"Rafa, lepas sepatu sebelum naik ke tempat tidur! Nathan! Tolong pasang boks Oliv! Mana tas popok ya?" Angeline sibuk mengatur segala sesuatu. Nathan segera membantu memasangkan boks bayi portabel untuk tempat Olivia bermain. Lelaki itu tahu, wanita yang sedang kerepotan harus cepat dibantu sebelum emosinya meledak. "Oke. Beres. Sekarang Oliv sudah bersih dan wangi." Angeline mencium pipi bayinya setelah beres mengganti popok. "Iyuh! What's that smell??" Rafael menjepit hidung. "Kamu ya. Dulu waktu bayi kamu juga pup di popok." Angeline membungkus popok bekas dan membuangnya di tempat sampah. Rafael meringis, tidak tahu bagaimana harus membalas. Dia duduk di atas kasur memandangi adik bayinya yang sedang berceloteh. Baginya Olivia terlihat seperti boneka hidup, tapi boneka yang tidak bisa dimainkan. "Siapa mau berenang?" tanya Nathan. "Aku! Aku mau!" Rafael melonjak kegirangan, lupa kalau ada bayi di dekatnya. "Rafael!" pekik Angeline melihat lutut
Malam begitu pekat tanpa bintang. Hawa dingin menandakan hujan sedang mendekat. Jonathan yang tidak mempedulikan apa pun sedang duduk berselonjor dengan handphone di tangan. "Kamu sedang di mana? Rumahku atau ...?" Terdengar suara Gabriel lewat pengeras suara. "Tentu saja di rumahmu. Untuk apa aku menghabiskan uang bermalam di hotel kalau ada rumah besar kosong untuk ditempati?" Jonathan tersenyum miring. "Ya, ya, baguslah. Setidaknya rumahku tidak akan kemasukan pencuri." "Ada apa? Kau tidak akan menelepon larut malam seperti ini kalau tidak ada hal penting." "Dengar, Rhein Long menghubungiku. Dia menuduhmu menghabisi sekretarisnya," ucap Gabriel datar. Jonathan tertawa terbahak-bahak, "Sialan. Seharusnya kuhabisi dia sebelum keduluan si tua bangka." Terdengar helaan nafas, "Benar bukan kamu yang melakukannya? Kalau begitu aku akan mencegahnya—" "Hei, biarkan penjahat itu beraksi. Akhir-akhir ini aku cukup bosan. Tidak ada kegiatan menantang yang d
Kesibukan pertama Gabriel begitu tiba di rumah adalah membereskan kekacauan yang terjadi, yaitu mengirim bawahan Rhein kembali ke Macau, membersihkan setiap sudut rumah dari sisa-sisa perkelahian, tidak lupa menyemprotkan disinfektan ke seluruh penjuru. "Cih! Memangnya rumahmu diserbu wabah penyakit?" ejek Jonathan yang hanya memakai kaos hitam tanpa lengan. "Don't start." Gabriel memperingatkan. Jonathan pun tidak berkata apa-apa lagi. Sambil menunggu rumah beres, Jonathan dan Gabriel serta para bawahan mengungsi sementara ke rumah Nathan. Gabriel geleng-geleng kepala melihat Jonathan masuk duluan seperti tuan rumah. "Kalau Nathan tahu kamu meminjam motornya tanpa ijin dia akan memukulimu." "Yah, itu yang kuharapkan. Tanpa Nathan tempat ini membosankan." Jonathan mengambil sebotol air mineral di kulkas dan meneguknya. "Akan kuberitahu dia supaya mengirimkan tagihan padamu." "Tagihan apa? Aku belum meminjam istrinya." Jonathan menyeringai. "Hei,
"Pegangan yang kuat," kata Jonathan. "Emm ... di mana?" Samantha celingak-celinguk di atas boncengan. Lelaki itu menghela nafas, kemudian meraih ke belakang. Kedua tangan Samantha ditarik ke depan sampai tubuh wanita itu menabrak punggungnya. Helm yang dia pakai membentur bagian belakang kepala Jonathan. Lelaki itu menggerutu pelan. "Aduh, pelan-pelan kenapa?" protes Samantha. "Seperti ini. Jangan dilepas, oke? Aku mau ngebut." Jonathan menstarter motor—milik Nathan yang dipinjam tanpa ijin. Untung Samantha sudah berpegangan. Motor segera melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalan raya yang sepi. Angin menerpa kencang, tapi Samantha tidak merasa dingin berkat jaket dan helm yang dipakaikan paksa oleh Jonathan, juga karena kehangatan tubuh lelaki itu. Perjalanan cukup jauh ke kost Samantha di sisi utara ibukota. Jonathan menghentikan motor di depan rumah kost yang berlokasi dalam gang. Sontak para penghuni melongok mendengar deru mesin motor yang keras.
Ketika pagi tiba di bagian Barat ibukota ... "Eh, emm ... Selamat pagi." Samantha menyapa canggung saat berpapasan dengan Gabriel di dapur. "Who are you?" Lelaki itu mengernyit. Jonathan muncul menyelamatkan keadaan. Dia mendorong Samantha yang kebingungan ke arah ruang tamu, "Hei. Tunggulah di sana. Aku perlu bicara sebentar dengannya." "Oke." Wanita itu melangkah ragu. Dia merasa seperti berada di tempat dan waktu yang salah. "Mau menjelaskan sesuatu?" sinis Gabriel. "Tidak seperti yang kau pikirkan." "Oh? Memangnya apa yang kupikirkan ketika melihat seorang wanita muda, bahkan kelihatannya lebih muda dari putriku mendadak muncul di rumahku bersamamu? Tunggu dulu. Apakah ini masih rumahku?" cecar Gabriel. Jonathan tertawa, "Damn it, Gabriel. Kau bersikap seperti ayahku." "Kamu mau dengar apa yang dikatakan Nathan saat dia tahu motornya lenyap?" "Aku bisa bertanya sendiri. Sekarang, aku butuh tempat satu malam lagi untuknya." Gabriel me
Seumur-umur warga yang bermukim di sekitar gang tersebut mungkin belum pernah menyaksikan perkelahian ala-ala film action Hollywood terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka. Semua orang menonton dengan suhu tubuh panas-dingin. Aksi Jonathan menghadapi selusin tukang pukul bersenjata tumpul dan tajam terlalu keren. Semua orang bersorak gembira ketika lelaki berpakaian serba hitam itu berdiri angkuh di tengah lawan yang bergelimpangan. Jonathan menyodok orang-orang yang terkapar di tanah dengan ujung sepatu, mendapati bahwa semua lawannya sudah tidak berdaya. Dia sendiri juga bukan tanpa luka, tapi tidak ada yang berakibat fatal, hanya luka lecet di sana-sini. Jonathan mencengkeram rambut si mucikari sampai lelaki itu mengerang kesakitan. Dia bertanya tanpa basa-basi, "Mana kartuku?" "Di dompet," rintih si mucikari yang tidak percaya nasibnya bisa begitu sial. Dia pikir dirinya penjahat yang ditakuti, tapi ternyata ada yang lebih menakutkan! Jonathan menggeledah p
"Hah?" Samantha tampak shock. "Ucapanku kurang jelas?" Jonathan tersenyum geli melihat eskpresi wanita itu. "Harus kurespon sekarang?" "Ya." Samantha mengulum bibir. Dia tidak siap mendengar pernyataan tadi. Apa yang membuat lelaki ini menyukainya? Haruskah dia tersanjung? Bagaimana dengan selisih umur mereka? "Aku pernah menikah, tapi istri dan anakku telah lama tiada. Seperti yang kamu lihat, romantis tidak ada dalam kamusku, dan aku dominan saat bercinta." Jonathan menjelaskan tanpa diminta. Wajah Samantha memerah, "Aku tidak tanya!" "Tapi kamu harus tahu apa yang akan kamu hadapi." Lelaki itu tersenyum menawan. "Tapi, kita baru bertemu kemarin." "Ya. Lalu?" Samantha mengejapkan mata, "Bukankah kita harus saling mengenal dulu sebelum saling menyukai?" "Prosesnya terlalu lama." "Hah?" Samantha ternganga. Apakah lelaki ini ingin semuanya serba instan? Jonathan ingin tertawa melihat ekspresi tersebut, "Sudah selesai makan? Kembal
"Menurutmu aku harus menikahinya?" Jonathan menempelkan kaleng bir di dahi. Gabriel menghela nafas, "Damn it, Jonathan. Apakah waktu membuat otakmu berkarat? Bagaimana kamu memulai hubungan dengan mendiang istrimu? Bukankah hampir serupa?" Lelaki itu termenung. Benarkah? Kenapa dia tidak ingat? Apakah ada serpihan ingatannya yang hilang? "Kamu benar-benar lupa?" Gabriel menatap prihatin. "Mungkin." Jonathan memejamkan mata. Kenangan indah itu sudah tertutup oleh kenangan buruk. "Setidaknya bicarakan baik-baik dengan anak itu. Karena kamu mengalami hal yang menyakitkan bukan berarti orang lain harus mengalaminya juga." "Ya, ya, aku tahu. Simpan nasehat psikologimu untuk orang lain." Gabriel menatap keki, kemudian memutuskan untuk mengabaikan Jonathan. Ada hal lebih penting yang harus dipikirkan, yaitu bagaimana cara mengisolasi kelompok si Tua Rhein dan membekukan kelompok mereka untuk selamanya. Sekian lama duduk tanpa tujuan, Jonathan sudah beberap