Sebenarnya Samantha sedang malas berdekatan dengan Jonathan, tapi dia bisa berpegangan di mana saat berboncengan di motor? Apalagi lelaki itu memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Samantha hanya bisa berdoa semoga mereka tiba di tujuan dengan selamat. Begitu motor berhenti di tempat parkir Samantha segera melompat turun dari boncengan. Dia melepas helm dan menyerahkannya pada Jonathan. Tanpa menunggu lelaki itu dia berjalan pergi. "Sammy, tunggu." Jonathan bergegas. Ragu, Samantha memperlambat langkahnya. Jonathan meraih lengan wanita itu dan mereka pun bergandengan sampai tujuan. Begitu masuk ke dalam kamar Samantha berusaha melepaskan diri. Namun, genggaman si lelaki begitu kuat. Dia tidak kuasa melawan saat Jonathan mendorongnya ke tempat tidur. Masih enggan berdekatan, Samantha berusaha bangkit. Jonathan mengungkungnya hingga tak dapat bergerak. Mereka bertatapan dengan perasaan yang berbeda. "Sekarang aku tahu, kamu akan melarikan diri jika ada masa
"Berarti sudah cukup lama kamu tinggal di sini?" tanya Samantha yang asyik menikmati angin sepoi-sepoi di teras. "Beberapa tahun antara Jakarta Labuan Bajo." Sebaliknya, Jonathan tidak tertarik dengan keindahan alam. Hanya pada wanita berambut sebahu di hadapannya. "Oh ya? Tapi, sudah jadi Warga Negara Indonesia?" Samantha menoleh, menyadari lelaki itu sedang menatapnya, kemudian kembali—pura-pura—memandang alam. "Apa gunanya kewarganegaraan?" Jonathan bertanya balik. "Banyak lah. Untuk urusan pekerjaan, jaminan kesehatan, hak milik ... Memangnya bisnismu atas nama siapa?" Samantha sengaja tidak menyebut 'untuk menikah'. "Warga lokal." Jonathan tersenyum. Mata Samantha membulat, "Oh ... oke." Sejenak hanya suara debur ombak yang terdengar di atap hotel tersebut. Jonathan tidak sedetik pun mengalihkan pandangan dari Samantha, wanita lugu yang telah menjadi miliknya. "Tinggallah di sini bersamaku, Sammy. Lupakan semua yang terjadi di Jakarta. Kita mul
Lama sekali Samantha duduk termenung di teras. Dia tidak suka cara Jonathan mengatur dengan siapa dia boleh berteman. Tidak suka sama sekali! Sungguh menyebalkan! Padahal lelaki itu akrab dengan Angeline. Sekarang yang dia pikirkan adalah bagaimana cara terbaik menyampaikan bahwa ada batasan yang tidak boleh diatur lelaki itu? Sementara itu Jonathan juga duduk tak bergerak mengamati Samantha. Dia berpikir sampai kapan wanita itu akan menyepi di teras, dan perlukah dia menyeretnya masuk? Jonathan khawatir wanitanya masuk angin karena hembusan angin laut yang tiada henti. Ketika Jonathan hampir tiba pada keputusan untuk memaksa Samantha masuk, wanita itu berdiri dan berjalan ke dalam ... "Sudah berpikirnya?" tanya Jonathan. "Belum," ketus Samantha. Jonathan meraih tangan Samantha yang berjalan melewatinya dan menarik wanita itu sampai jatuh terduduk di pangkuannya, "Berapa lama lagi?" Samantha menahan dada si lelaki, "Sampai aku menemukan solusi yang tepat."
"Hello, Kakak, Kakak Ipar, dan keponakanku yang manis-manis!" seru Mike begitu menginjakkan kaki di lantai rumah Nathan. Angeline yang sedang memotong beragam buah di counter menoleh, "Hei, Mike. Masih ingat pulang?" Mike tertawa, "Astaga, Kakak. Apakah kedatanganku sudah tidak diharapkan? Tentu saja aku masih ingat Kakak-ku yang cantik ada di Jakarta. Mana Kakak Ipar?" Tepat saat itu Nathan keluar dari kamar dengan Olivia di lengannya, "Suaramu berisik sekali. Seisi komplek bisa mendengar kalau kau sudah pulang." "Kakak Ipar. Aku merindukan ejekanmu." Mike menghampiri Nathan dan memeluknya. "Pergi sana! Hush!" halau Nathan. Mike menghindari tendangan lelaki itu dan bersembunyi di belakang Angeline, "Satu minggu bersama keluarga Cherry benar-benar membuatku bosan. Bukannya aku tidak menghargai mereka, hanya saja kedua orangtuanya terlalu serius." "Tentu saja mereka harus serius. Yang dihadapi 'kan calon menantu, bukan teman anaknya," ujar Angeline. Dia
Keadaan di dalam pesawat jet pribadi Nathan begitu hening. Udara terasa berat dan suram, ditambah pakaian bernuansa hitam para penumpangnya. Nathan tidak melepas genggamannya di tangan Angeline sedetik pun. Wanita itu tidak menunjukkan emosi, tapi Nathan tahu hatinya sedang bergemuruh. Sekitar dua belas orang pengawal pribadi—termasuk Darman—turut serta dalam penerbangan ke Macau. Ya, Nathan tidak mau mengambil resiko terjadi hal yang tidak diinginkan saat membawa istri dan kedua anaknya ke wilayah musuh. Tidak ketinggalan Gloria dan Johan dibawanya serta untuk membantu Angeline yang sedang dalam kondisi berduka. Nathan menatap wajah Angeline. Pucat, tapi sorot matanya masih menunjukkan kekerasan hati. Lelaki itu mencium punggung tangan istri tercintanya dengan lembut, membuat sepasang mata yang menatap kosong teralih padanya. "Nathan ...," lirihnya. "Yes, Baby Girl?" "Aku tidak akan menangis sampai pelakunya ditemukan dan menerima ganjaran," desis Angeline.
Pagi buta ketika Vera tiba di rumah duka, suasana bertambah kelabu karena wanita itu tidak dapat menahan air mata di sisi jasad yang tak bergerak lagi. Sosok yang selama beberapa bulan terakhir mengisi ruang hatinya. Angeline yang telah berjanji untuk tetap tegar menyediakan bahunya menjadi tempat bersandar bagi Vera. Sementara kedua wanita berada di ruang khusus keluarga, Nathan bersama Mike menerima para pelayat yang tak terkira banyaknya. Orang-orang dunia hitam pun tidak kalah banyak, datang memberi penghormatan terakhir bagi Gabriel. Siang hari ketika keramaian sedikit mereda ... Nathan meletakkan tangan di bahu Mike dan berucap, "Istirahatlah sejenak. Kau belum tidur sejak semalam." "Tidak bisa, Kakak Ipar. Aku anak lelaki di keluarga ini. Sudah sepantasnya aku berdiri di sisi papa." Mike tersenyum tipis. Perkataan tersebut tidak dapat dibantah. Nathan pun berjalan menghampiri bawahannya, "Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. Kurasa semalam Jonathan su
Sebuah teriakan pilu disertai derak tulang yang mengerikan membuat perhatian semua orang teralih. Semua mata terbelalak melihat seorang dari antara mereka berdiri kaku dengan kepala menoleh pada sudut yang mengerikan. Tubuh besar itu terjatuh ke lantai. Leher yang patah membuat nyawanya segera tercabut dari raga. "Siapa berikutnya? Menyentuh wanitaku berarti mati," ucap Jonathan dingin. "Kau yang akan mati, Brengsek!" seru seseorang. Jonathan menyeringai, "Bagus. Seperti yang kuharapkan dari anjing peliharaan Rhein." Satu lelaki menyerang dan segera terjatuh ke lantai dengan lengan patah. Melihat itu seorang lelaki menarik Samantha dan menempelkan pisau di lehernya. Wanita itu gemetar merasakan logam yang dingin menekan arteri. "Jangan bergerak atau wanitamu akan mati lebih cepat!!" teriak lelaki itu. Jonathan mengernyit. Pikirannya bekerja cepat memperhitungkan situasi. Jika dalam kondisi normal dia tidak akan terlalu peduli dengan sandera. Namun kali
"Nathan!" Angeline melompat bangun begitu melihat sang suami tercinta kembali ke suite. Dia segera memeluk Nathan. "Hei, Baby Girl." Nathan melirik Samantha yang sedang bermain dengan Rafael. Tampaknya wanita itu pura-pura tidak melihat dirinya dan Jonathan. "Bagaimana situasi di luar sana? Aman?" tanya Angeline. "Aman. Rhein tidak akan mengganggu siapa-siapa lagi," ucap Nathan. "Oh?" Jonathan berjalan melewati pasangan yang sedang berpelukan itu menuju Samantha. Bayangan tubuhnya jatuh menutupi wanita itu seperti gerhana. Tangan besarnya membelai rambut Samantha dengan lembut. "Uncle Jo, wajahmu kenapa?" tanya Rafael. Ketika Jonathan datang membawa Samantha, anak kecil itu masih tertidur. "Jatuh tersandung, Boy." Jonathan tersenyum. "Oh, okay. Hati-hati next time, Uncle." Rafael meringis. "I will." Kemudian lelaki itu memindahkan perhatiannya pada si wanita, "Sammy ... kita kembali ke tempatku." Tidak ada jawaban. "Samantha." "Tidak
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu