice.Melihat itu, Bryan ikut berlari ke arah Alice. “Ibu, aku mau dua! Untuk Fathe, berikan yang paling kecil dan isinya sedikit saja,” ledeknya.Fathe menoleh sambil mengerucutkan bibir dengan tatapan tajam. “Dasar serakah! Nanti perutmu bisa meledak karena terlalu banyak makan,” katanya, terlihat kesal.Bryan menjawab, “Aku tahu kapan waktunya berhenti makan, tidak seperti ikan hias yang makan banyak melebihi kapasitas perutnya yang kecil.”Fathe merasa tersinggung mendengar kata ‘ikan’. Karena, sebelumnya Bryan mengatai dirinya sekecil ikan hias. “Aku tidak pernah makan terlalu banyak,” ucapnya.“Kau menganggap dirimu seperti ikan?” ledek Bryan. “Padahal aku benar-benar sedang membahas ikan hias. Apa kau tidak tahu, ikan akan makan sebany
Zach tidak mengerti apa maksud dari ucapan Aldrick. “Apa yang kau bicarakan?”Aldrick tampak kikuk. “Apa kau tidak tahu penyebab kenapa Ayah lumpuh?” Justru dia merasa heran, bisa-bisanya Zach tidak tahu alasan yang melatarbelakangi kelumpuhan kaki Jeremy?“Memang apa penyebabnya?”Jujur, Aldrick terkejut, ternyata Zach benar-benar tidak tahu soal itu.“Ayah, apa boleh aku ceritakan?” Aldrick adalah orang yang tahu etika, sehingga dia meminta izin dulu kepada Jeremy.“Silakan,” balas Jeremy. “Kalaupun aku mengatakan tidak, pasti kau tak bisa tidur nyenyak malam ini, karena Zach akan terus mendesakmu untuk bicara.”Sejenak Aldrick terkekeh, lalu mulai menceritakan, “Saat berusia sebelas tahun, kau menjadi korban penculikan. Ayah dan pengawalnya berusaha menyelamatkanmu. Tapi karena dibius, kau tidak sadarkan diri. Kemudian, komplotan penculik itu mengejar mobil yang ditumpangi Ayah dan beberapa pengawalnya, hingga insiden kecelakaan pun terjadi tanpa disangka-sangka.”Zach menjadi pende
Evelyn ikut terharu melihat Zach sudah berbaikan dengan Aldrick. Dia tersenyum manis, bangga kepada anak-anaknya yang telah membuat tembok raksasa pertahanan Zach akhirnya runtuh juga.Setelah itu, Evelyn ikut bergabung dan mereka melangkah bersama-sama menuju taman, mencari keberadaan Jeremy, karena Zach belum meminta maaf pada laki-laki itu.Benar saja. Ternyata Jeremy memang berada di sana, sedang duduk di atas kursi roda sambil memperhatikan Oliver yang sedang memanjat pohon apel, sedangkan Bryan, remaja berusia dua belas tahun itu berdiam diri di bawah pohon apel sambil menyemangati Oliver.“Ayo! Petik apelnya lebih banyak lagi, Paman!” pekik Bryan seraya mendongak memperhatikan setiap gerak-gerik Oliver.“Mami, Papi, bolehkah aku bergabung dengan Bryan dan Paman Oliver?” tanya Florez dengan penuh harap.Evelyn menyahut, “Boleh saja, Sayang, tapi harus minta izin dulu dengan mereka. Jika mereka tidak keberatan, silakan bergabung. Tapi, jika mereka merasa keberatan, kalian tidak pe
Karena didesak ketiga anak kembarnya, mau tidak mau Zach harus menemui kakak dan ayahnya untuk meminta maaf. Karena, sebagai orangtua, dia harus mencontohkan sikap yang baik, benar dan bijaksana.“Ayo, Papiiiiii!” Freya menarik lengan kanan Zach, lalu Florez di sebelah kiri, sedangkan Fathe mendorong tubuhnya dari belakang.Mereka tampak tidak menyerah walaupun Zach memiliki tubuh tinggi besar dan tidak sebanding dengan tubuh miniatur mereka.Zach hanya bisa pasrah menerima perlakuan anak-anaknya. Dia terus berjalan mengikuti ke mana si kembar membawanya pergi.“Paman Aldrick!” Fathe memanggil Aldrick yang sedang berjalan di koridor mansion.Pria itu menoleh, mengernyit melihat ketiga anak itu menghampirinya sambil menyeret Zach dengan tangan mungilnya.Sesekali Aldrick terkekeh geli pada saat menyaksikan Freya dan Florez yang terlihat berjalan mundur untuk bisa menarik tangan Zach dengan tenaga yang lebih besar.“Papi, bisakah berjalan lebih cepat sedikit? Kami hampir kehabisan tenaga