Lalu ucapan penuh retorika itu diakhiri dengan satu senyuman merendahkan dari perempuan itu. Dengan wajah yang mulus tanpa celah, kulit seputih dan secerah susu serta tubuh yang langsing dan tinggi, tidak salah kalau dia mengatakan bahwa laki-lakilah yang akan mengemis padanya.
Tanjung bahkan sempat mengira bahwa mereka sedang syuting film dan perempuan itu adalah tokoh utamanya. Seperti top model atau bahkan aktris profesional yang sering wara-wiri di layar kaca.
Sangat cantik dengan karakter dan aura yang menarik.
Gigi dari istri laki-laki tua yang setengah botak dan berperut buncit itu bergemelutuk. Menahan amarah dan siap melempar botol kosong di atas meja ketika seorang pria tinggi dengan tubuh kurus menghalangi.
“Maafkan kami, Bu. Tolong jangan buat keributan di sini. Dia adalah pekerja kami.”
Mata wanita bersanggul tinggi itu melotot. “Memangnya kenapa? Dia sudah menggoda suamiku!”
“Ke mana semua pengawal, Leon? Kenapa cuma kau yang datang? Kau mau aku ditusuk dengan pecahan botol sebentar lagi? Yah … itu sih tidak masalah bagiku, kau yang rugi 'kan?” Perempuan itu mengerling santai kepada laki-laki bernama Leon seolah ditusuk pecahan botol bukanlah perkara yang besar baginya.
Seolah dia bisa menaklukkan apa saja … dan siapa saja.
Mendadak kepala Tanjung dipenuhi ide-ide yang menaarik. Tidak. Itu ide yang gila. Membayangkan jika wanita yang tidak takut apa pun itu berhadapan dengan Narumi, sang ibu tiri.
“Hah!! Perempuan murahan sepertimu tidak usah sombong! Kuperingatkan kau, jangan mendekati suamiku lagi!!’
“Maaf, Nyonya. Aku masih punya banyak stok laki-laki yang akan membayarku dengan pantas, tidak level mengemis pada suamimu yang hanya seorang manajer perusahaan biasa.”
Ucapan skak mat itu diakhiri dengan kedatangan beberapa pengawal yang meleraikan kerumunan dan membawa pergi wanita paruh baya dengan riasan cukup tebal itu beserta suaminya keluar.
Kehebohan mereda dan perhatian orang-orang mulai menyurut. Musik kembali menyala dan menghipnotis pengunjung lalu kekacauan di depan sana dibereskan oleh waitress dan pengawal.
Mata Tanjung tak pernah lepas dari perempuan bergaun hitam basah yang sedang berjalan melewati meja bar. Pandangannya terus mengikuti wanita yang berjalan dengan kepala tegak dan sangat percaya diri itu.
“Sepertinya kau tertarik padanya.”
Suara itu memutus lamunan Tanjung. Ia baru sadar bahwa wanita bergaun kuning yang sejak tadi duduk di sebelahnya masih ada.
“Siapa perempuan itu?”
Wanita yang tadi memperkenalkan diri dengan nama Laura itu menyentuh gelang emas putihnya, berpikir sejenak. “Serina. Dewi di tempat ini.”
Tanjung semakin penasaran. “Dewi?”
“Ya, dia yang menguasai tempat ini. Kerjanya cuma sebagai peliharaan club tapi dia spesial. Dia wanita penghibur top 1 yang selalu disewa oleh orang-orang berduit dan tidak sembarangan menerima bayaran. Harga sewanya sangat mahal.”
Sepertinya Laura tidak masuk dalam jajaran wanita penghibur itu.
“Kau lihat semua laki-laki memandangnya tertarik? Laki-laki itu harus mengantre setidaknya sampai satu minggu untuk dapat giliran tidur dengannya jika sudah membayar. Tentu saja akan cepat jika kau bisa membayar dua atau tiga kali lipat. Hebat, kan? Aku baru mendapati wanita penghibur berkelas sepertinya.”
Itu bukanlah prestasi yang hebat jika pekerjaannya adalah wanita penghibur.
“Tapi kalau denganku gratis. Aku akan menemanimu kapan pun kau mau.” Tangan lentik berkuku merah itu merambat ke bahu Tanjung.
“Tidak, terima kasih.” Ditepisnya tangan itu dengan sopan. “Terima kasih juga atas informasinya.”
“Ya, tidak masalah. Aku sedikit kesal karena kamu menolakku, meski gratis tapi aku bisa memuaskanmu berapa ronde pun kau mau.”
Tanjung tak lagi menghiraukan, menatap gelasnya yang sudah kosong dan tak peduli saat Laura meninggalkan kursi di sampingnya.
“Kalau Anda mau memesan Serina, langsung ke Leon—manajer club—sebaiknya cepat karena Serina akan pensiun setelah ini.”
Tanjung mengangkat wajah pada bartender bertanda nama Andi itu. “Pensiun?”
“Ya, dia akan berhenti.”
“Kenapa?” Tanjung juga bertanya-tanya mengapa dirinya sangat penasaran seperti ini.
“Entahlah, dia tidak bilang alasannya.”
Tanjung mengerjap cepat. Memutar otak sedikit lebih keras dan menemukan alasan yang sangat kuat mengapa dia begitu tertarik kepada perempuan bernama Serina.
Mungkin Serina bisa menjadi kunci kebebasannya.
“Sial! Badanku lengket semua!” Serina duduk di sofa ruangan Bos, tempat yang ditempati Leon dan Brata—pemilik club. Leon duduk di hadapannya sambil terus menghela napas. “Harusnya kau tidak usah meladeninya. Langsung panggil aku atau pengawal saja.” Serina tidak menanggapi, malah sibuk menyeka dadanya yang lengket dengan tisu basah. “Kita bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik-baik dan mengantar mereka pulang dengan tenang.” Serina memutar bola mata, menjauhkan tisu basah yang sudah penuh dengan bekas wine dari dadanya. “Lalu membayar ganti rugi? Memang apa salahnya berargumen sedikit? Bukannya menyentil kelamin suaminya, dia malah menyerangku. Bodoh sekali. Memangnya aku yang menggendong suaminya untuk datang ke sini?” Leon mendesah takjub pada pilihan kata-kata Serina yang unik. Ia menyandarkan punggung ke sofa dengan wajah lelah lalu menatap Serina tidak enak. “Ini penghinaan terakhir yang kudapatkan. Setelah ini aku harap kau melindungi para pekerja dengan baik. Bukan m
Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, Tanjung sampai ke koridor panjang yang remang-remang dan jauh dari ingar bingar musik. Mengikuti punggung perempuan bergaun hitam tadi. Wanita itu menyusuri lorong ini dengan langkah terburu-buru.Ia terus berjalan meskipun sudah kehilangan jejak dan tiak tahu di ruangan mana wanita itu masuk. Semuanya terlihat sama. Hingga ia mendengar bunyi ketukan sepatu yang bergema cepat dan suara umpatan. Suara itu semakin dekat sampai akhirnya ia bisa mendengar jelas makian apa yang tengah bergaung itu.“Sial! Brata Berengsek! Dia kira aku sapi perah yang bisa menghasilkan uang seenak dia?! Sialan! Dia pikir aku tidak berani melukai tubuh atau wajahku untuk keluar dari sini? Lihat saja kau, Berengsek! Akan kuhancurkan club sialanmu ini!”Rentetan umpatan itu membuat bulu kuduk Tanjung merinding, sampai ketika ia bisa melihat seorang perempuan tinggi yang berjalan cepat ke arahnya. Ia menyipitkan mata dan mengenali wanita itu.Wanita yang sangat menarik
“Jadi istriku.”Serina hampir mengira dirinya salah dengar. Dada mereka bersentuhan dan ia bisa merasakan gerakan naik turun dada Tanjung yang semakin cepat.Ia mendorong laki-laki itu dan memberikan jarak di antara mereka. Syukurlah, kali ini tubuh Tanjung bergerak, dan Serina bisa melihat mata Tanjung yang bergetar dan memerah. Bola mata Tanjung seperti tidak fokus, seolah berusaha menghindari tatapan Serina. “Istri kau bilang?” Serina tidak habis pikir. “Banyak laki-laki yang tertarik padaku, tapi baru kali ini ada yang memintaku menjadi istrinya.”Serina gemas sekali. Ingin rasanya ia mengangkat dagu laki-laki itu dan membuatnya menatap matanya. Ia seperti sedang berhadapan dengan murid SD yang sedang mengakui kesalahannya di depan guru. “Apa alasanmu? Kita baru pertama kali bertemu.” Lalu Serina membulatkan mata lima detik kemudian. “Oh, apa cinta pada pandangan pertama?” Ditatapnya lelaki itu ngeri.Tanjung tidak menjawab.Dan Serina menertawakan terang-terangan. “Kau ingin m
Serina belum mengambil keputusan yang bulat sepenuhnya. Ia patahkan sorot mata yang berbinar itu dalam satu tatapan tegas.“Jangan senang dulu. Aku ingin kau menghadapi seseorang terlebih dulu.”Namun, tidak seperti dugaannya. Binar di mata Tanjung tidak surut sama sekali. “Aku akan menghadapinya.”Tanjung bisa menghadapi segala jenis orang kecuali Narumi. Ia bisa bernegosiasi dengan cepat dan mengambil keputusan akhir yang menguntungkan. “Mana orangnya?”Alih-alih menunjukkan orangnya, Serina malah melempar surat kontrak yang sejak tadi diremasnya ke atas meja. “Ini surat kontrakku bersama orang itu. Namanya Brata, pemilik tempat ini. Sesuai dengan tanggal perjanjian, seharusnya aku sudah bisa kelaur dari sini hari ini, tapi si Brata sialan itu malah mencantumkan pasal penipuan di bagian bawah.”Tanjung membaca baik-baik isi surat itu dan menemukan poin terakhir yang membuat dahinya berkerut. Sekarang dia tidak terlihat seperti anak kecil yang merengek lagi. Sorot matanya serius dan
Serina mengedikkan kepala tidak peduli melihat mayat laki-laki mungil malang yang jatuh di bawah ranjang. Lalu pandangannya yang tak acuh kembali ia tujukan pada Brata yang masih mematung tidak percaya.“Pakai bajumu, lalu bicara denganku di ruangan lain.”Brata akhirnya tersadar dari keterkejutannya, napasnya menyentak marah. “Apa yang kau lakukan, Serina?!”Serina mengangkat dagu alih-alih merasa bersalah. “Membunuhnya.” Menunjuk laki-laki bersimbah darah di bawah ranjang dengan santai.Gemelutuk gigi Brata terdengar jelas di tengah keheningan kamar. “Beraninya kau melakukan itu padanya!”“Sudahlah, Brata. Jangan sampai peluru ini ikut menembus kepalamu. Aku tunggu di ruangan yang bersih.”Serina tak memedulikan ekspresi bengis Brata sedikit pun. Ia melengos keluar dari kamar yang sudah bersimbah darah itu dengan tak acuh. Tanjung mengekor secara otomatis di belakangnya.“Kenapa kau membunuhnya?”Serina terus berjalan tanpa mengindahkan pertanyaan Tanjung, pun mengabaikan para pria
Serina menggeliat marah, mencoba melepaskan diri dari belitan tangan Tanjung untuk kembali menyerang Brata, tapi Tanjung memeluknya kian erat sampai Serina hanya bisa mendengus penuh amarah.“Lepaskan aku, akan kubunuh si keparat itu!”“Kau mengajakku ke sini bukan untuk menyaksikan semua tindakan kriminalmu!”Detik itu juga Serina terdiam. Seolah kata kriminal itu begitu melekat di kepalanya. Berulang kali dia mendengarnya dan berulang kali pula dia selalu terpengaruh.Melihat Serina menjadi lumayan tenang, Tanjung melonggarkan pelukannya. “Kau bilang aku harus menghadapi seseorang untuk membuatmu menyetujui tawaranku. Apa dia orangnya?” Tanjung melirik Brata yang masih terbatuk-batuk.Serina tidak menjawab. Hanya deru napasnya yang berembus tidak teratur. “Biar aku yang menyelesaikannya. Diamlah dan serahkan semuanya padaku.”Serina mendengus kasar—masih menggeliat marah di atas pangkuan Tanjung. “Aku akan mengatasinya. Percayakan padaku.”Serina masih enggan turun dari atas paha
Serina kehilangan kendali diri. Malam ini adalah malam yang sangat tidak beruntung untuknya. Dihunjamnya Brata sangat tajam. Matanya penuh dendam dan kebencian. “Kau tidak lihat kondisinya? Aku harus membawanya ke rumah sakit dulu.” “Kalian pasti akan kabur setelah ini. Jangan membodohiku.” “Lalu apa maumu?” “Pengawalku akan mengikuti kalian.” “Jangan gila! Kami akan ke rumah sakit sekarang!” Di tengah ringisannya yang semakin kesakitan, Tanjung meraba-raba dompet di saku celananya. Tangannya gemetar dan tidak mampu bergerak dengan bebas. Serina sangat membenci situasi ini. Sungguh. Alih-alih kembali kepada keluarganya dan tidur dengan nyaman, sekarang dia harus berhadapan dengan dua laki-laki menyebalkan. “Apa sih yang kau cari?!” “Dompet,” jawab lelaki itu lirih. Serina akhirnya membantu, gemas melihat Tanjung yang terus merogoh sakunya, tapi tidak mengeluarkan apa-apa. Ia memasukkan tangan ke saku lelaki itu, agak sulit karena ia harus menyorongkan tubuh sebab tangan ki
Selagi dr. Linda mengobati luka Tanjung, Serina membuka seluruh kancing kemeja lelaki itu dan mulai membersihkan peluh yang membanjiri dada dan perutnya.“Apa tidak ada infeksi?” tanyanya.“Untungnya tidak karena Anda cepat memanggil saya, tapi pelurunya menembus cukup dalam. Saya tidak punya alat yang cukup untulk membedahnya.”Serina semakin pening. Apa lagi yang harus dia lakukan sekarang?“Begini, saya punya rekan dokter yang punya klinik pribadi. Kalau pasien tidak mau dibawa ke rumah sakit, dia bisa dibawa ke sana.”Serina luar biasa lega. Ia mengangguk cepat dan dr. Linda langsung menelepon rekan dokternya.“Syukurlah. Masih ada ruang operasi yang kosong. Kita harus cepat membawanya.”Tanpa membuang waktu yang lama, dr. Linda membantu Serina memapah Tanjung. Wanita berkulit kecokelatan itu buru-buru mengambil mobilnya di depan apotek dan kembali membantu Serina memasukkan Tanjung ke dalam mobil.“Kliniknya cukup dekat. Cuma perlu 12 menit. Kita akan sampai dalam sepuluh menit.”
Yang tertangkap saat Serina membuka mata adalah cahaya remang-remang. Lampu besar di tengah kamar mati dan yang menyala hanyalah lampu tidur di atas nakas. Suasananya tidak seterang saat ia dan Tanjung memasuki kamar. Wangi parfumnya dan parfum Tanjung menyatu dan menyebar di seluruh ruangan. Meski pendingin ruangan tetap menyala seperti tadi, tapi rasanya tidak dingin sama sekali, sebab ada tubuh yang merangkumnya dengan cara yang sangat hangat. Punggung telanjangnya menempel pada dada bidang yang terasa keras namun lembut. Serina menggerakkan kepala, menoleh dan menemukan Tanjung yang terpejam dengan damai. Tak ada kegelisahan di wajah maha tampan itu dan Serina menyukainya. Ia bahkan baru menyadari jika sejak tadi jari jemari mereka menyatu di depan dadanya. Serina tak ingin menanyakan apa yang terjadi pada perasaannya dan mengapa jantungnya berdebar halus namun penuh antusias. Untuk pertama kalinya ia tidak merasa jijik saat mendapati seorang lelaki telanjang di atas ranjangny
Tangan kokoh itu mendekap pinggangnya, terasa kuat namun seolah tengah mencari kekuatan. Serina terbawa suasana, pada embus napas Tanjung yang melemah, hangat tubuhnya, serta irama jantungnya yang berdetak cepat. “Aku akan menemanimu.” Serina mengucapkannya bukan karena merasa kasihan, sebab hatinya ingin memberitahukan pada lelaki ini, bahwa dia, “… akan berada di sisimu.”Tanjung tak menjawab. Hatinya merasa senang sekaligus pedih. Haruskah ia percaya pada Tuhan dan membiarkan wanita ini berada di sisinya? Sebab ia tak menemukan jaminan Serina akan selalu baik-baik saja dalam tampungan atap istana Maulana. “Sudah tengah malam. Bawa dia ke kamarmu, Serina.” Ucapan tegas itu memotong dari arah belakang. Sebelum Tanjung mengangkat wajah dan hendak menengok ke belakang, Serina mendekap kepala lelaki itu dan kembali menenggelamkannya di dadanya. “Tidak, dia harus pulang, Izora.” Meski suara berat itu samar, tapi masih bisa ditangkap oleh telinga. Nada keberatan, lalu menghilang seol
Wanita itu masih ada di hadapannya. Kondisinya masih sama—menyedihkan, seperti mayat hidup yang enggan mati, tak jua bisa dikatakan hidup. “Dua puluh dua tahun aku mengurungmu di sini, itu belum cukup, Rahayu.”Rahayu yang tak lagi terlihat manis dan menawan itu menatapnya dengan bola mata yang melotot, mengerti perkataan Narumi, tapi tak punya susunan kata untuk membalasnya. Bibir pucat dan pecah-pecah itu berat untuk terbuka. “Dan selama itu pula, anakmu ada di tanganku. Kusiksa dan kumanfaatkan sesukaku.” Ucapan itu memantik keseluruhan diri Rahayu. Ia memberontak, hendak maju menerjang Narumi, tapi terhalang oleh rantai dan pasung. Rambut yang berantakan tak terurus, tubuh kurus kerempeng hingga tulang-tulangnya menyembul, pakaian yang seadanya dan sudah robek-robek serta warnanya tak lagi terlihat, luntur, dan kumal. Dia tak lagi bisa disebut manusia. “Ingat ini, Rahayu. Karena dosa-dosamu di masa lalu, anakmu jadi menderita.” Narumi ikut terbawa perkataannya sendiri. Piki
Meski sudah 22 tahun berlalu tanpa melihat sang ibu, Tanjung hafal betul wajah yang kerap kali tersenyum lembut padanya. Ia menanamnya di kepala selama ini selagi ia bertarung di rumah Maulana. Mungkin ibunya juga akan terlihat kurus dan tidak terawat, tapi jelas wanita ini bukanlah ibunya. Tinggi tubuhnya, sorot matanya, proporsi wajah, dan sentuhannya. Segalanya berbeda. “A-apa maksudmu?” Serina amat terkejut mendengar pengakuan Tanjung. Wanita itu bukan ibunya? Jelas-jelas perempuan itu adalah satu-satunya orang yang berada di tempat yang diam-diam selalu Narumi kunjungi.“Aku ibumu! Anakku!!” Wanita itu kembali mendekap Tanjung, tapi Tanjung mengurainya dengan kasar. “Anda bukan ibu saya!”Kekesalan di wajahnya benar-benar tercetak dengan jelas. Lebih daripada itu, ia amat kecewa. Harapannya melambung tinggi, tapi lagi-lagi ia terjatuh ke dasar jurang yang sangat dalam. Mungkin ini adalah pertama kalinya, Serina melihat wajah itu benar-benar mengerut penuh kekesalan. Bibirnya
Haruskah Serina mengakui jika dia juga menyukai cara lelaki ini menatapnya? Lembut, penuh penghormatan, dan rasa rindu yang dalam. Ia tak berani menyimpulkan terlalu jauh, sebab setiap lelaki yang mengaku tertarik padanya, tak pernah mencintainya. Mereka hanya terobsesi pada kecantikan seorang Serina, tapi lelaki ini berbeda. Matanya memandang dengan cara yang berbeda dari para lelaki bajingan itu. “Aku sudah banyak menyakitimu. Aku ingin melihatmu lagi, tapi tidak di rumah itu, tidak di tempat di mana Ibu akan mengancammu setiap hari.”Ah, dia sangat baik. Serina akhirnya bisa merasakan perasaan terenyuh. Untuk pertama kalinya, ada pria yang menatapnya khawatir di atas ranjang. “Lalu, haruskah kita kabur saja? Tinggal berdua di rumah lain?”Ide yang diucapkan secara asal-asalan itu mampu membuat hati Tanjung berdenyut perih. Bisakah ia melakukannya? Ia menginginkannya, tapi tidak untuk sekarang ketika Narumi sanggup menemukannya ke mana pun dia pergi. Serina meletakkan tangan di
“Kalian sama. Dia perempuan yang merebut–”“Hentikan, Ibu.” Belum sempat jawaban yang ditunggu-tunggu semua orang itu terucap, Tanjung naik ke panggung diikuti oleh beberapa pengawal. “Bawa Ibu ke kamar 718. Biarkan dia istirahat.”Dua pengawal langsung memapah Narumi turun dari panggung. Orang-orang mungkin mengira wanita itu tengah mabuk, tapi hanya Tanjung yang tahu bahwa obat yang dia berikan pada minuman Narumi sudah bekerja. Sayangnya, rencananya gagal. Ia tak tahu apa yang direncanakan Serina malam ini, tapi kehadiran Serina membawa sesuatu yang beda. Ia menatap wanita itu, intens dan cukup lama. Diambilnya mikrofon dari tangan Serina lalu dia buka jasnya untuk disampirkan ke bahu Serina. Sesaat setelah napasnya terembus pendek, ia menyelipkan tangan ke bawah lutut dan punggung Serina. Wanita yang basah karena siraman wine itu dia bawa turun dari panggung. Serina mengerjap ketika tubuhnya terayun-ayun. Apa yang sedang dilakukan Tanjung di tengah orang-orang yang berbisik-b
Dalam sekejap, seisi ballroom dipenuhi rahang-rahang yang terbuka, mengagumi sosok indah di atas panggung yang bersinar dengan gaun pastelnya. Terbuka di sepanjang bahu dengan potongan lengan yang menjuntai ke bawah bagai sayap yang tertutup.Rambut kelamnya yang bagai malam pekat tercepol dengan anak-anak rambut yang terjatuh, menonjolkan kulit bahunya yang mulus bak porselen. Suaranya melantun indah menyebutkan nama Maulana.Tanjung terperangah. Bukan hanya pada kecantikan sempurna yang dipamerkan Serina di atas sana. Namun, pada kehadiran tiba-tiba wanita itu. Mengapa Serina kembali?“Saya istri dari Tanjung Maulana.”Semakin senyap dan kian tegang. Dari ekor matanya, Tanjung melirik ekspresi Narumi yang tak tertebak. Bibirnya tak mengetat seperti biasanya, seolah kedatangan Serina kembali bukan masalah besar baginya.Atau justru … Narumi memang menunggu kedatangan Serina.Tanjung meremang. Tidak. Ia harus memulangkan Serina lagi. Dia hendak bangkit dari duduknya ketika senyum mani
Ballroom hotel bernuansa emas dan gelap, khas Maulana. Aroma mawar yang sedikit menyengat mendominasi udara di dalam ruangan maha luas itu. Saat kepala mendongak, puncak langit-langit yang dikelilingi lampu-lampu mewah seolah seperti langit yang sesungguhnya. Amat tinggi dan menyilaukan. Setiap tahun Tanjung menyiapkan acara megah seperti ini. Tiap tahun pula ia mesti mengumpulkan semua kolega, karyawan, dan petinggi perusahaan dalam satu ruangan. Lalu yang duduk di takhta tertinggi dan menerima semua pujian adalah Narumi Maulana, putri tunggal Maulana yang berhasil mempertahankan bisnis Maulana dan membentuknya menjadi kerajaan makanan yang besar. Wanita hebat yang berhasil mendidik pewaris hebat sepertinya.Wanita bergaun maroon gelap itu berdiri di tengah orang-orang penting dan menjadi pusat perhatian. Orang-orang berebut ingin menjalin relasi dengannya. Para pegawai di perusahaan memanfaatkan acara ulang tahun perusahaan untuk mendapatkan perhatiannya. Tanjung menjauh dari ker
Helaan napas pelan itu berembus mendominasi dinding lift yang dingin. Tak sedikit pun Narumi melunturkan wajah angkuhnya meskipun hanya ada dirinya di dalam ruangan besi yang sempit ini. Seperti apa menantu yang dia inginkan? Pertanyaan itu sudah muak ia dengar. Telah berulang kali ia dapatkan dari berbagai macam orang. Narumi tak pernah menjawabnya. Meskipun yang bertanya adalah sosok presiden sekalipun.Karena ia tak butuh menantu. Dia tak menginginkan sosok menantu di rumahnya. Tak akan ia biarkan anak dari perempuan jalang itu menikah dan memiliki keluarga seperti ibunya. Narumi ingin melihat anak itu tumbuh menjadi sosok yang dia inginkan. Sosok yang dia manfaatkan habis-habisan dan sosok yang akan menjadi orang paling kesepian di dunia ini, bahkan lebih dari yang dia rasakan. Tanjung akan menjadi pionnya, aset, dan boneka yang akan dia gunakan sepuasnya. Karena anak itulah dia kehilangan cintanya, keluarga, dan seluruh hidupnya. Ia kembali mengingat saat dirinya jatuh cinta