Menjelang siang sebuah mobil SUV mewah melaju membawa Angeline, Samantha, dan Olivia menuju sekolah Rafael. "Aku senang Jonathan menitipkanmu di rumah. Ternyata sesekali aku butuh menghabiskan waktu dengan sesama wanita." Angeline tersenyum lebar. "Ah, ya. Bagus." Samantha tidak tahu harus senang atau sedih terhadap kenyataan tersebut. "Jangan sedih. Dia tidak akan melupakanmu. Mungkin ada banyak hal yang harus dia hadapi." Angeline memahami kegalauan wanita di sebelahnya. "Hmm ... mungkin." Samantha berusaha mengesampingkan kelesuan hatinya karena sedang memangku Olivia. Bayi dan anak kecil biasanya peka terhadap suasana hati orang lain. Mobil berhenti di depan sekolah. Angeline mengintip keluar jendela. Tampaknya anak-anak kelas sekolah dasar belum bubar. "Aku bisa minta Nathan menghubunginya kalau kamu mau," usul Angeline. "Tidak usah. Baru satu minggu kok. Mungkin dia memang sedang disibukkan oleh banyak hal," kata Samantha cepat-cepat. "Are you
"Nathan, siapa penculiknya??" Sedari siang Angeline membuntuti sang suami yang sepertinya merahasiakan sesuatu. "Hal itu tidak perlu dipikirkan, Baby Girl. Pikirkan saja aku." Seulas senyum manis menghiasi wajah tampan Nathan. Ekspresi tanpa dosa tersebut tidak membuat rasa penasaran Angeline mereda. Dia malah semakin ingin tahu kenapa Nathan santai saja kala terjadi penculikan di bawah hidungnya. Atau lelaki itu bergerak diam-diam karena tidak ingin membuat sekeluarga khawatir? Karena sebal Angeline mengulurkan tangan untuk mencubit Nathan. Sayang, kali ini gerakannya berhasil dihentikan. "No, stop doing it, Baby Girl," pinta Nathan. Gregetan, Angeline menggunakan tangan yang bebas untuk meneruskan usahanya mencubit lelaki itu. Namun, lagi-lagi berhasil dihentikan. "Istriku sedang bersemangat rupanya?" Nathan menyeringai. Dia memiliki gagasan lain di dalam kepala. "Apa??" Angeline berusaha menarik kedua tangannya yang berada dalam genggaman Nathan, tap
Venue pernikahan di tengah taman mengingatkan akan sebuah adegan pernikahan dalam film bertema vampir yang sempat booming sekian tahun lalu. Pepohonan besar dengan kain-kain sifon serta rangkaian bunga menjuntai membuat para tamu serasa di negeri para peri. Pasangan yang berbahagia berdiri di depan bersama seorang pedeta. Seusai pengucapan janji suci yang diiringi latar musik dari duet violinis, para tamu digiring ke tempat pesta diadakan. Semua orang berbaur dan mengobrol dengan suasana hangat. "Selamat. Adik iparku sudah dewasa." Nathan menyalami Mike. "Thanks, Kakak Ipar." Mike tertawa, "Astaga, aku sudah melewati usia tiga puluh tahun, tentu saja sudah dewasa." Cherry tersenyum malu-malu di sebelah suaminya. Tangan mereka seperti direkatkan dengan lem super, tidak lepas sejak tadi. "Welcome to the club, Mike and Cherry." Angeline—yang sedang kerepotan menggendong Olivia—berucap dengan senyum lebar di wajah. "Thank you, Big Sis. Kalau butuh nasihat aku p
"Oliv? Mana Oliv? Oliviaaa?" "Aku sudah menangkapnya," sahut Nathan yang muncul dari balik counter dapur. "Oke, syukurlah. Untung belum lari ke kolam renang ... Tolong pegang dulu ya, Nath. Aku mau pilihkan baju untuk Rafael." "Okay, Queen." Seketika Angeline berhenti bergerak dan menoleh, "Apa?" Nathan tersenyum karena berhasil memperoleh perhatian Angeline di tengah keribetan mereka mempersiapkan anak-anak untuk perjalanan berlibur, "Queen." Angeline mengejapkan mata, "Oh, sudah bukan 'baby girl'?" "Waktu mengubah image-mu, Sayang." Hening sesaat kala Angeline mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Hei, tidak usah dipikirkan terlalu rumit. Itu hal yang sederhana, transformasimu menjadi lebih dewasa." Nathan berjalan mendekat dengan Olivia meronta dalam gendongannya. "Maksudmu tambah tua?" Tawa Nathan meledak, "Bukan itu maksudku! Baiklah, mungkin selamanya kamu akan menjadi Baby Girl-ku." Angeline tersenyum, "Iya. Aku setuju. Te
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar