Rintik hujan menyambut tibanya keluarga kecil Nathan di Jakarta. Tanpa menunda lagi mereka segera pulang ke rumah. Olivia—seperti bayi-bayi pada umumnya—tidur nyenyak setelah menyusu, sedangkan Rafael bergerak-gerak gelisah karena terlalu lama duduk diam di pesawat. "Melihat Rafa aktif seperti ini kurasa sudah waktunya kulatih beladiri," cetus Nathan. Angeline memandangi Rafael yang sedang bermain drum imajiner, "Ide bagus. Dia bisa menyalurkan energi berlebih." Nathan mencondongkan tubuh ke arah sang istri yang duduk di sebelahnya, "Kamu juga perlu berlatih, Baby Girl." "Aku? Aduh, Nath. Badanku rasanya tidak kuat lagi. Sudah setahun lebih tidak latihan fisik, bisa-bisa aku pingsan," keluh Angeline. "Tenang saja. Aku tidak sekejam itu. Bagaimana kalau kita sparring malam ini?" "Aku lelah. Butuh istirahat," rajuk Angeline. "Kalau begitu besok pagi." "Pagi-pagi bukannya kita olahraga di tempat tidur?" bisik Angeline. Nathan nyaris tertawa, "Setel
"Aku cuma cuti kok, bukan resign." Cindy tersenyum geli melihat raut wajah sedih Angeline. "Benar ya? Jangan resign. Kantor ini sepi tanpa kamu," ucap Angeline. "Tenang saja. Begitu program hamil ini sukses, aku pasti kembali." "Sip. Kalau perlu apa bilang saja. Jangan sungkan. Kita sudah berteman sekian lama, kamu sudah seperti saudara sendiri." "Iya, Angel sayang. Ya sudah, aku turun dulu. Mas-ku pasti sudah nunggu di bawah. See you." Cindy memeluk sahabatnya. "Oke. See you soon." Angeline mengantar Cindy sampai depan lift kemudian kembali ke ruangan Nathan. Lelaki itu sedang berada di ruang meeting, berbicara dengan kandidat sekretaris pengganti Cindy. Celoteh Olivia menyambut kedatangan Angeline. Bayi yang sudah berusia tujuh bulan itu duduk di pangkuan Gloria. Kedua tangan kecilnya menggapai-gapai ke arah sang ibu. "Mmmhh ... Anak Mama gemas sekali." Angeline menggendong dan menciumi kedua pipi Olivia yang bulat. Bayi kecil itu tertawa geli
Cherry melontarkan senyum manis ke arah Nathan yang baru tiba di kantor. Jantungnya berdegup kencang melihat penampilan sang Presiden Direktur yang tanpa cela. Bekas luka di alis kiri tidak mengurangi ketampanan lelaki itu, malah menambah kesan seksi. "Selamat pagi, Pak," sapa Cherry. Beberapa office boy ikut masuk ke dalam ruangan Presiden Direktur. Tidak lama kemudian orang-orang itu membawa keluar meja Nathan, mengangkutnya turun lewat lift barang. Jantung Cherry berdegup semakin kencang. "Anu, Bu, dipanggil Pak Nathan," kata salah seorang office boy. "Saya?" Wajah Cherry memucat. "Iya, Bu." Wanita itu menggigit bibir. Gelisah. Apakah ada hubungannya dengan kegilaan kemarin siang? "Ya, Pak?" Cherry menghampiri Nathan yang duduk di sofa. "Kamu tahu kenapa saya membuang meja itu?" tanya Nathan dingin. "Tidak, Pak." Nathan menatap tajam, "Perlu saya perlihatkan rekaman CCTV?" Kedua tangan Cherry saling meremas. Sikap tegas Nathan membuat
Angeline mengamati wajah Nathan yang terlihat suram, "Nath, kamu baik-baik saja?" "Hmm? Aku baik. Kenapa, Baby Girl?" Lelaki itu tersenyum tipis. "Wajahmu seperti baru kehilangan uang ratusan milyar." Angeline duduk di sebelah sang suami. "Aku baik-baik saja selama ada kamu." Nathan menarik wanita itu duduk di pangkuan dan menciumnya. Tangan besar si lelaki meremas lembut tubuh Angeline. "Mmmh ... pelan-pelan, Nath ... nanti Oliv terbangun," lirih Angeline ketika lelaki itu mendorongnya rebah dan terus menciuminya. "Dia tidak pernah terbangun larut malam lagi, 'kan?" Nathan tersenyum. "Uhm ... tidak sih." "Kalau begitu kita aman." Angeline bergidik saat Nathan menjelajahi tubuhnya dengan ahli. Lelaki itu sudah hafal setiap sudut—yang tampak maupun tersembunyi—seperti telapak tangannya sendiri. Sebentar saja pakaian mereka sudah tercecer di lantai. Angeline menikmati sentuhan-sentuhan lembut dan kasar di titik sensitif tubuhnya. Nathan menikmati eksp
"Apa? Dia bilang begitu?" Angeline ternganga. Nathan menghela nafas, "Aku tidak menyangka dia seagresif Cassie." "Sialan ... Lain kali biar aku yang hadapi dia! Besok pagi kita ke kantor bersama!" sergah Angeline dengan emosi membara. "Kamu mau menemaniku atau berkelahi?" Nathan tersenyum geli. "Tergantung situasi!" "Aku masih bisa mengatasinya, Baby Girl. Jangan berkelahi dengan anak kecil." "Dia bukan anak kecil, Nath! Dia itu wanita dewasa yang sudah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya!" Angeline masih berapi-api. "Kamu tahu? Sekali-sekali melihatmu cemburu ternyata cukup menyenangkan." "Ah, kamu mah, aku lagi serius nih," gerutu Angeline. "Thank you, Baby Girl. I know you love me that much." Nathan mengecup kening istrinya. "Nathaaan, bukan seharusnya 'I love you so much'?" "Apa bedanya?" "Dari jumlah kata saja berbeda." Lelaki itu tertawa, "Oke, kuralat. I love you so much, Baby Girl." Angeline pun tersenyum, "I lo
"Lakukan saja," ucap Nathan tanpa ekspresi. Perkataan itu membuat rasa dingin menjalar di tubuh Cherry. Dia tidak salah dengar? Lelaki ini tidak mencegahnya?? Tangan yang memegang pisau lipat mulai goyah. "Kenapa? Berubah pikiran?" Nathan tersenyum sinis. "Tidak!" sergah Cherry dengan wajah memucat. "Kalau begitu silakan berbuat sesukamu. Aku tidak punya waktu menonton pertunjukan ini." Nathan berbalik kembali ke mobil. "Nathan! Berhenti!" Namun, lelaki yang diinginkannya tetap berjalan ke mobil. Cherry tidak dapat berbuat apa-apa kecuali memandangi mobil Nathan bergulir melewatinya. Saking kesalnya dia membanting pisau lipat ke aspal. "Sial ... Aku tidak percaya ada laki-laki yang bisa terus menolak wanita ...!" desisnya. Cepat-cepat Cherry memanggil taksi untuk mengikuti mobil Nathan. Jantungnya berdebar kencang memikirkan apa yang akan dilakukan berikutnya. "Apa? Nekat sekali dia?" Angeline ternganga mendengar cerita singkat Nathan tentang ha
Angeline berdiri di depan cermin dengan hanya memakai pakaian dalam. Tubuhnya berputar sedikit ke kiri, kemudian berputar ke kanan. Ada bagian-bagian tertentu yang membuat hatinya sedih. Matanya melirik Nathan yang berjalan mendekat. "Sedang apa, Baby Girl?" tanyanya heran. "Hmm ... kamu lihat ini? Bentuknya berubah drastis, Nath. Kamu menyadarinya, 'kan?" Angeline meletakkan kedua tangan di dada dan berkata lagi, "Bagaimana mengembalikan ke bentuk semula? Apakah dengan olahraga bisa?" Nathan memperhatikan bagian yang dimaksud istrinya, "Tidak. Kelihatannya bagus." "Yang benar? Kok aku tidak merasa begitu?" Angeline mengerucutkan bibir. Matanya tidak lepas dari bagian yang ditangkup tersebut. "Benar. Ini bagian yang paling kusukai, Baby Girl." Nathan meraih ke depan tubuh Angeline, hanya untuk mendapatkan pukulan. Wanita itu menatap sedih melalui cermin, "Kamu tidak bohong padaku?" "Apakah aku harus membuktikannya? Dengan senang hati." Angeline terkesiap, "Nathan?" "Yes, Baby
"Nath? Ayo, mumpung Olivia sedang tidur." "Sekarang?" Nathan menatap heran. "Iya, Sayang. Sekarang. Ayolah, kapan lagi aku yang mengajak duluan?" Angeline tersenyum malu-malu. "Benar juga." Nathan menghampiri dan memeluk istrinya. "Eh, mau apa??" "Katamu ...?" Nathan menatap heran. Apakah istrinya mengalami amnesia? "Bukan ini! Tapi sparring!" "Astaga. Sekarang??" "Iya, sekarang! Tidak lihat aku sudah berpakaian begini?" Nathan tertawa, "Kupikir kamu mengajak bercinta." "Ih, pikiranmu ya. Tidak jauh dari urusan tempat tidur." Angeline merengut. "Tentu saja. Apa lagi yang dilakukan suami istri saat malam tiba dan anak-anak sudah tidur?" Nathan menunduk untuk mencium, tapi Angeline menghalangi wajah lelaki itu dengan dua tangan. "Nathan. Kurendam barangmu di air es, ya??" ancamnya. "Istriku kejam sekali. Kamu juga yang rugi kalau 'adik kecil'-ku cedera." Ancaman belum dilakukan, tapi Nathan sudah merasa ngilu. Beberapa saat ke