"Apa?? Nathan tidak ada?? Ke mana dia??" Sonya terlihat emosi. "Kemungkinan ke luar kota, Bu. Kalau Pak Nathan kembali saya akan beri tahu ada yang mencari. Nama Ibu siapa?" Cindy menjawab dengan profesional. Wajah Sonya begitu keruh seperti kucing tercebur ke selokan. Dia tidak percaya sekretaris ini tidak tahu keberadaan Nathan! "Katakan ke mana dia pergi dan aku akan memberi tips besar," kata Sonya. "Saya tidak dapat memberitahukan keberadaan Pak Nathan pada orang tak dikenal, Bu." Cindy menahan senyum. "Aku bukan orang tak dikenal! Aku calon tunangan Nathan! Brengsek! Kalau tidak mau bicara kuseret kamu ke—" Dering telepon memotong perkataan Sonya. Tanpa peduli Cindy menerima panggilan tersebut. "Ya, halo?" "Usir wanita gila itu. Suruh security menyeretnya pergi," titah Nathan yang mengamati semua dari monitor CCTV. "Baik, Pak." "Siapa itu? Nathan??" sambar Sonya. Cindy terkejut. Dia tidak menyangka wanita berpenampilan anggun ini ak
Angeline hanya terbengong saat motor Nathan melaju melewati gedung apartemennya. Dia menepuk-nepuk punggung Nathan tapi diabaikan. Ya sudahlah, pasrah saja terhadap penculikan mendadak ini. Ternyata mereka langsung ke kantor. Untung Angeline berpakaian rapi. Motor sport Nathan langsung melaju ke tempat parkir khususnya di basement. Dengan wajah serius lelaki itu menggandeng Angeline masuk ke lift eksklusif. "Kok seperti melarikan diri dari debt collector?" cetus Angeline. Nathan menoleh, "Kenapa bilang begitu?" "Habisnya serba terburu-buru. Aku kan jadi curiga." Angeline mengerucutkan bibir. Nathan tersenyum geli. Wanitanya memang peka. Melihat Nathan tidak menanggapi, pikiran Angeline berjalan sendiri. Apa mungkin lelaki itu kecewa karena dia belum juga dapat memutuskan langkah berikutnya? Apakah ketakutannya mulai membuat Nathan bosan? Bagaimanapun juga dia adalah lelaki yang terbiasa berhubungan dengan wanita, akan ada saatnya di mana Nathan tidak tahan
Seumur hidupnya yang telah mencapai lima puluh lima tahun ini belum pernah sekali pun jari-jari tangan Jeremy tremor karena melihat sesuatu yang mengejutkan. Dengan telunjuk bergetar lelaki paruh baya itu menggeser satu per satu foto-foto yang dikirim ke handphonenya. "Sialan! Perempuan bodoh! Huh!" Jeremy memaki handphone malang itu. Kenapa Jeremy begitu marah? Karena tiap foto yang dilihat menampilkan sepasang manusia bernama Alardo dan Sonya yang berwajah bahagia dan minim pakaian. Ekspresi wanita itu mengatakan bahwa dia sudah melupakan tujuan utamanya mengincar Nathan. "Brengsek! Begitu mudahnya kau tergoda lelaki lain. Cih!" Jeremy membanting handphonenya di meja. Urat di pelipisnya berkedut karena emosi. Hari masih pagi, tapi suasana hati Jeremy sudah porak-poranda oleh kenyataan. Rencana yang dianggap bagus tidak dapat dipakai lagi. Jeremy bersandar di kursi kebesarannya dengan mata terpejam. Dia menduga-duga Nathan memiliki andil dalam perkara ini. "An
Angeline mengernyit saat Nathan mengompres pipinya yang bengkak dengan kantong es. Setelah penyelamatan yang dramatis Nathan membawa Angeline ke penthouse. Dia tidak mau ambil resiko terjadi hal serupa. "Siapa sih mereka?" tanya Angeline. "Akan kuselidiki." "Untung dompet dan handphone tidak apa-apa." Angeline mengambil alih kantong es dari tangan Nathan. Setelah ketegangan berlalu barulah sekujur tubuhnya terasa pegal-pegal. "Kamu sudah makan? Belum? Kupesankan makanan, setelah itu istirahat." Terlihat jelas sisa-sisa emosi di wajah Nathan. "Belum ... Lapar ...." Angeline menatap sedih. Nathan tersenyum tipis. Tangannya mengacak-acak rambut si wanita, "Tunggu sebentar." Tidak lama berselang makanan mereka tiba. Nathan turun ke lantai empat puluh untuk mengambilnya dari security. Aroma lezat membuat cacing-cacing perut Angeline melakukan pemberontakan. Wanita itu malu sekali karena perutnya berbunyi sangat keras. Untung Nathan tidak menggodanya. Sam
Seharian Nathan berada di penthouse menemani Angeline, padahal wanita itu sudah bersikeras bahwa dia baik-baik saja. Bengkak di wajahnya sudah lenyap, yang tinggal hanyalah otot-otot tubuh yang nyeri. Namun, bukan Nathan namanya kalau mudah mengalah. Dia bekerja dengan laptop di counter agar dapat melihat ke segala arah tanpa penghalang. Alhasil Angeline lebih banyak bersembunyi dalam kamar Nathan. Tunggu, sekarang kamar ini diserahkan padanya, berarti bukan kamar Nathan lagi, tapi kamar Angeline. Tadi pagi-pagi sekali Nathan telah menyuruh orang mengangkut semua pakaian Angeline dari apartemen. Semua dimuat dalam tiga koper besar. Nathan membantu memilah dan menyingkirkan pakaian yang tidak berkenan. Sekarang sambil mengomel panjang lebar Angeline menggantung pakaian yang tersisa di lemari. "Brengsek!" Terdengar suara Nathan memaki. Angeline menajamkan telinga. Apa yang terjadi? Apakah ada transaksi yang tidak berhasil? Atau jangan-jangan ada vendor yang mendadak
Semua orang terpaku, saling menatap tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Nathan sudah mendorong Rico masuk ke ruangan sebelum adik tirinya melarikan diri. Tangannya juga tidak melepas tangan Angeline agar pacarnya tidak melarikan diri. "Wah, tidak biasanya kalian bertiga berkumpul bersama. Boleh kami bergabung?" Nathan tersenyum jahat. Lily melirik Jeremy, matanya menyorotkan keberatan yang teramat sangat. "Oh, tentu saja, silakan. Kita semua satu keluarga, bukan?" Jeremy turut tersenyum. Dalam hati dia memaki-maki putra sulungnya sebagai anak yang kurang ajar dan tidak bisa melihat orang lain senang. "Silakan duduk, Nathan dan ... siapa nama pacarmu? Andini?" Lily ikut bicara. Jelas sekali dia tidak suka pasangan muda yang seenaknya menerobos masuk ke ruangan mereka. Nathan melontarkan tatapan setajam belati. Nada bicaranya begitu dingin hingga membuat pendengarnya menggigil, "Orang luar tidak perlu ikut bicara." Lily tersentak. Tangannya meraih lengan Jer
Pagi-pagi sekali Angeline sudah bangun dan menyibukkan diri di ruang olahraga. Suara pukulan dan tendangan bertubi-tubi mendera samsak, membuat Nathan yang tidur di sofa terbangun. Tubuh yang pegal membuatnya berpikir tidur di sofa adalah gagasan buruk. Mungkin dia bisa membujuk Angeline agar dibiarkan tidur di tempat tidur? Tanpa suara Nathan melangkah ke ruang olahraga. Dilihatnya Angeline bergerak lincah memukul dan menghindari ayunan samsak. Dia mengagumi lekuk tubuhnya yang terbentuk bagus karena latihan fisik. Pemandangan indah ditambah membanjirnya jumlah hormon di pagi hari membuat Nathan bergegas ke kamar mandi sebelum naluri mengambil alih. Angeline menoleh heran karena merasa mendengar suara langkah kaki, "Siapa tuh? Ah, pakai nanya lagi ... Memangnya ada berapa orang yang tinggal di sini ...?" Setelah tendangan terakhir yang dilakukan sekuat tenaga Angeline menyudahi aktivitasnya. Dia ke dapur mengambil segelas air dan meneguknya sampai habis. Tepat saat it
"Sorry Cin, aku nggak bisa belikan roti manis itu lagi. Aku pindah tempat tinggal." Angeline meringis. "Oh, nggak apa-apa. Pindah ke mana? Kontrakan yang lebih terjangkau atau lebih dekat?" tanya Cindy. "Emm ... Iya, dekat sih." Angeline menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Dekat, dekat banget? Jangan-jangan kamu pindah ke atas?" goda Cindy. "Enngg ... nggak, kok?" Mata Cindy membulat, "Benaran??" "Nggak." Cindy tertawa kecil, "Dari mukamu terlihat jelas. Oke, aku nggak akan bocorin ke siapa-siapa. Hati-hati, jangan MBA, married by accident." "Nggak seperti itu." Angeline mendekap wajah. "Terus gimana?" goda Cindy. "Kami nggak tidur bersama," lirihnya. Mata Cindy membulat, "Oh ya?? Kok bisa? Pak Nathan kan ... emm ... kamu mengerti lah ya." "Aku sudah menolak sejak awal dan dia menyanggupi untuk nggak melakukannya sebelum menikah." "Wow, aku nggak nyangka. Kupikir kalian sudah ... Wah, bos benar-benar sayang sama kamu. Hebat An
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu