Tak selamanya Dokter Reyhan memberikan pelajaran di kampus mengingat dia bukanlah dosen, oleh karena di sisa waktunya di kampus dia meminta Rara untuk mempelajari ilmu yang selama ini dia dapat. "Nanti setelah jam berakhir, temui aku di aula, ada yang ingin aku berikan padamu." Tanpa berkata apa-apa mahasiswi itu mengangguk pelan. Melihat sikap aneh mahasiswinya, sang dokter nampak mengerutkan alisnya, dia menatap Rara sejenak. 'Pucat sekali wajahnya' batin Reyhan. Baru beberapa langkah meninggalkannya, tubuh Rara terlihat sempoyongan dan benar saja wanita kecil itu ambruk, untung Reyhan segera menangkap tubuhnya. "Ra, kamu kenapa?" Dokter muda itu terlihat panik. Dia terus menepuk pipi Rara berharap mahasiswinya segera sadar. Ana yang tahu Rara pingsan berteriak, dia segera mendekat dan bertanya pada Reyhan. "Rara kenapa Pak?" Raut wajahnya tak kalah panik. "Mana aku tahu, ayo kita bawa ke unit kesehatan." Ana turut ikut Reyhan ke unit kesehatan, dia sangat sedih karena Ra
Wanita kecil itu turut duduk di lantai menemani sang Tuan, matanya tak berhenti menangis bingung apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Haruskah dia pergi meninggalkan sang Tuan? atau bertahan meski janin di dalam perutnya tidak diinginkan oleh si pemilik benih? "Katakan pada saya, apa yang harus saya lakukan?" Dia bertanya meski sudah tau jika tuannya dalam keadaan pingsan. Hingga pagi datang menyapa, Rara tetap di posisinya. Keadaannya pagi itu benar-benar kacau mata sembab dan kaki yang mati rasa. Beberapa waktu kemudian Pria yang ambruk itu membuka mata, sambil memegangi kepalanya yang masih terasa pening, dia menyelidik sekelilingnya. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya sambil menatap Rara. "Menemani anda yang pingsan," jawabnya dingin. Segera dia bangun tapi karena kepalanya masih sangat pusing membuatnya agak kesusahan. "Arrrgggg." Erangnya yang tidak terima dengan apa yang dia rasakan saat ini. Tak hanya dirinya si wanita kecil itu juga nampak kesusahan, dia harus berpegang
Seketika raut wajah wanita itu berubah, dia takut jika sang Tuan marah. Saat itu juga dia menghubungi sang Tuan, dan benar saja ketika panggilannya tersambung suara bariton Raymond membuat Rara tersentak kaget. "Maafkan saya Tuan." "Cepat pulang!" Rara mematikan panggilan teleponnya secara sepihak, sesaat kemudian mobil yang membawanya telah memasuki halaman rumah. Di depan rumah terlihat Raymond duduk di sebuah bangku, pria itu benar-benar menunggu kekasihnya. Dengan ketakutan level tinggi wanita itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. "Siapa yang menyuruhmu keluyuran!" Aura dinginnya seolah membawanya pindah alam. Bingung harus menjawab apa Rara terlihat terdiam dan menundukkan kepala. Kini pandangannya tertuju pada sopir yang berdiri di samping mobil, hanya menggunakan kode tangannya sopir itu berjalan mendekat. Plak Sopir yang tidak bersalah itu mendapatkan sebuah gamparan dari sang tuan, dia hanya menjalankan perintah tapi entah mengapa Raymond malah memukulnya.
"Kalau kamu tidak makan bagaimana kamu bisa sembuh?" Lelaki itu mulai kesal. Rara hanya melirik tuannya sesaat kemudia dia memejamkan matanya, kode kalau dia malas berdebat maupun berbicara dengan sang tuan. Pria itu menghela nafas, mencoba sabar dengan sikap kekasihnya tersebut. "Setelah makan kamu boleh tidur." Sekali lagi dia membujuk wanitanya agar mau makan, namun sayang mata wanitanya tidak terbuka sedikit pun hingga membuatnya frustasi. Tak menyerah pria itu menggoyang tubuh pasangannya, dia tahu jika Rara hanya pura-pura tidur, dan benar saja akhirnya wanita itu membuka matanya. "Ada apa sih Tuan!" tatapannya tajam dan suaranya meninggi. "Makan dulu, baru tidur," sahutnya. "Saya tidak mau makan!" "Asal kamu tahu, aku bersusah payah mengantri makanan ini demi kamu, tapi kamu malah tidak mau memakannya!" Keduanya saling debat. Akhirnya, air mata Rara tumpah, hatinya benar-benar lelah dengan sikap Raymond. "Jika anda tidak memaksa saya mungkin anak kita sekarang masih ada
Sesampainya di ruang perawatan, Dokter Reyhan meminta Rara untuk berbaring di bed pasien karena dia akan memasang infus yang tadi dilepas. "Nggak usah Pak Rey, saya sudah sembuh." Segera dia melarang Reyhan untuk memasang infusnya kembali. Reyhan tersenyum ketir, memang Rara sudah sembuh bahkan sudah sangat sehat tapi yang menjadi pertimbangan adalah titah dari sang pemilik rumah sakit, semua Dokter masih diperintahkan untuk merawat Rara dengan baik sesuai prosedur. "Tapi kamu tetap harus diinfus Ra?" sahut Dokter yang ingin menggapai tangan Rara. "Saya nggak mau Pak Rey." Wanita itu memelas, berharap Reyhan mau menuruti kemauannya. "Jangan membuat aku dan dokter yang bertugas merawat kamu dalam masalah Ra, anggap saja infus ini sebagai tambahan cairan untuk kamu." Dokter itu terus membujuk Rara. Dia mau diinfus kembali asal setiap Raymond berangkat ke kantor, Reyhan mau mengajaknya jalan-jalan di taman rumah sakit, tak ada yang bisa Reyhan lakukan selain menyetujui kemauan pasien
"Terima kasih Dok, eh Pak Rey. Maafkan saya karena sudah merepotkan anda." Reyhan tersenyum, dia tidak repot sama sekali malah dia senang bisa membantu Rara."Oh ya Pak Rey, saya perhatikan anda standby di rumah sakit hampir dua puluh empat jam, apa memang seperti itu jadi direktur rumah sakit ini?" Pertanyaan Rara membuat Reyhan membatu, direktur rumah sakit tidak harus standby dua puluh empat jam, ketika jam kerja habis sudah boleh pulang."Tidak juga," jawabnya singkat.Karena harus kembali berjaga, Reyhan pamit keluar.Di ruangannya Reyhan nampak terdiam, dia terus memikirkan apa yang Rara ucapkan. Dia sendiri tidak tahu apa yang dia lakukan, dia hanya senang menghabiskan waktunya di rumah sakit tak hanya itu dia juga sering mencari alasan agar bisa memeriksa Rara meski itu bukan tanggung jawabnya.Rara adalah tanggung jawab dokter kandungan bukan dokter spesialis penyakit dalam."Apa yang sebenarnya terjadi padaku," gumamnya sembari mengusap rambutnya dengan kasar.Apakah Reyha
"Supaya kamu sadar Raymond! wanitamu bukanlah pilihan terbaik!" Wanita paruh baya itu nampak menggebu. "Bagi Raymond Rara adalah pilihan terbaik!" Kekesalan wanita paruh baya itu memuncak, anaknya sungguh keras kepala. Rara hanyalah wanita biasa, sedangkan Jessica adalah pewaris dari keluarga Richard. "Jika kamu keras kepala jangan salahkan Mama apabila Mama melakukan sesuatu pada wanita itu!" Nada ancaman mulai keluar sehingga membuat Raymond mengepalkan tangan. "Kalau Mama berani menyentuhnya maka Raymond lah yang akan menjadi musuh Mama!" Pria itu meninggalkan sang Mama setelah ancaman juga keluar dari mulutnya, dia malas mendebat sang Mama yang tidak mengerti perasaannya sama sekali. "Beraninya kamu mengancam wanita yang melahirkan kamu Raymond!" Teriaknya. Raymond berhenti, dia menoleh sembari berucap pedas, "Andai dulu Raymond bisa memilih pasti Raymond tidak memilih lahir dari rahim wanita seperti Mama." Seketika Mama Raymond berteriak tidak terima, kata-kata anaknya
'Saya berada di rumah sakit Tuan' Suara Rara bergetar, dia takut jika sang Tuan akan marah padanya. Tanpa berkata apa-apa Raymond menutup sambungan telponnya secara sepihak, dan ini membuat Rara sedikit bingung. "Dia marah?" tanya Reyhan yang cukup khawatir dengan ekspresi Rara. Rara yang tidak tahu hanya menggeleng, dia juga tidak tahu apa Raymond marah atau tidak. Tak ingin memikirkan Raymond, Rara dan Reyhan mengobrol kembali, Reyhan yang masih memiliki pekerjaan segera mengambil laporan yang dia simpan di dalam lemari. "Ra, aku mau ngecek pasien, kamu tunggu disini dulu ya." "Saya ikut dok, sekalian belajar." Reyhan mengangguk, kemudian mereka berjalan memasuki ruang rawat inap pasien Reyhan. Rara mencoba mengecek infus dan detak jantung pasien, gayanya sudah seperti seorang dokter, hal ini membuat Reyhan tersenyum melihat kecakapan Rara dalam menangani pasien. "Kamu sangat cakap sekali Ra, lain kali gantian tugasku ya," goda Reyhan. Tak terasa tiga belas kamar pasien s