"Hei, pelan sedikit, Sam. Jangan lupa aku ini pasien." Jonathan menggenggam tangan kekasihnya kuat-kuat agar memperlambat langkah. Samantha menoleh dengan tatapan mengejek, "Pasien apanya? Sudah lupa semalam kamu melakukan apa dan berapa lama?" "Kamu yang menyuruhku minum obat pereda nyeri," sahut Jonathan tidak mau kalah. "Oh, begitu ya? Awas kamu nanti malam," cetus Samantha keki. Lelaki itu tersenyum geli. Dengan satu tarikan kuat tubuh Samantha berada dalam pelukannya. Tatapan mata mereka bertemu, membuat wanita itu terdiam oleh sorotnya yang lembut. "Kamu mengancamku?" ucap Jonathan. Bibir Samantha terbuka dan mengucap lirih, "Tidak." Sudut-sudut bibir si lelaki terangkat membentuk senyuman, "Kamu kuberi ijin untuk melakukannya, Sammy. Hanya kamu." Saat Samantha mengira mereka akan berciuman di tengah jalan, Jonathan melepasnya. Dia sedikit kecewa. "Kirain mau lanjut," gerutunya. "Apa?" Jonathan menunduk agar dapat mendengar lebih jelas
Angeline terlompat kaget, tangannya mendekap mulut agar tidak bersuara. Nathan yang duduk di sebelah sang istri cepat melompat ke arah bayangan manusia yang muncul dari pintu belakang rumah. Bayangan yang berperawakan hampir sama dengan Nathan tersebut menghindari sergapan. Angeline menyalakan lampu menerangi seisi rumah. "Brengsek!! Mau apa kau masuk seperti pencuri??" Nathan mendorong bayangan yang ternyata adalah Jonathan dengan kesal. "Hei, telingamu yang tuli. Kami sudah membunyikan bel dan mengetuk pintu berkali-kali, tapi suara film yang kau tonton terlalu keras," balas Jonathan. "Manusia mana yang bertamu larut malam seperti ini??" Nathan melirik ke arah Samantha yang mengintip dari balik pintu, "Membawa wanita sampai larut malam?? Kau benar-benar ...." "Salahkan cuaca buruk yang membuat penerbangan kami tertunda lama. Kalau tidak kami sudah tiba di sini tadi sore," sahut Jonathan. Angeline berdeham, "Kalian tidak punya tempat bermalam?" Jonathan te
"Dan kenapa kau dengan berkata seperti itu?" tanya Nathan serius. "Aku tidak mau mengulangi kesalahan masa lalu." Nathan tahu maksud Jonathan, yaitu kematian istrinya yang mengenaskan di tangan Tuan Besar Mei. "Selalu ada musuh yang bersembunyi dalam kegelapan menungguku lengah dan menganggap dunia sudah damai. Mereka pikir aku tidak akan tahu." Lelaki itu tersenyum. "Kalau kau tahu langsung saja ambil tindakan. Kenapa harus menunggu?" "Untuk itulah aku perlu orang yang bisa kupercaya. Aku dapat bertindak lebih tenang jika Sam ada bersama kalian." Nathan menatap serius, "Kau kira ini tempat penitipan anak? Sepertinya khusus untukmu aku harus men-charge biaya penitipan dan lain-lain." Jonathan menyeringai. Dia tahu meskipun suka mengejek, tapi Nathan dapat diandalkan, "Of course. Just say the number." "Sialan. Kau tidak akan sanggup membayarnya." "Atau begini saja, kalau kau sedang kesulitan aku akan melakukan hal yang sama terhadap Angeline."
Menjelang siang sebuah mobil SUV mewah melaju membawa Angeline, Samantha, dan Olivia menuju sekolah Rafael. "Aku senang Jonathan menitipkanmu di rumah. Ternyata sesekali aku butuh menghabiskan waktu dengan sesama wanita." Angeline tersenyum lebar. "Ah, ya. Bagus." Samantha tidak tahu harus senang atau sedih terhadap kenyataan tersebut. "Jangan sedih. Dia tidak akan melupakanmu. Mungkin ada banyak hal yang harus dia hadapi." Angeline memahami kegalauan wanita di sebelahnya. "Hmm ... mungkin." Samantha berusaha mengesampingkan kelesuan hatinya karena sedang memangku Olivia. Bayi dan anak kecil biasanya peka terhadap suasana hati orang lain. Mobil berhenti di depan sekolah. Angeline mengintip keluar jendela. Tampaknya anak-anak kelas sekolah dasar belum bubar. "Aku bisa minta Nathan menghubunginya kalau kamu mau," usul Angeline. "Tidak usah. Baru satu minggu kok. Mungkin dia memang sedang disibukkan oleh banyak hal," kata Samantha cepat-cepat. "Are you
"Nathan, siapa penculiknya??" Sedari siang Angeline membuntuti sang suami yang sepertinya merahasiakan sesuatu. "Hal itu tidak perlu dipikirkan, Baby Girl. Pikirkan saja aku." Seulas senyum manis menghiasi wajah tampan Nathan. Ekspresi tanpa dosa tersebut tidak membuat rasa penasaran Angeline mereda. Dia malah semakin ingin tahu kenapa Nathan santai saja kala terjadi penculikan di bawah hidungnya. Atau lelaki itu bergerak diam-diam karena tidak ingin membuat sekeluarga khawatir? Karena sebal Angeline mengulurkan tangan untuk mencubit Nathan. Sayang, kali ini gerakannya berhasil dihentikan. "No, stop doing it, Baby Girl," pinta Nathan. Gregetan, Angeline menggunakan tangan yang bebas untuk meneruskan usahanya mencubit lelaki itu. Namun, lagi-lagi berhasil dihentikan. "Istriku sedang bersemangat rupanya?" Nathan menyeringai. Dia memiliki gagasan lain di dalam kepala. "Apa??" Angeline berusaha menarik kedua tangannya yang berada dalam genggaman Nathan, tap
Venue pernikahan di tengah taman mengingatkan akan sebuah adegan pernikahan dalam film bertema vampir yang sempat booming sekian tahun lalu. Pepohonan besar dengan kain-kain sifon serta rangkaian bunga menjuntai membuat para tamu serasa di negeri para peri. Pasangan yang berbahagia berdiri di depan bersama seorang pedeta. Seusai pengucapan janji suci yang diiringi latar musik dari duet violinis, para tamu digiring ke tempat pesta diadakan. Semua orang berbaur dan mengobrol dengan suasana hangat. "Selamat. Adik iparku sudah dewasa." Nathan menyalami Mike. "Thanks, Kakak Ipar." Mike tertawa, "Astaga, aku sudah melewati usia tiga puluh tahun, tentu saja sudah dewasa." Cherry tersenyum malu-malu di sebelah suaminya. Tangan mereka seperti direkatkan dengan lem super, tidak lepas sejak tadi. "Welcome to the club, Mike and Cherry." Angeline—yang sedang kerepotan menggendong Olivia—berucap dengan senyum lebar di wajah. "Thank you, Big Sis. Kalau butuh nasihat aku p
"Oliv? Mana Oliv? Oliviaaa?" "Aku sudah menangkapnya," sahut Nathan yang muncul dari balik counter dapur. "Oke, syukurlah. Untung belum lari ke kolam renang ... Tolong pegang dulu ya, Nath. Aku mau pilihkan baju untuk Rafael." "Okay, Queen." Seketika Angeline berhenti bergerak dan menoleh, "Apa?" Nathan tersenyum karena berhasil memperoleh perhatian Angeline di tengah keribetan mereka mempersiapkan anak-anak untuk perjalanan berlibur, "Queen." Angeline mengejapkan mata, "Oh, sudah bukan 'baby girl'?" "Waktu mengubah image-mu, Sayang." Hening sesaat kala Angeline mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Hei, tidak usah dipikirkan terlalu rumit. Itu hal yang sederhana, transformasimu menjadi lebih dewasa." Nathan berjalan mendekat dengan Olivia meronta dalam gendongannya. "Maksudmu tambah tua?" Tawa Nathan meledak, "Bukan itu maksudku! Baiklah, mungkin selamanya kamu akan menjadi Baby Girl-ku." Angeline tersenyum, "Iya. Aku setuju. Te
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu