Melihat uminya sudah menunggu, Rahman memintaku segera turun, tak lupa dia membangunkan Dinda yang tertidur. Begitu turun, Rahman langsung menghampiri sang Umi meraih tangannya dan menciumnya takzim. Tapi ketika aku yang mendekat dan hendak melakukan hal yang sama, Umi Farida langsung menghindar. "Mi." Rahman hendak mengajukan protes atas sikap uminya, tapi wanita itu keburu memotongnya. "Pulang!" Tegasnya tanpa ekspresi. Wanita berkerudung lebar itu menatap dingin pada Rahman. Seolah menegaskan kalau dia sedang tidak ingin dibantah atau didebat. "Iya, Mi. Sebentar, aku bantu Mey menurunkan barang-barangnya dulu." Rahman nampak begitu patuh pada sang Ibu. "Umi tunggu di rumah!" Wanita itu berlalu begitu saja tanpa melihatku sama sekali, seolah aku ini mahluk tak kasat mata. Atau aku ini hanya seonggok sampah yang tak berharga di matanya? Hingga untuk sekedar dilihat pun dia merasa tak perlu, apa lagi menyapa layaknya manusia. Aku tersenyum getir melihat sikap ibunya Rahman pada
"Tahun depan aku lulus, Mey. Aku resmi jadi dokter spesialis anak. Lega rasanya, setelah bertahun-tahun berjuang akhirnya bisa mewujudkan semua mimpiku." Rey berkata sambil meletakkan cangkir teh, yang baru saja dia sesap isinya. Kubiarkan ayah biologis Dinda ini, menceritakan suka dukanya selama menekuni dunia kedokteran. Biasanya kalau dia datang, aku lebih memilih menghindar, sibuk dengan kegiatanku sendiri. Sementara dia asik menghabiskan waktu dengan Dinda, entah menemani Dinda belajar, main, atau sekedar ngobrol. Aku memang membiarkan dia dekat dengan Dinda, meski belum mengijinkan dia mengatakan siapa dirinya sebenarnya. Hampir setiap hari, Rey datang ke rumahku untuk menemui anaknya sebulan terakhir ini, sejak Dinda pulang dari rumah sakit dulu. Karena aku memutuskan hanya menerima job di siang hari, demi bisa menemani Dinda, maka setiap kesini Rey sering bertemu denganku. Pasti dalam benak kalian bertanya, kenapa aku masih mela*cur? Padahal aku sudah berjanji pada Rahman
"Karma itu nyata, aku sudah membuktikannya." Suara Rey terdengar serak. "Maksudmu apa?" Jelas aku penasaran dengan ucapan Rey, karena dia tiba-tiba diam dan justru terisak. "Kamu tahu, keluargaku berantakan sejak Papa dan Mama bercerai. Sesuai kesepakatan mereka berdua, aku ikut Mama sementara Shela ikut Papa." Ya, aku ingat Rey pernah cerita kalau orang tuanya sudah bercerai dan dia tinggal bersama mamanya. Itulah yang menjadi alasan kenapa Rey jadi anak bengal, bersikap seenaknya, suka bolos suka tawuran. Itu bentuk protes dia kepada kedua orang tuanya, karena memilih berpisah tanpa memikirkan nasib anak-anaknya. Rey lebih banyak di luar daripada pulang ke rumah. Dia bilang, "Pulang juga percuma, Mama nggak di rumah. Dia pasti sibuk kerja, mana sempat ngurusin anaknya ini.""Setelah tahu aku menghamilimu, Mama kena serangan jantung dan meninggal. Mungkin Mama merasa sudah gagal menjadi Ibu, sudah gagal mendidikku. Papa sangat murka karena mempermalukan orang tua, dengan kelakuank
"Apa harus berpindah keyakinan, demi bisa menikah denganmu?" Aku terhenyak mendengar ucapan, Rey. Dia rela pindah agama demi menikahiku? Atas dasar apa? Cinta yang begitu besar, atau ingin menebus rasa bersalah? Ucapan Rey memang terdengar indah, seolah aku adalah wanita yang sangat dia cintai hingga rela melakukan apa saja, bahkan kalau harus mengganti keyakinan. Sayangnya semua itu tak cukup membuatku luluh kemudian menerima tawaran Rey. Luka yang Rey tinggalkan, masih membekas hingga sekarang. "Nggak perlu, Rey. Kamu nggak perlu melakukan apapun, apalagi sampai pindah agama. Kita jalani hidup kita masing-masing, tak perlu menjadi suami istri kalau hanya untuk menjadi orang tua Dinda."Keputusanku sudah bulat, untuk meninggalkan kota ini dengan segala kehidupan yang sudah kujalani. Aku hidup dengan suasana baru, dengan orang-orang baru. Aku ingin melupakan semua masa lalu kelam yang pernah kulalui. Rey adalah bagian dari masa lalu, aku tidak ingin membawanya dalam rencanaku. Cuku
"Pondok Pesantren Daruttauhid" Begitu yang tertulis di papan berukuran besar, di depan pintu gerbang sebuah bangunan tiga tingkat di depanku. Bangunan ini tak banyak berubah, dari terakhir aku berkunjung ke tempat ini bersama Umi dan Abah, menyambangi Abizar dua belas tahun yang lalu. Hanya ada sedikit perubahan di pintu gerbangnya, dan catnya yang terlihat baru saja diperbarui. Ya, aku sengaja datang ke tempat ini, tempat di mana Abizar dulu menuntut ilmu. Aku berharap bisa bertemu dengan adik kandungku itu, setelah delapan tahun terpisah. Semoga dia masih di sini, kalau pun tidak. Semoga aku bisa mendapat informasi tentang Abizar, semoga. Alasanku menjadikan Jombang sebagai tempat tinggal baru, selain bertemu Abizar, alku ingin mendalami ilmu agama. Aku ingin kembali ke jalan yang benar, aku ingin bertaubat. Dinda sudah semakin besar, aku tak mau dia menanggung malu, apalagi sampai membenciku karena profesiku. Jombang kota yang tepat, karena suasana religius terasa begitu kental d
"Tidak merepotkan, tapi mungkin tak senyaman kamar kalian. Mbak Mey bawa koper sebesar ini kayak mau pindahan, aja." Abizar pasti bingung melihat koper besar, dan tas yang tak kalah besar yang kubawa. "Ceritanya panjang, Bi. Nanti aku akan cerita."Belum sempat Abizar menjawab, tiba-tiba ponselku berbunyi. Buru-buru aku merogoh tas, dan mengambil benda pintar itu dari sana. Nampak nama Rahman terpampang di layarnya. Mau apa dia? "Angkat aja, Mbak. Nggak usah sungkan sama aku." Abizar berkata setelah melihatku mengabaikan ponsel yang terus meraung minta diangkat. "Telfon nggak penting, Bi. Abaikan saja!" Abizar mengangguk. "Jadi bagaimana? Jadi nginep sini, kan? Mbak Mey hutang banyak penjelasan padaku. Kamu mau nginep di sini, kan, Din?" Abizar beralih menatap Dinda yang nampak anting di sampingnya. Dinda mengangguk yakin sambil menatap Om yang lama tidak dia temui itu. "Tuh, kan, Dinda mau nginep sini. Kalau begitu tunggu apalagi? Ayo kita ke belakang!" Abizar menarik koperku
Belum sempat Abizar menjawab, ponselku kembali meraung-raung minta diangkat. Lagi-lagi nomor Rahman yang melakukan panggilan. Apa laki-laki ingin mengobral janji lagi? Memperjuangkan aku di depan orang tuanya, yang nyatanya gagal total itu. Atau Rahman sudah mendapat restu dari orang tuanya, atau bagaimana? Hingga berani menghubungiku? Kalau pun iya, agaknya dia sudah terlambat. Aku sudah terlanjur memutuskan pergi. Kalau pun dia berhasil mendapat restu, aku sudah males hidup di lingkungan itu. Mulut tetangga di sana julid semua. "Dari siapa sih, Mbak? Kok nggak diangkat?" Tanya Abizar penasaran. "Bukan siapa-siapa, Bi." Kami masih di lorong pesantren, jadi aku tidak berani cerita tentang Rahman pada Abizar. Butuh tempat khusus, nggak enak kalau ada yang dengar. "Bukannya mau ikut campur, Mbak. Tapi aku lihat dari tadi ada telfon masuk, dan Mbak Mey abaikan terus. Mungkin orang yang nelfon itu memang benar-benar ada hal penting yang mau disampaikan." Aku menghela nafas panjang. "
Meski malas akhir kuambil benda pintar itu, dan membukanya. Ternyata ada beberapa pesan WA masuk dari nomor Rahman. Ternyata laki-laki itu tak menyerah begitu saja, meski berkali-kali ku abaikan. "Mey, ini Umi Farida.""Tolong angkat telfon, Mey.""Ini penting, Mey." Jantungku tiba-tiba berdetak tak menentu. Umi Farida menelfon ku, ada alamat apa ini?Mataku tak lepas dari ponsel dalam genggaman, menatap tak percaya pesan yang tertulis dalam benda pipih itu. Rahman kenapa? Kenapa Umi yang menelfon ku? Pertanyaan itu kini memenuhi kepalaku. "Dari siapa, Mbak?" "Eh, dari tetangga Mbak di sana," jawabku tergagap. "Kayaknya penting banget, Mbak. Dari tadi nelfon terus, lho." Aku terdiam mendengar ucapan Abizar, kalau tidak penting tentu Umi Farida tidak akan menelfon ku. "Nggak ditelfon balik aja, Mbak?" Aku menggeleng ragu. Dalam hatiku sebenarnya penasaran, kenapa Umi Farida menelpon? Tapi rasa takut menguasai hati, hingga aku mengabaikan rasa penasaran itu. Masih teringat jelas