Keadaan di dalam pesawat jet pribadi Nathan begitu hening. Udara terasa berat dan suram, ditambah pakaian bernuansa hitam para penumpangnya. Nathan tidak melepas genggamannya di tangan Angeline sedetik pun. Wanita itu tidak menunjukkan emosi, tapi Nathan tahu hatinya sedang bergemuruh. Sekitar dua belas orang pengawal pribadi—termasuk Darman—turut serta dalam penerbangan ke Macau. Ya, Nathan tidak mau mengambil resiko terjadi hal yang tidak diinginkan saat membawa istri dan kedua anaknya ke wilayah musuh. Tidak ketinggalan Gloria dan Johan dibawanya serta untuk membantu Angeline yang sedang dalam kondisi berduka. Nathan menatap wajah Angeline. Pucat, tapi sorot matanya masih menunjukkan kekerasan hati. Lelaki itu mencium punggung tangan istri tercintanya dengan lembut, membuat sepasang mata yang menatap kosong teralih padanya. "Nathan ...," lirihnya. "Yes, Baby Girl?" "Aku tidak akan menangis sampai pelakunya ditemukan dan menerima ganjaran," desis Angeline.
Pagi buta ketika Vera tiba di rumah duka, suasana bertambah kelabu karena wanita itu tidak dapat menahan air mata di sisi jasad yang tak bergerak lagi. Sosok yang selama beberapa bulan terakhir mengisi ruang hatinya. Angeline yang telah berjanji untuk tetap tegar menyediakan bahunya menjadi tempat bersandar bagi Vera. Sementara kedua wanita berada di ruang khusus keluarga, Nathan bersama Mike menerima para pelayat yang tak terkira banyaknya. Orang-orang dunia hitam pun tidak kalah banyak, datang memberi penghormatan terakhir bagi Gabriel. Siang hari ketika keramaian sedikit mereda ... Nathan meletakkan tangan di bahu Mike dan berucap, "Istirahatlah sejenak. Kau belum tidur sejak semalam." "Tidak bisa, Kakak Ipar. Aku anak lelaki di keluarga ini. Sudah sepantasnya aku berdiri di sisi papa." Mike tersenyum tipis. Perkataan tersebut tidak dapat dibantah. Nathan pun berjalan menghampiri bawahannya, "Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. Kurasa semalam Jonathan su
Sebuah teriakan pilu disertai derak tulang yang mengerikan membuat perhatian semua orang teralih. Semua mata terbelalak melihat seorang dari antara mereka berdiri kaku dengan kepala menoleh pada sudut yang mengerikan. Tubuh besar itu terjatuh ke lantai. Leher yang patah membuat nyawanya segera tercabut dari raga. "Siapa berikutnya? Menyentuh wanitaku berarti mati," ucap Jonathan dingin. "Kau yang akan mati, Brengsek!" seru seseorang. Jonathan menyeringai, "Bagus. Seperti yang kuharapkan dari anjing peliharaan Rhein." Satu lelaki menyerang dan segera terjatuh ke lantai dengan lengan patah. Melihat itu seorang lelaki menarik Samantha dan menempelkan pisau di lehernya. Wanita itu gemetar merasakan logam yang dingin menekan arteri. "Jangan bergerak atau wanitamu akan mati lebih cepat!!" teriak lelaki itu. Jonathan mengernyit. Pikirannya bekerja cepat memperhitungkan situasi. Jika dalam kondisi normal dia tidak akan terlalu peduli dengan sandera. Namun kali
"Nathan!" Angeline melompat bangun begitu melihat sang suami tercinta kembali ke suite. Dia segera memeluk Nathan. "Hei, Baby Girl." Nathan melirik Samantha yang sedang bermain dengan Rafael. Tampaknya wanita itu pura-pura tidak melihat dirinya dan Jonathan. "Bagaimana situasi di luar sana? Aman?" tanya Angeline. "Aman. Rhein tidak akan mengganggu siapa-siapa lagi," ucap Nathan. "Oh?" Jonathan berjalan melewati pasangan yang sedang berpelukan itu menuju Samantha. Bayangan tubuhnya jatuh menutupi wanita itu seperti gerhana. Tangan besarnya membelai rambut Samantha dengan lembut. "Uncle Jo, wajahmu kenapa?" tanya Rafael. Ketika Jonathan datang membawa Samantha, anak kecil itu masih tertidur. "Jatuh tersandung, Boy." Jonathan tersenyum. "Oh, okay. Hati-hati next time, Uncle." Rafael meringis. "I will." Kemudian lelaki itu memindahkan perhatiannya pada si wanita, "Sammy ... kita kembali ke tempatku." Tidak ada jawaban. "Samantha." "Tidak
"Jangan khawatir, papa. Kami akan sering berkunjung bersama anak-anak. Tidak ada lagi yang akan mengganggu kami." Angeline kemudian menunduk melihat Rafael, "Say good bye sama grandpa." "Good bye, grandpa," ucap Rafael yang tidak mengerti kenapa kakeknya berada dalam lubang di dinding. Angeline kemudian menggerakkan tangan Olivia dan berbisik, "Good bye, grandpa." Nathan merangkul Angeline, "Saatnya kembali." Mike menoleh, "Ya, benar. Kita sudah cukup lama di sini. Cherry pasti sudah bosan menunggu sendirian di hotel. Hanya sangat disayangkan kejadian kemarin membuat Vera shock sampai dia memutuskan untuk pergi sebelum menjemput abu papa." "Itu haknya. Lagipula dia belum menjadi istri papa, 'kan?" Angeline menunduk. "Setidaknya dia bisa bertahan satu hari lagi untuk menunjukkan itikad baik." Mike mencibir. Angeline tidak berkomentar karena tidak ingin berpihak. Terdengar bunyi dering handphone. Mike meminta maaf dan menepi untuk menerima panggilan t
Malam gemerlap di Macau. Layaknya sebuah kota yang disebut Las Vegas-nya Asia, gedung-gedung yang ada tampil bercahaya bak kunang-kunang. Sayang Angeline tidak ingin menikmati keindahan dunia malam Macau karena baru saja kehilangan seorang ayah. Nathan yang penuh perhatian menghitung sudah berapa kali Angeline menghela nafas sejak tadi sore. Dia memanggil room service untuk membereskan piring-piring makan malam mereka. Tidak lama berselang meja pun bersih dari segala peralatan makan. Kini pasangan itu menemani kedua anak mereka bermain sampai waktunya tidur malam. Ketika suasana kembali hening tanpa celoteh anak kecil dan bayi, Nathan memandangi istrinya yang duduk bersandar di kepala tempat tidur sambil membaca buku. Dia beringsut merapat ke sebelah Angeline. "Hey, Baby Girl. You can cry now," ucap Nathan lembut. Angeline tertegun, "But, why?" "Bukankah pelaku kecelakaan Gabriel sudah mendapat ganjaran? Kamu tidak perlu menahannya lagi." "Iya yah?" Wanita
Tidak sering sepasang mata yang biasanya menyorot dingin itu menatap lembut. Ya, memang tidak semua wanita beruntung bisa melihat sikap yang berbeda dari Jonathan. Namun, wanita ini tidak tenang ditatap sedemikian rupa. Sengaja sekali Samantha menepuk rusuk kiri Jonathan. "Ugh, aku akan pura-pura tidak tahu kalau kamu sengaja melakukannya." Jonathan meringis kesakitan. "Oh, sorry. Kena cederamu ya?" Samantha mengulum senyum. "Sammy, kalau aku tidak cedera kamu tidak akan bisa berjalan besok pagi." Lelaki itu menyeringai. Samantha terkesiap, "Uhm ... sepertinya semua luka lecetmu sudah kubersihkan. Aku simpan ini dulu." "Kenapa terburu-buru?" Secepat elang tangan Jonathan menyambar lengan wanita itu, menahannya untuk tetap duduk di tepi tempat tidur. "Kata dokter jangan banyak bergerak, nanti tulang retak sulit sembuh," keluh Samantha. "Aku tidak akan bergerak, Sammy. Kamulah yang akan bergerak." Mata si wanita membulat, "Ya sudah, aku ke kamar mandi
"Hei, pelan sedikit, Sam. Jangan lupa aku ini pasien." Jonathan menggenggam tangan kekasihnya kuat-kuat agar memperlambat langkah. Samantha menoleh dengan tatapan mengejek, "Pasien apanya? Sudah lupa semalam kamu melakukan apa dan berapa lama?" "Kamu yang menyuruhku minum obat pereda nyeri," sahut Jonathan tidak mau kalah. "Oh, begitu ya? Awas kamu nanti malam," cetus Samantha keki. Lelaki itu tersenyum geli. Dengan satu tarikan kuat tubuh Samantha berada dalam pelukannya. Tatapan mata mereka bertemu, membuat wanita itu terdiam oleh sorotnya yang lembut. "Kamu mengancamku?" ucap Jonathan. Bibir Samantha terbuka dan mengucap lirih, "Tidak." Sudut-sudut bibir si lelaki terangkat membentuk senyuman, "Kamu kuberi ijin untuk melakukannya, Sammy. Hanya kamu." Saat Samantha mengira mereka akan berciuman di tengah jalan, Jonathan melepasnya. Dia sedikit kecewa. "Kirain mau lanjut," gerutunya. "Apa?" Jonathan menunduk agar dapat mendengar lebih jelas