Sudut pandang Nikita:Si kembar tidak bisa berkata-kata. Reaksi Noah selanjutnya benar-benar membuatku tercengang. Saking syoknya, dia menatapku sambil ternganga."Nikita," gumamnya pelan.Kami saling tatap. Aku juga tidak tahu apa yang membuatku melontarkan perkataan itu begitu saja. Aku berencana untuk membongkar semuanya saat anak-anak lebih mengenalnya. Namun, begitu melihat betapa terpukulnya Noah saat si kembar tampak ragu untuk menghabiskan hari dengannya, aku merasa harus melakukan sesuatu.Untuk meredakan kecemasan anak-anak, aku memberi tahu mereka yang sebenarnya. Hanya saja, aku tidak menyangka bahwa pengungkapan itu malah berbalik pada kami."Oh, astaga! Jadi, kamu ini ayah yang buat ibu kami menangis?" tanya Roni dengan kesal."Ya. Kamu udah sangat nyakitin hati ibu kami! Kamu harus membayarnya." Beni menyingsingkan lengan baju, lalu mengepalkan tinjunya.Kalau saja ini terjadi di situasi yang berbeda, aku pasti sudah tertawa melihat tingkah lucunya yang siap untuk bertar
Sudut pandang Noah:Aku tidak bisa menjelaskan kesedihan mendalam yang menerpaku saat ini. Aku menyesali tahun-tahun yang terbuang. Andai saja aku meluangkan waktu untuk mencari Nikita setelah aku kembali dari pengobatanku di luar negeri, aku tidak akan kehilangan begitu banyak waktu.Aku menghela napas dan berhenti di depan mobilku."Kami nggak bisa masuk ke mobilmu," kata Nikita saat melihat mobilku.Aku pun tersadar bahwa mobil yang kubawa bahkan tidak sesuai untuk anak-anak. Aku mengutuk di dalam hati. Semua karena aku terlalu bersemangat hingga lupa bahwa mobilku terlalu kecil untuk menampung mereka.Aku melihat Nikita dengan canggung dan mengusap belakang kepalaku karena merasa bingung. Saat itulah aku menyadari bahwa aku tidak memiliki kendaraan yang cukup besar untuk menampung keluargaku. Aku pun mulai mengingatkan diriku untuk memberi mobil baru yang lebih besar."Mau aku suruh orang untuk membawa mobil van dari hotelku saja?" tanyaku pada Nikita saking tidak tahu harus berbua
Sudut pandang Noah:Namun, itu hanya bisa menjadi angan-anganku saja. Aku tahu Nikita berusaha untuk bersikap baik demi anak-anak. Aku bisa merasakan kalau dia menjaga jarak saat aku mencoba untuk melibatkannya dalam percakapanku dengan anak-anak.Meski terkadang aku bisa melihat ada sosok Nikita yang dulu pada dirinya, aku merasa dia mencoba untuk menepis itu semua. Dia tidak sungguh-sungguh menginginkan semua ini—dia hanya melakukannya demi anak-anak.Menjelang waktu makan malam, Nikita memberi tahu anak-anak bahwa kita harus pergi."Yaah, Ibu!" keluh mereka secara serempak.Mereka tidak ingin pulang, begitu pun denganku. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Apalagi, si kembar tiga terlihat sangat menikmati waktu bermain mereka.Taman bermain ini memiliki kabin pribadi. Kami menyewanya agar anak-anak bisa tidur siang. Nikita ikut bersama mereka di tempat tidur. Aku juga ingin bergabung dengan mereka, tetapi tidak ada yang mengundangku.Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sementar
Sudut pandang Noah:Hari sudah mulai gelap ketika kami mulai memasukkan si kembar tiga ke mobil. Mereka terus memohon untuk melakukan perjalanan terakhir. Aku dan Nikita pun mengabulkannya.Berhubung anak-anak sudah tidur siang di kabin yang ada di taman bermain, mereka menjadi sangat energik dan terjaga selama perjalanan pulang. Suasana di mobil van pun diramaikan dengan suara tawa mereka."Aku mau kita jalan-jalan seperti ini lagi di lain waktu," umum Beni saat Nikita bertanya apakah mereka menikmati waktu mereka.Aku tersenyum karena aku pun senang bisa menghabiskan waktu bersama mereka.Saat kami berkendara melewati Hotel Jati, anak-anak menunjuk ke arah gedung itu."Ibu, itu hotelmu!" teriak mereka serempak."Kalian mau berhenti di sana untuk makan siang?" tanya Nikita kepada anak-anak.Spontan, mereka menjawab ya.Kemudian, aku berbelok ke pintu masuk hotel.Ketika mobil berhenti, aku dan Nikita mulai melepas sabuk pengaman anak-anak."Kami akan makan di restoran makanan laut hot
Sudut pandang Noah:Aku menatap Nikita dengan bingung dan bisa melihat kalau dia juga sama terkejutnya saat mendengar pernyataan Roni."Apa itu benar?" Aku langsung menanyakan itu tanpa menghiraukan kehadiran anak-anak yang juga ikut menyaksikan.Aku merasa sangat gembira—jantungku berdebar kencang dan aku sangat menantikan jawaban Nikita. Tidak terpikirkan olehku bahwa perkembangannya akan sejauh ini. Sungguh melegakan begitu tahu kalau Nikita tidak pernah menikah lagi, apalagi memiliki hubungan dengan pria lain.Jika aku ingin mendapatkan kembali keluargaku, kurasa ini saat yang tepat. Ini adalah kesempatan yang sudah kutekadkan untuk digunakan sebaik-baiknya. Aku akan memenangkan hatinya kembali.Namun, reaksi Nikita berikutnya membuatku kecewa. Dia memalingkan wajahnya dariku dan bersikap seolah-olah tidak mendengarkanku, tetapi aku tahu apa niatnya—dia mencoba menghindari pertanyaanku.Meski begitu, aku tidak memaksanya untuk menjawab. Lagi pula, aku masih punya waktu untuk mendis
Sudut pandang Noah:Markus tertawa canggung. Lalu, dia terbatuk-batuk dengan kikuk seakan-akan ingin membersihkan tenggorokkannya saat menyadari hanya dia yang tertawa. Aku enggan untuk tertawa bersamanya.Kemudian, dia menatapku tanpa berkedip. "Pertanyaan macam apa itu?"Aku menyipitkan mataku. Ini adalah tanda batas kesabaranku."Nggak usah berkelit dengan melontarkan pertanyaan lain. Aku nggak sedang main-main di sini," kataku memperingatkannya.Kesabaranku sudah diujung tanduk. Aku semakin frustrasi karena tidak mendapatkan jawaban yang kuinginkan dan sudah lelah berlarut-larut dalam kebingungan.Ekspresi Markus berubah makin serius. Dia berdiri dan berkacak pinggang. "Jadi, menurutmu, aku sedang main-main di sini?" serunya saat kami berhadapan. "Aku nggak berutang penjelasan apa pun padamu, Noah. Kamu boleh pergi."Dia berusaha mengintimidasiku, tetapi aku adalah Noah Adhitama. Aku tahu siapa diriku di dunia ini. Perlu kutegaskan: tidak ada yang bisa membuatku gentar—kecuali Niki
Sudut pandang Noah:"Kita ketemu di Manik Beach Club," infoku pada Bonar sebelum menutup telepon.Aku berjalan cepat menuju ke mobilku, tetapi seorang pria mencegatku. Dia adalah ketua tim keamananku."Edi," sapaku sambil mengangguk singkat."Pak, kami sedang mengawasi rumah dan keluarga Anda," lapornya."Bagus. Terus kirimkan informasi padaku. Ingat, kalau sampai terjadi sesuatu sama mereka, kalian semua akan dihukum berat." Aku memperingatkan sebelum masuk ke dalam mobilku dan pergi.Ini adalah pertama kalinya aku memakai nama dan kekayaanku untuk mengancam orang. Aku tidak terbiasa melakukannya. Kali ini naluri protektifku yang bicara. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan kalau sampai terjadi apa-apa pada keluargaku. Terutama di saat aku sedang tidak ada untuk melindungi mereka. Sesampainya di Manik Beach Club, aku melihat Bonar sudah menungguku."Apa yang kamu temukan?" tanyaku begitu duduk di hadapannya.Bonar memberiku selembar kertas."Pernyataan tersangka. Rupanya dia dibaya
Sudut pandang Noah:"Tolong rahasiakan semuanya. Aku nggak mau informasi keburu tersebar sebelum semua antek-antek pamanku ditangkap. Mulai sekarang, perketat keamanan Perusahaan Adhitama. Jangan biarkan ada celah sedikit pun. Anggap saja kita sedang berperang," perintahku.Keduanya mengangguk."Aku akan membuat mereka semua membayar kejahatan mereka," kataku lagi. 'Namun, bagaimana aku bisa membuat semua orang membayar, kalau aku sendiri juga menjadi kaki tangan dalam kejahatan yang dilakukan Matthew?'"Kalian pulang saja," kataku pada Boris dan Randy."Lho, kamu mau ke mana?" tanya mereka dengan ekspresi khawatir."Pokoknya aku akan baik-baik saja," ujarku lagi sambil masuk ke dalam mobilku.Aku tidak tahu mau pergi ke mana. Kejadian yang baru saja terjadi membuat otakku terasa penat. Jadi pulang ke rumah bukanlah opsi yang tepat.Lagipula, di mana rumahku? Yang kupunya sekarang hanyalah sebuah apartemen yang kubeli setelah menjual rumah yang sebelumnya kutempati bersama Nikita.'Aku
Sudut pandang Noah:Aku mengikuti langkah Nikita dengan mataku. Sambil memperhatikannya berjalan tergesa-gesa menaiki tangga, aku memutuskan bahwa kali ini, aku akan berusaha mati-matian hingga kami bisa bersatu lagi.Setelah beberapa menit, Nikita turun lagi. Dia menghindari tatapan mataku saat aku berusaha bertatapan dengannya."Kamu mau berangkat ke kantor?" tanyaku."Iya," jawabnya singkat seperti sengaja menghindar dariku. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya. Nikita pasti merasa canggung setelah kejadian di dapur tadi.Aku bangkit dari sofa, lalu mengambil kunci mobil dari saku depan celanaku."Ayo. Biar aku antar ke sana." Aku memberi isyarat padanya untuk mengikutiku, tetapi Nikita menghentikan langkahnya. Saat aku menoleh ke belakang, Nikita tampak canggung."Ayo. Aku antar ke Hotel Jati sebelum aku berangkat kerja," ujarku.Nikita berdeham. Namun, aku tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti ini darinya."Lukas menungguku di luar," katanya.Langkah kakiku yang beriram
Sudut pandang Nikita:Saat memasuki dapur, aku mendengar salah satu kakakku sedang mendiskusikan sesuatu dengan Roni."Karena Ayah kami ada di sini. Aku takut Om Romi kesepian dan merasa cemburu, jadi aku carikan seorang gadis supaya Om Romi bisa menikah dan punya bayi," kata Roni. Ucapannya membuat mulutku ternganga karena terkejut.Romi tiba-tiba mengalihkan pandangan matanya. Dia tampak tercengang saat tatapan mata kami bertemu."Roni, kamu ngomong apa, sih?" tanyaku pada anakku. Nada suaraku terdengar kaget, sementara para lelaki di sekitarku tertawa, kecuali Romi sendiri."Menurut Ayah, Om Romi nggak butuh bantuanmu, Ron," kata Noah saat melihat Roni tampak kecewa karena ditertawakan yang lainnya."Kenapa kamu mikir begitu?" tanyaku penasaran. Noah tampak sangat bersemangat dan itu membuatku merasa ada yang aneh."Kemarin, kakakmu keluar dari hotel bareng seorang karyawan," ungkap Noah. Ucapannya itu membuat Romi malu. Tidak biasanya kakakku merasa malu saat ketahuan sedang bersam
Sudut pandang Romi:Aku meninggalkan Hilda setelah melihat ekspresi sakit hati di wajahnya. Mungkin orang lain akan berpikir kalau aku ini berengsek, tapi aku merasa puas karena hinaanku membuatnya tersinggung.Aku pun pergi ke kamar mandi dalam untuk mandi. Ketika aku keluar dengan hanya berbalut handuk di pinggangku, kulihat dia memalingkan wajahnya."Kamu sengaja mempermainkanku, ya?!" bentak Hilda.Aku mengernyitkan alis dan menyadari kalau gadis itu tidak mau melihat ke arahku. Aku pun tersenyum sinis saat melihat lehernya merona merah."Kenapa? Kamu nungguin aku telanjang bulat?" tanyaku seraya menarik handukku dan melemparkannya ke arah Hilda. Handuk itu jatuh mengenai dadanya."Romi!" serunya parau. Wajahnya menoleh padaku dengan marah. Aku merentangkan tanganku lebar-lebar agar dia melihat bahwa aku tidak telanjang seperti dugaannya.Aku melihatnya menelan ludah ketika matanya beralih dari wajahku ke dadaku yang terbentuk sempurna, perutku yang berotot, dan kakiku yang kencang
Sudut pandang Romi:"Keluar!" perintahku saat Hilda tidak beranjak dari kursi penumpang.Aku tidak menunggunya dan beranjak dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu untuknya.Hilda bergerak perlahan.Saat dia keluar dari mobil, cahaya menyinari wajahnya. Saat itulah aku melihat wajah pucatnya yang tidak wajar.Dia terhuyung saat melangkah dan hampir terjungkal saat kehilangan keseimbangan.Aku menyusulnya tepat waktu. Tanganku segera mencengkeram bagian atas lengannya."Kamu nggak apa-apa?" tanyaku sambil mengerutkan kening.Dia tidak menjawab dan bergeming di tempatnya."Aku merasa nggak enak badan," ucapnya akhirnya.Keraguan memenuhi hatiku. Kupikir itu taktik untuk mengalihkan perhatianku agar bisa melarikan diri. Aku tidak mengira kepala Hilda akan terkulai ke samping sebelum kemudian jatuh ke dadaku.Saat itulah aku menyadarinya. Kutempelkan punggung tanganku ke dahinya dan merasakan tingginya suhu tubuhnya. Hal ini langsung membuatku khawatir. Tanpa pikir panjang, aku membopo
Sudut pandang Hilda:Area lift itu kosong.Saat berbelok di tikungan, aku merapatkan tubuhku ke dinding dan mengintip ke luar, ke tempat terakhir kali aku melihat Romi Feri. Aku memastikan diriku benar-benar tidak terlihat dari luar.Selama pengintaian ini, jantungku terus berdebar kencang.Rasa bersalah menggerogotiku. Kecurigaan yang kulihat di mata Romi tadi membuatku gelisah.Aku menghela napas lega saat melihat tempat itu sudah kosong. Dia sudah pergi.Napasku mulai teratur dan dadaku kembang kempis dengan cepat saat aku mengisi paru-paruku dengan udara.Lift berdenting, lalu pintunya terbuka untuk mengeluarkan penumpangnya.Saat lift sudah kosong, aku masuk. Setiap kali lift berhenti dan terbuka, jantungku mulai berdetak lebih kencang.Pemikiran gila memenuhi otakku. Romi Feri pasti tidak akan tinggal diam dengan temuannya itu. Dia akan mengikutiku untuk mengorek informasi sebanyak mungkin. Dia adalah saudara Nikita. Kecurigaannya terhadapku mungkin akan membuat Nikita turut menc
Sudut pandang Hilda:Aku baru saja hendak meninggalkan kafe. Tiba-tiba, seseorang menyambar lenganku.Gerakan itu terlalu tiba-tiba.Aku terkejut, tetapi saat aku mengenali pelakunya, mataku membelalak dengan ketakutan dan aku menahan teriakan yang hampir keluar dari mulutku.Ketakutan memenuhi sekujur tubuhku saat aku menatap mata coklatnya, warna yang sama seperti mata Nikita."Romi," ucapku terbata-bata.Mulutku mengucapkan namanya dengan gugup. Dia adalah kakak Nikita.Dalam sekejap, kepalaku bergerak mengarah ke kafe dengan gelisah."Aku senang kamu mengingatku," kata Romi sambil tersenyum seraya mengikuti arah pandang mataku.Aku mulai banjir keringat. Tangan-tanganku juga terasa dingin dan basah."Kita pernah ketemu sekali," jelasku dengan terbata-bata.Aku ingin sekali melarikan diri, tetapi cengkeraman Romi di lenganku menghalangiku untuk pergi.Aku menatap tangannya yang menggenggam lenganku. Mataku beralih ke wajahnya yang penuh amarah, dan aku menelan ludah dengan susah pay
Sudut pandang Bella:"Apa maumu?" Nada tajam Hilda membuatku terkejut."Lama nggak jumpa, adikku sayang. Apa kita nggak bisa setidaknya sopan satu sama lain? Kamu nggak bisa membenciku selamanya cuma karena Ibu lebih menyayangiku daripada kamu."Hilda memutar bola matanya."Kamu pikir aku masih marah soal itu? Dewasalah, Bella!"Aku tidak peduli saat dia memelototiku. Aku langsung ke inti pembicaraan."Aku nggak tahu di mana Matthew Millano, paman Noah. Kamu punya petunjuk soal keberadaannya?"Mata Hilda langsung menyipit."Sudah kubilang, aku nggak akan bekerja sama denganmu lagi. Terakhir kali kulakukan itu, aku membuat Nikita kecewa berat. Aku nggak bisa melakukannya lagi, mengkhianati sahabatku cuma karena kita saudari!"Aku tertawa, meskipun suaranya terasa hampa."Kamu yang bilang kalau kita saudari, ‘kan? Bukankah darah lebih kental daripada air? Kenapa kamu selalu membela dia? Apa kamu nggak lihat yang dia lakukan padaku?"Hilda tampak tidak peduli, malah seolah ingin membuat e
Sudut pandang Bella:"Nomor yang Anda hubungi berada di luar jangkauan. Silakan menghubungi kembali setelah beberapa saat." Aku sudah berkali-kali mendengar rekaman suara ini sejak minggu lalu dan suara itu membuatku gila.Aku mencoba menghubungi nomor itu lagi tetapi hasilnya sama saja."Sial!" Aku menengadah ke langit dengan putus asa."Bella, jangan mondar-mandir. Kamu butuh istirahat. Kamu belum tidur sejak tadi malam," kata manajer sekaligus temanku."Gimana aku bisa tidur kalau Noah ninggalin aku begitu saja? Dia mutusin semua hubungan denganku." Aku menjerit frustrasi dan marah.Manajerku terkejut melihat sikap kasar yang kutunjukkan. Ini pertama kalinya dia melihatku seperti ini. Biasanya aku selalu tenang dan terkendali."Ya ampun. Noah memang putus sama kamu, tapi ini bukan berarti kiamat, 'kan?"Aku mengepalkan tangan dan merapatkan gigiku saat mengingat ancaman Noah, yaitu surat perintah penahanan sementara. Yang lebih buruk lagi, dia mengumumkan putus hubungan denganku di
Sudut pandang Nikita:Awalnya, Noah tampak tidak memahami ucapanku."Heidi. Dia mantan pacarmu. Kamu pernah berpacaran dengannya sebelum aku muncul," kataku, mencoba menyegarkan ingatannya.Kerutan di wajah Noah menghilang dan dia mengangkat bahu seolah-olah masalah itu tidak mengganggunya."Kenapa nggak? Dia punya kemampuan. Lagi pula, kejadian itu sudah lama sekali. Aku yakin Heidi sudah melupakannya, sama sepertiku."Noah jelas tidak tahu apa yang kumaksud. Jadi, siapa yang bodoh sekarang?Aku mengangguk mengejek."Ya, dan kujamin dia belum melupakanmu. Dia adalah gunung berapi yang menunggu untuk meletus. Apa kamu nggak melihat caranya memandangmu? Gadis itu masih merindukanmu!" teriakku frustrasi."Memangnya kenapa? Aku nggak peduli kepadanya.""Noah!" tegasku memperingatkannya.Noah menyisir rambutnya ke belakang."Kamu mau aku bagaimana? Memecatnya?" balasnya.Apakah aku hanya membesar-besarkan masalah kecil?Aku berbalik untuk pergi saat dia mulai menjelaskan."Kayak aku peduli