Share

Wanita Penghibur Berkelas
Wanita Penghibur Berkelas
Author: Mustacis

1. Ibu Tiri yang Mengerikan

“Ah, kau tidak pernah bercerita tentangnya.”

Narumi, wanita bermata runcing itu menatap terang-terangan dari ujung sepatu sampai ujung rambut seorang perempuan yang berdiri ciut dalam dekapan Tanjung.

Wanita yang sedang menyilangkan kaki di sofa ruang tengah itu memberikan pandangan menyelidik seolah menelanjangi Vita, perempuan kesekian yang Tanjung bawa ke hadapan orang tuanya.

Tanjung mendekap erat pinggang Vita, menyalurkan kekuatan lewat pelukan tangannya, atau justru mencari kekuatan. Sebab lebih daripada Vita, dirinyalah yang paling ciut.

Jantungnya berdebum keras karena Vita bukanlah wanita biasa yang iseng dia bawa untuk mengganggu ibu tirinya—Narumi. 

Vita adalah perempuan yang dia cintai. Gadis manis beramut hitam dan bertubuh mungil dengan dua lesung pipi kecil menghiasi sudut bibirnya. Tanjung menyukai gadis ini. 

“Jadi dia adalah pegawai magang di perusahaan kita. Apa seleramu turun drastis, anakku?” Wajah itu tak menampakkan emosi sedikit pun, hanya matanya yang berbicara segalanya.

Tanjung membeku di hadapan wanita itu. Diremasnya pinggang Vita lebih keras sampai gadis itu sedikit meringis. 

“Sebelum-sebelumnya kau membawa perempuan elegan dari keluarga baik-baik. Tapi sekarang ….” Lagi, Narumi menyapu penampilan sederhana Vita lalu memberikan delikan mata remeh.

Vita menggigit bibir. Kakinya yang dibalut flat shoes biru yang manis mundur secara otomatis. Ia ingin lari dari sini sekarang juga. Betapa pun eratnya pelukan Tanjung, tetap saja dia tidak mampu berada di sini lebih lama lagi.

Kakinya yang dibungkus celana jeans gemetar. Ibu kekasihnya itu sangat menakutkan. Bahkan tanpa dia berbicara pun, auranya sudah seperti malaikat maut. Dada Vita luar biasa sesak. Ia ingin pulang.

“Lihatlah dia, aku tak menemukan sedikit pun keanggunan darinya. Dari mana kau memungutnya?” Pandangan tajam Narumi berpindah kepada Tanjung.

Suaranya dalam dan tegas. Nadanya rendah dan menusuk, tak memberikan celah bagi siapa pun untuk membantahnya. 

“Sepertinya pelajaran yang kuberikan padamu selama ini belum cukup, anakku. Aku sudah bilang berulang kali, jangan memungut barang murahan yang kotor di tepi jalan, karena hanya akan mengotori pakaian dan rumahmu, sia-sia meski kau sudah membersihkannya sekalipun.”

Napas Vita tertahan. Matanya memerah berkaca-kaca. Penghinaan yang luar biasa besar itu baru pertama kali dia dapatkan.

Sedang Tanjung mengepalkan erat-erat satu tangannya yang bebas. Lagi-lagi seperti déjà vu. Diliriknya sang ayah yang memalingkan wajah di ujung sofa, duduk kikuk di sofa tunggal yang disediakan khusus untuk pemimpin keluarga. Tak mengatakan apa-apa dan hanya menonton sambil menelan ludah sejak tadi.

Dirinya maupun sang ayah sangat tersinggung.

“Aku tidak perlu bertanya rumah seperti apa yang dia tinggali, di mana dia menyelesaikan pendidikannya dan gelar apa yang sudah dia dapatkan. Karena aku bisa melihatnya sekarang.”

“Karena Ibu sudah menyelidiki semuanya,” geram Tanjung. Giginya bergemelutuk.

Narumi mengambil cangkir tehnya di atas meja dengan jari yang lentik dan kuku-kuku yang terawat bersih. Vita minder melihatnya. Bahkan meski wanita itu sudah berumur, kecantikan dan kemolekan tubuhnya sangat jauh dibandingkan dengan dirinya.

Karena perawatan yang mahal. 

Narumi mendekatkan mulut cangkir ke bibir tipis merahnya tanpa memutuskan tatapan tajam pada Tanjung. “Karena aku sangat menyayangimu. Aku tidak mau putraku satu-satunya terlibat dengan wanita miskin yang tidak punya kepercayaan diri dan hanya berpikir untuk menumpang kaya dengan harta Maulana. Aku harus melindungimu. Jangan berbuat bodoh seperti orang lain.”

Sudah jelas siapa orang lain yang Narumi maksud. Harun, sang suami berdeham canggung di kursinya.

Ingin rasanya Tanjung meneriaki semua orang, bahwa wanita ini bukanlah ibunya. Dia adalah jelmaan iblis yang bersembunyi di balik kata ibu. 

“Saya tidak mengincar harta!” Vita memberanikan diri bersuara, didorong oleh rasa terhina yang luar biasa.

Narumi mengangkat kedua alis sekilas lalu memberikan senyum yang teramat tipis memuji keberanian Vita. “Oh ya? Kalau begitu maafkan aku. Aku sudah salah paham.”

Tak sedikit pun Vita merasa lega. 

“Seharusnya kau memacari sesama pegawai magang atau pegawai senior saja, Nona Vita Virsa. Bagaimana caramu menggaet seorang direktur, hm? Jadwal anakku sangat ketat dan tidak sempat bertemu secara kebetulan dengan seorang pegawai magang. Jangan membodohiku.”

Cangkir yang bertengger di pangkuan Narumi tak sedikit pun bergerak dan Vita tak mampu membuka mulut lagi. Berharap Tanjung akan membelanya habis-habisan atau membawanya pergi dari sini, tapi lelaki itu malah melonggarkan dekapannya.

Vita semakin takut. 

“Ibumu masih hidup, Nona Vita?”

Vita tidak menjawab sedikit pun. Pupilnya bergetar saat bertemu dengan mata Narumi yang berkilat mengerikan.

“Dia masih hidup.” Bukan Vita yang menjawab, tapi Narumi. Mengangkat kembali gelasnya ke depan mulut.  

Vita diam tak berkutik. Satu kalimat pedas lagi, maka dia akan benar-benar pergi dari sini. Masa bodoh dengan Tanjung yang masih diam mematung di sampingnya. 

“Seharusnya ibumu mengajarimu tentang dunia. Bahwa betapa pahitnya dunia ini saat kau tidak menyadari posisimu. Dia yang bahkan tidak bisa memberimu gelar sarjana dengan uangnya sendiri. Kutebak, jika kau membawa putraku ke hadapannya, dia akan langsung menyetujuinya hanya dengan menyebutkan nama Maulana.”

Kedua kaki Vita sudah lemas tak bertenaga.

“Wanita miskin selalu tidak tahu diri.”

Cukup sudah. 

Satu tarikan napas panjang mewakili kedua kaki Vita yang berputar dan meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata pun. 

Langkahnya terburu-buru, mengentak-entak meninggalkan teras besar dan keluar dari gerbang maha tinggi itu. Air mata sudah membasahi wajah kecilnya. Tak peduli jika dia harus jalan kaki sampai rumah, dia tidak ingin bertemu dengan perempuan mengerikan itu lagi.

“Vita!” Panggilan yang panik itu tak lantas membuat Vita berhenti.

Ia mendengar suara derap langkah yang berlari mendekat kemudian meraih tangannya. Vita berhenti dan berhadapan dengan atasan sekaligus kekasihnya.

“Kumohon jangan pergi.” Peluh membasahi wajah yang terpahat tampan itu. 

Vita mendongak untuk mensyukuri betapa beruntungnya dia bisa memiliki lelaki sempurna ini. Rambut hitamnya yang dipotong rapi dengan tatanan berkelas, kedua mata sipitnya yang menukik tegas dan hidungnya yang menjulang indah serta bibir tipis kemerahan yang seringkali menciumnya dengan lembut. 

Penampilan lelaki itu jauh dari kata sederhana, kontras dengan penampilannya saat ini. Jam tangan rolex seharga mobil dan setelan celana serta kemeja yang mungkin seharga rumah. 

Untuk saat ini Vita menghapus jauh kata beruntung itu dari pikirannya. Lelaki ini memang sempurna, tapi tidak dengan keluarganya. Dia memang laki-laki idaman, tapi jelas tidak punya keluarga idaman yang diinginkan setiap perempuan yang akan menjadi istrinya.

“Kenapa mengejarku? Kenapa memintaku jangan pergi? Mas ingin aku kembali ke dalam dan dihina sampai pagi?” 

Tanjung memegang kedua bahu Vita yang bergetar. “Maafkan aku.” Lalu mendekap gadis berumur 24 tahun itu. 

Vita memukul-mukul dada bidang itu. “Seharusnya aku tidak diperkenalkan secepat ini! Semestinya kau tidak usah membawaku saja!” 

Tanjung tak melonggarkan pelukannya kendati pukulan Vita kian keras menghantam dadanya.

“Mas harusnya menunggu sampai aku bisa menjadi pegawai tetap, atau setidaknya berikan aku jabatan tinggi dulu lalu memperkenalkanku ke keluargamu! Dia menghinaku habis-habisan, Mas. Ibuku juga dihina! Apa salahku?!”

“Maafkan aku, Sayang.”

Seharusnya lelaki ini memodalinya dulu, memberikan uang untuk perawatan dan membelikan baju-baju yang sepadan dengan selera ibunya. Mungkin butuh waktu lama, tapi Vita akan mempersiapkan diri dengan sangat matang. 

“Kau pasti akan memutuskanku, iya’ kan? Mas akan meninggalkanku karena perintahnya. Karena aku tidak lebih penting dari semua hal yang sekarang kau miliki.”

“Tidak. Bukan begitu. Aku tidak akan pernah memutuskanmu.” Tanjung mengurai pelukan mereka dan memberikan sorot mata penuh tekad kepada sang kekasih.

“Aku akan mencari cara agar kita bisa bersama, aku berjanji. Kita akan segera menikah dengan atau tanpa izinnya.”

“Tapi ibumu sudah merendahkanku dan keluargaku!”

Tanjung menghela napas penuh rasa bersalah. Ia ingin memberikan janji lebih banyak lagi, tapi ia tahu dirinya tidak sanggup mewujudkannya. “Maafkan aku.”

“Kalaupun kita bisa menikah, ibumu akan terus menyerangku seperti tadi. Apa yang akan kau lakukan, Mas?”

Tanjung mengangguk dalam hati, menyetujui argumen Vita. Tapi ia tidak ingin kehilangan gadis ini. “Bisakah kau menunggukku, Vita?”

Vita berpikir sejenak, keraguan menyelimuti sorot matanya. “Berapa lama?”

Dan kali ini Tanjung diam, bingung dan tak lagi sanggup memberikan janji. Dia tak tahu seberapa lama waktu untuk mendapatkan restu atau mungkin menyingkirkan sang ibu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status