Keesokan pagi Nathan menepati perkataan dengan menjemput Angeline di apartemen. Dia berdiri sabar di sebelah pacarnya seperti seorang pengawal pribadi, turut menunggu Anton menyiapkan pesanan. Aura menyeramkan dari Nathan membuat semua orang tanpa sadar menjaga jarak terhadap Angeline. "Angel, pesananmu." Anton melirik ke arah Nathan penuh rasa ingin tahu. "Thanks. Oh ya, ini pacarku," ujar Angeline. Anton tersenyum dan menyapa ramah, "Hai." Kemudian kembali memperhatikan wanita di hadapannya, "Untuk mencegah kejadian kemarin pagi?" Nathan mengernyit. Lelaki berkacamata ini tampak memberi perhatian sedikit lebih banyak terhadap wanitanya. "Kamu lihat yang kemarin? Betul, jangan sampai terulang lagi deh. Jaman sekarang banyak kejadian berbahaya, memang lebih aman kalau wanita memiliki pengawal pribadi." Angeline tersenyum dan memeluk lengan Nathan untuk memperkuat kata-katanya. "Aku setuju. Baiklah. Have a great day." Anton pun kembali ke belakang etalase un
"Angel! Buka pintu, ini aku!" seru Nathan dari luar unit apartemen Angeline. "Yaaa, tunggu!" Wanita itu berlari keluar dari kamar dan membukakan pintu. Nathan menatap penuh dendam pada gerendel pintu. Kalau tidak ada benda itu dia dapat masuk dengan mudah kapan saja. Terlintas dalam pikirannya untuk membongkar diam-diam. "Baru selesai mandi?" Nathan memperhatikan wanitanya. "Emm ... Ya." Angeline berjalan kembali ke kamar, menoleh sengit saat Nathan membuntuti. "Pacarku masih saja galak. Kamu tidak tahu aku merindukanmu sejak semalam?" Lelaki itu meraih Angeline. "Padahal baru semalam bertemu!" cetusnya tanpa daya. "Memangnya kamu tidak merindukanku?" Nathan menunduk hingga wajah mereka begitu dekat. Jarak sedemikian dekat membuat Angeline sulit menjawab. Pandangannya fokus pada bibir si lelaki. Mengetahui gestur itu Nathan memangkas jarak. Dia adalah lelaki yang membutuhkan kedekatan fisik untuk bertahan hidup. Untuk saat ini, selagi Angeline belum
Dalam keadaan setengah tidur Angeline merasakan kenyamanan yang membuatnya ingin kembali ke alam mimpi. Rasa hangat dan aroma yang akrab membuainya, membuat Angeline memeluk semakin erat. Degup jantung yang terasa di dalam lapisan pakaian ini membuatnya tenang. Mendadak Angeline membuka mata. Perasaan ini seperti dejavu! Dia mendongak dan melihat wajah Nathan begitu dekat. Wanita itu baru menyadari kalau kepalanya berbantalkan lengan Nathan. Pergerakan mendadak itu membuat si lelaki membuka mata. Mereka bertatapan sesaat. "Masih marah?" tanya Nathan lembut. "Aku tidak marah." Angeline kembali menunduk. "Lalu kenapa mengunci diri?" Pertanyaan itu membuat Angeline sadar, "Pintuku!" Nathan nyaris terdorong jatuh dari tempat tidur. Untung pengalaman membuatnya lebih sigap. Dia mendarat dengan dua kaki di lantai seperti seekor kucing. "Nathan, kamu ya! Betulkan kunci pintuku!" Angeline berkacak pinggang di depan pintu kamarnya yang malang. Sebelum pacarn
Rambut Angeline melambai karena angin semilir. Sinar matahari senja membuatnya terlihat cantik melebihi biasanya. Nathan nyaris tidak dapat mengalihkan pandangan dari wanita itu. Dia bersyukur karena tidak menyerah dalam usahanya mendapatkan hati Angeline. Tidak terbayang bagaimana rasanya jika mengetahui wanita yang disukainya menjadi pacar orang lain. "Boleh request satu hal?" tanya Nathan. "Apa?" Angeline melirik. "Biarkan rambutmu tergerai saat di kantor." Angeline menoleh, "Tidak mau. Kamu tidak tahu rasanya kepanasan karena rambut panjang. Belum lagi menghalangi gerakanku. Paling parah kamu akan menemukan sehelai rambut dalam minumanmu." "What?" Nathan tercengang. Angeline tersenyum geli. "Tapi kamu cantik seperti ini," ucap Nathan seperti remaja yang jatuh cinta. "Aku potong pendek saja deh." "Jangan!" Angeline tersenyum geli, "Habisnya kamu sih." "Kenapa jadi salahku?" Nathan mengangkat alis. "Sudahlah. Lupakan saja." Angelin
Nathan menatap wajah Angeline yang merona sehabis berciuman.Tangannya menahan kedua tangan wanita itu di sisi kepala. Godaan untuk menyentuh lebih dari sekedar ciuman teramat besar. Namun, Nathan masih bisa memikirkan akibat yang akan terjadi jika dia memaksa. Bisa jadi dia akan kehilangan Angeline selamanya. "Kamu benar-benar menyiksaku," bisik Nathan. "Salahku?" Angeline mengulum bibir. Lelaki itu tersenyum, "Salahmu karena sudah merebut hatiku." Angeline tersenyum geli, "Mau kukembalikan?" "Jangan." "Makanya, jangan bilang itu salahku dong." Nathan mengagumi bibir merah muda yang tersenyum lebar itu. Mengikuti dorongan hati dia menunduk dan mencium Angeline, lagi. Wanita itu membalas dengan intensitas serupa. Pergulatan kecil itu berlangsung selama beberapa waktu. Ketika Nathan memisahkan diri Angeline merasa kehilangan. Namun, tidak untuk waktu lama. Lelaki itu menciumi wajah dan lehernya. Sentuhan itu membuat Angeline terkesiap. "Nathan," l
"Ini meeting terpagi yang pernah terjadi. Biasanya mereka akan mengadakannya menjelang jam makan siang di restoran atau hotel berbintang." Nathan memperhatikan Angeline yang membantunya mengancingkan manset. "Mungkin untuk perubahan suasana?" Selesai dengan manset, Angeline mengitari Nathan untuk melihat apakah kemejanya rapi. "Ya, tentu saja. Kurang mewah apa lagi suasana meeting di tepi laut? Jika mereka mengumumkan akan ada sesi berenang bersama, kita pulang," sinis Nathan. Angeline tertawa, "Kenapa? Akan ada pemandangan indah, bukan? Wanita-wanita berbikini?" Nathan menatap tidak percaya, "Astaga, Angel, satu-satunya wanita berbikini yang ingin kulihat adalah kamu." "Dalam mimpi." Angeline mengulum senyum. "Kurasa siang nanti kita bisa meninggalkan meeting dan pergi ke pulau." "Apa? Jangan! Kamu tidak boleh memberi kesan buruk, terutama terhadap orang-orang pemerintahan yang hadir," cetus Angeline. "Kita pergi saat jam makan siang. Tidak ada yan
"Apa?? Nathan tidak ada?? Ke mana dia??" Sonya terlihat emosi. "Kemungkinan ke luar kota, Bu. Kalau Pak Nathan kembali saya akan beri tahu ada yang mencari. Nama Ibu siapa?" Cindy menjawab dengan profesional. Wajah Sonya begitu keruh seperti kucing tercebur ke selokan. Dia tidak percaya sekretaris ini tidak tahu keberadaan Nathan! "Katakan ke mana dia pergi dan aku akan memberi tips besar," kata Sonya. "Saya tidak dapat memberitahukan keberadaan Pak Nathan pada orang tak dikenal, Bu." Cindy menahan senyum. "Aku bukan orang tak dikenal! Aku calon tunangan Nathan! Brengsek! Kalau tidak mau bicara kuseret kamu ke—" Dering telepon memotong perkataan Sonya. Tanpa peduli Cindy menerima panggilan tersebut. "Ya, halo?" "Usir wanita gila itu. Suruh security menyeretnya pergi," titah Nathan yang mengamati semua dari monitor CCTV. "Baik, Pak." "Siapa itu? Nathan??" sambar Sonya. Cindy terkejut. Dia tidak menyangka wanita berpenampilan anggun ini ak
Angeline hanya terbengong saat motor Nathan melaju melewati gedung apartemennya. Dia menepuk-nepuk punggung Nathan tapi diabaikan. Ya sudahlah, pasrah saja terhadap penculikan mendadak ini. Ternyata mereka langsung ke kantor. Untung Angeline berpakaian rapi. Motor sport Nathan langsung melaju ke tempat parkir khususnya di basement. Dengan wajah serius lelaki itu menggandeng Angeline masuk ke lift eksklusif. "Kok seperti melarikan diri dari debt collector?" cetus Angeline. Nathan menoleh, "Kenapa bilang begitu?" "Habisnya serba terburu-buru. Aku kan jadi curiga." Angeline mengerucutkan bibir. Nathan tersenyum geli. Wanitanya memang peka. Melihat Nathan tidak menanggapi, pikiran Angeline berjalan sendiri. Apa mungkin lelaki itu kecewa karena dia belum juga dapat memutuskan langkah berikutnya? Apakah ketakutannya mulai membuat Nathan bosan? Bagaimanapun juga dia adalah lelaki yang terbiasa berhubungan dengan wanita, akan ada saatnya di mana Nathan tidak tahan
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu