Setelah mendebat dengan sengit, Angeline memperoleh kemerdekaannya dari hukuman Nathan. Dia bebas bergerak di dalam ruangan Presiden Direktur dan boleh pergi dengan ijin ketat. Maksudnya pergi dengan waktu terbatas agar tidak melibatkan diri dalam perkara yang bukan urusannya. "Sial ... Aku seperti tahanan rumah," gerutu Angeline yang berhasil mendapatkan ijin ke toilet. Sengaja dia berlama-lama di dalam karena sudah sumpek melihat wajah Nathan. Untuk melenyapkan kegelisahan Angeline bermain game di handphone. Kenapa gelisah? Karena dia merasa seperti anak sekolah yang melanggar peraturan. Lama-lama Angeline berpikir, apakah Nathan mulai mengendalikan kebebasannya? Apakah itu wajar dalam hubungan sebagai pacar? Yah, tapi setidaknya lelaki itu bisa menjadi bodyguard yang baik. Angeline mengingat beberapa jam yang lalu ketika dia terpojok di depan lift. Nathan muncul seperti pahlawan dan menyelamatkannya. Sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. "Agh, t
Angeline mencelupkan rotinya di teh sebelum dimakan. Matanya memperhatikan Nathan melakukan hal yang sama. Perdebatan singkat yang baru saja terjadi membuatnya lebih banyak merenung. "Setelah rotiku habis aku pulang saja ya?" cetus Angeline. "Tidak." Angeline mengernyit, "Apa maksudnya 'tidak'? Kita sudah duduk diam hampir setengah jam. Aku capek." "Kalau capek tidurlah di dalam," kata Nathan kalem. "Tidak usah. Belum malam kok." Angeline membayangkan betapa sulitnya memejamkan mata di tempat tidur lelaki itu. Nathan memikirkan sesuatu, tapi dia memilih untuk tidak membicarakannya daripada membuat Angeline meradang lagi. Dia hanya mengamati perubahan ekspresi wanita itu saat membicarakan kamarnya. "By the way, ada petunjuk mengenai foto-foto itu?" Angeline mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih aman. "Aku sudah menemukan pelakunya," jawab Nathan tanpa bermaksud menjelaskan lebih banyak. "Oh ya? Siapa?" "Sedang diinterogasi." Angelin
Suara hak sepatu beradu dengan lantai marmer menyertai langkah Angeline. Penampilannya selalu rapi dan menarik meskipun hanya mengenakan kemeja dan celana panjang. Tidak ada yang tahu pakaian yang dipakai ini dibelikan Nathan saat di Bandung. Rambut panjangnya—seperti biasa—diikat ekor kuda dan melambai ke kanan kiri seiring langkah kaki. Tangan kirinya memegang sebuah cangkir berisi teh Inggris dan tangan kanan memegang kantong kertas berisi roti manis. "Selamat pagi, Bu!" seru dua resepsionis begitu Angeline melewati meja mereka. Angeline menoleh dan tersenyum miring, "Selamat pagi." Belum lagi mencapai lift eksklusif dua orang karyawan kembali menyapanya penuh sopan santun. "Selamat pagi, Bu Angeline." "Selamat pagi, Bu." Angeline lagi-lagi menyahut setengah hati, "Selamat pagi." Cepat-cepat dia menempelkan kartu akses di plat dan masuk ke lift sebelum ada yang menyapa lagi. Aneh sekali, biasanya dia melalui perjalanan di lobby dalam keheningan. Kena
"Selesai urusan aku akan kemari. Tunggu aku, oke?" ucap Nathan pada Angeline yang sudah meluncur turun dari boncengan motor. "Kamu sendirian saja?" tanya Angeline dengan sedikit kekhawatiran. "Aku sendiri cukup untuk menghadapi orang seperti itu." "Oke. Hati-hati. Ingat, aku menunggumu." Nathan tersenyum, "Tentu saja." Lama Angeline memandangi perginya laju motor Nathan sampai menghilang di tengah arus lalu lintas yang sudah mulai lengang. Dia menghela nafas dan masuk ke gedung apartemennya. Tidak ada satu pun kendaraan yang dapat membuat Nathan mengurangi kecepatan motor. Dia terus melaju dengan kecepatan tinggi di antara mobil-mobil besar maupun kecil. Tatapannya fokus ke depan, tekadnya membara untuk menyelesaikan satu masalah. Rico. Setelah menempuh perjalanan cukup singkat, Nathan menghentikan motor. Kakinya turun menjejak tanah, pandangannya terarah pada neon sign sebuah club malam besar yang biasa dikunjungi lelaki-lelaki yang hendak bersenang-se
Pagi ini lagi-lagi Angeline berjalan cepat untuk menghindari orang-orang yang mendadak menyapanya penuh sopan santun serta senyum ramah. Dia tidak terbiasa menjadi obyek sapaan orang-orang. Hati-hati agar tidak menjatuhkah cangkir berisi teh Inggris, Angeline sedikit menekuk lutut untuk menempelkan kartu akses di plat lift eksklusif. Setelah pintu lift menutup dengan dirinya berada di dalam barulah terasa aman. "Hei." Cindy berhenti sesaat melihat wajah Angeline yang ditekuk, "Ada apa? Kok pagi-pagi sudah murung? Belum bertemu pacar sih ya?" "Ih, apaan sih?" Angeline mengangsurkan sebuah kantong kertas pada Cindy dan berucap, "Titipanmu. Dijamin nggak menyesal." "Thank you! Mmmh ... Wanginya. Aku membayangkan baker-nya lelaki gagah tampan seperti tokoh novel. Benar nggak?" Cindy tersenyum lebar. Angeline mengernyit membayangkan wajah Anton si pemilik kopitiam, "Hmm ... Nggak jelek sih, tapi juga nggak bisa dibilang tampan. Masih lebih tampan suami sendiri dong?"
"Di mana dia?" Nathan yang segera menyusul keluar tidak melihat Angeline di mana pun. "Emm ... ke tangga darurat, Pak," jawab Cindy sesegera mungkin. "Nathaniel! Mau ke mana kau?? Kita belum selesai bicara!" Jeremy menampakkan diri. "Berhenti! Selagi aku masih ingat kalau kau ayahku!" Tampak jelas sekali Nathan menahan kegeramannya. Jeremy terhenyak, "Apa?? Anak brengsek! Kau lebih memilih wanita itu daripada ayahmu? Dengan apa kamu dibesarkan, hah?" "Aku dibesarkan oleh ibuku! Sampai kau membunuhnya!" desis Nathan. Sosok tingginya menjulang melampaui sang ayah. Dua pengawal pribadi segera bergerak melindungi Jeremy, tapi salah satu dari mereka segera menjadi sasaran kemarahan Nathan. Semua orang menatap ngeri melihat pengawal pribadi bertubuh besar itu terhuyung oleh pukulan lelaki yang sedang emosi tersebut. "Kau ... Anak tak tahu diri! Setelah semua yang kuberikan untukmu, begini cara membalasnya?" Jeremy tidak mundur. "Yang kau berikan?" ejek Na
Aroma kopi begitu semerbak tercium dari dalam kopitiam. Etalase berisi bernampan-nampan roti manis bulat tampak menggiurkan dengan pencahayaan yang sesuai. Poster-poster dan benda pajangan vintage memperkuat suasana klasik rumahan jaman dulu. Pagi-pagi seperti ini beberapa pelanggan—termasuk Angeline—sudah duduk atau berdiri menunggu pesanan mereka. Anton dan seorang karyawan terlihat sibuk mempersiapkan pesanan offline maupun online. "Angel, pesananmu." Anton membawakan sendiri pesanan ke meja tempat wanita itu duduk menunggu. "Thanks." Angeline memeriksa apakah pesanannya sesuai, secangkir teh Inggris, secangkir teh susu, dan dua buah roti manis. "Ada lagi yang kamu butuhkan?" tanya Anton yang tampaknya tidak terburu-buru kembali ke belakang etalase. "Tidak. Ini saja seperti biasa. Aku harus segera ke kantor. See you." Angeline berdiri. "Okay. See you." Menenteng bawaan yang telah dimasukkan ke dalam kantong karton besar anti tumpah, Angeline berjala
Keesokan pagi Nathan menepati perkataan dengan menjemput Angeline di apartemen. Dia berdiri sabar di sebelah pacarnya seperti seorang pengawal pribadi, turut menunggu Anton menyiapkan pesanan. Aura menyeramkan dari Nathan membuat semua orang tanpa sadar menjaga jarak terhadap Angeline. "Angel, pesananmu." Anton melirik ke arah Nathan penuh rasa ingin tahu. "Thanks. Oh ya, ini pacarku," ujar Angeline. Anton tersenyum dan menyapa ramah, "Hai." Kemudian kembali memperhatikan wanita di hadapannya, "Untuk mencegah kejadian kemarin pagi?" Nathan mengernyit. Lelaki berkacamata ini tampak memberi perhatian sedikit lebih banyak terhadap wanitanya. "Kamu lihat yang kemarin? Betul, jangan sampai terulang lagi deh. Jaman sekarang banyak kejadian berbahaya, memang lebih aman kalau wanita memiliki pengawal pribadi." Angeline tersenyum dan memeluk lengan Nathan untuk memperkuat kata-katanya. "Aku setuju. Baiklah. Have a great day." Anton pun kembali ke belakang etalase un