Selagi dr. Linda mengobati luka Tanjung, Serina membuka seluruh kancing kemeja lelaki itu dan mulai membersihkan peluh yang membanjiri dada dan perutnya.“Apa tidak ada infeksi?” tanyanya.“Untungnya tidak karena Anda cepat memanggil saya, tapi pelurunya menembus cukup dalam. Saya tidak punya alat yang cukup untulk membedahnya.”Serina semakin pening. Apa lagi yang harus dia lakukan sekarang?“Begini, saya punya rekan dokter yang punya klinik pribadi. Kalau pasien tidak mau dibawa ke rumah sakit, dia bisa dibawa ke sana.”Serina luar biasa lega. Ia mengangguk cepat dan dr. Linda langsung menelepon rekan dokternya.“Syukurlah. Masih ada ruang operasi yang kosong. Kita harus cepat membawanya.”Tanpa membuang waktu yang lama, dr. Linda membantu Serina memapah Tanjung. Wanita berkulit kecokelatan itu buru-buru mengambil mobilnya di depan apotek dan kembali membantu Serina memasukkan Tanjung ke dalam mobil.“Kliniknya cukup dekat. Cuma perlu 12 menit. Kita akan sampai dalam sepuluh menit.”
Tanjung tampak kaget. “Apa?”“Menikah. Karena kau sudah membebaskanku dari Brata yang semoga saja kelaminnya berulat itu, maka aku akan menuruti kemauanmu. Menikah dan menyingkirkan ibu tirimu. Kita seimbang.”Tanjung menggeleng dengan raut kebingungan. “Tunggu, kapan aku bilang kita akan menikah?”Serina memajukan tubuh, mengamati wajah Tanjung seperti memeriksa sesuatu. “Apa peluru itu naik ke kepalamu? Kau yang melamarku dengan putus asa dua hari yang lalu.”Wajah Serina terlalu dekat sampai Tanjung bisa melihat seberapa mulusnya kulit wanita itu. Pori-porinya hampir tidak terlihat, seperti boneka porselen.“Maksudku bukan menikah dengan sungguh-sungguh, hanya bohongan untuk mengelabui ibuku. Kita tidak perlu menikah—"“Hei, Tuan Tanjung. Untuk mendapat hasil maksimal, kau harus melakukannya dengan totalitas penuh. Seorang aktor saja akan belajar bela diri sampai mahir demi memerankan perannya dengan sempurna. Kau berpikir ibu tirimu yang kejam itu adalah anak SD yang mudah dikelab
Segalanya sudah Tanjung ucapkan di hadapan penghulu, dua perawat pria dan juga dr. Fahri, serta Serina sebagai mempelainya. Hari ini ia bahkan bisa pulang. Alat penyangga sudah dilepas berikut dengan gips di lengannya. Ia tidak tahu apa yang Serina katakan pada dokter untuk mengizinkan mereka melakukan ini.Wanita itu muncul dari balik pintu, menunjukkan paper bag yang dibawanya lalu mengeluarkan isinya. Setelan jas serta alat mandi untuk Tanjung. “Kau bisa mandi sendiri. Well, ini memang terdengar kejam—kau baru saja tertembak dan harus pura-pura sehat—tapi inilah yang harus kau lakukan.”Tanjung mengambil kantong itu. “Tidak masalah. Aku sudah biasa melakukannya.” Lalu melepas selang infusnya dengan santai. Rasanya sakit, tapi ia sudah terbiasa. “Yah … orang dewasa memang harus terbiasa. Tidak boleh istirahat saat sakit, itu sudah menjadi makanan kita.” Serina mengedikkan bahu santai.Diam-diam Tanjung tersenyum miris. Jangankan dewasa, dari kecil pun ia terbiasa melakukannya. Naru
Tatapan itu jelas merendahkan Serina. Lirikannya menyapu penampilan Serina dari ujung sepatu sampai ujung rambut, kemudian satu ujung bibirnya tertarik ke atas.“Kok tahu?” celetuk Serina secara tiba-tiba. Kepala Tanjung mulai terangkat, sedang wajah Narumi menjadi datar dalam sekejap. Pandangannya menyapu wajah Serina lekat-lekat. “Siapa namamu, Nona?” Nada suara itu terdengar antusias, kombinasi antara marah dan tertarik.Serina memasang senyum terbaiknya, tidak canggung sama sekali, lalu mengulurkan tangan. “Serina, Madam.”“Oh, Serina?” Narumi menatap lekat tangan Serina, lalu tersenyum jijik.Serina tidak tersinggung sama sekali. Dia angkat sebelah bahunya santai kemudian menarik kembali tangannya yang tidak tersambut.“Jadi kau memang memungutnya dari kelab malam? Saat kau berusaha menenangkan diri dari patah hati kekanakanmu, anakku? Saat aku menolak kekasihmu?” Serina jelas tahu teknik itu. Teknik yang mencoba meruntuhkan kepercayaan dirinya. Mengoyak habis harga dirinya dan
Hening yang pekat kembali menerjang. Suasana terasa lebih senyap dari sebelumnya, sampai akhirnya Serina mengurai senyum tanpa memutus tatapannya dari Narumi. Kedua mata serupa langit malam itu menyiratkan ejekan yang mampu ditangkap Narumi dengan cepat. “Wah, aku sangat kagum pada intuisimu, Madam. Dari tadi kau menebak dengan benar. Dari mana kau tahu aku adalah perempuan murahan?” Lalu tawa itu meluncur, merobek keheningan yang sejak tadi menyiksa paru-paru Tanjung.Tanjung terperangah. Sumpah mati, tidak pernah ada satu wanita pun yang berani melakukan hal itu di depan Narumi. Bernapas saja mereka tidak berani. Tapi, wanita satu ini melakukan hal-hal yang melebihi semua ekspektasinya.Diliriknya Narumi yang membeku hebat. Ingin rasanya ia mengabadikan keterkejutan yang dibungkus dalam ketenangan itu.“Aku menghibur para lelaki yang sedang kalut di club-ku.” Serina menunduk untuk mengamati kuku-kuku hijaunya yang mengkilap indah. “Aku penasaran seperti apa keluarga yang sudah mend
Tanjung ingat betul, waktu itu umurnya masih lima tahun. Ia sangat suka bermain mobil-mobilan. Malam itu dia menerima mobil balap dengan stik remot yang bisa ia kendalikan sepuasnya sebagai hadiah ulang tahun dari Ayah yang tidak bisa hadir.Teman-temannya sudah pulang. Di ruang tengah berhamburan sisa balon dan pita-pita hiasan. Piring-piring kecil bekas kue berjejeran di atas meja, juga masakan Ibu yang tandas dilahap teman-temannya.Kado-kado juga bertumpuk di atas sofa hijau lumut itu. Satu-satunya hadiah yang dia sentuh adalah hadiah dari sang ayah. Dia sangat senang, senyuman tak pernah luntur dari wajah lugu Tanjung kecil.Ibu bolak-balik mengangkat piring kotor ke dapur. Ia ingat wajah sang ibu yang tersenyum bahagia melihatnya. Senyumnya dibingkai dengan dua lesung kecil di sudut bibir. Mata itu bersinar cerah, kendati ia menahan kecewa karena sang suami lagi-lagi tak menepati janji.Ibunya tidak menuntut apa-apa kepada Ayah, meskipuni ia tahu bahwa dirinya adalah yang kedua
Satu jam kemudian, Tanjung akhirnya masuk ke kamarnya. Ruangan yang didominasi serba hitam itu menyambutnya dengan aroma yang berbeda, wangi lily yang menenangkan memenuhi indra penciumannya sesaat setelah ia membuka pintu.Dan di sana, di depan lemarinya berdiri Serina dengan kaos kebesaran dan boxer longgar miliknya. Tanjung mengerjap saat wanita itu berbalik menatapnya. Pemandangan itu samar-samar dalam penglihatannya. Wajah Serina tidak begitu jelas.Serina melesat cepat ke tempatnya dengan raut yang panik. Tanjung tidak mengerti apa yang membuatnya cemas. Saat wanita berambut gelap mengkilap itu menyentuh dahinya, jari lentiknya tahu-tahu dipenuhi oleh darah.“Kau berdarah,” gumam Serina, kedua mata indahnya sedikit melotot.Tanjung memegang dahinya sendiri. Ah, berdarah lagi. Merepotkan. Ia menghela napas bosan.“Apa yang dia lakukan padamu?”Tanjung hanya menggerakkan kepala tak acuh. “Seperti biasa.”Sudah biasa baginya menerima cangkir yang melayang, entah itu ke kepala, dada
Genderang perang sudah ditabuh secara diam-diam. Serina yakin Narumi telah menetapkan dirinya sebagai target, seperti kucing liar yang akan mencabik-cabik mangsanya.Pagi ini ia bersenandung sambil keluar dari kamar, tali bathrobe-nya ia kibaskan. Menyusuri rumah yang sepi seolah tidak berpenghuni. Langkahnya memasuki ruang makan di mana sudah ada tiga orang yang duduk di meja makan dan Risa yang berdiri sambil menunduk di belakang meja.“Waw, sarapan ala keluarga konglomerat. Aku tidak menyangka akan menghadirinya.” Celetukan yang tiba-tiba itu membuat tiga kepala yang sedang makan menoleh padanya.Serina bersiul sambil mendekat dan menarik kursi di samping Tanjung. “Kenapa tidak membangunkanku, Sayang?” tanyanya mesra, sambil mencium pipi Tanjung sebelum menghempaskan tubuh pada kursi.Sedang yang dicium tiba-tiba menegang dan tak mampu merespons balik akting Serina.‘Ah, payah!’ Ia berseru kecewa dalam hati.Suasana itu sudah tegang jauh sebelum Serina datang, dan kemunculan wanit
Yang tertangkap saat Serina membuka mata adalah cahaya remang-remang. Lampu besar di tengah kamar mati dan yang menyala hanyalah lampu tidur di atas nakas. Suasananya tidak seterang saat ia dan Tanjung memasuki kamar. Wangi parfumnya dan parfum Tanjung menyatu dan menyebar di seluruh ruangan. Meski pendingin ruangan tetap menyala seperti tadi, tapi rasanya tidak dingin sama sekali, sebab ada tubuh yang merangkumnya dengan cara yang sangat hangat. Punggung telanjangnya menempel pada dada bidang yang terasa keras namun lembut. Serina menggerakkan kepala, menoleh dan menemukan Tanjung yang terpejam dengan damai. Tak ada kegelisahan di wajah maha tampan itu dan Serina menyukainya. Ia bahkan baru menyadari jika sejak tadi jari jemari mereka menyatu di depan dadanya. Serina tak ingin menanyakan apa yang terjadi pada perasaannya dan mengapa jantungnya berdebar halus namun penuh antusias. Untuk pertama kalinya ia tidak merasa jijik saat mendapati seorang lelaki telanjang di atas ranjangny
Tangan kokoh itu mendekap pinggangnya, terasa kuat namun seolah tengah mencari kekuatan. Serina terbawa suasana, pada embus napas Tanjung yang melemah, hangat tubuhnya, serta irama jantungnya yang berdetak cepat. “Aku akan menemanimu.” Serina mengucapkannya bukan karena merasa kasihan, sebab hatinya ingin memberitahukan pada lelaki ini, bahwa dia, “… akan berada di sisimu.”Tanjung tak menjawab. Hatinya merasa senang sekaligus pedih. Haruskah ia percaya pada Tuhan dan membiarkan wanita ini berada di sisinya? Sebab ia tak menemukan jaminan Serina akan selalu baik-baik saja dalam tampungan atap istana Maulana. “Sudah tengah malam. Bawa dia ke kamarmu, Serina.” Ucapan tegas itu memotong dari arah belakang. Sebelum Tanjung mengangkat wajah dan hendak menengok ke belakang, Serina mendekap kepala lelaki itu dan kembali menenggelamkannya di dadanya. “Tidak, dia harus pulang, Izora.” Meski suara berat itu samar, tapi masih bisa ditangkap oleh telinga. Nada keberatan, lalu menghilang seol
Wanita itu masih ada di hadapannya. Kondisinya masih sama—menyedihkan, seperti mayat hidup yang enggan mati, tak jua bisa dikatakan hidup. “Dua puluh dua tahun aku mengurungmu di sini, itu belum cukup, Rahayu.”Rahayu yang tak lagi terlihat manis dan menawan itu menatapnya dengan bola mata yang melotot, mengerti perkataan Narumi, tapi tak punya susunan kata untuk membalasnya. Bibir pucat dan pecah-pecah itu berat untuk terbuka. “Dan selama itu pula, anakmu ada di tanganku. Kusiksa dan kumanfaatkan sesukaku.” Ucapan itu memantik keseluruhan diri Rahayu. Ia memberontak, hendak maju menerjang Narumi, tapi terhalang oleh rantai dan pasung. Rambut yang berantakan tak terurus, tubuh kurus kerempeng hingga tulang-tulangnya menyembul, pakaian yang seadanya dan sudah robek-robek serta warnanya tak lagi terlihat, luntur, dan kumal. Dia tak lagi bisa disebut manusia. “Ingat ini, Rahayu. Karena dosa-dosamu di masa lalu, anakmu jadi menderita.” Narumi ikut terbawa perkataannya sendiri. Piki
Meski sudah 22 tahun berlalu tanpa melihat sang ibu, Tanjung hafal betul wajah yang kerap kali tersenyum lembut padanya. Ia menanamnya di kepala selama ini selagi ia bertarung di rumah Maulana. Mungkin ibunya juga akan terlihat kurus dan tidak terawat, tapi jelas wanita ini bukanlah ibunya. Tinggi tubuhnya, sorot matanya, proporsi wajah, dan sentuhannya. Segalanya berbeda. “A-apa maksudmu?” Serina amat terkejut mendengar pengakuan Tanjung. Wanita itu bukan ibunya? Jelas-jelas perempuan itu adalah satu-satunya orang yang berada di tempat yang diam-diam selalu Narumi kunjungi.“Aku ibumu! Anakku!!” Wanita itu kembali mendekap Tanjung, tapi Tanjung mengurainya dengan kasar. “Anda bukan ibu saya!”Kekesalan di wajahnya benar-benar tercetak dengan jelas. Lebih daripada itu, ia amat kecewa. Harapannya melambung tinggi, tapi lagi-lagi ia terjatuh ke dasar jurang yang sangat dalam. Mungkin ini adalah pertama kalinya, Serina melihat wajah itu benar-benar mengerut penuh kekesalan. Bibirnya
Haruskah Serina mengakui jika dia juga menyukai cara lelaki ini menatapnya? Lembut, penuh penghormatan, dan rasa rindu yang dalam. Ia tak berani menyimpulkan terlalu jauh, sebab setiap lelaki yang mengaku tertarik padanya, tak pernah mencintainya. Mereka hanya terobsesi pada kecantikan seorang Serina, tapi lelaki ini berbeda. Matanya memandang dengan cara yang berbeda dari para lelaki bajingan itu. “Aku sudah banyak menyakitimu. Aku ingin melihatmu lagi, tapi tidak di rumah itu, tidak di tempat di mana Ibu akan mengancammu setiap hari.”Ah, dia sangat baik. Serina akhirnya bisa merasakan perasaan terenyuh. Untuk pertama kalinya, ada pria yang menatapnya khawatir di atas ranjang. “Lalu, haruskah kita kabur saja? Tinggal berdua di rumah lain?”Ide yang diucapkan secara asal-asalan itu mampu membuat hati Tanjung berdenyut perih. Bisakah ia melakukannya? Ia menginginkannya, tapi tidak untuk sekarang ketika Narumi sanggup menemukannya ke mana pun dia pergi. Serina meletakkan tangan di
“Kalian sama. Dia perempuan yang merebut–”“Hentikan, Ibu.” Belum sempat jawaban yang ditunggu-tunggu semua orang itu terucap, Tanjung naik ke panggung diikuti oleh beberapa pengawal. “Bawa Ibu ke kamar 718. Biarkan dia istirahat.”Dua pengawal langsung memapah Narumi turun dari panggung. Orang-orang mungkin mengira wanita itu tengah mabuk, tapi hanya Tanjung yang tahu bahwa obat yang dia berikan pada minuman Narumi sudah bekerja. Sayangnya, rencananya gagal. Ia tak tahu apa yang direncanakan Serina malam ini, tapi kehadiran Serina membawa sesuatu yang beda. Ia menatap wanita itu, intens dan cukup lama. Diambilnya mikrofon dari tangan Serina lalu dia buka jasnya untuk disampirkan ke bahu Serina. Sesaat setelah napasnya terembus pendek, ia menyelipkan tangan ke bawah lutut dan punggung Serina. Wanita yang basah karena siraman wine itu dia bawa turun dari panggung. Serina mengerjap ketika tubuhnya terayun-ayun. Apa yang sedang dilakukan Tanjung di tengah orang-orang yang berbisik-b
Dalam sekejap, seisi ballroom dipenuhi rahang-rahang yang terbuka, mengagumi sosok indah di atas panggung yang bersinar dengan gaun pastelnya. Terbuka di sepanjang bahu dengan potongan lengan yang menjuntai ke bawah bagai sayap yang tertutup.Rambut kelamnya yang bagai malam pekat tercepol dengan anak-anak rambut yang terjatuh, menonjolkan kulit bahunya yang mulus bak porselen. Suaranya melantun indah menyebutkan nama Maulana.Tanjung terperangah. Bukan hanya pada kecantikan sempurna yang dipamerkan Serina di atas sana. Namun, pada kehadiran tiba-tiba wanita itu. Mengapa Serina kembali?“Saya istri dari Tanjung Maulana.”Semakin senyap dan kian tegang. Dari ekor matanya, Tanjung melirik ekspresi Narumi yang tak tertebak. Bibirnya tak mengetat seperti biasanya, seolah kedatangan Serina kembali bukan masalah besar baginya.Atau justru … Narumi memang menunggu kedatangan Serina.Tanjung meremang. Tidak. Ia harus memulangkan Serina lagi. Dia hendak bangkit dari duduknya ketika senyum mani
Ballroom hotel bernuansa emas dan gelap, khas Maulana. Aroma mawar yang sedikit menyengat mendominasi udara di dalam ruangan maha luas itu. Saat kepala mendongak, puncak langit-langit yang dikelilingi lampu-lampu mewah seolah seperti langit yang sesungguhnya. Amat tinggi dan menyilaukan. Setiap tahun Tanjung menyiapkan acara megah seperti ini. Tiap tahun pula ia mesti mengumpulkan semua kolega, karyawan, dan petinggi perusahaan dalam satu ruangan. Lalu yang duduk di takhta tertinggi dan menerima semua pujian adalah Narumi Maulana, putri tunggal Maulana yang berhasil mempertahankan bisnis Maulana dan membentuknya menjadi kerajaan makanan yang besar. Wanita hebat yang berhasil mendidik pewaris hebat sepertinya.Wanita bergaun maroon gelap itu berdiri di tengah orang-orang penting dan menjadi pusat perhatian. Orang-orang berebut ingin menjalin relasi dengannya. Para pegawai di perusahaan memanfaatkan acara ulang tahun perusahaan untuk mendapatkan perhatiannya. Tanjung menjauh dari ker
Helaan napas pelan itu berembus mendominasi dinding lift yang dingin. Tak sedikit pun Narumi melunturkan wajah angkuhnya meskipun hanya ada dirinya di dalam ruangan besi yang sempit ini. Seperti apa menantu yang dia inginkan? Pertanyaan itu sudah muak ia dengar. Telah berulang kali ia dapatkan dari berbagai macam orang. Narumi tak pernah menjawabnya. Meskipun yang bertanya adalah sosok presiden sekalipun.Karena ia tak butuh menantu. Dia tak menginginkan sosok menantu di rumahnya. Tak akan ia biarkan anak dari perempuan jalang itu menikah dan memiliki keluarga seperti ibunya. Narumi ingin melihat anak itu tumbuh menjadi sosok yang dia inginkan. Sosok yang dia manfaatkan habis-habisan dan sosok yang akan menjadi orang paling kesepian di dunia ini, bahkan lebih dari yang dia rasakan. Tanjung akan menjadi pionnya, aset, dan boneka yang akan dia gunakan sepuasnya. Karena anak itulah dia kehilangan cintanya, keluarga, dan seluruh hidupnya. Ia kembali mengingat saat dirinya jatuh cinta