Angeline memandangi Nathan yang tertidur setelah aktivitas yang menguras tenaga. Bagaimana tidak lelah? Bercinta satu kali di tempat tidur, satu kali di kamar mandi, kemudian menambah satu kali lagi saat mereka rebah bersebelahan di tempat tidur. "Sleep well, Honey Bunny," bisik Angeline. Hati-hati sekali agar tidak menimbulkan suara Angeline berpakaian dan keluar dari kamar. Dia masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi dengan Mike dan Cherry. "Hei, tenagamu kuat juga. Hebat." "Yeah, Uncle. Papa teach me." Rafael menyeringai. Jonathan mendengkus, "Papamu? Oke, lumayan. Uncle akan ajari jurus yang lebih bagus." Wajah Rafael berbinar, "For real?" "Yes, for real." Angeline berdeham keras-keras. "Mama! Uncle Jo mau mengajariku!" Rafael berseru gembira. "Ya, Mama dengar." Angeline melihat Olivia tidur di gendongan Gloria, "Oh, Oliv tidur nyenyak." "Dia cukup lelah bermain dengan para lelaki ini," ujar Gloria. "Ternyata Princess-ku suka
"Biar aku mengantarmu." Jonathan berdiri menghadang di pintu. Angeline yang menggendong Olivia serta-merta terbengong, "Eh? Apa maksudmu? Mengantar ke mana?" "Kamu mau menjemput Rafael ke sekolah, bukan? Biar kuantar." "Tidak usah. Darman mengantarku." Angeline mencoba berjalan mengitari Jonathan. "Angel, kurasa aku harus menemanimu." Lelaki itu melangkah ke samping, menutup jalur pelarian Angeline. "Sudah kubilang tidak usah." "Aku memaksa." Jonathan mengambil Olivia dari gendongan Angeline dan segera berjalan keluar. Bayi itu menatap heran, kemudian tersenyum lebar. "Hei! Jangan! Astaga, ini pemaksaan!" Spontan Angeline menarik baju lelaki itu. "Ya. Aku memang pemaksa." Jonathan berjalan ke mobil. "Jonathan! Aku tidak mau!" "Terlambat untuk menolak. Olivia sudah menyetujui." Darman yang sudah siap sedia di belakang kemudi menggaruk kepala melihat adegan tersebut. "Silakan." Jonathan membukakan pintu untuk Angeline. "Sini, Oliv.
Menjelang sore, semua orang—kecuali Jonathan—berkumpul di ruang kerja rumah Gabriel. Semua mata mengikuti sosok tuan rumah yang mondar-mandir. Raut wajah lelaki paruh baya itu terlihat resah. "Kurasa Bryan tidak akan main fisik, Pa. Aku saja cuma dijebak, 'kan?" Mike angkat bicara. Angeline segera menahan Nathan yang sudah ancang-ancang menjitak adiknya. "Tetap saja kita harus waspada. Tidak ada yang bisa menebak apa yang dapat dipikirkan oleh orang-orang seperti mereka, terutama jika tujuannya adalah untuk menjatuhkan Golden Yue," ujar Gabriel. "Kapan Anda terbang ke Macau?" tanya Nathan. "Malam ini." "Perlu aku ikut bersamamu?" Gabriel tersenyum tipis, "Macau bukan wilayahmu, Nathan. Kamu tidak mengenal seluk beluk di sana. Cukup aku sendiri untuk menghadapi Rhein Long. Kamu harus tetap di sini untuk melindungi Angel dan anak-anak." Nathan tidak mendebat perkataan Gabriel. Dulu dia pernah merasa tak berdaya ketika Angeline diculik oleh Jonathan, d
"Kami menemui rintangan besar, Tuan Long." Bryan terlihat menggenggam handphone dengan penuh emosi. Setelah insiden dengan Jonathan, dia kembali ke hotel meninggalkan rekan-rekannya. "Apa yang terjadi?" tanya Rhein Long di ujung sana. "Jonathan berada di pihak mereka." Hening sejenak. "Dia putra si tua Mei?" "Benar, Tuan. Dia membuat empat orang yang kubawa hampir mati." "Anak jahanam. Anak dan ayah sama saja!" Terdengar suara benda dihancurkan. "Sebenarnya dia tidak berpihak pada Gabriel. Dari yang saya lihat dia memiliki perasaan terhadap putri Gabriel. Wanita itulah yang dia lindungi." Bryan mengepalkan tangan. "Begitukah? Siapa nama putri Gabriel itu?" tanya Rhein. "Angeline." Rhein tertawa, "Bukankah itu membuat semuanya lebih mudah? Jika aku berhasil memegang anak itu, bukankah dua orang akan takluk kepadaku tanpa syarat?" Bryan bisa membayangkan wajah tuannya tersenyum licik, "Benar sekali, Tuan." "Pikirkanlah caranya, Bryan.
Sembari melihat grafik rumit di laptop, Nathan memperhatikan Angeline yang bermain dengan Olivia di pangkuan. Tidak dipungkiri wanita itu tetap terlihat cantik dan selalu mampu memancing gairahnya yang tergolong tinggi. Nathan menghela nafas. Memiliki istri yang cantik memiliki tantangan tersendiri. Misalnya, butuh tenaga ekstra untuk menjaganya dari serigala-serigala kelaparan di luar sana. Kadang dia berpikir, apakah lelaki lain juga bersikap posesif terhadap wanita mereka, atau hanya dirinya? "Ups, jangan tarik rambut, Sayang. Mama sakit loh." Dengan lembut Angeline membuka kepalan tangan Olivia yang menggenggam juntaian rambutnya. Bayi itu tersenyum lebar karena merasa ekspresi sang ibu terlihat lucu. "Mama lupa ikat rambut sih." Angeline menoleh ke arah Nathan dan berkata, "Nath, titip Oliv sebentar. Aku mau ambil ikat rambut." "Oke." Nathan menerima Olivia dengan senang hati. "Kamu mau minum sesuatu? Jus? Teh manis?" Angeline berdiri. "Tidak usah
Dua lelaki berpengaruh di Macau berdiri bersebelahan di depan sebuah landmark terkenal, Ruins of Saint Paul's. Para pengawal pribadi berpakaian jas hitam berbaur di antara wisatawan yang meramaikan area tersebut. Tidak ada yang menyadari siapa dua lelaki yang sedang memandangi reruntuhan gereja dari abad ke-16 itu. "Wilayah kekuasaanmu terlalu banyak, Gabriel." Rhein Long buka suara, berusaha bicara dengan tenang di tengah keriuhan percakapan para turis. "Aku telah bekerja keras selama puluhan tahun," kata Gabriel sebagai jawaban. Rhein menatap bagian atas reruntuhan gereja tua di hadapan mereka, "Adalah bijaksana bersikap rendah hati. Kamu bisa mundur sedikit dan membagi wilayahmu untuk orang lain." Gabriel tersenyum tipis, "Aku juga mengatakan hal yang sama kepadamu. Tidakkah cukup kamu mengambil seluruh wilayah pamanku? Bukankah seharusnya aku punya bagian juga?" "Tampaknya Macau terlalu kecil untuk kita berdua, Gabriel. Bukankah kamu memiliki bisnis di luar
"Rafa, lepas sepatu sebelum naik ke tempat tidur! Nathan! Tolong pasang boks Oliv! Mana tas popok ya?" Angeline sibuk mengatur segala sesuatu. Nathan segera membantu memasangkan boks bayi portabel untuk tempat Olivia bermain. Lelaki itu tahu, wanita yang sedang kerepotan harus cepat dibantu sebelum emosinya meledak. "Oke. Beres. Sekarang Oliv sudah bersih dan wangi." Angeline mencium pipi bayinya setelah beres mengganti popok. "Iyuh! What's that smell??" Rafael menjepit hidung. "Kamu ya. Dulu waktu bayi kamu juga pup di popok." Angeline membungkus popok bekas dan membuangnya di tempat sampah. Rafael meringis, tidak tahu bagaimana harus membalas. Dia duduk di atas kasur memandangi adik bayinya yang sedang berceloteh. Baginya Olivia terlihat seperti boneka hidup, tapi boneka yang tidak bisa dimainkan. "Siapa mau berenang?" tanya Nathan. "Aku! Aku mau!" Rafael melonjak kegirangan, lupa kalau ada bayi di dekatnya. "Rafael!" pekik Angeline melihat lutut
Malam begitu pekat tanpa bintang. Hawa dingin menandakan hujan sedang mendekat. Jonathan yang tidak mempedulikan apa pun sedang duduk berselonjor dengan handphone di tangan. "Kamu sedang di mana? Rumahku atau ...?" Terdengar suara Gabriel lewat pengeras suara. "Tentu saja di rumahmu. Untuk apa aku menghabiskan uang bermalam di hotel kalau ada rumah besar kosong untuk ditempati?" Jonathan tersenyum miring. "Ya, ya, baguslah. Setidaknya rumahku tidak akan kemasukan pencuri." "Ada apa? Kau tidak akan menelepon larut malam seperti ini kalau tidak ada hal penting." "Dengar, Rhein Long menghubungiku. Dia menuduhmu menghabisi sekretarisnya," ucap Gabriel datar. Jonathan tertawa terbahak-bahak, "Sialan. Seharusnya kuhabisi dia sebelum keduluan si tua bangka." Terdengar helaan nafas, "Benar bukan kamu yang melakukannya? Kalau begitu aku akan mencegahnya—" "Hei, biarkan penjahat itu beraksi. Akhir-akhir ini aku cukup bosan. Tidak ada kegiatan menantang yang d
"Bagaimana keadaan sekarang? Semuanya beres?" Angeline rebah di tempat tidur sambil bertelepon dengan Nathan. Sekarang waktunya santai karena anak-anak sudah tidur. "Tentu saja beres, Baby Girl. Tidak ada yang bisa lolos dalam pengawasanku. Kamu sedang apa sekarang? Dua hari di sini aku sangat merindukanmu." Ada nada menggoda dalam suara Nathan. Angeline tertawa kecil, "Dasar kamu. Besok 'kan ketemu? Aku baru selesai mandi nih. Siap-siap mau tidur." "Apa yang kamu pakai sekarang?" lirih Nathan. "Kaosmu, Sayang," kata Angeline dengan nada menggoda. Nathan mengerang, "Aku akan terbang pulang sekarang juga." "Serius kamu? Tidak bisa tunggu besok pagi?" "Aku selalu serius kalau menyangkut istriku." "Memang sudah tidak ada urusan yang tertinggal? Bagaimana dengan Mike? Dia yang menemani kamu loh, bukan sebaliknya." "Akan kubawa dia pulang." "Astaga, Nathan. Kamu benaran sudah tidak tahan ya?" "You know me, Baby Girl. See you in two hours."
Suasana hening nan syahdu menggantung di udara, khususnya di depan sebuah makam batu besar dengan patung malaikat di atasnya. Pada nisan yang terbuat dari marmer hitam terukir nama Cornelia Wayne. Sebuah foto berbentuk oval yang sudah memudar tertempel di bagian atas nama tersebut. Tidak ada seorang pun bersuara. Bahkan Rafael dan Olivia pun sangat tenang seolah memahami kekhidmatan yang sedang terjadi di antara orang dewasa. "Baiklah. Kita kembali." Suara Jeremy memecah keheningan. Ruby menatap heran, "Sudah?" Jeremy membalas tatapan itu, "Iya. Sudah. Aku tidak pernah berlama-lama di sini. Lagipula dia juga tidak menuntutku untuk tetap tinggal." "Heiiiii, apa yang kamu katakan? Memangnya boleh bicara seperti itu? Memangnya kamu bisa dengar bisikan darinya?" Ruby mengibaskan tangan di udara seperti mengusir lalat. Lelaki yang rambutnya telah memutih itu tertawa, "Tentu saja tidak. Maksudku, aku tidak akan menahanmu berlama-lama di sini. Cornelia telah damai
"Hei, hati-hati Rafa. Adikmu masih terlalu kecil." Jeremy mengingatkan karena cemas melihat kedua cucunya berlarian dengan kecepatan tinggi. "Okay, Opa!" Rafael berhenti berlari. "Aaaahhh! Ayo, Kakak, run!" rajuk Olivia. "Oliv, duduk dulu sini. Kamu sudah lari-larian dari tadi!" Angeline buka suara. Sambil merengut anak perempuan kecil itu berjalan ke sofa. Wajah mungilnya terlihat menggemaskan dengan pipi menggembung, membuat Ruby—yang duduk di sebelah Angeline—tidak tahan untuk menariknya duduk di pangkuan. "Gemas sekali sih? Anak siapa sih ini?" Angeline meringis melihat Ruby mencubit gemas pipi putrinya. "Omaaa, tidak mau! Sakit!" protes Olivia. "Oh, sakit ya? Sorry, habisnya kamu lucu sih. Sorry ya anak manis. Oliv mau apa? Oma punya home made ice cream. Coba tanya Mama, Oliv boleh makan ice cream, tidak?" Ruby melirik Angeline. Mendengar itu Olivia langsung menoleh dan memberikan tatapan penuh harap pada sang ibu, "Mama, can I eat ice crea
Tercipta keheningan yang membuat semua orang tidak nyaman, khususnya Cedrick. Kali ini dia terperangkap oleh kata-katanya sendiri. Maksud hati mau menggertak, tapi orang-orang ini ternyata tidak mempan gertakan. Bagaimana mungkin seorang General Manager bisa begitu saja menelepon pemilik hotel secara pribadi? Bertemu saja tidak pernah! "Bagaimana? Tidak bisa? Bukankah hubungan kalian sangat baik?" sinis Angeline. "Ah, Nyonya. Mungkin Anda kurang paham, tapi secara struktur organisasi jalur komunikasi tidak semudah itu. Kami memang dapat berbicara langsung dengan beliau, setelah melalui perjanjian di sela jadwal beliau yang sangat padat." Cedrick tersenyum. Nathan menahan tawa. Seandainya lelaki paruh baya ini tahu siapa yang sedang dia hadapi. "Baiklah. Kalau Anda tidak mau biar saya saja." Angeline menoleh, "Nath, tolong." "My pleasure." Nathan mengambil handphone. Ketegangan menggantung di udara. Cedrick menyembunyikan kegelisahannya dengan sangat baik di
Kekhawatiran Nathan tidak beralasan. Ternyata Angeline bisa menerima kenyataan bahwa hotel di bawah naungan Golden Yue Group ini adalah miliknya. Namun, Nathan merasa ada tujuan lain di balik ketenangan sang istri. "Apa sih?" cetus Angeline yang merasa gerah karena selama satu jam terakhir Nathan menempel padanya seperti lintah. "Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak bereaksi negatif lagi. Bukankah kamu tidak ingin memiliki bagian apa pun dari Golden Yue?" Nathan mengungkung Angeline yang sedang berdiri di counter. "Cuma satu hotel, 'kan? Lagipula bukan aku yang menanganinya, melainkan kamu." Jemari lentik wanita itu menyusuri garis rahang suaminya. Nathan tersenyum, "Memang benar. Aku telah bekerja di balik layar sejak beberapa bulan terakhir. Kuakui dunia perhotelan ternyata rumit." "Oh ya? Apakah Anda kesulitan menghadapinya, Tuan Wayne?" Jemari Angeline bergerak turun ke dada bidang Nathan. "Tidak sesulit menebak pikiranmu, Baby Girl." Angeline ters
Aroma percintaan yang masih tersisa di ruang tamu suite tersingkir oleh aroma penyegar ruangan yang disemprotkan Angeline. Dia menatap puas ke sekeliling ruangan. Jangan sampai Rafael atau Olivia curiga ada sesuatu yang terjadi di sini. "Hei, Baby Girl," sapa Nathan yang baru selesai mandi dan berpakaian santai. Rambut berpotongan rapi itu masih terlihat basah dan seksi. "Hei juga." Angeline bergidik saat sepasang lengan lelaki itu memeluknya dari belakang. "Kamu tidak lelah? Tidurlah sebentar." Nathan menciumi leher sang istri. "Iya, mau tidur. Ini tanganmu ya, tolong dikendalikan. Tidak cukup semalam suntuk bercinta?" Angeline pura-pura mengomel. Nathan terkekeh tanpa terburu-buru memindahkan tangan yang sedang menikmati kelembutan tubuh wanitanya, "Ini namanya gerak refleks, Baby Girl. Lagipula sesuatu yang indah tidak boleh disia-siakan." "Ya sudah, tidur deh sebelum kamu terinspirasi untuk berbuat lagi. Semalam habis berapa bungkus pengaman tuh? Dasar
"Serius? Satu minggu? Dua minggu?" Angeline melongo. "Tidak masalah, 'kan? Selama ada bos yang menanggung biaya menginap?" Nathan tersenyum miring. "Iya sih, tapi memangnya kita mau menyelidiki sedalam apa? Oke lah, mungkin ada masalah sedikit dengan stok bahan makanan di restoran dan sumber daya manusia. Tapi kurasa ...." Angeline terlihat ragu. "Baby Girl, kamu meragukan argumenmu sendiri." "Iya yah? Kamu sih." "Hmm? Sampai sekarang tetap salahku?" Nathan menahan senyum. "Iya dong. Masa aku mau menyalahkan waitress tadi?" Wanita itu mengerucutkan bibir. Nathan tertawa, "Masih keki? Sudah kubilang, mereka akan terkena serangan jantung kalau tahu siapa kamu sebenarnya." "Aku tidak mau, Nath. Hidupku cukup damai sebagai istrimu. Jangan ditambah lagi." "Baiklah. Lupakan dulu hal itu. Bagaimana kalau sekarang kita makan siang di luar sebelum anak-anak unjuk rasa? Rafa sudah diam tanda kelaparan," ujar Nathan. "Oke. Setuju." Maka sepanjan
Malam berlalu menuju subuh. Langit menjadi saksi akan sebuah pergumulan panas yang baru saja berakhir di kamar lantai dua. Sepasang pelaku pergumulan rebah tumpang tindih dengan nafas terengah. "Sial ... itu terakhir kalinya aku membiarkanmu berbuat sesuka hati," desis Angeline yang kehabisan tenaga. Nathan terkekeh, "You're welcome, Baby Girl." "Sana sedikit, aku tidak bisa bernafas." "Ya, sebentar." "Nathan ...." "What? Aku sedang menikmati kehangatan istriku tersayang." Detik berikutnya Nathan mengaduh kesakitan karena Angeline mencubitnya keras-keras. Mau tidak mau dia berguling ke samping. "Rasain." Angeline tertawa kecil. "Why? Kamu seperti ada dendam denganku." Nathan menggosok-gosok pinggangnya yang memerah. "Oh, sakit ya? Poor Nathan." Terdorong oleh sedikit rasa bersalah Angeline melihat keadaan suaminya. "Iya, sakit. Cubitanmu keras sekali," rajuk Nathan. "Sorry." "Aku butuh ciuman." Cubitan berikutnya membuat Nath
Makan siang tersaji di meja makan. Nathan sekeluarga duduk manis menyantap hasil masakan Johan yang sudah tidak diragukan rasanya. Rafael bahkan sampai menambah dua kali! Sementara Olivia yang sudah kenyang masih asyik menyeruput kaki kepiting. "By the way, Jonathan menghubungimu tidak? Aku penasaran bagaimana perkembangan mereka setelah enam bulan tidak bertemu," ujar Angeline. Sambil mengobrol tangannya sibuk membersihkan ceceran kulit kepiting di meja. "Baby Girl, kenapa kamu harus membicarakan orang itu sekarang? Dia hanya melenyapkan nafsu makanku." "Oh, sorry ... lupakan saja kalau begitu." Angeline meringis. Nathan tersenyum simpul, "Kudengar mereka berdua nyaman tinggal di Labuan Bajo." "Jadi dia menghubungimu?" "Kamu lupa aku punya mata dimana-mana?" Angeline menepuk jidat, "Astaga. Benar juga. Terlalu lama hidup berdua membuatmu terlihat normal." Nathan tertegun, "Apa? Selama ini aku tidak normal?" "Uhm ... Rafa, tolong sendoknya satu