Angeline mengamati wajah Nathan yang terlihat suram, "Nath, kamu baik-baik saja?" "Hmm? Aku baik. Kenapa, Baby Girl?" Lelaki itu tersenyum tipis. "Wajahmu seperti baru kehilangan uang ratusan milyar." Angeline duduk di sebelah sang suami. "Aku baik-baik saja selama ada kamu." Nathan menarik wanita itu duduk di pangkuan dan menciumnya. Tangan besar si lelaki meremas lembut tubuh Angeline. "Mmmh ... pelan-pelan, Nath ... nanti Oliv terbangun," lirih Angeline ketika lelaki itu mendorongnya rebah dan terus menciuminya. "Dia tidak pernah terbangun larut malam lagi, 'kan?" Nathan tersenyum. "Uhm ... tidak sih." "Kalau begitu kita aman." Angeline bergidik saat Nathan menjelajahi tubuhnya dengan ahli. Lelaki itu sudah hafal setiap sudut—yang tampak maupun tersembunyi—seperti telapak tangannya sendiri. Sebentar saja pakaian mereka sudah tercecer di lantai. Angeline menikmati sentuhan-sentuhan lembut dan kasar di titik sensitif tubuhnya. Nathan menikmati eksp
"Apa? Dia bilang begitu?" Angeline ternganga. Nathan menghela nafas, "Aku tidak menyangka dia seagresif Cassie." "Sialan ... Lain kali biar aku yang hadapi dia! Besok pagi kita ke kantor bersama!" sergah Angeline dengan emosi membara. "Kamu mau menemaniku atau berkelahi?" Nathan tersenyum geli. "Tergantung situasi!" "Aku masih bisa mengatasinya, Baby Girl. Jangan berkelahi dengan anak kecil." "Dia bukan anak kecil, Nath! Dia itu wanita dewasa yang sudah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya!" Angeline masih berapi-api. "Kamu tahu? Sekali-sekali melihatmu cemburu ternyata cukup menyenangkan." "Ah, kamu mah, aku lagi serius nih," gerutu Angeline. "Thank you, Baby Girl. I know you love me that much." Nathan mengecup kening istrinya. "Nathaaan, bukan seharusnya 'I love you so much'?" "Apa bedanya?" "Dari jumlah kata saja berbeda." Lelaki itu tertawa, "Oke, kuralat. I love you so much, Baby Girl." Angeline pun tersenyum, "I lo
"Lakukan saja," ucap Nathan tanpa ekspresi. Perkataan itu membuat rasa dingin menjalar di tubuh Cherry. Dia tidak salah dengar? Lelaki ini tidak mencegahnya?? Tangan yang memegang pisau lipat mulai goyah. "Kenapa? Berubah pikiran?" Nathan tersenyum sinis. "Tidak!" sergah Cherry dengan wajah memucat. "Kalau begitu silakan berbuat sesukamu. Aku tidak punya waktu menonton pertunjukan ini." Nathan berbalik kembali ke mobil. "Nathan! Berhenti!" Namun, lelaki yang diinginkannya tetap berjalan ke mobil. Cherry tidak dapat berbuat apa-apa kecuali memandangi mobil Nathan bergulir melewatinya. Saking kesalnya dia membanting pisau lipat ke aspal. "Sial ... Aku tidak percaya ada laki-laki yang bisa terus menolak wanita ...!" desisnya. Cepat-cepat Cherry memanggil taksi untuk mengikuti mobil Nathan. Jantungnya berdebar kencang memikirkan apa yang akan dilakukan berikutnya. "Apa? Nekat sekali dia?" Angeline ternganga mendengar cerita singkat Nathan tentang ha
Angeline berdiri di depan cermin dengan hanya memakai pakaian dalam. Tubuhnya berputar sedikit ke kiri, kemudian berputar ke kanan. Ada bagian-bagian tertentu yang membuat hatinya sedih. Matanya melirik Nathan yang berjalan mendekat. "Sedang apa, Baby Girl?" tanyanya heran. "Hmm ... kamu lihat ini? Bentuknya berubah drastis, Nath. Kamu menyadarinya, 'kan?" Angeline meletakkan kedua tangan di dada dan berkata lagi, "Bagaimana mengembalikan ke bentuk semula? Apakah dengan olahraga bisa?" Nathan memperhatikan bagian yang dimaksud istrinya, "Tidak. Kelihatannya bagus." "Yang benar? Kok aku tidak merasa begitu?" Angeline mengerucutkan bibir. Matanya tidak lepas dari bagian yang ditangkup tersebut. "Benar. Ini bagian yang paling kusukai, Baby Girl." Nathan meraih ke depan tubuh Angeline, hanya untuk mendapatkan pukulan. Wanita itu menatap sedih melalui cermin, "Kamu tidak bohong padaku?" "Apakah aku harus membuktikannya? Dengan senang hati." Angeline terkesiap, "Nathan?" "Yes, Baby
"Nath? Ayo, mumpung Olivia sedang tidur." "Sekarang?" Nathan menatap heran. "Iya, Sayang. Sekarang. Ayolah, kapan lagi aku yang mengajak duluan?" Angeline tersenyum malu-malu. "Benar juga." Nathan menghampiri dan memeluk istrinya. "Eh, mau apa??" "Katamu ...?" Nathan menatap heran. Apakah istrinya mengalami amnesia? "Bukan ini! Tapi sparring!" "Astaga. Sekarang??" "Iya, sekarang! Tidak lihat aku sudah berpakaian begini?" Nathan tertawa, "Kupikir kamu mengajak bercinta." "Ih, pikiranmu ya. Tidak jauh dari urusan tempat tidur." Angeline merengut. "Tentu saja. Apa lagi yang dilakukan suami istri saat malam tiba dan anak-anak sudah tidur?" Nathan menunduk untuk mencium, tapi Angeline menghalangi wajah lelaki itu dengan dua tangan. "Nathan. Kurendam barangmu di air es, ya??" ancamnya. "Istriku kejam sekali. Kamu juga yang rugi kalau 'adik kecil'-ku cedera." Ancaman belum dilakukan, tapi Nathan sudah merasa ngilu. Beberapa saat ke
"Bagaimana? Semua beres?" Angeline berdiri di depan jendela dengan handphone di telinga. "Beres, Baby Girl. Kami sudah dalam perjalanan pulang," kata Nathan di ujung sana. "Syukurlah. Aku pesan makan siang untuk kita semua. Uhm ... Jonathan datang." Angeline melirik ke sofa ruang tamu tempat Jonathan duduk bermain bersama Rafael dan Olivia. "Mau apa dia?" Nada suara Nathan berubah. "Sebenarnya dia ke rumah papa, tapi berhubung tidak ada orang maka dia kemari," jelas Angeline. "Pandai sekali dia beralasan." Angeline mendekap mulut supaya tidak tertawa. "Sebentar lagi kami sampai." "Oke." Percakapan seluler pun berakhir. Angeline melihat tiga buah mobil hitam berkilat berhenti di tepi jalan. Semua orang turun dari mobil. Gabriel terlihat mengomeli Mike yang menggandeng Cherry. Nathan tidak mempedulikan drama kecil tersebut. Dia punya prioritas lain, kembali pada istri dan anak-anaknya. "Nath—" Tidak memberi kesempatan bicara, Nathan memelu
Angeline memandangi Nathan yang tertidur setelah aktivitas yang menguras tenaga. Bagaimana tidak lelah? Bercinta satu kali di tempat tidur, satu kali di kamar mandi, kemudian menambah satu kali lagi saat mereka rebah bersebelahan di tempat tidur. "Sleep well, Honey Bunny," bisik Angeline. Hati-hati sekali agar tidak menimbulkan suara Angeline berpakaian dan keluar dari kamar. Dia masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi dengan Mike dan Cherry. "Hei, tenagamu kuat juga. Hebat." "Yeah, Uncle. Papa teach me." Rafael menyeringai. Jonathan mendengkus, "Papamu? Oke, lumayan. Uncle akan ajari jurus yang lebih bagus." Wajah Rafael berbinar, "For real?" "Yes, for real." Angeline berdeham keras-keras. "Mama! Uncle Jo mau mengajariku!" Rafael berseru gembira. "Ya, Mama dengar." Angeline melihat Olivia tidur di gendongan Gloria, "Oh, Oliv tidur nyenyak." "Dia cukup lelah bermain dengan para lelaki ini," ujar Gloria. "Ternyata Princess-ku suka
"Biar aku mengantarmu." Jonathan berdiri menghadang di pintu. Angeline yang menggendong Olivia serta-merta terbengong, "Eh? Apa maksudmu? Mengantar ke mana?" "Kamu mau menjemput Rafael ke sekolah, bukan? Biar kuantar." "Tidak usah. Darman mengantarku." Angeline mencoba berjalan mengitari Jonathan. "Angel, kurasa aku harus menemanimu." Lelaki itu melangkah ke samping, menutup jalur pelarian Angeline. "Sudah kubilang tidak usah." "Aku memaksa." Jonathan mengambil Olivia dari gendongan Angeline dan segera berjalan keluar. Bayi itu menatap heran, kemudian tersenyum lebar. "Hei! Jangan! Astaga, ini pemaksaan!" Spontan Angeline menarik baju lelaki itu. "Ya. Aku memang pemaksa." Jonathan berjalan ke mobil. "Jonathan! Aku tidak mau!" "Terlambat untuk menolak. Olivia sudah menyetujui." Darman yang sudah siap sedia di belakang kemudi menggaruk kepala melihat adegan tersebut. "Silakan." Jonathan membukakan pintu untuk Angeline. "Sini, Oliv.
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu