"Aku tidak memilih keduanya," jawab Aldrick seraya membalas tatapan Zach dengan sorot mata yang tak kalah mematikan. "Tapi aku juga tidak akan membiarkan diriku menjadi abu-abu, apalagi sampai menyakiti orang lain," sindirnya.
Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Aldrick membuat Zach terkekeh sumbang, sebelum akhirnya kembali memandang serius ke arah pria berusia tiga puluh tujuh tahun tersebut. "Kau terlalu naif jika menganggap dirimu tak pernah menyakiti orang lain," ucapnya sambil menunjukkan ekspresi seperti menyimpan luka yang menganga lebar di ulu hatinya. Bahkan tak pernah terobati hingga sekarang."Kau mungkin tidak sadar pernah membuat seorang anak kecil kehilangan harapan dan merasa sangat kesepian di tengah ramainya lingkungan," ucap Zach penuh arti. Kenangan pahit yang ia lalui saat masih berusia delapan tahun telah menyisakan cerita gelap dan pilu yang tak terukur kedalamannya."Tentang perayaan ulang tahunku yang kesepuluh?" Aldrick membawa memorinya untuk kembali mengingat momen pada saat itu. "Mau sampai kapan kau terus mengungkitnya? Itu bahkan sudah berlalu dua puluh tujuh tahun yang lalu," tambahnya.Mendengar ucapan Aldrick yang terkesan sangat enteng dan seperti menyepelekan, seketika membuat Zach kehilangan selera makan. Kedua tangannya terkepal erat, menahan emosi yang mulai merajai diri. Bahkan hanya dengan menatap wajahnya saja, semua orang pasti bisa menebak dengan mudah kalau Zach saat ini sedang marah."Tenangkan dirimu ..." bisik Stella seraya mengusap-usap lengan sang suami. Ia tidak ingin melihat keributan di ruang makan, apalagi Zach dan Aldrick masih bersaudara."Tentu saja kau akan mengatakan demikian, karena pada hari itu posisi kita jelas berbeda." Zach berbicara tanpa melepas tatapannya dari bola mata Aldrick sedikit pun. "Kau menjadi pangeran di hari ulang tahunmu, sedangkan aku harus bersembunyi di balik kamar kecil seperti anak gelandangan yang tidak pantas ikut pesta. Bahkan di saat yang lain sedang terlelap, ibuku harus mengendap-endap ke dapur dan rela menjadi pencuri demi melihatku bisa menikmati sepotong kue seperti anak lainnya."Meskipun volume suaranya tidak tinggi, tapi ucapan Zach terdengar sangat tegas dan penuh penekanan. Sampai kapan pun, ia tidak akan pernah melupakan momen menyedihkan itu. Sesuatu yang mungkin sangat sepele, atau bahkan tidak berarti apa-apa bagi orang lain, tetapi sangat membekas di hati Zach hingga menimbulkan dendam yang tak berkesudahan sampai hari ini."Zach, bukankah aku sudah minta maaf padamu? Kenapa tidak kau lupakan saja kejadian itu, lalu kita rajut kembali tali persaudaraan dengan lebih baik?""CUKUP!" bentak Zach yang sudah kepalang kesal. "Apa kau pikir hanya dengan kata maaf semuanya bisa selesai? Bahkan kau tidak tahu seberapa dalam hatiku terluka karena kejadian itu!" hardiknya penuh amarah. "Kau dan ibumu telah merusak kepercayaan diri seorang anak laki-laki berusia delapan tahun pada saat itu. Dan untuk menjadi Zachary Muller ataupun Greyson Muff seperti sekarang, perjalanan hidupku tentu tidaklah mudah. Aku harus merangkak dan tertatih, memunguti satu per satu kepingan hati yang telah kalian banting hingga hancur, juga melewati jalan yang sangat panjang dan melelahkan."Semua orang di ruang makan terbungkam mendengar ucapan Zach yang menggebu-gebu. Bahkan tatapan pria itu seakan mengatakan betapa dirinya ingin sekali membunuh orang dengan kedua tangannya sendiri.Oliver memilih diam dan tetap menjadi pihak netral yang berada di tengah-tengah, karena ia memang belum lahir pada saat itu dan tidak tahu apa-apa.Karena suasana semakin tidak kondusif, Alice menyuruh Bryan masuk ke kamar setelah anak itu selesai makan malam. Ia tak ingin membuat Bryan ketakutan karena harus mendengar orang dewasa bertengkar di hadapannya langsung.Sementara Aldrick merasa lidahnya kelu, Zach kembali membuka suara, "Kau dan ibumu tidak pernah tahu betapa kerasnya aku berjuang! Jadi, sebaiknya kau tidak usah berkomentar tentang apa yang aku lakukan, karena aku tidak membutuhkannya. Dan soal menjadi hitam atau putih, itu sama sekali bukan urusanmu!"Sambil mendengkus, Zach bangkit dari kursi dan melangkah meninggalkan ruang makan bersama amarah yang bergemuruh di balik rongga dada. Ia tidak peduli dengan Stella yang berulang kali memanggil dan memintanya menyelesaikan makan malam.Aldrick sudah membuat suasana hati Zach menjadi kacau-balau dan dipenuhi emosi.***Keesokan paginya, Zach datang ke ruang tahanan demi memastikan apakah Evelyn masih hidup atau mungkin sudah membusuk di dalam penjara kecil tersebut.Tepat di hadapan gadis itu, Zach menghentikan langkahnya. Ia berjongkok, memperhatikan setiap senti lekuk tubuh mungil Evelyn di balik gaun merah marun yang sangat berantakan.Dalam jarak sedekat ini, Zach menemukan sinar yang berbeda pada raut wajah Evelyn. Gadis itu terlihat jauh lebih manis saat terlelap—mungkin karena tidak banyak omong dan membuatnya kesal, sedangkan ketika matanya kembali terbuka, Evelyn selalu mengundang amarah di dalam diri Zach karena sikapnya yang keras kepala dan pembangkang."Apa pun yang terjadi, jangan pernah tanyakan kenapa dunia seakan tidak adil bagimu, bahkan sekalipun kau bukan orang jahat. Asal kau tahu, dunia memang sangat keras dan kejam." Pria itu bergumam, seolah ia sedang mengajak Evelyn berbicara. Padahal ia tahu kalau Evelyn sedang tidur dan tidak bisa mencerna ucapannya.Zach mengangkat tangan kanan, mengarahkannya ke wajah Evelyn. Pelan-pelan ia menjamah pusaran pipi mulus gadis itu, membelainya dengan lembut hingga turun ke bagian bibir tipis yang tampak pucat dan sedikit mengelupas—mungkin efek kekurangan cairan.Sentuhan hangat Zach membuat Evelyn terkesiap, lalu membuka kelopak matanya secara perlahan. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati sosok pria tak berperikemanusiaan tersebut berada tepat di depan matanya. Dengan cepat ia mengubah posisi menjadi duduk dan beringsut menjauhkan tubuhnya dari Zach."Berani sekali kau menyentuhku saat aku sedang tidur," ucap Evelyn diiringi tatapan membunuh. Punggungnya membentur tembok, menyadarkan bahwa ia sudah tidak memiliki ruang untuk berlari dari pria kejam tersebut.Zach yang semula merasa kagum dengan kecantikan Evelyn, juga sedikit iba melihat penderitaan yang gadis itu alami, seketika membuang jauh-jauh kekaguman dan rasa ibanya. Tatapan mata Evelyn yang dikawal kebencian berhasil menghancurkan segala imajinasi liar Zach tentang gadis itu.Alih-alih ingin mereguk bibir merah muda Evelyn, sekarang Zach lebih ingin mencekik batang leher gadis tawanannya tersebut."Aku hanya ingin memastikan apakah kau masih hidup atau sudah menjadi bangkai," ralat Zach. Tak akan ia biarkan Evelyn besar kepala karena mengetahui bahwa dirinya telah menjadi objek paling menarik di mata Zach meskipun hanya beberapa detik."Kau berharap aku mati?" Evelyn berdecih sinis."Tidak," bantah Zach. "Kalau kau mati, aku tidak punya mainan untuk disiksa lagi," imbuhnya."Bahkan sekalipun aku mati, manusia iblis sepertimu pasti akan mencari Evelyn lainnya untuk dipermainkan," sindir gadis berusia dua puluh dua tahun tersebut."Satu-satunya Evelyn yang aku inginkan hanyalah dia yang ada di hadapanku sekarang."Evelyn mengernyit mendengar kalimat ambigu yang baru saja dikatakan oleh Zach."Untuk disiksa, tentu saja," imbuh pria itu.Seketika Evelyn berdecih. "Psikopat!" ujarnya ketus.Pada saat mengalihkan pandangan ke satu sudut, Evelyn melihat Claudia sedang berjalan mendekatinya sambil membawakan beberapa makanan. Sontak hal itu membuat Evelyn terbelalak, karena ia takut Zach mengetahui bahwa Claudia telah mencuri makanan untuk diberikan kepadanya.Claudia tampak kaget ketika menyadari kehadiran Zach di ruang tahanan. Buru-buru ia bersembunyi di balik pilar-pilar mansion yang menjulang tinggi.Zach hampir saja menoleh ke belakang karena merasa curiga dengan tatapan aneh Evelyn yang mengarah ke satu titik. Namun, dengan sigap kedua tangan Evelyn meraup rahang tegas pria itu, lalu memaksa Zach menatap dirinya.Sempat terjadi adegan saling tatap selama beberapa detik. Akan tetapi, Evelyn segera membuang muka ke sembarang arah sambil berdeham demi menutupi kecanggungan."Sekarang siapa di antara kita yang terlihat lebih agresif, hm?" Zach tersenyum miring. Tampan sekali, sehingga membuat pipi Evelyn bersemu merah.Evelyn menarik kedua tangannya menjauh dari rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus tersebut. Entah kenapa ia menjadi salah tingkah, apalagi setelah menyelami bola mata Zach yang dalam dan tajam. Akan tetapi, ia mencoba untuk tetap bersikap netral."Pergilah! Aku tidak ingin melihatmu," ucap Evelyn mengusir secara terang-terangan. Ia sudah mengubah posisi menjadi berdiri.Zach mengerling gusar, lalu ikut berdiri dan semakin mendekat ke arah Evelyn, membuat jantung gadis itu berdegup dua kali lebih cepat karena merasa was-was dan curiga."Akui saja kalau kau memang menginginkanku." Zach kembali merapatkan tubuh Evelyn ke sisi tembok, mengunci pergerakan gadis itu dengan kedua tangannya. "Sekeras apa pun usahamu menyangkal, aku tetap bisa mencium aroma kebohongan yang kau sembunyikan."Postur tubuh Evelyn yang hanya sebatas dadanya membuat Zach harus menundukkan kepala saat menatap wajah mungil gadis itu."Hey! Apa yang kau lakukan?" Evelyn tidak berdaya ketika tangan kekar pria itu menaha
Terdengar teriakan seorang wanita dari kejauhan, membuat Evelyn dan Claudia sangat terkejut. Mereka menoleh, lalu mendapati sosok Daissy yang melangkah semakin dekat."Gawat! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Evelyn panik.Claudia belum sempat menggubris kalimat tanya yang Evelyn ajukan. Karena, saat ini Daissy sudah berdiri tepat di hadapannya."Pantas saja aku cari di mana-mana tidak ada, ternyata kau sedang berbagi makanan dengan Evelyn!" omel Daissy sambil melotot, lalu tanpa belas kasihan ia menjambak kuat-kuat rambut Claudia. "Rasakan akibatnya sekarang!"Claudia meringis menahan sakit, sedangkan Evelyn tidak bisa melakukan apa-apa karena terhalang oleh jeruji."Kau membuatku berada dalam bahaya," ucap Daissy dengan nada marah. Sebab, kalau Zach tahu ada seorang selir yang memberi makanan dan minuman kepada Evelyn, orang pertama yang akan disalahkan tentu adalah dirinya."Ampun! Aku tidak akan mengulanginya lagi," ujar Claudia sambil terisak pelan. Ia berusaha melepaskan tangan
Zach mendengar kabar tentang seorang gadis yang baru saja bunuh diri di ruang tahanan. Ia tahu itu adalah Evelyn, maka buru-buru dirinya melangkah ke tempat kerjadian perkara.Para penjaga, pelayan, bahkan beberapa selir sudah berkumpul di depan jeruji besi, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang berani masuk ke dalam untuk melihat Evelyn lebih dekat. Mereka takut dituduh sebagai pelaku pembunuhan atas apa yang terjadi pada gadis itu. Jadi, daripada harus terlibat masalah, mereka lebih memilih menunggu kedatangan Zach.Dengan wajah panik yang tak dapat disembunyikan, laki-laki dengan postur tubuh tinggi tegap itu segera masuk ke dalam ruang tahanan setelah menyuruh seorang penjaga membuka pintu yang digembok."Kenapa kalian diam saja?!" Zach tidak dapat menahan amarah melihat orang-orang itu hanya bergeming seperti orang bodoh. "Apa kalian sengaja ingin melihatnya mati?!" bentaknya.Kemarahan Zach membuat semua orang ketar-ketir, merasa ketakutan. Kali ini, di balik tubuh yang gemeta
Evelyn mencoba lari menuju kamar mandi di sudut ruangan, berinisiatif untuk mengurung diri dengan menguncinya dari dalam. Akan tetapi, ia tak bisa menepis tangan kekar Zach yang sudah lebih dulu menahan lengannya.Zach membopong Evelyn, lalu melempar tubuh mungil gadis itu ke atas kasur. Membuat Evelyn semakin ketakutan dan memikirkan hal negatif tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.Evelyn merangkak ke sisi kasur. Namun, dengan cepat Zach menarik kakinya hingga kembali ke tengah. Tenaga mereka tentu tidak sebanding."Lepaskan aku!" pekik Evelyn. Ia nyaris frustrasi karena tidak tahu bagaimana harus menghindar.Tanpa menggubris ocehan itu, Zach melompat ke atas kasur dan menaiki tubuh Evelyn. Hal itu membuat Evelyn tidak dapat bergerak di bawah kendali Zach."Hey! Kau tidak boleh melakukan ini padaku," ucap Evelyn yang telapak tangannya sudah dibanjiri keringat dingin. Ia sudah meronta, hanya saja tenaganya tidak cukup kuat."Perhatikan bagaimana manusia paling jahat di muka bumi
Kabar mengejutkan yang terucap dari mulut Tristan sukses membuat sekujur tubuh Zach membeku. Tidak sepatah pun kata keluar dari bibir merah mudanya.Sejenak Zach terdiam. Terpaku. Ia hanya memandang miris wanita di hadapannya yang baru saja ia buat hancur, sehancur-hancurnya ....“Nanti akan aku hubungi kembali,” ucap Zach seraya memutus sambungan secara sepihak.Zach menjauhkan ponsel dari telinga. Entah kenapa, kabar tentang kematian Victor menjadi sesuatu yang sangat menyedihkan bagi pria itu. Ulu hatinya tiba-tiba saja mencelos, terperosok sangat dalam hingga rasanya ia nyaris mati karena tersesat di sebuah jurang yang tidak memiliki oksigen.Apakah ia merasa bersalah terhadap Evelyn yang sudah terlanjur rusak?Lantas bagaimana jika Evelyn tahu bahwa ayahnya baru saja dinyatakan meninggal dunia akibat luka tembakan yang dilakukan oleh anak buah Zach?Bukankah Evelyn akan semakin membenci Zach? Atau mungkin malah menaruh dendam?Kali ini Zach bergerak turun dari kasur, memungut dan
Evelyn merasa kepalanya sangat pusing. Sakit, seperti dihantam oleh beban yang sangat berat. Pelan-pelan ia membuka kelopak mata. Cahaya temaram dari lampu kristal yang menggantung di plafon membuat matanya sedikit menyipit.Ia meringis. Mendesis. Seluruh tubuhnya terasa bagai digiling ke dalam mesin penghancur. Lagi, ingatan tentang dirinya yang sudah dinodai oleh Zach benar-benar membuatnya sangat frustrasi. Ternyata itu bukan mimpi, melainkan fakta pahit yang harus ia telan mentah-mentah.“Syukurlah, akhirnya kau sadar juga.”Suara itu menarik perhatian Evelyn. Ia mendapati sosok Daissy sedang mengambil sesuatu di atas meja di pojok ruangan. Setelah itu, Daissy berjalan menghampirinya.Evelyn masih bergeming. Manik matanya beredar memperhatikan setiap sudut ruangan.Tidak tahu di mana dirinya berada sekarang, satu hal yang paling pasti, Evelyn tahu ini bukan kamar Zach. Bukan tempat kotor yang dipakai oleh si Brengsek itu untuk merampas sesuatu yang paling berharga dari diri Evelyn.
PLAK!Evelyn menundukkan kepala, memegangi bagian yang terasa nyeri akibat satu tamparan keras yang dilayangkan Stella secara dramatis di pipinya. Perih sekali.“Itu peringatan karena kau sudah lancang menggoda suamiku!” Stella tersenyum miring, merasa cukup puas dengan apa yang baru saja ia lakukan kepada perempuan di hadapannya.Dengan mata berkaca-kaca menahan sakit, Evelyn memandang Stella dengan tak kalah sengit. “Aku tidak pernah menggoda suamimu, melainkan dia sendiri yang memaksa agar aku mau berhubungan dengannya.”“Meskipun dia memaksa, bukankah pada akhirnya kau tetap mau juga?”“Sejak awal aku sudah menolaknya, tapi suamimu yang biadab itu sama sekali tidak memberiku ruang untuk menghindar. Dan yang terjadi selanjutnya hanyalah adegan pemerkosaan, yang mana aku sendiri merasa sangat jijik setiap kali mengingatnya,” jawab Evelyn berterus-terang.Stella semakin geram mendengar penjelasan Evelyn. “Omong kosong!” Ia mengepalkan kedua tangan erat-erat. “Kalau sampai suatu saat a
Evelyn terperangah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Zach. Selama beberapa detik, bola mata keduanya saling memandang satu sama lain, seakan sedang berperang siapa di antara mereka yang paling mematikan.“Apa masih belum cukup dengan titik kehancuranku kemarin?” Tatapan Evelyn kini mengendur. Ia sadar, berhadapan dengan Zach tidak akan menghasilkan apa-apa jika keduanya sama-sama keras. “Kenapa aku harus menjadi wanita simpananmu?” tanyanya dengan sabar—mencoba sabar lebih tepatnya.“Karena aku memilihmu,” jawab Zach. Singkat dan padat.Evelyn menggeleng. “Tapi aku tidak mau,” tolaknya seiring dengan tatapan nanar.“Dengan menjadi wanita simpananku, maka tidak ada seorang pun yang berani mengusikmu, apalagi menjadikanmu penghangat ranjang.”“Dan sebagai gantinya, aku harus merelakan diriku ditelanjangi dan dilecehkan setiap malam, demi memenuhi hasrat liarmu di atas ranjang,” tambah Evelyn seraya mengerling dan terkekeh hambar.“Tidak juga,” bantah Zach. Ia melepas tangan Evelyn, m
Halo, Semuanya!Aku mau nanya, kira-kira ada gak yang masih mau baca novel ini kalau aku bikin S2?Tapi di S2 ini pemeran utamanya bukan Evelyn & Zach, melainkan karakter lain di dalam cerita ini. Nah, kalian mau aku bikin cerita lanjutan tentang perjalanan kisah siapa nih?Ada beberapa pilihan yang bisa kalian pertimbangkan—tentunya dengan konflik berbeda yang nggak kalah seru dan bikin senyum-senyum sendiri.1. Oliver2. Aldrick3. Bryan4. Fathe5. Florez6. Freya7. Atau ada request?Btw, terima kasih banyak buat yang udah baca S1—baik yang baru baca beberapa BAB atau udah sampe selesai. Semoga rezekinya selalu lancar dan berkah, biar bisa top up banyak-banyak dan ikutin terus karya-karya aku yang lain, hehehe. Luv♥️
“Apa yang kau lakukan pada adikku?!”Suara bocah laki-laki dari arah lain berhasil mengalihkan perhatian Bastian dan Freya, membuat keduanya menoleh ke sumber suara, lalu terkejut mendapati Fathe yang sedang menghampiri dengan raut marah tercetak jelas di wajahnya.“Fathe!” Freya bergumam, merasa bala bantuan sudah datang kepadanya.Di belakang Fathe, tampak Florez membuntuti dengan ekspresi khawatir.Ketika Bastian menurunkan kedua tangannya dari sisi tembok, Freya langsung memaanfaatkannya untuk berlari kecil dan bersembunyi di balik punggung Fathe.Fathe menatap tajam Bastian. Satu jarinya terangkat, menunjuk-nunjuk wajah Bastian. “Kau ... jangan sekali-sekali mengganggu adikku lagi, atau aku akan mematahkan kakimu!” ancamnya dengan suara kesal.Bastian terlihat ketakutan. “Ti–tidak, Fathe. Aku tidak berniat mengganggu Freya.” Lutut kakinya terasa lemas sekarang.“Pergi sana, sebelum aku benar-benar akan menghajar wajahmu!” gertak Fathe sambil mengangkat kepalan tangannya.Bastian y
“Kenapa harus menunggu pulang sekolah? Kau bisa mengatakannya sekarang juga. Kebetulan sedang tidak ada Fathe,” ucap Revano.“Benar juga. Ayo! Kau bisa melakukannya, Bastian." Kenzo menyemangati.Bastian diam saja. Namun, isi kepalanya tidak benar-benar diam. Dia sedang berpikir mengenai apa yang harus dilakukan saat ini.“Apa kau takut ketahuan Fathe?” tanya Revano. “Kau dan Freya bisa berteman dulu. Tidak harus langsung menjalin hubungan.”“Bukan,” bantah Bastian yang tidak terima dibilang takut. “Aku hanya khawatir Freya tidak mau berteman denganku.”Revano mengibaskan telapak tangan di depan wajah Bastian. “Tidak mungkin. Aku perhatikan, Freya itu anak yang sangat baik dan berhati lembut. Dia pasti mau berteman dengan siapa saja,” ucapnya mengompori.“Revano benar. Aku bahkan tidak sengaja pernah menabrak Freya, tetapi malah dia yang menyesal dan minta maaf,” beritahu Kenzo.Karena terus didesak oleh kedua temannya, Bastian pun merasa tertantang untuk maju mendekati gadis berpipi c
“Mami, Mami, tadi Fathe mengatakan kalau dia mau memukul orang jahat,” adu Florez yang sedang dipakaikan dasi oleh Evelyn.“Iya, Mami. Papi juga malah mendukung, bukannya menegur,” tambah Freya. Seperti biasa, dia selalu menjadi orang pertama yang selesai mengenakan seragam dibandingkan kedua kakaknya.“Bukan begitu, Mami.” Fathe yang sedang memegang rompi merah itu langsung buka suara, tidak terima atas tuduhan yang telah dilayangkan Florez dan Freya kepadanya. “Aku hanya ingin memukul orang-orang yang bersikap jahat pada mereka.”“Ih, tapi, Mami ... bukankah kita tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain? Nanti Tuhan yang akan membalasnya,” ujar Florez. “Iya, ‘kan, Mi?” tanyanya memastikan.Evelyn menghela napas sejenak. Sudah biasa baginya mendengar perdebatan atau keluh kesah putra-putrinya di pagi hari, dan itu tidak pernah membuatnya merasa kesal.“Iya, betul. Kita memang tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain, tetapi bukan berarti kita harus diam saja pada saat di
Sinar mentari menembus jendela kamar ketika Evelyn menyibak tirai gorden. Sejak pukul setengah lima pagi, dia sudah bangun untuk mandi dan menyiapkan sarapan.Ini adalah hari Senin. Ketiga anak kembarnya akan beraktivitas seperti biasa, yaitu mengikuti program prasekolah yang sudah mereka jalani sejak usia tiga tahun. Jadi, tidak heran kalau Evelyn akan lebih sibuk dibandingkan di tanggal merah.Selain mengurus anak-anak mungil itu, Evelyn juga tidak lupa dengan kewajiban sebagi istri yang harus menyiapkan segala keperluan suami yang juga akan berangkat kerja pagi ini.Masing-masing seragam sudah Evelyn letakkan dengan rapi di atas kasur, lengkap dengan dasi, topi dan kaos kaki, sedangkan beberapa pasang sepatu dia taruh di lantai.Sekarang Evelyn kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Sementara itu, di dalam toilet ....“Papi, aku ingin duduk di sana.” Freya, gadis kecil yang masih memakai baju tidur dengan rambut ikalnya yang sudah berantakan, baru saja mendongak ke arah pria ber
“Siapa yang mau sandwich?” Terdengar suara dari arah lain, dan ternyata itu adalah Alice yang baru saja datang membawakan beberapa sandwich di atas piring.“Aku mau! Aku mau!” Ketiga anak itu berseru, lalu berlari dengan riang gembira menghampiri Alice.Melihat itu, Bryan ikut berlari ke arah Alice. “Ibu, aku mau dua! Untuk Fathe, berikan yang paling kecil dan isinya sedikit saja,” ledeknya.Fathe menoleh sambil mengerucutkan bibir dengan tatapan tajam. “Dasar serakah! Nanti perutmu bisa meledak karena terlalu banyak makan,” katanya, terlihat kesal.Bryan menjawab, “Aku tahu kapan waktunya berhenti makan, tidak seperti ikan hias yang makan banyak melebihi kapasitas perutnya yang kecil.”Fathe merasa tersinggung mendengar kata ‘ikan’. Karena, sebelumnya Bryan mengatai dirinya sekecil ikan hias. “Aku tidak pernah makan terlalu banyak,” ucapnya.“Kau menganggap dirimu seperti ikan?” ledek Bryan. “Padahal aku benar-benar sedang membahas ikan hias. Apa kau tidak tahu, ikan akan makan sebany
Zach tidak mengerti apa maksud dari ucapan Aldrick. “Apa yang kau bicarakan?”Aldrick tampak kikuk. “Apa kau tidak tahu penyebab kenapa Ayah lumpuh?” Justru dia merasa heran, bisa-bisanya Zach tidak tahu alasan yang melatarbelakangi kelumpuhan kaki Jeremy?“Memang apa penyebabnya?”Jujur, Aldrick terkejut, ternyata Zach benar-benar tidak tahu soal itu.“Ayah, apa boleh aku ceritakan?” Aldrick adalah orang yang tahu etika, sehingga dia meminta izin dulu kepada Jeremy.“Silakan,” balas Jeremy. “Kalaupun aku mengatakan tidak, pasti kau tak bisa tidur nyenyak malam ini, karena Zach akan terus mendesakmu untuk bicara.”Sejenak Aldrick terkekeh, lalu mulai menceritakan, “Saat berusia sebelas tahun, kau menjadi korban penculikan. Ayah dan pengawalnya berusaha menyelamatkanmu. Tapi karena dibius, kau tidak sadarkan diri. Kemudian, komplotan penculik itu mengejar mobil yang ditumpangi Ayah dan beberapa pengawalnya, hingga insiden kecelakaan pun terjadi tanpa disangka-sangka.”Zach menjadi pende
Evelyn ikut terharu melihat Zach sudah berbaikan dengan Aldrick. Dia tersenyum manis, bangga kepada anak-anaknya yang telah membuat tembok raksasa pertahanan Zach akhirnya runtuh juga.Setelah itu, Evelyn ikut bergabung dan mereka melangkah bersama-sama menuju taman, mencari keberadaan Jeremy, karena Zach belum meminta maaf pada laki-laki itu.Benar saja. Ternyata Jeremy memang berada di sana, sedang duduk di atas kursi roda sambil memperhatikan Oliver yang sedang memanjat pohon apel, sedangkan Bryan, remaja berusia dua belas tahun itu berdiam diri di bawah pohon apel sambil menyemangati Oliver.“Ayo! Petik apelnya lebih banyak lagi, Paman!” pekik Bryan seraya mendongak memperhatikan setiap gerak-gerik Oliver.“Mami, Papi, bolehkah aku bergabung dengan Bryan dan Paman Oliver?” tanya Florez dengan penuh harap.Evelyn menyahut, “Boleh saja, Sayang, tapi harus minta izin dulu dengan mereka. Jika mereka tidak keberatan, silakan bergabung. Tapi, jika mereka merasa keberatan, kalian tidak pe
Karena didesak ketiga anak kembarnya, mau tidak mau Zach harus menemui kakak dan ayahnya untuk meminta maaf. Karena, sebagai orangtua, dia harus mencontohkan sikap yang baik, benar dan bijaksana.“Ayo, Papiiiiii!” Freya menarik lengan kanan Zach, lalu Florez di sebelah kiri, sedangkan Fathe mendorong tubuhnya dari belakang.Mereka tampak tidak menyerah walaupun Zach memiliki tubuh tinggi besar dan tidak sebanding dengan tubuh miniatur mereka.Zach hanya bisa pasrah menerima perlakuan anak-anaknya. Dia terus berjalan mengikuti ke mana si kembar membawanya pergi.“Paman Aldrick!” Fathe memanggil Aldrick yang sedang berjalan di koridor mansion.Pria itu menoleh, mengernyit melihat ketiga anak itu menghampirinya sambil menyeret Zach dengan tangan mungilnya.Sesekali Aldrick terkekeh geli pada saat menyaksikan Freya dan Florez yang terlihat berjalan mundur untuk bisa menarik tangan Zach dengan tenaga yang lebih besar.“Papi, bisakah berjalan lebih cepat sedikit? Kami hampir kehabisan tenaga