"Hah?" Samantha tampak shock. "Ucapanku kurang jelas?" Jonathan tersenyum geli melihat eskpresi wanita itu. "Harus kurespon sekarang?" "Ya." Samantha mengulum bibir. Dia tidak siap mendengar pernyataan tadi. Apa yang membuat lelaki ini menyukainya? Haruskah dia tersanjung? Bagaimana dengan selisih umur mereka? "Aku pernah menikah, tapi istri dan anakku telah lama tiada. Seperti yang kamu lihat, romantis tidak ada dalam kamusku, dan aku dominan saat bercinta." Jonathan menjelaskan tanpa diminta. Wajah Samantha memerah, "Aku tidak tanya!" "Tapi kamu harus tahu apa yang akan kamu hadapi." Lelaki itu tersenyum menawan. "Tapi, kita baru bertemu kemarin." "Ya. Lalu?" Samantha mengejapkan mata, "Bukankah kita harus saling mengenal dulu sebelum saling menyukai?" "Prosesnya terlalu lama." "Hah?" Samantha ternganga. Apakah lelaki ini ingin semuanya serba instan? Jonathan ingin tertawa melihat ekspresi tersebut, "Sudah selesai makan? Kembal
"Menurutmu aku harus menikahinya?" Jonathan menempelkan kaleng bir di dahi. Gabriel menghela nafas, "Damn it, Jonathan. Apakah waktu membuat otakmu berkarat? Bagaimana kamu memulai hubungan dengan mendiang istrimu? Bukankah hampir serupa?" Lelaki itu termenung. Benarkah? Kenapa dia tidak ingat? Apakah ada serpihan ingatannya yang hilang? "Kamu benar-benar lupa?" Gabriel menatap prihatin. "Mungkin." Jonathan memejamkan mata. Kenangan indah itu sudah tertutup oleh kenangan buruk. "Setidaknya bicarakan baik-baik dengan anak itu. Karena kamu mengalami hal yang menyakitkan bukan berarti orang lain harus mengalaminya juga." "Ya, ya, aku tahu. Simpan nasehat psikologimu untuk orang lain." Gabriel menatap keki, kemudian memutuskan untuk mengabaikan Jonathan. Ada hal lebih penting yang harus dipikirkan, yaitu bagaimana cara mengisolasi kelompok si Tua Rhein dan membekukan kelompok mereka untuk selamanya. Sekian lama duduk tanpa tujuan, Jonathan sudah beberap
Pelukan erat Samantha menghangatkan hati Jonathan meskipun hanya dilakukan karena berboncengan di atas motor. Dari kaca spion dia tidak dapat melihat wajah Samantha karena tersembunyi di balik helm. Setibanya di kamar hotel Jonathan membiarkan wanitanya santai, menyesuaikan diri lagi dengan tempat asing. Samantha berjalan mondar-mandir. Matanya melihat koper dan kemeja hitam di rak, juga dua buah sabuk kulit di tempat tidur. Kemudian wanita itu berjalan ke jendela. "Orang di luar dapat melihatmu, Sam." Nafas Samantha tercekat karena dua lengan Jonathan memeluknya dari belakang, "Uhm ... mereka juga dapat melihatmu." "Aku tahu." Tangan Jonathan menjangkau melewati tubuh si wanita untuk menutup tirai. Dengan lembut didorongnya wanita itu bersandar di jendela. Samantha tidak dapat berbuat banyak. Tangan Jonathan melingkar di leher, membuat wajahnya mendongak. Dirasakannya ujung-ujung jari si lelaki memberi sedikit tekanan. Tidak sampai menyakiti atau membuat sulit
Perjalanan cukup jauh ditempuh Samantha untuk tiba di hotel tempat dirinya bermalam. Lalu lintas yang padat membuat perjalanan terasa lebih melelahkan. Saat tiba di tujuan yang diinginkan Samantha adalah melepas lelah. Udara sejuk menyambutnya yang melangkah masuk ke lobby hotel. Samantha masuk ke lift menuju lantai lima. Baru saja hendak membuka pintu kamar yang ditempati kemarin seseorang menarik dan memeluknya. Wanita itu tidak punya energi untuk terkejut. "What took you so long, Sam?" bisik Jonathan begitu dekat telinga wanita itu. Samantha bergidik karena hembusan nafas si lelaki, "Perjalananku jauh." "Dan kenapa masuk ke kamar lain? Aku sudah check-out kamar itu. Tempatmu bersamaku, Sammy." Dengan mudah Jonathan mengangkat tubuh wanita itu dan membawa masuk ke kamarnya sendiri. "Tunggu, aku mau—" Sebelum pintu tertutup rapat Jonathan mendorong wanitanya bersandar di dinding dan mencium penuh kerinduan. Tidak dibiarkannya wanita itu menghindar. "Ah
Sesuai perjanjian setelah mengantar Samantha ke daycare, Jonathan melaju ke rumah Nathan. Perjalanan lumayan jauh karena jalur perjalanannya memutar dari pusat ke utara, baru kemudian ke barat ibukota. Namun, hal itu bukan masalah besar bagi motor sport yang dikendarai. "Uncle Jo!" Rafael yang sedang sarapan melompat turun dari kursi dan berlari ke arah Jonathan. "Astaga ... Rafa! Kalau sedang makan tidak boleh lari-lari!" seru Angeline. Gloria pun geleng-geleng kepala. "Hei, dengar kata Mamamu. Kembali ke meja makan sana." Jonathan tertawa. "Tapi nanti Uncle Jo temani aku berlatih!" seru anak kecil itu. Jonathan menggandeng Rafael kembali duduk dan menatap Angeline, "Kamu harus tanya Mama dulu, boleh tidak?" "Boleeeh. Hari ini Uncle Jo jadi babysitter. Sudah pernah lihat Samantha jaga anak-anak kecil, 'kan?" Angeline kembali sibuk menyuapi Olivia. "Hai, Princess." Jonathan menyapa si bayi kecil. Angeline memukul tangan Jonathan yang hendak meng
"Ugh, pelan-pelan ...." Samantha memejamkan mata karena pergerakan intens di dalam dirinya. "Tidak bisa, Sammy. Ekspresimu membuatku gila," desis Jonathan. Rasa itu membuncah untuk kesekian kalinya, melumpuhkan Samantha. Punggungnya melengkung bak busur dan wajahnya menengadah dengan rintihan tertahan. Sekujur tubuhnya gemetar oleh hentakan yang tidak jua berhenti. Tidak lama mereka berdua mencapai akhir yang sesungguhnya pada waktu bersamaan. "Sial. Aku tidak bisa berhenti," gumam Jonathan. Samantha terengah. Dia tidak yakin bisa bertamu di rumah Angeline dalam keadaan seperti ini. Semua gara-gara Jonathan! "Brengsek, Jo ... kenapa tenagamu ekstra sekali?" keluh Samantha. "Karena aku menemukan wanita yang benar-benar kusukai." Jonathan menyeringai. "Aku lelah sekali ... Nanti tidak ikut ya?" "Dan apa yang akan kamu lakukan di sini sendirian? Merindukanku?" "Uh, percaya diri sekali? Aku mau tidur sampai besok pagi!" Jonathan tertawa, "Oh, co
Sebenarnya Samantha sedang malas berdekatan dengan Jonathan, tapi dia bisa berpegangan di mana saat berboncengan di motor? Apalagi lelaki itu memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Samantha hanya bisa berdoa semoga mereka tiba di tujuan dengan selamat. Begitu motor berhenti di tempat parkir Samantha segera melompat turun dari boncengan. Dia melepas helm dan menyerahkannya pada Jonathan. Tanpa menunggu lelaki itu dia berjalan pergi. "Sammy, tunggu." Jonathan bergegas. Ragu, Samantha memperlambat langkahnya. Jonathan meraih lengan wanita itu dan mereka pun bergandengan sampai tujuan. Begitu masuk ke dalam kamar Samantha berusaha melepaskan diri. Namun, genggaman si lelaki begitu kuat. Dia tidak kuasa melawan saat Jonathan mendorongnya ke tempat tidur. Masih enggan berdekatan, Samantha berusaha bangkit. Jonathan mengungkungnya hingga tak dapat bergerak. Mereka bertatapan dengan perasaan yang berbeda. "Sekarang aku tahu, kamu akan melarikan diri jika ada masa
"Berarti sudah cukup lama kamu tinggal di sini?" tanya Samantha yang asyik menikmati angin sepoi-sepoi di teras. "Beberapa tahun antara Jakarta Labuan Bajo." Sebaliknya, Jonathan tidak tertarik dengan keindahan alam. Hanya pada wanita berambut sebahu di hadapannya. "Oh ya? Tapi, sudah jadi Warga Negara Indonesia?" Samantha menoleh, menyadari lelaki itu sedang menatapnya, kemudian kembali—pura-pura—memandang alam. "Apa gunanya kewarganegaraan?" Jonathan bertanya balik. "Banyak lah. Untuk urusan pekerjaan, jaminan kesehatan, hak milik ... Memangnya bisnismu atas nama siapa?" Samantha sengaja tidak menyebut 'untuk menikah'. "Warga lokal." Jonathan tersenyum. Mata Samantha membulat, "Oh ... oke." Sejenak hanya suara debur ombak yang terdengar di atap hotel tersebut. Jonathan tidak sedetik pun mengalihkan pandangan dari Samantha, wanita lugu yang telah menjadi miliknya. "Tinggallah di sini bersamaku, Sammy. Lupakan semua yang terjadi di Jakarta. Kita mul
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu